Friday, March 2, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 2

Sinar menyilaukan yang tiba-tiba memasuki ruangan itu membuat Altamyra terjaga.

“Dasar putri bangsawan!” kata pria itu, “Kerjanya hanya tidur saja!”

Altamyra tidak menghiraukannya.

Hari ini adalah hari ketiga ia disekap dalam ruangan lembab ini dan artinya sudah dua hari ia tidak makan dan harus menahan rasa sakit di pergelangan tangannya.

Melihat pria itu, Altamyra dapat menduga ia dan kaum pria lainnya baru tiba dari perburuan. Pria itu masih menyandang kapak berburunya. Wajahnya tampak kotor dan lelah.

Pria itu mendekati Altamyra. “Pangeran ingin bertemu denganmu.”

Saat ini Altamyra mungkin saja kehabisan tenaga. Seluruh tenaganya digunakannya untuk menahan lapar dan sakit. Tetapi, kemarahannya belum surut. Kemarahan itulah yang membuatnya mampu menempis tangan pria itu kuat-kuat.

“Aku tidak sudi!” kata Altamyra tajam.

“Jangan memaksaku bertindak kasar padamu, Lady.”

Altamyra menatap tajam pria itu sebagai balasan atas ancamannya.

Pria itu geram dibuatnya.

“Minggir!” perintah seseorang, “Biar kutangani sendiri dia.”

Pria itu menepi. “Tidak perlu, Pangeran, saya dapat mengatasinya.”

Altamyra melotot mendengar pria itu memanggil Pangeran pada Erland. Dan, ia tertawa geli.

Pria itu heran tetapi Erland tidak.

“Sudah kuduga untuk mengatasinya, aku harus turun tangan sendiri,” kata Erland, “Tinggalkan kami berdua.”

“Baik, Pangeran.”

Sepeninggal pria itu, Erland berkata, “Sudah cukup hinaanmu itu?”

Altamyra membuang muka.

“Aku ingin berbicara denganmu.”

Altamyra tidak bergeming sedikitpun.

“Sebaiknya engkau menurutiku, engkau sudah merasakan bagaimana akibatnya.”

Sayangnya, Altamyra adalah gadis yang tak kenal takut.

Erland mendekati Altamyra. Ia memalingkan wajah gadis itu menghadapnya, tapi Altamyra menepisnya kuat-kuat.

“Engkau memang setan cilik,” geram Erland. Lalu Erland mengangkat Altamyra.

“Turunkan aku!” protes Altamyra, “Turunkan! Aku tidak sudi kau sentuh!”

Erland tidak mempedulikan teriakan Altamyra. Ia terus membawa Altamyra ke ruangan pribadinya di tingkat dua.

“Turunkan aku!” seru Altamyra tanpa henti. Tangannya yang terikat erat terus memukul dada Erland dan membuat darah segar kembali mengalir. Tetapi, Altamyra tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Erland menurunkannya.

Akhirnya Erland menurunkan Altamyra. Ia mendudukkan Altamyra di tepi pembaringan.

“Sekarang kita sudah jauh dari orang-orang. Di sini tidak akan ada yang mendengar kita, engkau dapat mengatakan apa yang membuatmu terus membangkang dan tidak mau bekerja sama.”

Altamyra tidak mau berbicara apa pun. Ia membuang muka.

“Kau tahu aku ingin berbicara denganmu.”

“Dan aku tidak sudi,” akhirnya Altamyra menyahut.

“Engkau harus,” kata Erland berbahaya, “Aku akan membuatmu mau bekerja sama denganku.”

“Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengecut sepertimu!” seru Altamyra, “Daripada berbicara denganmu, lebih baik engkau tidak memberiku makan sama sekali! Dua hari lagi tidak makan, tidak masalah bagiku. Sebaliknya, aku senang. Aku lebih cepat mati.”

Erland tiba-tiba mencengkeram kedua lengan Altamyra.

Altamyra mendorong tubuh Erland kuat-kuat. “Daripada berbicara denganmu, lebih baik aku mati!”

Mata Erland menangkap noda darah di tangan Altamyra. Ia menangkap tangan gadis itu dan terkejut melihat darah segar di pergelangannya.

“Terkejut?” ejek Altamyra, “Mengapa terkejut melihat hasil kekasaranmu?”

Erland diam saja. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan memotong simpul ikatan tangan Altamyra. Sorot matanya terlihat penuh penyesalan melihat tangan Altamyra yang terluka.

“Puas?”

