Wednesday, February 28, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 1

Matahari bersinar terik. Sinarnya yang angkuh membuat udara sekitar menjadi panas tak tertahankan.

Altamyra telah terlindung dari panas yang menyengat itu, tapi sekujur tubuhnya tetap basah dan lengket oleh keringat.

Dari jendela kereta, ia dapat melihat prajurit-prajurit yang mengawalnya. Altamyra heran. Dengan baju besi yang tebal, mereka sama sekali tidak kepanasan. Di dalam ia merasa seperti berada di tungku pemanas apalagi di luar.

Udara panas membuatnya jengkel. Semua orang di sekitarnya pasti mau mengipasi dirinya agar ia merasa sejuk, tapi tetap saja percuma. Ia telah mengipasi dirinya dengan kipas bulunya, tapi yang terkipas adalah udara panas.

Belum lagi bajunya yang tebal. Baju seindah ini selalu diimpikannya tapi tidak untuk saat ini.

Altamyra bersumpah bila ada yang memaksanya mengenakan baju bangsawan yang tebal di musim panas, ia akan menolak mentah-mentah. Ia merasa heran mengapa gadis-gadis bangsawan mampu mengenakan baju setebal ini di hari yang panas.

Beginilah kalau gadis miskin tiba-tiba mengenakan gaun indah yang berlapis-lapis. Ia terbiasa mengenakan selapis gaun katun yang kasar. Di udara sepanas apa pun, ia merasa nyaman dengan gaunnya. Sekarang ia benar-benar merasa tidak nyaman.

Kalau saat ini ia melihat danau atau sungai, ia pasti akan meloncat masuk tanpa berpikir panjang. Ia benar-benar tersiksa dengan panas yang menyengat ini.

Altamyra merasa tertipu. Mereka berhasil membujuknya dan kini ia menderita karenanya.

Pinta mereka, “Kami mohon demi menyelamatkan…”

Altamyra mendengus kesal teringat kata ‘menyelamatkan’ itu. Siapa pun yang akan diselamatkannya, ia tidak peduli lagi. Saat ini untuk menyelamatkan diri sendiri dari panas saja, ia tak mampu. Apalagi yang lain!?

Demi kata itu pula ia rela meninggalkan tempatnya yang hijau permai dan subur ke daerah yang panas seperti padang pasir ini. Di tempatnya, angin meniupkan daun-daun tetapi di sini debu saja yang terlihat.

Altamyra merasa sedikit beruntung mereka menggelung rambut pirangnya tinggi-tinggi. Kalau tidak, ia yakin sekarang ia sudah menjadi manusia setengah matang di tungku matahari ini.

Kereta tiba-tiba berhenti.

Altamyra baru saja menduga para prajurit menemukan tempat yang sejuk untuk berteduh, ketika suara gaduh itu terdengar di luar.

Suara pedang yang beradu itu membuat Altamyra cemas. Ia ingin meninggalkan kereta tapi pelayan di sampingnya mencegah.

“Jangan lakukan itu! Di luar terlalu bahaya.”

Melalui jendela pintu kereta, Altamyra melihat pengawal-pengawalnya jatuh satu per satu. Mereka semua bersimbah darah.

Tiba-tiba seseorang muncul di jendela dan mengejutkan mereka. Mulut orang itu berdarah dan ia membelalak pada mereka. Perlahan-lahan orang itu jatuh ke bawah.

Pemandangan itu membuatnya tidak tahan lagi. Tanpa menghiraukan larangan, ia membuka pintu kereta lebar-lebar dan melompat keluar.

Apa yang dilihatnya ternyata lebih mengerikan dari perkiraannya. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Darah merah yang segar membanjiri tanah.

“Masuklah kembali,” pelayan itu menariknya, “Di sini terlalu bahaya untuk…”

Mereka dikejutkan seseorang yang rubuh di dekat mereka.

Prajurit itu menarik ujung gaun Altamyra dan seperti hendak mengucapkan sesuatu. Belum sempat ia mengatakannya, sebuah pedang telah menancap di punggungnya.

Ditatapnya dengan marah orang itu. “Beraninya engkau melakukan itu,” geram Altamyra, “Dasar tidak punya belas kasihan!”

