Saturday, March 3, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 4

Erland pusing.

Hari-hari belakangan ini semua yang dilakukannya tidak ada yang beres. Ia tidak dapat memanah dengan tepat. Permainan pedangnya kacau.

Semua perhatiannya hilang. Semuanya tercurah untuk seorang gadis yang dapat mengobrak-abrik ketenangannya. Setan cilik satu itu memang tidak bisa dilepaskan walau hanya sesaat. Selalu saja ada yang mengekorinya.

Erland heran bagaimana gadis itu menarik perhatian para pria hingga ia selalu dikejar mereka seperti lebah dan madu.

“Engkau memikirkan apa?”

Erland menatap Fred. “Aku tidak tahu.”

“Jadi, engkau mengakuinya?”

“Mengakui apa?”

Fred menyandarkan punggung di pohon dan berkata, “Engkau menyukai Rara.”

“AKU!?”

“Semua orang tahu engkau mencintai Rara,” kata Fred, “Malam engkau menarik Rara, engkau menunjukkan kecemburuanmu.”

“AKU!?”

“Akui saja engkau cemburu. Semua yang ada di sana tahu engkau cemburu padaku.”

“Apa yang semalam kalian mimpikan?”

“Kami bermimpi engkau dan Rara menikah.” Fred tersenyum nakal.

Erland mengibaskan tangannya sambil berkata, “Jangan terlalu banyak bermimpi.”

“Terserah kalau engkau tidak mau mengakuinya. Tapi, jangan katakan aku tidak memperingatimu,” kata Fred, “Saat ini banyak yang nekat merebut Raramu. Aku khawatir kalau engkau tidak bergerak cepat, engkau akan kehilangan dia untuk selamanya.”

“Untuk apa aku mengkhawatirkannya?”

“Terserah padamu,” kata Fred, “Saat ini beberapa anak muda berencana untuk melamar Rara.”

“Melamarnya?” Erland terlonjak kaget.

“Aku mendengarnya sendiri. Mereka akan mengajukannya siang ini.”

“Apakah mereka tidak dapat berpikir mereka masih terlalu kecil untuk menikah? Mereka masih anak-anak!”

“Daripada engkau ribut di sini, lebih baik engkau menemui Raramu,” Fred memberi usul.

“Aku baru saja akan menemuinya,” Erland meloncat bangkit.

Fred tersenyum puas dan berseru, “Lamar dia sebelum didahului yang lain!”

Kata-kata itu menimbulkan ide di benak Erland. Mungkin itu jalan yang terbaik.

Mereka tidur dalam satu kamar telah menimbulkan banyak gosip. Pernikahannya dengan gadis itu akan menghentikan gosip-gosip itu dan dapat memulihkan nama baik mereka. Dengan pernikahannya itu pula ia menjadi lebih leluasa untuk mengawasi gadis itu.

Akhirnya Erland harus mengakui kecantikkan Altamyra. Sejak awal gadis itu telah membuat banyak hal yang membuatnya takjub.

Mula-mula ia marah sambil menangis. Lalu ia terus menghinanya tanpa henti. Erland yakin tak ada pria yang tahan mendengar rentetan hinaan itu selain dirinya. Hanya gadis itu saja yang mampu menahan sakit dan lapar selama berhari-hari.

Erland yakin ia takkan dapat menemukan gadis lain yang seunik setan ciliknya. Setan ciliknya itu sama sekali tidak mengenal rasa takut.

Melihat wajahnya yang cantik seperti boneka, orang takkan menduga hal itu. Matanya yang biru cerah selalu menatap tajam. Rambut panjangnya yang keemasan selalu bersinar lembut.

Tak seorang pun yang tidak takut pada kemarahannya selain dia.

Rupanya gadis itu tidak hanya menarik untuknya saja. Semua orang tertarik dengan kepandaian dan ketangkasannya.

Akhirnya Erland harus mengakui bahwa ia tertarik pada gadis itu dan mencintainya.

Fred benar kalau sekarang ia tidak segera bertindak, ia bisa kehilangan Rara untuk selama-lamanya.

Erland mempercepat langkahnya. Ia merasa harus menemukan Rara secepat mungkin sebelum ada yang mendahuluinya.

Altamyra berlari-lari kecil sambil bersenandung. Ia merasa sangat gembira.

