Friday, March 2, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 3

“Sudah puas memandangiku?”

Altamyra membuang mukanya.

“Aku merasa tersanjung engkau terus memperhatikanku sepanjang hari ini,” kata Erland sinis.

“Engkau terlalu kejam untuk dipandang,” balas Altamyra.

Erland melihat kain di pangkuan Altamyra.

Sebelum Erland menyentuh pekerjaannya, Altamyra menyingkir. “Pergilah jauh-jauh. Jangan merusak hari bahagiaku.”

Erland tersenyum sinis. “Aku ragu setan sepertimu bisa bahagia dengan duduk-duduk saja.”

Altamyra mengacuhkan kata-kata kejam itu.

“Banyak juga hal baik yang telah dilakukan setan sepertimu, Rara.”

Altamyra menatap tajam Erland.

Erland tertawa kejam. “Kaupikir aku tidak tahu? Banyak yang akan memberitahuku. Jangan lupa di sini aku adalah penguasanya. Semua orang patuh padaku.”

“Manusia kejam,” desis Altamyra.

Bagi orang lain Erland adalah pahlawan mereka. Altamyra mengakui ia adalah pria yang tampan tapi tidak mau mengakui kebaikan hati Erland. Ia telah melihat sendiri kekejaman Erland dan ia tidak akan memaafkannya.

Pria itu memang berani. Dari jutaan rakyat Vandella, hanya ia yang secara terang-terangan memberontak pada Raja Wolve. Ia adalah pria yang pandai. Ia membuat kemahnya di lereng gunung yang terjal dan tertutup hutan lebat.

Kekasaran dan kekejaman pria itu memuakkannya.

“Aku yakin nama lengkapmu Mara. Orang tuamu tepat. Engkau memang sepahit namamu.”

Altamyra tersenyum manis. “Jadi,” katanya lembut, “Engkau sudah puas?”

“Engkau ingin memulainya lagi, setan cilik?” Erland mencekal lengan Altamyra.

“Lepaskan aku,” desis Altamyra, “Aku tidak sudi disentuh manusia sekejam engkau.”

Erland mendekatkan wajahnya ke wajah Altamyra. Mata kelabunya menembus tajam mata biru cerah Altamyra.

Altamyra membalasnya dengan tatapan yang sama tajamnya.

Tak seorang pun di antara mereka yang bergerak hingga akhirnya Erland melepaskan Altamyra.

“Engkau beruntung sekarang kita di luar,” desisnya lalu meninggalkan Altamyra.

“Aku lebih beruntung bila tak melihatmu selama-lamanya!” teriak Altamyra.

Erland terus berlalu tanpa menoleh.

“Dasar wanita!”

Fred mendengar gerutuan itu. “Ada apa?”

“Setan cilik itu benar-benar membuatku jengkel.”

Fred tersenyum. “Sudahlah, Erland. Engkau tidak perlu berpura-pura. Semua orang di sini tahu engkau menyukainya.”

“Jangan bermimpi!” bantah Erland, “Gadis itu hanya bisa membuatku jengkel.”

“Benarkah itu?”

“Dia adalah setan cilik yang harus kuhindari,” kata Erland tegas.

“Baguslah bila demikian halnya,” kata Fred puas.

“Bagus?”

“Aku akan jujur padamu. Aku menyukainya. Ia adalah satu-satunya gadis yang paling menarik yang pernah kutemui. Walau kata-katanya tajam, ia pandai dan cekatan.”

“Ia adalah iblis yang harus dihindari, Fred.”

“Ia adalah gadis cantik yang menarik,” bantah Fred, “Kalau engkau memang tidak menyukainya, jangan menjelek-jelekannya. Masih banyak yang mau menjadi suaminya kalau engkau tidak mau.”

“Apa katamu!?”

“Hampir semua pria di sini tertarik pada Rara. Tetapi demi engkau, kami semua mundur. Engkau dan Rara sangat cocok, tetapi karena engkau sendiri yang berkata membencinya, aku akan maju sebelum disaingi yang lain. Aku berterima kasih engkau menjadikan aku orang pertama yang mengetahuinya.”