Pria itu tersenyum sinis.

Kemarahannya semakin memuncak. “Apakah menurutmu nyawa manusia itu sedemikian murahnya!? Apakah bagimu nyawa itu tidak ada harganya!? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya!?”

Pria itu terkejut melihat air mata gadis itu.

“Apakah engkau tidak dapat berpikir!? Bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkannya? Apakah kau tidak dapat berpikir betapa sedihnya mereka kalau ia pulang hanya nama!?”

Dari atas kudanya, pria itu membungkuk. Tangannya terulur ke wajah Altamyra tapi ia menepisnya dengan penuh kemarahan. Pria itu tertawa sinis.

Sang pelayan memegang lengan Altamyra dengan ketakutan. “Sebaiknya kita tidak membuatnya marah,” bisiknya.

“Siapa yang mengatakan aku tidak punya belas kasihan?” pria itu berkata tajam, “Kalian beruntung, aku tidak pernah membunuh anak-anak dan wanita.”

“Bagus kalau engkau menyadarinya!” balas Altamyra sinis.

Pria itu tersenyum simpul.

Altamyra terkejut tiba-tiba tubuhnya diangkat.

“Lepaskan aku!” serunya marah, “Aku tidak sudi kausentuh!”

Ia hanya tersenyum sinis menghadapi rontaan Altamyra. “Sekarang engkau tawananku.”

“Aku tak sudi menjadi tawanan pembunuh sepertimu!”

“Kembalilah pada keluarga majikanmu dan katakan putri mereka kini menjadi tawananku,” kata pria itu sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Altamyra.

“Mundur!” perintah pria itu lalu ia membawa kudanya berlari ke dalam hutan.

Pelayan itu terpaku di tempatnya. Semua terjadi sangat cepat. Ia masih sukar mempercayai apa yang baru saja dialaminya.

Gadis itu tiba-tiba diangkat ke kuda pria itu dan dibawa pergi sebagai tahanan. Dari kejauhan terlihat ia terus meronta-ronta.

“Lepaskan aku!” bentaknya.

Pria itu tak bergeming. Ia terus memacu kudanya secepat mungkin menjauhi tempat perkelahian tadi.

“Lepaskan aku!”

“Sebaiknya engkau diam atau aku akan meninggalkanmu di sini.”

Altamyra tidak takut pada ancaman itu. Dengan lantang ia berkata, “Lebih baik ditinggal di sini daripada duduk di dekat pembunuh sepertimu!”

Pria itu tersenyum sinis dan semakin mempererat pelukannya.

Altamyra marah besar. Ia membenci tubuhnya yang kurus kecil. Kalau ia gemuk, pria itu takkan dengan mudah mengangkatnya ke kudanya. Kuda itu juga pasti kelelahan berlari sambil membawanya.

“Dasar pengecut!” gerutunya, “Beraninya hanya bersikap kasar pada wanita! Dasar tidak sopan!”

Melihat pria itu diam saja, ia semakin gencar melontarkan kejengkelannya. “Pembunuh! Sadis! Tidak tahu aturan! Kasar! Pengecut! Tidak punya hati! Penakut! Licik! Kejam!”

Kediaman pria itu membuat Altamyra semakin bersuka ria dengan kejengkelannya. Ia semakin lantang menyemburkan ejekan-ejekannya.

“Manusia berdarah dingin, amoral, asusila, penipu, penakut, lemah, lamban.”

Orang-orang yang mengikuti mereka terheran-heran mendengar serentetan kata yang terus meluncur dari mulut mungil itu.

Perhatian mereka membuat Altamyra semakin senang dan bersemangat untuk meneruskan.

Segala macam kata yang terlintas di benaknya, disebutkannya begitu saja. Ia tidak peduli apakah ia sudah mengatakannya. Ia juga tidak peduli pada orang-orang yang semakin tertarik mendengarnya. Bahkan, ia tidak lagi mempedulikan pria di dekatnya yang diejeknya tanpa henti.

“Cukup!” akhirnya kesabaran pria itu habis.

Kata-kata yang penuh kemarahan itu tidak membuat si gadis diam. Ia terus mengoceh tanpa henti.