Hijaunya pepohonan ini mengingatkannya pada desa Marshwillow tempat ia dibesarkan. Ia merindukan desanya yang hijau.

“Setan cilik!”

Altamyra jengkel. Erland merusak kegembiraannya untuk kesekian kalinya selama ini berada di tempat ini.

“Ada apa?” tanya Altamyra acuh.

“Apa yang kaulakukan di sini?” selidik Erland.

“Khawatir aku kabur?” tanya Altamyra, “Jangan khawatir, aku tidak akan kabur. Masih banyak yang harus kulakukan untuk rakyatmu.”

“Aku senang mendengarnya. Kalaupun engkau kabur, aku pasti bisa menemukanmu.”

“Aku yakin engkau akan.”

Erland menarik tangan Altamyra. “Berhentilah, aku ingin berbicara denganmu.”

“Apa lagi yang harus kita bicarakan?” tanya Altamyra. “Aku telah setuju untuk tidur di kamarmu. Aku juga telah berjanji tidak akan kabur. Masih adakah yang kurang?”

“Apakah engkau tidak bisa bekerja sama denganku walau hanya sekali?”

“Tidak,” jawab Altamyra tegas, “Aku tidak bisa bekerja sama dengan orang yang kubenci.”

“Sebenarnya, apa yang membuatmu marah padaku?” tanya Erland. “Aku telah berulang kali minta maaf padamu atas kekasaranku padamu. Apakah itu belum cukup?”

Altamyra membuang muka.

“Hanya engkau satu-satunya wanita yang bisa memendam marah lebih dari satu bulan.”

“Terima kasih,” kata Altamyra dengan tersenyum.

“Engkau mau memberitahuku?”

“Engkau sudah tahu mengapa aku tidak dapat berhenti membencimu,” kata Altamyra dengan tenang.

“Baiklah,” Erland mengalah, “Aku minta maaf atas semua kesalahan, kekasaran serta segala sikapku yang tidak pantas padamu.” Erland menatap Altamyra, “Engkau puas?”

“Belum.”

Erland mengangkat tangannya dengan pasrah. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu terus membenciku. Aku datang bukan untuk mencari pertengkaran baru. Aku datang untuk melamarmu.”

“Melamarku?” tanya Altamyra tak percaya.

“Aku bertanya maukah engkau menjadi istriku?” ulang Erland dengan tegas.

Altamyra memandangi Erland. “Engkau tidak sedang mabuk?”

“Tidak,” sergah Erland. “Aku sadar apa yang kukatakan.”

Altamyra menatap Erland lekat-lekat.

“Engkau bersedia?”

“Tidak!” sahut Altamyra tegas, “Aku tidak mau menikah denganmu!”

Erland menangkap lengan Altamyra. “Engkau harus,” desisnya.

“Tidak!” bantah Altamyra, “Engkau tidak dapat memaksaku!”

“Baiklah,” Erland mengalah. “Aku memberimu waktu sampai malam ini.”

“Hanya malam ini,” Erland menegaskan.

“Aku tetap tidak sudi!” seru Altamyra pada punggung Erland yang menjauh.

“Menikah dengannya?” kata Altamyra pada dirinya sendiri. “Sampai mati pun aku tak sudi.”

Kecuali kemarahannya yang belum sirna, Altamyra telah mengakui Erland adalah pahlawan. Ia mengagumi keberaniannya. Tapi, perasaan Altamyra hanya sampai sejauh itu.

Kalau ia disuruh memilih antara menikah dengan Erland atau membiarkan Cirra merebut Erland, ia pasti akan memilih membiarkan Cirra menikah dengan Erland. Ia mengagumi Erland tetapi tidak tertarik untuk menikah dengannya.

Altamyra melupakan pinangan Erland. Apapun yang terjadi, ia tetap akan mengatakan “TIDAK!”

Dengan hati riang, ia kembali menari-nari di hutan. Di hutan itu ia mengenang kembali desa Marshwillownya yang hijau. Ia benar-benar ingin kembali ke desanya sebelum ia dipaksa meninggalkannya.

Altamyra terus bermain di hutan sampai siang.

Seperti biasa, di siang hari ia membantu para wanita memintal benang. Sore hari ia membantu mereka menyiapkan makan malam.