“Aku tidak percaya kalian semua telah terjerat olehnya,” seru Erland, “Mengapa kalian bisa sedemikian bodoh?”

“Jangan berkata seperti itu, Erland. Semua orang di sini tahu engkau mencintainya. Tindakanmu, caramu memandangnya telah menunjukkan cintamu. Hanya dengan dia engkau bisa bertengkar sehebat itu. Hanya Rara yang mampu menghinamu tanpa membuatmu marah. Aku yakin akan berbeda halnya kalau Cirra yang menghinamu.”

“Apa maksudmu?”

“Jangan pura-pura, Erland. Kami semua tidak buta dan tidak tuli. Pertengkaran hebatmu malam yang lalu terdengar oleh kami semua. Walau kami tidak tahu apa arti kata yang diucapkan Rara, kami tahu ia menghinamu.”

Erland diam saja.

“Jangan diam saja, Erland. Aku yakin engkau mengerti apa yang diucapkan Rara.”

“Engkau ingin tahu?”

“Tepat sekali!”

Erland terdiam sejenak lalu berkata, “Tabib, sembuhkan dirimu sendiri. Manusia yang satu adalah serigala bagi manusia yang lain.”

“Kata-kata yang cukup bermakna,” komentar Fred.

“Tepatnya nasehat,” Erland membenarkan, “Bayangkan pelayan seperti dia menyuruhku memperbaiki diri sendiri. Bahkan, memperingatkanku.”

“Ia memang tepat, Erland. Tak heran ia menjadi pelayan kesayangan keluarga Apaleah.”

Erland tidak menanggapi.

“Lihat saja hasil tindakannya. Baru dua minggu berlalu sejak ia dibebaskan. Tetapi ia sudah membuat banyak perubahan. Wanita-wanita sekarang lebih mudah memintal benang. Anak-anak mendapat pelajaran setiap hari. Bahkan, yang tua-tua pun diajarinya menulis dan membaca. Belum pernah aku melihat gadis setekun dia.”

Erland tidak menanggapi. Tapi dalam hatinya ia mengakui kata-kata Fred. Berkat gadis itulah sekarang kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik.

“Erland…”

Rengekan itu membuat Erland berpaling. “Ada apa, Cirra?”

“Lihat ini!” rengek Cirra sambil menunjuk pipinya yang memerah.

“Ada apa dengan wajahmu, Cirra?” tanya Fred.

“Perempuan itu yang melakukannya. Ia menamparku.”

“Rara?” tanya Fred tak percaya.

“Ia memang keras kepala tetapi ia tidak mudah memukul orang apalagi menampar wanita,” bela Erland, “Engkau pasti mengatakan sesuatu yang membuatnya marah.”

“Tidak,” bantah Cirra, “Aku hanya bertanya baik-baik padanya dan ia menamparku.”

“Aku tidak mempercayaimu,” kata Erland tajam.

“Tanyai saja dia,” saran Fred.

“Aku memang bermaksud menemuinya.”

“Beri dia pelajaran!” seru Cirra, “Aku akan senang sekali kalau engkau mengurungnya. Dasar wanita tidak tahu terima kasih!”

“Sudah, Cirra,” Fred menghentikan.

Erland meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa.

Altamyra tetap meneruskan kesibukannya menyulam di atas sisa gaun sutranya. Ia mengetahui kehadiran Erland tetapi tidak menghiraukannya.

“Menyingkirlah,” kata Altamyra tenang, “Engkau menghalangi matahari.”

“Kupikir engkau senang bisa terlindung dari terik matahari.”

Altamyra sedang tidak ingin berbasa-basi. “Engkau telah mendengar rengekannya, bukan? Kalau engkau ke sini untuk bertanya mengapa aku menamparnya, lebih baik engkau bertanya padanya. Ia tahu persis sebabnya.”

“Sialnya, aku lebih mempercayaimu.”

“Aku merasa tersanjung,” kata Altamyra dingin.

“Aku datang tanpa niat untuk membuatmu marah. Jadi, bekerja samalah denganku.”

“Engkau tahu aku tidak mau.”

“Engkau juga tahu aku bisa memaksamu melakukannya,” Erland mencengkeram Altamyra.