“Apakah ejekan-ejekanmu itu belum cukup?”

“Belum!” sahutnya lantang. “Engkau memang manusia kejam yang berdarah dingin dan pengecut! Engkau pembunuh paling kejam dari yang terkejam! Engkau lebih kejam daripada si serigala itu!”

“Cukup!” bentaknya tak mau kalah. “Kalau engkau tidak mau diam, aku akan menunjukkan padamu bagaimana kejamnya aku.”

“Lakukan saja dan aku akan menganggap engkau tidak pantas menjadi pahlawan rakyat!” tantang Altamyra.

“Bungkam saja dia, Erland.”

“Jangan khawatir, Fred, aku bisa menanganinya.”

“Lakukan kalau engkau bisa! Engkau takkan bisa membungkamku.”

“Engkau menantangku?”

Mata biru Altamyra bersirat tajam. Sinar matanya menampakkan kemarahannya yang meluap-luap. Wajah cantiknya menantang penuh keberanian.

Erland tersenyum kejam. Matanya seperti menyimpan rahasia yang sangat kejam.

“Kaupikir aku takut dengan tatapanmu itu?” ejek Altamyra, “Tatapan milik pengecut sepertimu tidak patut ditakuti! Engkau hanya berani menculik wanita lemah dan membunuh orang yang tak berdaya! Engkau tidak pantas menjadi pejuang rakyat!”

“Engkau yang membuatku melakukannya, jangan salahkan aku,” desis Erland kejam.

Altamyra terkejut. Ia sama sekali tidak menduga pria itu berani meninju perutnya. Altamyra menatap Erland dengan penuh kemarahan dan mendesiskan kata “Pengecut!” dengan geram sebelum akhirnya ia jatuh pingsan.

“Akhirnya dia diam juga,” kata Fred, “Kukira aku harus mendengar ocehannya sepanjang jalan. Tak kukira ada yang lebih cerewet dari Cirra. Tapi aku lebih tak menduga engkau akan membungkamnya dengan cara itu.”

“Gadis seperti dia sekali-kali harus diberi pelajaran agar tidak angkuh seperti itu.”

Fred menatap Altamyra yang kini tergolek lemas di pelukan Erland. “Kalau ia diam seperti ini, ia kelihatan manis,” kata Fred sambil tersenyum.

“Mulutnya lebih tajam dari pisau manapun,” bantah Erland.

“Kalau orang melihatnya saat ia seperti ini, ia takkan menduga kalau gadis ini punya ratusan, ribuan bahkan mungkin jutaan kata yang lebih tajam dari pisau.”

Erland tiba-tiba tertawa. “Ia setan cilik,” katanya.


-----0-----



Altamyra terbangun oleh rasa sakit di perutnya. Samar-samar ia ingat seorang pria bertubuh besar memeluknya. Pria itu pula yang menawannya dan meninjunya.

Kemarahannya bangkit lagi ketika teringat kekasaran dan kekejaman pria yang bernama Erland itu.

Sekarang tidak hanya perutnya yang sakit. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit.

Dalam kegelapan yang pekat ini, Altamyra sulit mengenali posisinya. Tetapi, Altamyra dapat merasakan dinding dan lantai batu yang menjadi sandaran tubuhnya.

Altamyra merasakan perih di pergelangan tangan dan kakinya. Tanpa perlu melihatnya, Altamyra yakin ia diikat kuat-kuat.

Altamyra tersenyum sinis. “Rupanya ia takut aku kabur,” katanya pada dirinya sendiri dengan penuh kepuasan.

Dengan tangan dan kaki terikat kuat-kuat, Altamyra mencoba duduk. Walau tangannya terasa perih setiap ia menggerakkannya, Altamyra tak mau menyerah.

Setelah berhasil mendudukkan dirinya, Altamyra menempelkan telinga di dinding dan mencoba mengenali suasana di luar.

Altamyra jengkel. Ia sama sekali tidak dapat mendengar apa-apa. Rupanya dinding batu itu sangat tebal.

Altamyra menarik kedua kakinya merapat ke badannya dan mendesah panjang.