Altamyra ingin makan malam bersama mereka, tetapi Erland tidak memperbolehkannya. Seusai membersihkan diri dan membantu para wanita, Erland memaksanya naik ke kamar. Seperti Erland, ia sudah lelah bertengkar.

Lebih baik terlebih untuk malam ini, Altamyra segera naik ke atas dan duduk diam di kamar sampai pagi.

Tidak seperti biasanya malam itu Erland segera masuk ke kamar. Erland tidak segera menanyai Altamyra. Ia menyibukkan diri di meja kerjanya.

Altamyra tidak mempedulikannya, ia duduk di pojok ranjang dan terus menyulam. Ia ingin segera menyelesaikan taplaknya. Altamyra yakin malam ini juga taplaknya bisa selesai. Yang belum diselesaikannya hanya awan-awan kecil dan burung-burung yang terbang di angkasa.

Tiba-tiba Altamyra merasa ada yang mengawasinya. Altamyra mengangkat kepalanya dan terkejut melihat Erland tengah memperhatikannya.

“Kelihatannya engkau sibuk sekali.”

Altamyra meletakkan sulamannya. Ia tahu saatnya telah tiba.

Erland duduk di samping Altamyra. “Bagaimana?” tanyanya lembut.

“Dengan sangat menyesal,” kata Altamyra lambat-lambat, “Aku tetap tidak dapat menikah denganmu.”

Altamyra telah berkata tenang agar tidak membangkitkan kemarahan Erland tetapi pria itu marah juga.

“Apakah engkau tidak bisa berhenti membenciku? Sebenarnya apa dosaku padamu?”

“Engkau tahu sendiri,” balas Altamyra tidak mau kalah, “Aku yakin engkau tidak terlalu bodoh untuk mengetahuinya.”

“Apakah engkau masih marah padaku karena aku membunuh orang itu?” Erland mencengkeram lengan Altamyra.

“Engkau tahu sendiri.”

“Apakah engkau tidak punya pikiran lain selain itu?” tanya Erland tidak percaya. Kemudian dengan nada yang lebih lembut ia melanjutkan, “Dalam peperangan, kita tidak peduli siapa yang bersalah siapa yang tidak. Tidak ada hukum dalam peperangan. Begitu pula dalam perjuanganku melawan Raja Wolve. Kalau kita tidak membunuh, kita yang akan dibunuh. Itulah hukum perang.”

Altamyra menatap Erland dengan tajam.

“Aku akan memberimu waktu lagi. Pikirkanlah kata-kataku ini. Besok pagi aku akan menanyaimu lagi,” kata Erland dengan kelembutan yang membuat Altamyra heran. Tapi gadis itu tidak heran ketika Erland menciumnya dengan lembut sebelum berkata, “Selamat malam.”

Altamyra tetap duduk meringkuk ketika Erland sudah membaringkan diri di sisi kaki ranjang.

Gara-gara apa yang dikatakan Erland, Altamyra tidak dapat tidur. Ia terus berpikir apakah yang dikatakan Erland itu benar?

Ada pepatah Latin yang menyebut tidak ada hukum dalam perang. Tapi, Altamyra tidak habis pikir mengapa orang bisa membunuh semudah itu.

Apakah nyawa itu tidak berharga lagi dalam perang?

Mereka tahu bisa terbunuh, tapi mengapa mereka mau berkorban?

Mengapa demi perang orang mau mengorbankan segala-galanya?

Apakah keuntungan perang?

Perang hanya membuat ibu pertiwi bersimbah darah. Mayat-mayat bergelimpangan. Kalau hasil dari peperangan itu adalah kemenangan, itu bagus. Tapi kalau kalah…

Apa gunanya mengorbankan nyawa kalau ada cara lain untuk mencapai tujuan?

Erland sendiri bisa menempuh jalan lain yang lebih aman untuk mencapai cita-citanya. Ia bisa menikahi Prischa. Kalau Raja Wolve mati, Prischa akan naik tahta. Ia juga akan menjadi raja dengan sendirinya.

Altamyra yakin Erland dapat melakukannya. Ia adalah pria tampan yang menarik. Tak mungkin Prischa tidak menyukainya.

Tapi…

Altamyra tidak mengerti jalan pikiran orang-orang ini. Ia dibesarkan di desa yang damai, adil, tentram, dan makmur. Ia tahu ia tidak akan pernah dapat memahami jalan pikiran orang-orang di negara ini.