“Kalau ini dapat membuatmu jera, aku puas,” jawab Erland, “Tapi kau, setan cilik, engkau tidak jera, bukan?”

Altamyra menjawabnya dengan senyum nakal.

“Tunggu di sini,” kata Erland, “Kuperingatkan engkau untuk tidak kabur.”

Altamyra tersenyum sinis ketika Erland meninggalkan kamar.

Bisa dipastikan pria itu sama sekali tidak tahu Cirra telah melanggar perintahya. Ia tampak terkejut ketika ia mengatakan dua hari lagi tidak diberi makan, ia tidak apa-apa.

Altamyra melihat jendela terbuka lebar dan di bawah sana yang tampak hanya beberapa anak kecil. Ia yakin mereka tidak akan tahu kalau saat ini ia kabur, tetapi ia tidak mau melakukannya. Pembalasan amarahnya belum selesai.

Tak lama kemudian Altamyra mendengar langkah-langkah kaki mendekat.

“Mengapa engkau mengikatnya erat-erat, Jemmy?” terdengar Erland bertanya.

“Kata Anda, wanita ini berbahaya dan harus dijaga ketat. Saya pikir dengan diikat erat, ia tidak akan kabur.”

“Ikatanmu membuat tangannya terluka,” Erland memberi tahu dengan sabar.

“Biar saja!” sahut seorang wanita.

Dari nadanya, Altamyra dapat mengenali suara itu.

“Aku senang tangannya terluka.”

“Lebih baik engkau diam, Cirra,” Erland memberi peringatan, “Engkau telah melanggar perintahku dan aku belum memperhitungkannya denganmu.”

“Siapa yang mengatakannya padamu?” bentak Cirra, “Wanita itu. Ya, pasti dia. Bagaimana engkau dapat mempercayainya?”

“Tanpa perlu bertanya, aku sudah tahu,” Erland berkata tajam, “Ia lebih kurus daripada sebelum aku meninggalkannya.”

“Mengapa engkau memperhatikannya? Apakah ia sangat penting bagimu?”

“Ya,” sahut Erland, “Ia sangat penting bagiku dan bagi rencana kita!”

Altamyra tersenyum simpul dugaannya tepat. Semuanya, tidak ada yang salah.

Cirra telah merasakan dampak tindakannya, seperti yang telah diduganya. Erland dan kelompoknya akan memanfaatkannya untuk menekan Raja Wolve.

Erland masuk dengan membawa kain pembalut dan obat serta baskom berisi air. Ia meletakkan semua itu di sebelah kaki Altamyra dan mengambil tangan Altamyra.

Tiba-tiba Erland teringat sesuatu. Ia meletakkan tangan Altamyra dengan hati-hati dan menyingkap ujung gaun gadis itu.

Memar di kaki Altamyra membuatnya mendesah panjang. “Maafkan aku. Aku sama sekali tidak mengetahui hal ini.”

Altamyra terlalu jengkel untuk menanggapi. Ia membiarkan Erland merawat luka-lukanya. Altamyra merasa tidak patut berterima kasih karena Erland harus menebus kekasaran-kekasarannya terhadap dirinya.

“Kupikir lebih baik kita bicara dengan perut terisi,” kata Erland seusai membalut semua luka Altamyra.

Gadis itu diam saja. Bahkan, ia sama sekali tidak bergerak ketika Erland kembali dengan dua wanita yang masing-masing membawa makan siang untuk mereka.

Erland menunjuk meja tempat mereka harus meletakkan makan siang itu.

Setelah melakukan tugasnya, kedua wanita itu pergi.

“Kuharap engkau tidak berkeberatan untuk makan siang bersamaku.”

Altamyra tidak bergeming.

Erland heran. “Sebenarnya, apa yang membuatmu keras kepala seperti ini? Apakah engkau sama sekali tidak lapar? Atau engkau tidak mau makan siang bersamaku?”

Suasana hening hingga Erland berkata, “Baiklah, aku minta maaf atas semua tindakanku padamu selama ini. Engkau puas?”

Altamyra tetap mematung.

“Baiklah, engkau tidak mau makan bersamaku.” Erland mendekat Altamyra. Ia mengambil sebuah kursi dan duduk di depan Altamyra.

“Aku langsung saja berbicara mengapa aku menculikmu,” kata Erland. “Semua orang di kerajaan ini tahu setelah Raja Wolve meninggal, engkau akan menjadi penggantinya. Putra Mahkota sudah lama meninggal dan satu-satunya orang yang berkerabat dekat dengan Raja adalah engkau.”