Altamyra menatap tajam Erland lalu berkata, “Baiklah. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu.”

“Setelah mendengarnya, engkau bisa memutuskan sendiri siapa yang salah,” Altamyra memulai, “Cirra datang dan menuduhku menggodamu. Katanya aku adalah wanita genit yang mencoba merampasmu darinya. Dan, aku telah mencoba menerangkan tetapi ia terus menghinaku. Kita berdua tahu itu salah. Ia bahkan menghina leluhurku dan membuat kesabaranku habis.”

“Aku heran mengapa engkau tidak membungkam mulut kekasihmu seperti engkau membungkamku.”

“Kekasihku?” tanya Erland heran, “Siapa yang mengatakannya padamu?”

“Bukan aku,” jawab Altamyra tenang, “Tapi dia.”

Erland menatap tajam Cirra di luar rumah.

“Kusarankan engkau menjelaskan padanya kalau kita saling membenci. Aku tidak suka terus dicemburui.”

“Dia bukan kekasihku.”

“Terserah,” Altamyra bangkit, “Biarkan aku pergi. Aku bosan terus-menerus diganggu kalian.”

Erland membiarkan Altamyra pergi. Ia mempunyai urusan lain yang lebih penting daripada mengurusi Altamyra.

Altamyra yakin Cirra akan merasakan kemarahan Erland. Diam-diam ia merasa kasihan padanya. Ia yakin selain dirinya, tidak ada lagi yang berani melawan Erland.

Altamyra masuk lebih dalam ke hutan. Ia mencari-cari pohon rindang dan duduk di bawahnya.

Suasana sepi hutan membuat Altamyra tenang. Ia mengerjakan kembali pekerjaannya.

Menyulam di kain sutra yang halus adalah pekerjaan sulit. Tapi, sisa gaun ini sayang untuk dibuang. Karena tebalnya lapisan gaun itu, mereka bisa membuat tali yang panjang dan masih menyisakan kain yang cukup lebar.

Sisa kain itu ingin dipergunakan Altamyra sebagai taplak meja. Altamyra memberinya gambar alam yang indah dan menyulamnya dengan benang pintalnya yang terang. Walau pekerjaan itu belum separuhnya selesai, Altamyra dapat melihat hasilnya yang indah.

Tidak percuma ia dibesarkan di daerah yang wanita-wanitanya pandai menjahit, memintal, menenun, dan berbagai pekerjaan jahit menjahit lainnya.

“Setan cilik!”

“Ouch!” jarum Altamyra lolos dari kain dan menusuk jarinya. “Kau membuatku terkejut,” katanya menyalahkan.

“Apa yang kaulakukan di sini?”

“Menyepi,” jawab Altamyra, “Jangan khawatir aku tidak akan kabur. Aku tahu percuma kabur darimu.”

“Aku senang engkau mengerti hal itu. Tetapi, aku marah atas sikapmu.”

“Aku?” tanya Altamyra tak bersalah.

“Benar, engkau telah membuat kami semua cemas. Engkau tiba-tiba menghilang dan tidak muncul waktu makan siang.”

“Makan siang sudah usai?”

“Apakah engkau bodoh atau linglung?” gerutu Erland, “Sekarang ini sudah hampir malam!”

Altamyra heran melihat langit yang mulai gelap.

“Sekarang engkau baru sadar?”

“Maafkan aku,” kata Altamyra.

Erland heran mendengar penyesalan yang tulus itu.

“Terima kasih engkau mau menjemputku. Aku tidak yakin bisa pulang sendiri malam-malam seperti ini. Aku belum mengenal baik tempat ini.”

“Kupikir engkau tidak tahu berterima kasih.”

Kalau Erland bermaksud membuat Altamyra marah, ia telah gagal. Altamyra tidak tersinggung. Dengan tenang ia berkata, “Aku membencimu tetapi aku tetap tahu terima kasih.”

“Aku merasa seperti disanjung.”

Altamyra beranjak bangkit. Erland diam mengawasi gadis itu memunguti barangnya satu per satu.

“Mari kita pulang.”