Altamyra tidak dapat tidur. Ia ingin ke bawah berkumpul dengan orang-orang di luar sana.

Melihat Erland yang tidur di dekatnya, Altamyra mengurungkan niatnya. Walau pria itu tidur nyenyak, bukan berarti ia tidak tahu sekitarnya.

Pernah suatu malam Altamyra terjaga dari tidurnya. Altamyra tidak tahu apa yang membuatnya terbangun. Samar-samar Altamyra mendengar suara-suara yang menakutkan dirinya. Altamyra tidak berani membayangkan apa yang bersuara itu.

“Apa yang membuatmu terjaga?”

Altamyra lega mendengar suara lembut itu. “Aku tidak tahu,” katanya, “Aku seperti mendengar suara-suara yang menakutkan.”

Erland berdiri dan memeriksa keadaan di dalam maupun di luar ruangan luas itu. Ia kembali pada Altamyra sesudahnya.

“Tidak ada apa-apa,” katanya, “Mungkin engkau bermimpi.”

“Mungkin,” kata Altamyra ragu-ragu.

Erland duduk di sisi Altamyra. “Tidurlah kembali. Aku akan di sini sampai engkau tertidur.”

Altamyra merasakan Erland mengenggam tangannya erat-erat dan memberikan rasa aman padanya.

Altamyra tahu Erland tidak pernah benar-benar terlelap dalam tidurnya. Gerakan kecil darinya bisa membuatnya curiga.

Saat ini malam sudah larut dan Altamyra tidak ingin mengganggu tidur Erland. Ia berbaring walau tidak yakin bisa tidur.

Kata-kata Erland terus menghantui pikirannya. Pikirannya terus melayang jauh tanpa bisa membuatnya tertidur.

Malam yang semakin larut membuat pikiran Altamyra semakin larut, semakin melayang jauh.

Altamyra tidak ingat kapan ia tertidur, tetapi saat ia terjaga, ruangan itu sudah terang.

Erland berdiri memandanginya sambil tersenyum. “Engkau tidur juga akhirnya. Kupikir engkau akan terus terjaga sampai pagi.”

“Sang rembulan membiusku,” sahut Altamyra sekenanya.

“Basuhlah mukamu. Engkau tampak kusut sekali.”

Altamyra meninggalkan tempat tidur menuju jendela. “Engkau keberatan bila aku membantu mereka?”

“Lakukan apa yang kausuka.”

Altamyra segera merapikan tempat tidurnya lalu meninggalkan Erland dengan hati riang.

Erland tersenyum melihat kegembiraan gadis itu. Ia tidak nampak telah berpikir terus sepanjang malam.

Erland segera mengganti bajunya dan bergabung dengan rakyatnya untuk sarapan pagi. Ia berniat mengulangi pertanyaannya setelah makan pagi.

Altamyra tidak nampak terbebani sepanjang pagi itu hingga Erland mengajaknya berbicara di dalam hutan.

“Aku masih belum mengerti,” kata Altamyra sebelum Erland memulai.

“Apa yang belum kaumengerti?” tanya Erland dengan sabar.

“Mereka tahu bisa terbunuh dalam perang, mengapa mereka mau maju ke medan perang?”

“Karena cinta mereka,” jawab Erland, “Karena cinta dan kesetiaan mereka pada pimpinan mereka. Sama seperti kita yang siap mengorbankan segalanya untuk tanah air kita. Kita melakukannya karena apa? Kita melakukannya karena kita mencintai tanah air kita.”

Altamyra merenungkan kata-kata itu sebelum berkata, “Sekarang aku mengerti.”

“Lalu bagaimana jawabanmu?’

“Aku tetap menolaknya,” kata Altamyra tegas.

“Mengapa?” tanya Erland heran, “Apakah engkau masih membenciku?”

“Tidak. Sekarang aku dapat mengerti tindakanmu,” kata Altamyra, “Tapi aku tetap menolak menikah denganmu. Alasanku adalah aku baru mengenalmu.”

“Itu bukan masalah,” kata Erland, “Setelah kita menikah, kita bisa berteman sampai kita saling mengenal.”

“Maafkan aku,” kata Altamyra, “Aku tidak dapat menikah tanpa alasan yang jelas.”