“Sebagai calon pengganti Raja, kedudukanmu sangat penting dan Raja pasti memperhatikan keselamatanmu. Itulah yang ingin kumanfaatkan darimu. Raja Wolve sangat kejam, engkau telah melihat sendiri bagaimana sulitnya hidup rakyat karena ketamakan dan kekejamannya.”

“Hidup orang-orang di tempat ini masih lebih baik daripada orang-orang miskin lainnya. Di sini mereka masih dapat makan dengan teratur tetapi tidak dengan yang lain. Kamu semua menderita karena pajak yang banyak dan terlalu tinggi.”

“Bertahun-tahun aku telah menanti kesempatan seperti ini dan aku takkan melepaskannya begitu saja. Aku ingin kerjasamamu untuk menekan Raja Wolve. Kalau aku berhasil, Raja Wolve akan digulingkan dan aku akan membentuk pemerintahan yang lebih baik daripada yang sekarang.”

“Aku ingin kesejahteraan rakyat ditingkatkan, pajak-pajak diturunkan dan dihapus…”

Gagasan-gagasan Erland dipotong oleh tawa Altamyra. “Ide-idemu bagus. Sayangnya, aku bukan dia.”

“Apa yang kau katakan?” tanya Erland tidak percaya.

“Aku bukan Tuan Puteri Prischa,” ulang Altamyra tegas.

“Tidak mungkin!”

“Engkau memang pandai tetapi masih terlalu mudah untuk ditipu. Aku hanya pion pengganti. Aku dimanfaatkan untuk memancing engkau agar menangkapku.”

“Kau pikir aku bisa kautipu?”

“Sayangnya,” Altamyra menyesal, “Engkau telah tertipu.”

Raut ramah Erland perlahan-lahan berubah menjadi geram.

“Kalau engkau pikir aku bisa kautipu dengan kata-kata itu, engkau salah.”

“Kalau engkau tidak mempercayaiku, engkau bisa memeriksanya sendiri di kediaman mereka. Dan, engkau akan menemukan saat ini sang Putri bahagia dalam pelukan orang tuanya.”

“Baik, kita akan melihatnya,” kata Erland setelah terdiam cukup lama.

Erland menuju pintu dan berseru memanggil seseorang. “Bawa dia kembali ke selnya dan panggil Giorgio kemari.”

“Tunggu dulu,” sahut Altamyra. Gadis itu merenggut pena dan kertas di meja kerja Erland lalu berjalan ke pintu.

Menyadari Erland menatapnya, Altamyra berkata tenang, “Engkau dapat mengawasiku kalau engkau curiga.”

“Pergi saja,” kata Erland acuh.

Altamyra merasa senang. Erland tampak marah sekali tetapi itu tidak lebih menyenangkan dibandingkan pekerjaan yang akan dilakukannya. Sekarang ia tidak akan merasa bosan berada di dalam selnya yang pengap dan lembab itu.

Dua hari berada di sel itu cukup membuat Altamyra tahu bagaimana kehidupan orang-orang di sekitarnya.

Dari pengamatannya, Altamyra tahu di siang hari saat semua pekerjaan telah usai, para wanita biasanya berkumpul sambil memintal benang. Mereka masih memintal dengan tangan sedangkan Altamyra tahu alat untuk memintal.

Penduduk tempat ia berasal adalah pemintal benang. Mereka memintal dengan alat sederhana yang terbuat dari kayu.

Altamyra ingin sekali membantu mereka yang hidupnya lebih sulit dan menderita daripada dia sendiri. Ia ingin membagi kepandaiannya dengan orang-orang itu agar mereka dapat hidup lebih baik.

Dari pengamatannya pula Altamyra tahu anak-anak tidak memperoleh ilmu. Hanya sesekali saja mereka memperoleh pengajaran.

Walau hidup mereka sulit, ibunya tetap berupaya agar ia memperoleh ilmu sebagai bekal kehidupannya kelak. Pastor di desa mereka sangat baik. Ia menampung semua anak yang tidak mampu dan memberinya pendidikan secara cuma-cuma. Sekarang Altamyra ingin meniru Pastor itu.

Anak-anak itulah yang kelak akan menggantikan mereka yang kini sudah tua. Apa jadinya kerajaan ini kalau anak-anaknya bodoh dan tidak tumbuh dengan baik?

Semenjak Erland mengobati luka Altamyra, ia tidak pernah menemui gadis itu lagi. Altamyra senang karenanya. Dengan demikian, ia bisa dengan tenang memusatkan perhatiannya pada kesibukannya.