Erland mengikuti Altamyra. Sambil melihat punggung Altamyra, Erland berpikir mengapa gadis itu bisa berubah sejauh ini. Sedikitpun ia tidak menebarkan benih-benih permusuhan, seperti biasanya. Pancingannya pun dibalasnya dengan tenang.

Entah apa yang membuatnya menjadi lebih sabar. Kalau suasana hutan bisa mendinginkan kepala gadis itu, ia akan membiarkannya sepanjang hari berada di dalam hutan. Ia sudah lelah bertengkar dengannya.

Mereka selalu bertengkar. Bahkan, untuk hal-hal yang kecil. Ketika Altamyra mengatakan keinginannya untuk tidur di dalam tenda bersama orang banyak, Erland menentangnya. Ia tidak setuju Altamyra tidur di luar.

Bahkan, ketika Altamyra memutuskan akan mengajari para orang tua membaca dan menulis, Erland menentangnya. Kata Erland, Altamyra sudah cukup repot dan cukup membuatnya pusing dengan perubahan-perubahan yang dilakukannya.

Tetapi, harus diakui Erland bahwa Altamyra sangat peka terhadap sekitarnya. Erland mempunyai keinginan untuk memberi rakyatnya pelajaran, tetapi ia terlalu sibuk dengan perlawanannya.

Untuk itu ia menyuruh Cirra menjadi guru mereka. Erland tahu Cirra melakukan tugasnya dengan setengah-setengah tetapi ia terlalu pusing untuk menegur Cirra. Altamyra tidak mengetahui hal itu. Yang diketahuinya hanya mereka membutuhkan pendidikan dan ia segera melakukannya begitu dia bebas dari selnya.

Altamyra memang patut dikagumi. Walau tangan dan kakinya terikat rapat, ia masih memperhatikan sekelilingnya.

Mungkin Fred benar sikap itulah yang membuatnya menjadi pelayan kesayangan keluarga Apaleah. Dan, kini menjadi kesayangan rakyatnya yang mulanya membencinya.

Altamyra tersandung sesuatu.

Erland cepat-cepat menangkap tubuh gadis itu sebelum ia jatuh terjerembab. “Ceroboh!” tudingnya.

“A…aku… aku,” Altamyra belum pulih dari kagetnya, “Aku tidak tahu di sini ada akar pohon.”

“Engkau memang harus diawasi ketat setiap hari.”

“Aku sudah tidak apa-apa sekarang. Engkau bisa melepaskanku.”

“Kurasa engkau salah.” Erland memunguti barang-barang Altamyra yang terjatuh tetapi sebelah tangannya tetap memeluk pinggang Altamyra. “Kurasa aku harus di sampingmu terus kalau aku tidak ingin direpotkanmu.”

“Aku yakin aku bisa menentukan arah jalanku sendiri.”

“Ya, ke arah jalan yang rusak. Lebih baik engkau mengalah padaku. Aku lebih mengenal tempat ini daripada engkau.”

Altamyra tahu Erland benar. Ia tidak mencoba melawan perintahnya. Ia mengikuti pria itu.

Kedatangan mereka disambut hangat oleh mereka yang mencemaskan Altamyra. Mereka lega dan senang melihat Altamyra baik-baik saja.

Altamyra melihat Cirra berdiri di ambang pintu dengan kesal. Dari raut wajahnya terlihat jelas Erland telah memarahinya. Sekarang ia menjadi penuh dendam pada Altamyra.

Walaupun telah mengetahuinya, Altamyra tidak takut. Ia merasa tidak bersalah atas apa yang menimpa Cirra. Dia sendiri yang membuat dirinya mengalami semua ini.

Altamyra pergi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian ia sudah berada di antara orang-orang yang duduk menghadap api unggun.

Mereka saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Sementara yang satu bercerita, yang lain mendengarkan dengan penuh perhatian. Bergantian mereka menceritakan pengalaman mereka masing-masing.

Altamyra senang mendengarkan cerita mereka, tetapi ia selalu mengelak menceritakan masa lalunya.

“Aku tidak pandai bercerita.” Itulah yang selalu dikatakannya tiap kali tiba gilirannya.

Masa lalunya yang penuh penderitaan adalah satu di antara banyak hal yang ingin dilupakan Altamyra. Ia tidak mau membagi duka masa lalunya dengan siapa pun. Ia ingin menyimpannya sebagai kenangannya sendiri.