“Engkau ingin tahu alasannya?” Erland terlihat tidak sabar lagi, “Baik, aku akan memberitahumu. Aku menikahimu agar aku mendapat dukungan lebih dari rakyat.”

“Dukungan?”

“Untuk melawan Raja Wolve, aku membutuhkan setiap dukungan yang bisa kudapatkan. Dengan menikahi pelayan kesayangan putri mahkota, aku yakin akan semakin banyak orang yang memihakku.”

“Apakah engkau tidak dapat memikirkan jalan lain selain perang?”

“Apakah ada jalan lain untuk menggulingkan Raja Wolve?”

“Engkau bisa menikahi Putri Prischa. Kalau ia naik tahta, engkau dengan sendirinya akan menjadi raja.”

“Kaupikir itu bisa?” ejek Erland, “Apa tidak pernah terpikir olehmu seorang putri mahkota tidak dapat menentukan sendiri calon suaminya?”

Altamyra diam termenung.

“Hanya dengan perang saja Raja bisa kugulingkan. Dan, aku bisa memperoleh lebih banyak dukungan dengan menikahimu.”

Altamyra tetap diam.

“Apakah engkau tidak berpikir pernikahan ini akan menyelamatkan rakyat dari sengsara? Dengan dukungan yang besar, aku pasti bisa menggulingkan Raja Wolve,” kata Erland penuh semangat. “Engkau dan aku memiliki cita-cita yang sama yaitu membuat rakyat sejahtera. Aku tidak salah bukan?”

Altamyra diam. Matanya memandang jauh.

Erland memberi gadis itu kesempatan untuk berpikir.

Altamyra tampak ragu-ragu sebelum akhirnya dengan tegas ia berkata, “Aku bersedia.”

“Bagus,” kata Erland puas. “Sekarang juga kita menikah.”

“Apa!?” tanya Altamyra terkejut.

“Aku sudah menyiapkan segalanya,” kata Erland. Erland menarik Altamyra menemui Kana.

Sepertinya Kana tahu apa tugasnya. Begitu melihat Erland membawa Altamyra, ia segera menyambut gadis itu. Kana mengeluarkan gaun putih sederhana dari sebuah peti dan menyuruh Altamyra mengenakannya. Sementara Altamyra merapikan gaunnya, Kana membersihkan cadar pengantin.

Altamyra heran bagaimana Erland bisa menyiapkan gaun pengantin secepat ini.

Ternyata Altamyra tidak perlu bertanya. Kana telah menceritakan semuanya sambil mendandani Altamyra.

Orang tua Erland ternyata juga pemberontak. Merekalah yang mula-mula mendirikan benteng ini. Selama bertahun-tahun mereka mengobarkan semangat rakyat untuk melawan pemerintah Raja Wolve yang kejam. Sayang Raja Wolve berhasil menangkap mereka. Ia menjatuhkan hukuman mati pada mereka.

Saat itu Erland baru dua belas tahun. Dan, sejak itu pula ia memulai pemberontakan terhadap Raja Wolve. Ia menyempurnakan benteng yang dibangun orang tuanya. Untuk menghidupi rakyat yang tinggal di sini, ia sering menyerbu pasukan kerajaan yang bertugas menarik pajak.

Tindakannya membuat rakyat mencintai dan menghormatinya. Tapi juga membuat Raja Wolve murka. Raja memerintahkan prajuritnya menangkap Erland. Tapi, ia tidak pernah berhasil.

Mata-mata Erland banyak. Banyak yang mau memberitahunya bila ada yang Raja rencanakan untuk menangkapnya.

Selama bertahun-tahun Erland menjadi buronan Raja tanpa pernah sekali pun tertangkap. Erland terus menyempurnakan strateginya agar Raja kewalahan.

Semua orang membenci Raja Wolve. Raja tega memeras rakyatnya dengan bermacam-macam pajak yang tinggi hanya untuk memperkaya dirinya sendiri. Ia bahkan tega membunuh siapa saja yang berani mengatakan ‘tidak’ padanya.

Semua orang di Kerajaan Vandella berharap Raja Wolve segera mati dan Erland naik tahta. Mereka tidak mengharapkan orang lain selain Erland.

Altamyra mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik ketika mengetahui gaun pengantin yang dikenakannya adalah milik ibu Erland. Altamyra merasa terhormat bisa mengenakan gaun yang berharga ini.

Kana memberinya serangkaian bunga hutan yang indah.