Tidak ada orang yang menganggapnya sejak hari itu. Hanya beberapa wanita yang memasuki selnya. Itu pun untuk mengantar makanan ataupun mengganti perban luka-lukanya.

Walaupun sekarang ia mendapat jatah makan secara tetap, Altamyra sering lalai makan karena sibuknya.

Bila ia memusatkan perhatiannya pada satu hal, ia cenderung melupakan yang lain termasuk mengisi perutnya sendiri.

Tidak ada yang mempedulikan Altamyra. Ia tahu semua orang di sini menganggapnya musuh.

Altamyra tidak pernah menghitung berapa lama ia berada di sana, ia hanya merasakan ia sudah lama berada di tempat ini.

Suatu hari ketika Altamyra menghitung-hitung berapa lama ia berada dalam sel yang gelap dan lembab ini sambil mengepang rambut panjangnya, seseorang membuka pintu.

Altamyra terkejut melihat yang datang kali ini pria, bukan wanita.

“Engkau punya kesibukan baru rupanya.”

Altamyra tidak mempedulikan suara sinis yang lama tak didengarnya itu. Ia terus mengepang rambutnya.

“Aku punya kabar baik untukmu.”

Sudah dapat ditebaknya Erland datang untuk memberitahu ia benar. Prischa saat ini bersama keluarganya. Dan itu membuat Altamyra tersenyum sinis penuh kepuasan.

“Mulai hari ini engkau kubebaskan,” lanjut Erland. “Hanya dari sel ini, tidak dari tempat ini,” katanya menekankan.

Erland meletakkan sesuatu di dekat Altamyra dan berkata, “Sebaiknya engkau menanggalkan gaunmu dan memakai gaun ini. Di sini engkau tidak pantas mengenakan gaun mewah.”

“Memang tidak,” sahut Altamyra senang.

Erland mengamati beberapa lembar hasil kerja Altamyra.

“Nanti akan kujelaskan,” kata Altamyra, “Sekarang bisakah engkau meninggalkanku? Aku ingin melepas gaun yang rasanya setahun menempel padaku ini.”

“Seminggu lebih,” Erland membenarkan.

“Terserah,” kata Altamyra, “Dan, bisakah aku meminjam gunting, jarum, dan benang?”

“Untuk apa!?” tanya Erland curiga.

“Penjelasan nanti,” sahut Altamyra.

“Baiklah.” Erland pergi mencarikan barang-barang yang diinginkan Altamyra.

Ketika ia kembali, Altamyra telah berganti baju. Gadis itu juga telah merapikan tumpukan kertasnya yang tadi berserakan dan kini sedang menggeluti gaun mewahnya.

“Terima kasih,” kata Altamyra manis ketika Erland meletakkan barang-barang itu di sampingnya.

“Sekarang jelaskan padaku apa yang kau lakukan.”

“Aku tidak bisa memerintah sepertimu, tetapi aku bisa membantu rakyatmu. Aku akan membuatkan mereka alat pintal sehingga produksi benang mereka lebih baik dan bermutu. Yang nantinya akan meningkatkan harga jualnya.”

“Bagaimana caranya?” tanya Erland tak percaya.

Altamyra tersenyum misterius. “Desaku adalah desa pemintal benang. Aku tak mungkin tidak tahu seperti apa alat pemintal yang digunakan orang-orang di desaku.”

Altamyra menyerahkan kertas paling atas pada Erland. “Aku telah menggambarnya di sini lengkap dengan ukurannya.”

Erland mempelajari gambar itu. Sementara itu Altamyra mulai menggunting gaun sutranya yang mahal.

“Apa yang kaulakukan!?” Erland terkejut melihat tindakan Altamyra.

“Selain kayu, kita membutuhkan tali yang baik. Sutra ini bisa menjadi tali yang cukup baik. Ini bukan sutra terhalus tetapi sutra terbaik.”

Erland mengamati gambar Altamyra lagi lalu berkata, “Aku akan membantumu. Aku membuat kerangkanya dan engkau membuat talinya.”

Altamyra tersenyum.

“Sebaiknya kita membuatnya di luar. Udara lembab ini tidak baik untuk kesehatan.”

Erland membawakan gaun dan gambar Altamyra. Lalu Altamyra mengikuti Erland meninggalkan bangunan itu.

Setelah berada di luar, Altamyra baru menyadari bangunan itu hanya rumah batu berukuran sedang dengan dua tingkat. Tingkat bawah untuk umum dan tingkat atas khusus untuk Erland.