“Kali ini pun engkau tidak mau bercerita?” tanya Fred.

“Aku hanya dapat berharap kalian mengerti aku tidak ingin membagi masa laluku dengan siapa pun,” kata Altamyra lembut.

“Di sini kita semua adalah teman,” Fred meraih tangan Altamyra, “Tidak ada rahasia di antara kita.”

“Itulah yang membuat aku senang tinggal di sini.”

“Apakah menjadi pelayan keluarga Apaleah tidak menyenangkanmu? Engkau pelayan kesayangan mereka, bukan?”

“Andaikan aku adalah pelayan kesayangan mereka, seorang pelayan tetaplah pelayan. Ia harus tunduk pada perintah majikannya. Aku adalah burung yang bebas dan tidak mau terikat. Semua itu membuatku tersiksa bagai dikurung. Mereka mematahkan sayapku hingga aku tidak bisa terbang.”

Fred bergerak mendekati Altamyra. “Aku dapat membayangkan kesusahanmu.”

Altamyra tidak senang melihat Fred semakin mendekatinya.

“Mengapa tidak kauceritakan saja kesusahanmu itu?”

Baru kali ini Altamyra senang mendengar suara sinis itu. Suara itu membuat Fred melepaskan tangannya dan bergerak menjauh.

Altamyra tidak melihat kapan Erland tiba, tetapi sekarang Erland sudah ada di sisinya.

“Akan kucoba,” kata Altamyra, “Walau aku tidak pandai bercerita.”

“Itulah yang kita nantikan!” seru Fred.

“Kalian tahu bagaimana perasaan seekor burung dalam sangkar?” Altamyra memulai ceritanya.

“Biasanya ia dapat terbang ke mana pun ia mau dan kini ia hanya bisa terbang dalam sangkarnya yang sempit. Walaupun sangkarnya luas dan terbuat dari emas, ia tidak bahagia. Sebab ia telah terbiasa terbang ke manapun ia mau. Ia bebas mencari dan melakukan apa yang disukainya.”

“Tetapi, kini ia hanya dapat duduk dalam sangkar. Ia hanya dapat melihat alamnya yang hijau tanpa dapat terbang ke sana. Ia hanya dapat membayangkan hutannya yang hijau rimbun dan sejuk. Kerjanya hanya menanti tuannya memberinya apa yang tidak disukainya. Ia tidak mau melakukannya, tetapi demi bertahan hidup ia memaksa dirinya sendiri untuk melakukannya.”

“Sering kali ia berpura-pura sekarat dengan harapan tuannya akan melepaskannya tapi tuannya terlanjur sayang padanya. Setiap kali melihatnya kurang sehat, sang tuan segera mencarikan dokter terbaik untuk mengobatinya. Maka, ia pun mencoba melakukan yang yang terbaik bagi tuannya agar ia segera dilepaskan. Tapi,” Altamyra mendesah panjang.

“Ia salah lagi,” Altamyra sedih, “Tuannya menjadi semakin menyayanginya dan tidak mau melepaskannya. Sekarang ia telah bebas dan ia sangat bahagia. Karena itu kukatakan pada kalian, kebebasan itu sangat penting. Hanya dengan kebebasan kita bisa bahagia.”

“Hebat sekali!” Fred memberi Altamyra tepuk tangan. “Kalau engkau mengelak lagi dengan berkata tidak pandai bercerita, aku akan menertawakanmu. Engkau sangat pandai bercerita. Engkau mengumpamakan dirimu dengan burung dan membuat kami seperti melihat sendiri bagaimana kehidupan sang burung yang tidak bahagia.”

“Terima kasih.” Altamyra merasa tidak enak mendengar pujian itu.

“Sudah cukup,” kata Erland tiba-tiba, “Sekarang waktunya engkau tidur.”

Altamyra terkejut Erland tiba-tiba menariknya. Untung saja lukanya sudah lama sembuh, kalau tidak luka itu pasti sudah membuka lagi karena kekasaran Erland.

“Ada apa denganmu?” protes Altamyra.