“Sayang di sini tidak ada bunga lili atau mawar yang akan melengkapi kecantikanmu.”

Altamyra tidak menanggapi. Ia membiarkan Kana membimbingnya ke ruang tengah tempat Erland telah menantinya.

Erland tampak sangat tampan dalam jas hitamnya yang halus. Jasnya sehitam rambutnya yang disisir rapi.

“Engkau mirip pengantin jaman pertengahan,” bisik Erland ketika menggandeng Altamyra menghadap Pastor.

Altamyra tidak tahu bagaimana Erland bisa menyiapkan segalanya secepat jalannya upacara pernikahan. Altamyra juga tidak mengerti mengapa Erland seperti menyembunyikan perkawinan mereka. Kalau ia memang membutuhkan tambahan dukungan, ia pasti akan mengundang orang banyak dalam upacara ini.

“Pangeran! Pangeran!”

Upacara terhenti karena panggilan yang penuh kecemasan itu.

Fred segera bertindak dengan membuka pintu. Ia berbicara sebentar dengan orang itu lalu membisikkan sesuatu pada Erland.

“Maafkan saya, Bapa, tampaknya kita terpaksa menghentikan upacara ini untuk sejenak.”

“Silakan,” jawab Pastor itu.

Erland segera menemui orang di luar itu.

Altamyra menatap Fred dengan penuh ingin tahu.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi,” kata Fred.

Sesaat kemudian Erland masuk kembali. Ia tampak sangat cemas.

Altamyra ingin tahu masalah apa yang membuat Erland menunda hal yang paling didesakkan padanya itu.

“Maafkan aku, ada urusan yang harus segera kutangani,” kata Erland pada Altamyra.

“Maafkan kami, Bapa, tampaknya kita tidak bisa melanjutkan upacara ini. Ada masalah mendesak yang harus saya lakukan.”

“Silakan,” kata Pastor.

Fred segera mengikuti Erland.

Altamyra memandang Pastor lalu pada Erland yang menghilang di balik pintu. Terakhir pada Kana.

“Sepertinya ada masalah penting yang sangat mendesak,” kata Kana.

“Entahlah,” kata Altamyra.

Altamyra segera kembali ke kamarnya dan mengganti gaunnya.

Ketika berada di luar, Altamyra melihat Erland berbicara dengan serius dengan beberapa orang. Dari kejauhan tampak Erland sangat cemas.

Altamyra tidak tahu apa yang terjadi, ia hanya berharap semuanya baik-baik saja.

“Engkau puas?”

Altamyra terkejut mendengar pertanyaan sinis itu.

“Ini ulahmu, bukan? Aku yakin sekali.”

“Apa maksud Anda, Cirra?” tanya Altamyra heran.

“Jangan pura-pura!” bentak Cirra, “Pasukan kerajaan mengepung kita. Pasti engkau yang memberitahu mereka.”

“APA!?” pekik Altamyra kaget.

“Mereka bergerak menyerbu ke tempat ini,” Cirra mengulangi beritanya.

“Kurang ajar,” desis Altamyra murka.

“Mau ke mana engkau?” Cirra menahan Altamyra.

Altamyra menepiskan tangan Cirra dan berlari ke kuda yang dilihatnya. Altamyra segera melompat ke atas kuda dan memacunya secepat mungkin.

“Berhenti!” Cirra menghadang Altamyra, “Takkan kubiarkan engkau lolos!”

Altamyra membelokkan kudanya dan memacunya kuat-kuat menerobos hutan.

Cirra terkejut melihat kenekatan Altamyra. Ia segera berlari menemui Erland.

“Erland! Erland!” teriaknya.

“Pergilah, Cirra, aku sibuk,” kata Erland.

“Kali ini engkau harus mendengarkanku!” Cirra mulai merengek.

Erland terus menyibukkan diri.

“Wanita itu mata-mata!” seru Cirra,” Sekarang ia kabur!”

“Apa katamu?”

“Mata-mata itu kabur! Ia pasti memberitahu siasat kita pada pasukan kerajaan!”

“Apa!?” Erland terkejut.

“Pasti dia yang memberitahu pasukan tempat kita.”

Erland meninggalkan bawahan-bawahannya dan segera melompat ke atas kuda.

“Pangeran!” seru mereka.

“Teruskan penyerbuan tanpa aku!” perintah Erland.

Erland memacu kudanya secepat mungkin. Ia melihat Altamyra sekitar tiga puluh meter di depannya.

Gadis itu dengan lincah mengarahkan kudanya melewati ranting-ranting pohon. Tangannya yang satu sibuk melindungi wajahnya dari debu dan tangannya yang lain memacu kudanya cepat-cepat.

“Setan cilik!” teriak Erland.

Altamyra terus memacu kudanya.

Erland berusaha memperpendek jarak mereka tapi tiap kali ia berhasil, jarak mereka kembali menjauh. Erland geram melihat ketangkasan Altamyra dalam mengendalikan kudanya. Gadis itu seperti tahu apa yang harus dilakukannya agar jarak mereka tetap jauh.

“Berhenti!” Angin membawa pergi teriakan Erland.

Samar-samar Altamyra dapat mendengar langkah kuda di belakangnya. Ia juga mendengar teriakan-teriakan Erland, tapi ia tidak mau berhenti. Altamyra terus mempercepat kudanya sambil berdoa ia tidak terlambat.

Hampir dua bulan Altamyra berada di tempat ini. Waktu itu sudah lebih dari cukup baginya untuk mengenali kawasan hutan ini. Ia tahu jalan terpendek untuk memutus laju kedua kubu itu sebelum mereka bertemu.

Altamyra tidak mau ada perang. Ia membenci segala yang berbau perang.

Cepatnya laju kuda Altamyra membuat gelungan rambut gadis itu terurai. Walau rambut pirangnya berkibar-kibar seperti gaunnya, Altamyra tak peduli. Ia hanya ingin segera tiba.

“Berhenti, setan cilik!”

Altamyra semakin mempercepat kudanya. Saat ini tidak ada lagi yang dipedulikannya selain mencegah pecahnya perang antara kedua musuh ini.

Dari kejauhan Altamyra melihat kedua pasukan itu bergerak mendekat dengan cepat dari jarak sekitar lima ratus meter.

Dalam hati Altamyra terus berdoa ia bisa tiba sebelum terlambat.

Setelah melewati rimbunan pohon, Altamyra segera membelokkan kudanya ke arah pasukan kerajaan.

“Mundur!” teriak Altamyra sambil memberi tanda dengan tangannya.

Tiga puluh meter di belakang Altamyra, Erland mendengar gadis itu terus meneriakkan kata “Mundur” sambil memberi tanda dengan lambaian tangannya.

Altamyra kesal melihat pasukan itu tidak juga berhenti bergerak. “AKU PERINTAHKAN TARIK PASUKAN!” Altamyra berteriak sekuat tenaganya.

Erland memperlambat laju kudanya melihat pasukan kerajaan tiba-tiba berhenti bergerak. Tetapi, Altamyra terus memacu kudanya ke arah pasukan kerajaan.

Dengan gerak tangannya, Erland memerintahkan pasukannya berhenti.

Dari tempatnya, Erland melihat Altamyra terus memacu kuda menerobos puluhan ribu pasukan kerajaan itu. Pasukan yang terdepan segera berbelok mengikuti Altamyra.

Tak seorang pun di antara mereka pernah melihat para pasukan yang bergerak mundur dengan teratur dan indah itu. Cara mundur mereka unik. Mirip segerombol penari yang berbelok secara teratur dari depan hingga yang terakhir.

Dengan bubarnya pasukan kerajaan, Erland pun memerintahkan pasukannya untuk mundur.

“Ia pasti mata-mata!” komentar itu yang pertama kali terlontar dari mulut Cirra setelah mengetahui apa yang terjadi.

“Tutup mulutmu, Cirra!” sergah Erland, “Jangan lupa, ia adalah pelayan kesayangan Prischa. Pasti mereka datang untuk menyelamatkannya.”

“Tapi sekarang ia bersama mereka, bukan?” protes Cirra, “Ia pasti akan membocorkan tempat ini pada mereka.”

“Dengar, Cirra,” Erland memperingati dengan tajam, “Ia tidak suka perang.”

“Dia…”

Fred segera menutup mulut Cirra. “Sebaiknya engkau diam saja, Cirra. Rara bukan gadis seperti itu. Ia pasti melakukan semua ini untuk menghindari perang.”

“Pasti!” Fred menegaskan.

No comments:

Post a Comment