Altamyra memilih sebuah pohon yang cukup rindang lalu duduk di bawahnya.

Erland meletakkan gaun gadis itu di samping Altamya lalu meninggalkannya sendirian.

Altamyra memulai kesibukannya melepas satu per satu jahitan gaunnya yang halus. Kemudian ia memotongnya kecil-kecil dan menjahitnya menjadi tali kecil rangkap dua yang panjang.

Sementara itu Erland membentuk kerangka alat itu sesuai dengan gambaran Altamyra.

“Tolong kaujelaskan maksudmu dengan tanda ini,” tanya Erland.

“Engkau harus membuat sesuatu seperti poros yang bisa berputar…”

“Erland!”

Percakapan mereka terhenti karenanya.

“Apa yang kalian lakukan? Apa kalian tidak sadar perbuatan aneh kalian itu menarik perhatian kami?”

“Dia punya cara untuk meningkatkan hasil dan mutu benang pintal kita.”

“Benarkah?”

“Lihat saja gambar alat pintal yang dibuatnya ini.”

“Alat pintal?” ulang Fred, “Aku pernah mendengarnya tetapi aku tidak pernah tahu seperti apa rupanya. Dari mana engkau mengetahuinya?”

“Aku berasal dari desa para pemintal benang,” jawab Altamyra dengan tersenyum.

“Pantas saja engkau tahu,” sahut Fred, “Aku akan membantumu Erland.”

“Aku memang membutuhkan setiap bantuan,” timpal Erland.

“Ayo kita bantu mereka!” seru Fred.

Beberapa orang mulai mendekat membantu Erland. Sementara itu Altamyra masih sibuk sendiri. Semua orang masih menganggapnya musuh.

Beberapa saat kemudian seorang wanita mendekati Altamyra. “Adakah yang dapat saya bantu?” tanyanya ragu-ragu.

“Terima kasih, Nyonya. Anda dapat membantu saya membuat tali seperti ini dari kain ini.”

Setelah itu wanita yang lain mulai mendekat dan membantu Altamyra. Altamyra senang melihatnya.

Dengan sabar, ia menjelaskan apa yang sedang dibuatnya. Dan untuk apa alat pintal itu.

“Sayang sekali gaun seindah ini dipotong-potong,” celetuk seorang wanita.

Altamyra tersenyum lembut. “Lebih baik kehilangan satu gaun mahal daripada kehilangan satu-satunya kesempatan untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Kalau hidup kita lebih makmur, segalanya dapat kita beli.”

“Di negara ini semuanya mustahil. Raja sangat tamak. Ia takkan membiarkan rakyatnya kaya.”

“Benar,” timpal yang lain, “Ia akan segera merampas harta orang yang kaya untuk menambah hartanya.”

“Percayalah kepadaku segalanya pasti berubah cepat atau lambat.”

“Kalau Raja mati dan Pangeran naik tahta,” tebak Altamyra.

“Benar!” sahut semuanya.

Altamyra termenung. Tangannya terus bergerak menyelesaikan pekerjaannya.

Pekerjaan yang sulit itu akhirnya selesai menjelang petang. Sebagai sentuhan terakhir, Altamyra memasang tali dengan sabar.

“Mari kita coba sehebat apa daya ingatku,” kata Altamyra sebelum mencoba alat itu.

“Tidak buruk,” gumam Altamyra melihat hasil alat yang dibuat berdasarkan gambarnya itu.

Sebelum meninggalkan tempat yang dikerumuni orang-orang itu, Altamyra memberi petunjuk bagaimana menggunakannya.

Altamyra bahagia bisa membuat alat yang dapat menolong orang-orang itu. Dengan hati riang, ia kembali ke selnya.

“Hei! Berhenti!”

Altamyra terus berjalan.

“Kubilang berhenti!”

Altamyra melihat sekelilingnya lalu bertanya, “Akukah yang kau panggil?”

“Benar,” jawab Erland, “Siapa lagi yang berada di sini selain kita, setan cilik?”

“Aku ingin berterima kasih atas…”

“Tidak perlu,” potong Altamyra, “Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan sebagai manusia yang masih mempunyai hati.”

“Apakah engkau bermaksud menyinggungku?”

Altamyra berjalan lagi. Ia tidak sedang dalam suasana hati untuk bersitegang dengan pria itu. Ia tidak ingin membiarkan pria ini merusak suasana hatinya yang sedang berbahagia itu.