“Sekarang waktunya engkau tidur,” jawab Erland dingin.

“Tapi aku tidak tidur di sini. Aku tidur di luar sana.”

“Mulai malam ini engkau tidur di kamarku.”

“Apa!?” pekik kaget Altamyra.

“Sudah kukatakan aku harus mengawasimu secara penuh,” kata Erland sesinis senyumannya.

“Tidak!” protes Altamyra, “Aku tidak mau!”

“Sayangku,” kata Erland berbahaya. Erland menatap Altamyra lekat-lekat. “Jangan mempersulit dirimu sendiri.”

“Aku tidak mau tidur di tempatmu!” Altamyra balas menatap tajam.

Erland tersenyum kejam lalu mengangkat Altamyra.

“Turunkan aku!” ronta Altamyra. “Turunkan!”

Altamyra terus meronta-ronta dan memukuli dada Erland tetapi pria itu tetap melangkah pasti menuju kamarnya.

“Aku membencimu,” desis Altamyra saat Erland meletakkannya di tempat tidur. “Sampai mati pun aku tidak akan memaafkanmu!”

Erland tiba-tiba memeluk Altamyra.

Altamyra meronta kuat-kuat tetapi Erland juga memperkuat pelukannya hingga Altamyra merasa dadanya sesak.

“Manusia kejam,” desis Altamyra, “Perbuatanmu sama buruknya dengan si Raja serigala itu. Engkau tidak pantas menggantikannya.”

Altamyra tidak mempedulikan apa-apa lagi termasuk air mata yang mengalir di pipinya. “Bagaimana engkau akan memperbaiki kehidupan rakyat kalau engkau sekejam dan sekasar ini?” desisnya penuh kebencian dan kesedihan.

Tidak diduga Altamyra, Erland mencium air mata yang menuruni pipinya.

“Akan kutunjukkan padamu kalau aku bisa bersikap lembut,” kata Erland lembut, “Tapi itu pasti sulit. Engkau, setan cilik, membuatku selalu ingin menyiksamu sampai mati.”

“Lebih baik aku mati daripada kausentuh,” desis Altamyra.

“Aku tidak akan membiarkannya terjadi,” kata Erland dengan nada menghibur.

Altamyra semakin membenci Erland. Kalau Erland tidak memeluknya kuat-kuat, ia pasti sudah meledak-ledak. Matanya menatap Erland dengan api kemarahan yang berkobar-kobar.

Erland mencium bibir Altamyra dengan lembut lalu membaringkannya dengan lembut pula. “Tidurlah,” katanya, “Aku akan tidur di lantai.”

Erland menyelimuti Altamyra lalu mengambil guling di sisi gadis itu.

Altamyra menarik selimutnya tinggi-tinggi saat tubuh Erland menyeberangi tubuhnya.

Erland tersenyum nakal dan berkata, “Engkau lebih cantik kalau diam seperti ini.” Erland mencium Altamyra sekilas sebelum berbaring di lantai.

Wajah Altamyra merah padam. Seumur hidup baru kali ini dipuji cantik oleh seorang pria.

Altamyra merasa dirinya tolol. Karena pujian pria yang dibencinya saja, ia sudah seperti salah tingkah. Jantungnya berdegup kencang melihat Erland berbaring di sisi kaki ranjang.

Altamyra senang melihat wajah tampan yang terpejam itu. Tetapi, ia membencinya saat wajah itu memandangnya dengan sinis.

Altamyra tahu Erland pria yang berani dan baik. Kalau saja kebenciannya tidak ada, ia pasti telah terpikat padanya. Tetapi, ia masih marah atas sikap Erland pada pengawal-pengawal itu.

Kemarahannya seperti anak kecil. Altamyra tahu hal itu tetapi ia tidak bisa berhenti membenci Erland.

Altamyra yakin Erland seperti dirinya. Ia juga tidak bisa berhenti membencinya. Kalau mereka sama-sama mau melupakan kemarahan mereka yang tidak berarti, mereka bisa rukun.

Bila ingin kehidupannya di tempat ini lebih baik untuk hari-hari selanjutnya, Altamyra harus mau berusaha melupakan kemarahannya yang tiada berujung.

No comments:

Post a Comment