Entah mengapa ia mau melakukan semua ini. Sekarang ia sendiri yang merasakan akibatnya. Walaupun ini untuk menyelamatkan orang lain, ia takkan mendapat hadiah atas pengorbanannya ini.

Pintu tiba-tiba terbuka lebar.

Altamyra silau melihat cahaya obor di pintu itu. Samar-samar ia melihat seorang pria berdiri di ambang pintu.

“Engkau sudah sadar rupanya,” pria itu mendekatinya, “Baguslah kalau begitu. Sekarang ikut aku, Pangeran ingin berbicara denganmu.”

Altamyra menepis dengan kasar tangan pria itu. “Katakan padanya aku tidak sudi menemuinya.”

“Engkau memang sekasar yang mereka katakan,” gerutu pria itu, “Aku ingin tahu bagaimana engkau menghadapi kemarahanku.”

“Silakan,” kata Altamyra sinis, “Aku juga ingin tahu pria selemah engkau bisa marah seperti apa.”

Hinaan Altamyra tepat mengenai sasaran. Pria itu naik pitam dan berkata lantang, “Aku ingin tahu apakah engkau masih keras kepala kalau aku tidak memberimu makan malam.”

“Silakan,” balas Altamyra dengan senyum manis, “Seminggu tidak makan pun tidak masalah bagiku. Sebaliknya, aku semakin senang karena ajal makin cepat mendatangiku. Itu artinya aku tidak perlu berlama-lama berada di dekat orang-orang pengecut seperti kalian.”

Altamyra mendengar geraman pria itu sebelum ia membanting pintu keras-keras.
Gadis itu tersenyum puas akan hasil tindakannya. Di saat ia marah seperti ini, tidak ada lagi yang dapat membuatnya gentar.

Pria itu salah kalau menduga ia akan memohon-mohon bila tidak diberi makan. Mereka semua salah kalau menduga ia akan menderita karena lapar.

Ia bukan orang kaya yang selalu makan kenyang tiga kali sehari. Setiap hari dalam kehidupannya, ia tidak pernah makan kenyang. Bahkan, tidak jarang ia tidak makan selama berhari-hari.

Makanan termurah pun bagi keluarganya adalah sangat mahal. Untuk dapat memperoleh semangkuk makanan, mereka harus berusaha mati-matian. Bahkan, sering mereka terpaksa meminjam uang pada tetangga.

Mereka salah kalau mengira ia tidak tahan dengan siksaan seperti ini. Baginya siksaan seperti ini tidak ada sepersepuluh penderitaan yang telah dialaminya.

Kehidupannya jauh lebih menderita daripada duduk terikat seperti ini. Satu hari baginya bisa terasa seperti satu musim kemarau panjang.

Walau ia tidak bebas setidaknya ia tidak perlu mengkhawatirkan atap rumah yang seperti akan terbang bila tertiup angin, dinding kayu yang siap roboh sewaktu-waktu, ataupun atap rumah yang selalu bocor dalam hujan deras.

Keadaan Altamyra saat ini jauh lebih baik daripada dulu. Dulu ia tidak punya bantal yang empuk untuk tidur mau pun kasur yang nyaman. Kini pun ia tidak punya tetapi baju tebalnya masih dapat digunakannya sebagai alas tidur sekaligus bantal.

Duduk di atas lantai batu dengan gaun tebal ini, Altamyra merasa seperti duduk di kursi yang agak empuk.

Altamyra menutup matanya dan tersenyum puas. Ia ingin tahu sampai sejauh mana mereka menelantarkannya.

Mereka tahu perannya sangat penting untuk menekan kekuasaan Raja Wolve yang kejam. Tetapi mereka tidak tahu ia bukan sang putri bangsawan yang mereka incar itu. Ia hanya berperan sebagai dia.

Saat ini sang putri sedang bersenang-senang di pelukan keluarganya. Putri yang dikabarkan menjadi pengganti Raja Wolve itu sangat penting bagi para pemberontak ini untuk menekan Raja Wolve, tirani yang kejam.

Selama mereka tidak tahu siapa dia, mereka pasti tidak berani menelantarkannya. Mereka pasti tahu menelantarkannya sama saja dengan menggagalkan rencana mereka yang bagus.

Altamyra benar-benar puas menyadari semua kunci penting dalam rencana mereka ada padanya. Ia puas dapat dengan leluasa menumpahkan semua kemurkaannya atas kekejian mereka yang telah membunuh pengawal-pengawalnya.

Mereka boleh saja membenci Raja Wolve, tetapi mereka tidak berhak membunuh bawahan Raja Wolve. Para prajurit itu belum tentu menyanjung Raja sepenuhnya. Kalau bukan demi nyawa dan keluarga, mereka pasti telah melawan Raja.

Raja Wolve memang kejam tetapi belum tentu bawahannya juga kejam. Mereka bertindak menurut perintah Raja yang jauh lebih kejam dari serigala itu. Raja yang tega membunuh putra kandungnya sendiri.

Altamyra tidak dapat memaafkan Erland dan teman-temannya yang ternyata sama kejamnya dengan Raja Wolve.

Kemarahannya akan mempersulit mereka mencapai tujuannya. Altamyra tidak akan membuat segalanya menjadi mudah bagi mereka. Tidak peduli apa pun ancaman mereka.

Suara ramai di luar membangunkan Altamyra dari tidurnya.

Udara pagi yang sejuk membuat Altamyra merasa lebih segar. Tetapi udara dingin itu tidak dapat menyurutkan api kemarahan di dada Altamyra.

Cahaya matahari pagi menerobos jendela kecil menembus kegelapan ruang kecil yang lembab itu.

Dengan susah payah, Altamyra berusaha berdiri dan mengintip suasana di luar melalui jendela kecil yang hanya cukup bagi sepasang mata untuk mengintip ke luar itu.

Altamyra tersenyum sinis melihat terali jendela yang rapat dan kokoh itu. “Mereka benar-benar khawatir aku kabur,” katanya sinis.

Pemandangan di luar yang dilihatnya berbeda dengan bayangannya. Orang-orang tua muda, laki-laki wanita berlalu lalang di luar.

Yang wanita sibuk membuat sarapan dengan tungku api unggun. Sementara itu para pria menyerahkan hewan-hewan hasil buruan mereka untuk dimasak. Anak-anak berlari-lari dengan senang.

Tenda-tenda tempat mereka tidur tampak rapuh. Peralatan masak mereka yang sederhana menunjukkan sulitnya hidup mereka. Baju mereka kusam, compang-camping bahkan kekecilan. Semua itu menampakkan kemiskinan mereka.

Altamyra mendesah panjang.

“Kau puas melihat mereka?”

Altamyra memalingkan kepala mendengar kata-kata sinis itu tetapi ia segera membuang pandangannya ketika mengetahui Erland yang mengajaknya bicara. Daripada berbicara dengannya, Altamyra lebih senang mengawasi kehidupan mereka yang jauh lebih menderita dari dirinya sendiri.

“Engkau memang keras kepala. Tidak salah kalau Jemmy tidak memberimu makan malam,” kata Erland sinis, “Aku ingin tahu sekeras apa kepalamu.”

Altamyra tidak takut menghadapi ancaman itu. Ia menghadap Erland dan tersenyum manis.

“Baik,” geram Erland, “Kita lihat seberapa keras dirimu.”

Altamyra tidak dapat menahan tawanya mendengar ancaman itu. Baginya yang saat ini sedang murka, ancaman itu hanya angin sepoi-sepoi yang meniup wajahnya.

Ia yakin mereka juga tidak akan menelantarkannya. Mereka cukup pintar untuk mengetahui pentingnya dirinya dalam rencana mereka. Ia adalah pion penting untuk menskak mat Raja Wolve.

Sayangnya, mereka tidak cukup pintar untuk menyadari mereka telah tertipu.

Erland menutup pintu dengan keras dan membuat Altamyra semakin senang.

Altamyra puas bisa membuat Erland marah besar. Ia puas dapat membalaskan dendamnya.

Samar-samar Altamyra mendengar suara ribut di luar. Ia tahu orang-orang itu mengira ada yang tidak beres dengan dirinya tetapi ia tidak peduli.

Walau ia terikat, bukan berarti ia tidak bebas untuk mengatakan apa yang ada di hatinya.

Ia dibesarkan sebagai burung yang bebas terbang ke mana saja. Ia ditempa dalam suasana yang serba sulit. Ia dibentuk menjadi gadis kuat yang tak kenal takut.

Tidak seorang pun yang dapat mengikatnya termasuk tali kasar yang terbuat dari sabut kelapa ini.

Simpul ikatan di kaki maupun tangannya sangat erat dan terlihat sukar dibuka. Tetapi, Altamyra tidak mau putus asa sebelum mencoba.

Dengan gerak tangannya yang terbatas, Altamyra berusaha melepaskan ikatan kakinya yang menyiksa kulit kakinya. Tangannya terasa perih tiap kali ia menggerakkannya tetapi Altamyra tidak mau berhenti berusaha.

Pekerjaan yang mula-mula terasa membosankan lama kelamaan mejadi kesibukan yang menyenangkan Altamyra. Ia merasa seperti bermain dengan teka-teki yang rumit.

Kekasaran mereka padanya membuat Altamyra semakin ingin mempersulit mereka.

Altamyra merasa kepanasan. Ia menyeka keringat di dahinya. Saat itulah jeritan kecil terlontar dari mulutnya.

Altamyra terpana melihat darah di tangannya. Usahanya untuk membuka ikatan kakinya ternyata membuat pergelangan tangannya terluka oleh tali kasar itu.

Dipandanginya darah yang masih mengalir itu. Dalam hati ia berkata, “Mereka terlalu khawatir hingga bertindak sekejam ini.”

Saat ini yang bisa dilakukannya adalah menanti matahari yang menyinari ruangan itu mengeringkan darahnya.

Altamyra bersandar di dinding sambil mengawasi darahnya yang perlahan-lahan mengering dan meninggalkan noda di gaun sutranya.

Noda darah kering di kain sutra sangat sulit dihilangkan. Mereka pasti marah karenanya. Gaun yang indah ini telah ternoda oleh darahnya.

Altamyra mengejek dirinya sendiri yang mau melakukan semua ini. Pengorbanannya yang besar ini tidak akan mendapat hadiah apa-apa tetapi ia mau dan telah melakukannya.

Dalam keheningan itu, Altamyra menyadari keadaan di luar lebih sepi dari tadi. Ia mengintip keluar.

Matahari telah tinggi. Api-api unggun telah dimatikan. Para wanita duduk bergerombol sambil mengerjakan sesuatu. Anak-anak bermain tiada henti. Tetapi, para pria tidak nampak seorang pun. Ia bertanya-tanya ke mana mereka pergi.

“Inikah wanita yang berani menghina Erland?”

Altamyra membalikkan badan.

Seorang wanita cantik melotot pada Altamyra dengan penuh keangkuhan. Mata hijau kelamnya menyiratkan rasa jijiknya. Wanita itu tampak sangat cantik dengan rambut pirang tuanya yang nyaris coklat.

“Engkau beruntung Erland tidak membunuhmu.”

“Sebaliknya,” kata Altamyra tenang, “Aku merasa lebih beruntung mati daripada harus bertemu pria sepengecut dia.”

“Kau!” geram wanita itu, “Baik, aku akan menuruti permintaanmu.” Kemudian pada wanita di belakangnya ia berkata, “Bawa kembali makanannya!”

“Tapi, Cirra, kita diperintahkan…”

“Untuk apa kita khawatir,” potong wanita itu tajam, “Para pria saat ini sedang berburu. Mereka akan kembali besok bahkan mungkin lusa.”

“Kita…”

Lagi-lagi wanita itu berkata tajam, “Aku bilang tidak! Aku ingin dia tahu bagaimana rasanya mati karena kelaparan itu.”

Altamyra tertawa geli. Tawanya memenuhi ruang kecil itu dan membuat wanita yang dipanggil Cirra itu melotot sedangkan wanita satunya terheran-heran.

“Engkau akan melihat dampaknya,” kata Altamyra lembut. “Pasti!”

Cirra melotot lalu pergi meninggalkan Altamyra.

No comments:

Post a Comment