Erland heran melihat Altamyra kembali ke selnya. “Mengapa engkau kembali ke sini? Bukankah aku telah membebaskanmu?”

“Ini adalah ruanganku,” jawab Altamyra tenang, “Aku tidak tahu di mana engkau akan menempatkanku malam ini. Sampai saat itu, aku hanya tahu di mana aku bisa melewatkan malam ini.”

Erland diam memperhatikan Altamyra duduk di lantai dan mulai menulis lagi.

“Sampai saat ini aku belum tahu namamu.”

Altamyra tidak menanggapi.

“Mengapa engkau tidak memberikan namamu agar aku tidak perlu menyebutmu dia atau gadis itu?”

Altamyra masih tidak menanggapi.

Erland mencekal tangan Altamyra. “Kau mendengarkanku?” tanyanya tajam.

“Lepaskan aku,” balas Altamyra, “Engkau menyakitiku.”

Erland tahu ia memegang luka di tangan Altamyra tetapi ia tak melepaskannya. “Jadi, siapa namamu?” ulangnya.

Altamyra menatap tajam. “Aku tidak sudi engkau menyebut namaku.”

“Engkau mengajakku bermain kasar?”

“Apakah engkau bisa bersikap lembut?”

“Setan cilik,” geram Erland, “Apakah engkau selalu menyebalkan seperti ini?”

“Tidak,” jawab Altamyra lantang, “Aku membencimu dan aku tidak akan pernah memaafkanmu!”

“Apa kesalahanku padamu, setan cilik? Apakah belum cukup permintaan maafku!?”

Altamyra membuang muka dengan angkuh.

“Setan cilik, engkau membuatku marah. Aku peringatkah engkau untuk tidak membuatku marah.”

“Kaupikir aku takut padamu?” Altamyra mendekatkan wajahnya sambil menatap tajam.

Erland tersenyum. Senyumannya mengandung sejuta bahaya yang terpancar di matanya. “Tidak,” katanya setuju, “Setan cilik sepertimu tidak pernah kenal takut.”

“Bagus,” kata Altamyra puas, “Engkau sudah mengerti benar hal itu.”

“Aku juga tahu engkau tidak sudi kupanggil dengan namamu. Lebih-lebih engkau tidak sudi kusentuh.”

Altamyra tersenyum puas.

“Jangan salahku aku kalau aku memanggilmu setan cilik.”

“Setan cilik,” gumam Altamyra. “Setan cilik pasti orang tuanya setan besar.” Altamyra tersenyum manis dan berkata, “Aku suka itu.”

“Kau!” geram Erland.

Erland mendorong Altamyra dengan kasar hingga gadis itu terbaring di lantai. “Mulutmu yang tajam itu sesekali perlu diberi pelajaran.”

Jantung Altamyra berdegup kencang. Erland berbicara sangat dekat dengan mulutnya hingga Altamyra dapat merasakan setiap gerakan bibir Erland.

Altamyra mengkhawatirkan tindakan Erland selanjutnya tetapi ia tidak mau membuat Erland senang dengan menampakkannya.

Erland tersenyum kejam melihat sorot mata Altamyra yang tajam. “Engkau membuatku kagum, setan cilik.” Lalu ia mencium Altamyra dengan kasar.

Mula-mula yang dilakukan Altamyra adalah terkejut. Namun, ia segera sadar dan mulai meronta-ronta. Walaupun tahu tubuhnya yang kecil tidak akan menang melawan tubuh tegap Erland yang menindihnya, Altamyra tidak mau berhenti. Ia terus meronta-ronta sekuat tenaganya.

Altamyra tidak sudi dicium Erland. Ia marah pada pria itu dan ia lebih marah lagi karena pria yang paling dibencinya itu menjadi pria pertama yang menciumnya.

Akhirnya Erland menghentikan ciumannya. Ia tersenyum puas melihat Altamyra.

“Aku membencimu,” desis Altamyra, “Sampai mati pun aku tidak akan memaafkanmu.”

Erland hanya tertawa mendengarnya.

Altamyra menjadi murka. “Engkau tidak pantas memimpin pemberontakan terhadap Raja. Engkau tidak lebih baik darinya!” teriaknya lantang.

“Berteriaklah sampai engkau puas. Takkan ada yang mendengarmu.” Erland meninggalkan tawanya yang kejam di ruang sempit itu.

Altamyra membenci kekejaman Erland itu.

“Medice, cura te ipsum!” seru Altamyra “Lupus est homo homini!”

1 comment: