Friday, February 23, 2007

Topeng Sang Puteri-Chapter 8

“Sialan kau, Elleinder!”

Arwain melihat Illyvare yang sedang berada di antara bunga-bunga di taman. Gadis itu tampak seperti peri pagi dengan gaun putihnya yang sederhana. Illyvare menyentuh pucuk-pucuk dedaunan di sekitarnya dengan penuh kasih sayang.


“Kalau tahu Putri Kerajaan Aqnetta secantik peri, aku pasti akan melamarnya sebelum engkau. Kalau tahu ia sangat cantik, aku pasti akan semakin keras melarangmu melamarnya.”

“Aku tidak menyuruhmu tidak mengambil resiko,” Elleinder berkata tenang.

“Ya, engkau tidak menyuruhku. Juga tidak ada yang menyuruhmu mengambil resiko menikahi Putri Kerajaan Aqnetta yang kata orang jelek, gemuk, dan sebagainya,” Arwain berkata tanpa sedikitpun melepaskan pandangan dari Illyvare.

“Engkau mengambil resiko dan engkau mendapatkan berkat,” Arwain terus menggerutu, “Kau sangat beruntung. Kau tahu itu?”

“Ya, aku juga merasa seperti memenangkan hadiah yang sangat besar dalam perjudianku.”

“Memang seharusnya engkau merasa seperti itu. Putri Illyvare cantik dan mungil seperti peri. Siapapun yang tidak mempercayai adanya peri, pasti percaya ia adalah seorang peri. Tetapi sayang, ia telah menjadi milikmu.”

“Ia cantik dan cerdas, tetapi aku merasa ada sesuatu yang salah padanya. Sesuatu yang kurang.”

“Kurang?” Arwain baru beralih dari Illyvare, “Gadis sesempurna itu masih kaubilang kurang? Aku heran padamu, Elleinder. Gadis itu adalah gadis impian tiap orang. Cantik, manis, mungil, seorang Putri dari kerajaan yang makmur. Ia memiliki segala yang diinginkan tiap gadis dan itu masih kaubilang kurang? Kalau engkau tidak mau dengannya, Elleinder, berikan saja ia padaku dan aku akan merasa sangat beruntung.”

“Ia memang sempurna, tetapi aku merasa ada yang kurang padanya. Aku tidak tahu apa itu tetapi aku merasakannya.”

“Aku tidak mengerti engkau, Elleinder,” Arwain kembali memperhatikan Illyvare, “Dulu engkau berani mengambil resiko menikah dengan gadis yang buruk rupa. Sekarang setelah mendapatkan seorang peri, engkau masih merasa tidak puas. Kalau engkau lebih menyukai gadis buruk rupa, berikan ia padaku.”

Elleinder tidak mendengarkan perkataan sahabatnya itu. Ia melihat Arwain masih saja memandang ke bawah ke Illyvare di taman melalui jendela. Sejak muncul di Ruang Duduk di tingkat tiga ini, Arwain terus memandang ke bawah dan tidak menoleh saat berbicara dengannya.

“Sebaiknya engkau tidak terus menerus memperhatikannya, Arwain,” Elleinder memperingati, “Illyvare mempunyai perasaan yang tajam. Kemarin dalam jamuan makan siang di Gedung Pertemuan, Illyvare tahu Joanne memperhatikannya walau Joanne duduk jauh darinya.”

Arwain tiba-tiba merapat di dinding. “Mengapa engkau baru memberitahuku sekarang, Elleinder?” gerutunya. “Ia baru saja melihat ke arah sini.”

“Engkau masih beruntung ia hanya melihatmu. Kalau ia memanggil Reischauer, aku tidak yakin apakah engkau masih selamat.”

“Reischauer ada di sini?” tanya Arwain tak percaya.

“Ya, kemarin Illyvare memberitahuku. Ia mengatakan Reischauer telah mengikutinya sejak ia meninggalkan Kerajaan Aqnetta.”

“Dan engkau tidak mengetahuinya,” tebak Arwain.

“Seperti yang semua orang katakan, Reischauer memang hebat. Ia menjadi penumpang gelap di kapal dan tidak ada seorang prajuritpun yang tahu. Kau tahu prajurit yang waktu itu kubawa adalah prajurit terbaik Kerajaan Skyvarrna. Kalau prajurit terbaik saja tidak bisa merasakan keberadaan Reischauer apalagi orang biasa.”

“Engkau yang mempunyai perasaan tajam juga tidak dapat merasakan keberadaannya. Mereka benar-benar hebat membuat aku ingin mencoba kehebatan mereka.”

“Sebaiknya engkau tidak melakukannya, Arwain. Kata Illyvare, mereka seperti pembunuh bayaran kelas tinggi yang diperintah untuk melindunginya dari setiap ancaman.”

“Aku mengerti,” kata Arwain. Tetapi Elleinder melihat mata pria itu mengatakan lain. Ia tahu pria itu mempunyai rencana.

“Terserah engkau, Arwain. Bila terjadi sesuatu padamu, jangan katakan aku tidak memperingatimu.”

“Bicara tentang Joanne,” Arwain mengalihkan pembicaraan, “Kemarin aku melihat ia mencegat Ratu Illyvare di koridor. Engkau pasti tertawa geli kalau mengetahui apa yang diperbuat perimu itu padanya.”

“Apa yang telah terjadi di antara mereka?”

“Tidak terjadi apa-apa. Kemarin Joanne mencegat Ratu Illyvare dan mengolok-oloknya.”

Elleinder terkejut.

“Jangan khawatir, ia mengucapkannya dalam bahasa Prancis.”

“Untunglah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah ia masih selamat hari ini.”

“Semula aku juga berpikir demikian tetapi siapa yang menyangka kalau yang terjadi berlawanan dengan yang kita pikirkan.”

“Apa yang telah terjadi, Arwain?” tanya Elleinder cemas.

“Akan kuceritakan apa yang kudengar,” kata Arwain, “Kemarin Joanne berkata panjang lebar tetapi aku masih ingat sedikit-sedikit. Aku tidak ingat jelas tetapi pada intinya ia berkata, ‘Engkau wanita yang tidak pantas. Gadis bisu sepertimu sama sekali tidak pantas untuk menjadi Ratu Kerajaan Skyvarrna. Pantas Raja Leland mengurungmu dalam Istana Vezuza. Kalau bukan karena ingin menguasai kerajaanmu, Raja Elleinder tidak akan menikahimu. Baginya engkau adalah alat untuk menguasai Kerajaan Aqnetta. Tidak lebih dari itu! Engkau harus mengerti itu. Kalau bukan karena menguasai Kerajaan Aqnetta, Raja Elleinder pasti akan menikah denganku. Aku telah mengenalnya jauh sebelum engkau mengenalnya dan aku lebih pantas menjadi Ratu Kerajaan Skyvarrna daripada engkau. Engkau mengerti?’”

“Ia mengatakan itu?” Elleinder tak percaya.

“Ya, itulah yang dikatakannya pada Joanne. Tetapi jangan berpikir lega dulu. Ketika aku mendengarnya, aku merasa marah. Aku berpikir bagaimana mungkin Joanne bisa menghina seorang Ratu seperti itu. Saat itu aku bersyukur Joanne mengatakannya dalam Bahasa Prancis. Aku tidak dapat membayangkan apa yang terjadi kalau ia mengatakannya dalam Latin Kuno atau Inggris.”

“Rasa syukurku itu hanya sampai di situ. Sebab kemudian Putri Illyvare menjawab pertanyaan Joanne itu dalam Bahasa Prancisnya. Aku terkejut sekali mendengar ia dengan Bahasa Prancisnya yang fasih berkata, ‘Saya mendengar dan mengerti semuanya, Mademoiselle.’”

Elleinder terkejut. “Aku tak menyangka.”

“Aku pun juga tak menyangka apalagi Joanne. Wanita itu sampai pucat pasi mendengar jawaban itu. Aku yakin ia akan segera meninggalkan Kerajaan Skyvarrna.”

“Ya, itu cukup menjelaskan isi surat ini,” Elleinder mengangkat sebuah surat.

“Aku ingin melihatnya.”

Arwain mengambil surat itu dan membacanya.

Maafkan saya, Paduka, saya tidak sempat pamit pada Anda. Saya harus kembali ke Paris. Ada urusan mendadak yang harus saya selesaikan. Saya senang dapat tinggal di Istana Qringvassein.

Joanne.
Arwain membelalak menatap Elleinder.

“Tadi pagi pelayan memberikannya padaku. Katanya kemarin malam saat meninggalkan Istana Qringvassein, Joanne menitipkan surat itu padanya.”

“Ia memang harus pergi secepatnya. Ia telah menghina seorang Ratu di hadapan Ratu itu sendiri dan itu akan berakibat buruk baginya kalau ia tetap tinggal di sini.”

“Apalagi Ratu itu dilindungi oleh pasukan rahasia yang tidak akan segan-segan membunuh siapa saja yang berani mengusik Ratunya,” timpal Elleinder.

“Aku lega akhirnya wanita itu kembali ke Paris dan aku yakin ia tidak akan kembali.”

“Jangan melihatku dengan pandangan menuduh seperti itu, Arwain. Aku tidak mengajaknya ke sini. Ia sendiri yang ikut dan ia sendiri yang meminta diijinkan tinggal di sini. Aku tidak bisa menolaknya sebab selama aku di Paris, ia banyak membantuku ketika aku mengalami kesulitan.”

“Karena wanita itu aku mengalami kesulitan. Ia selalu menempel padaku dan selalu menanyakan padaku mengapa engkau tidak mencintainya. Karena dia, semua wanita menjauhiku. Ia bukan wanita yang ramah untuk diajak bersaing, Elleinder.”

“Sekarang ia sudah pergi, Arwain. Bukan saatnya lagi engkau menasehatiku. Sekarang aku telah menikah.”

“Sekarang aku juga baru mengerti mengapa engkau tidak jatuh cinta pada wanita cantik itu. Sejak awal engkau memang berniat menikahi Putri Kerajaan Aqnetta.”

“Maukah engkau memanggilkan Illyvare untukku?”

“Engkau bisa menyuruh pelayan.”

“Katamu engkau ingin mengenal Illyvare dan berbicara dengannya? Kalau engkau tidak mau, aku akan menyuruh pelayan.”

“Tidak perlu,” Arwain tiba-tiba menjauhi jendela, “Akan kupanggilkan dia untukmu. Aku juga ingin mencoba kehebatan Reischauer.”

“Jangan lakukan itu, Arwain!” cegah Elleinder.

Arwain melesat pergi tanpa mendengarkan larangan Elleinder. Dengan hati riang ia menuju taman. Sekarang ia mempunyai alasan untuk berbicara dengan Illyvare dan kalau ia beruntung, ia dapat membuat Reischauer muncul.

“Paduka Ratu!”

Illyvare menoleh perlahan.

Seperti biasa, Arwain terpesona melihat kecantikkan Illyvare.

“Ada apa, Arwain?” kata Illyvare membuyarkan lamunan Arwain.

“Saya ingin berbicara dengan Anda,” kata Arwain sambil mendekati Illyvare.

Illyvare merasakan Arwain memiliki rencana tertentu terhadapnya, tetapi ia tetap bertanya tenang, “Apa yang ingin Anda bicarakan?”

“Anda sangat cantik, Paduka. Mengapa Anda sendirian di sini?” Arwain terus mendekat, “Anda bagaikan bunga yang tiada taranya di taman bunga ini. Kecantikkan Anda mengalahkan kecantikkan semua bunga di sini. Anda membuat saya terpesona, Paduka.”

Arwain terus mendekat dan ketika ia telah dekat dengan Illyvare, ia mengulurkan tangannya meraih dagu Illyvare.

Illyvare berpegangan pada pohon dibelakangnya. Dengan tenang ia berkata, “Sebaiknya Anda menjaga sikap, Tuan Arwain.”

“Bagaimana saya bisa menjaga sikap, Paduka?” tanya Arwain, “Anda telah mempesona saya dan membuat saya melupakan segalanya.”

“Anda harus mengingat siapa saya, Tuan Arwain,” Illyvare mengingatkan.

“Saya tahu. Anda adalah Ratu Kerajaan Skyvarrna dan istri sahabat saya. Tetapi, saya tidak dapat menghilangkan perasaan terpesona ini. Anda sangat cantik, Paduka dan membuat saya tidak dapat menahan diri.”

Arwain semakin mendekatkan wajahnya. Ketika Arwain hampir mencium bibir Illyvare, tiba-tiba seseorang berdiri di belakang Arwain dan melingkari leher Arwain dengan pedangnya yang lentur tetapi tajam.

“Sebaiknya Anda menjauhi Paduka Ratu sekarang juga,” suara itu memperingatkan tajam, “Atau saya tidak akan segan-segan membunuh Anda.”

Tiba-tiba Arwain merasakan bahaya di sekitarnya. Elleinder telah memperingatinya untuk tidak mengusik Illyvare dan sekarang ia merasakan akibatnya. Ia merasakan perasaan yang sama dengan ketika ia berada di Istana Vezuza. Ribuan mata serasa menatap tajam dirinya. Dan bahaya berada di dekatnya.

Arwain melepaskan Illyvare dan menjauhinya tetapi pedang tajam itu terus melingkari lehernya. Bahkan orang di belakangnya itu menariknya mendekat dan menempelkan ujung pedangnya yang tajam di lehernya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arwain merasa ketakutan. Darah dingin terasa mengalir mulai dari kepalanya hingga seluruh tubuhnya. Keringat dingin bercucuran di dahinya.

Tiba-tiba Illyvare mengatakan sesuatu pada orang itu.

Arwain tidak mengerti dengan bahasa apa Illyvare memberi perintah pada orang itu. Tetapi seketika itu juga orang itu kemudian melompat ke rimbunnya dedaunan pohon. Arwain merasa lega ketika pedang itu pergi dari lehernya.

“Maafkan saya, Paduka Ratu. Saya tidak benar-benar berniat menggoda Anda,” kata Arwain setengah lega dan setengah ketakutan.

“Tidak apa-apa, Arwain. Saya mengerti,” kata Illyvare lembut untuk menenangkan pria itu. “Tadi Anda mengatakan ada yang ingin Anda bicarakan.”

“Elleinder memanggil Anda.”

Illyvare menengadahkan kepala ke jendela Ruang Duduk. Di balik jendela yang tertutup itu, Elleinder tersenyum padanya.

“Terima kasih, Arwain.”

Illyvare meninggalkan taman bunga.

Illyvare mengetuk pintu Ruang Duduk dan membukanya perlahan-lahan.

“Maafkan Arwain. Illyvare. Ia tidak bersungguh-sungguh menggodamu. Aku telah memperingatinya untuk tidak mencoba kekuatan Reischauer tetapi rupanya ia tidak mendengarku.”

“Saya mengerti.”

Elleinder berkata, “Ia adalah salah satu dari mereka bukan?”

Elleinder terus melihat taman sejak Arwain pergi. Elleinder merasa khawatir ketika Arwain terus mendekati Illyvare hingga Illyvare mundur perlahan-lahan. Ketika Arwain memegang dagu Illyvare, Elleinder sangat cemas.

Saat itulah Elleinder melihat sebuah bayangan hitam yang bergerak sangat cepat sebelum seseorang menghunuskan pedang di leher Arwain. Orang itu berbaju serba hitam. Mulai dari rambut hingga kakinya tertutup kain hitam. Elleinder kagum melihat kecepatan orang itu. Setelah Illyvare mengatakan sesuatu, ia melesat pergi secepat kedatangannya.

“Ada yang ingin Anda katakan pada saya?”

“Aku mempunyai kejutan untukmu, Illyvare. Aku yakin engkau pasti senang.” Elleinder membunyikan bel dan tak lama kemudian Linty datang dengan seorang wanita tua yang amat dikenal Illyvare.

“Paduka Ratu,” Nissha berseru dan berlari memeluk Illyvare.

Illyvare terus menatap Elleinder.

Elleinder tersenyum. “Ketika kita mendarat di pantai itu, aku menyuruh beberapa prajurit menjemput Nissha. Aku tahu engkau akan merasa senang bila di sisimu ada seseorang yang telah kaukenal.”

“Saya sangat senang dapat berjumpa Anda lagi, Paduka Ratu,” kata Nissha terharu, “Saya sangat merindukan Anda. Bunga-bunga Anda juga merindukan Anda. Semua tampak lesu setelah Anda pergi.”

“Tumbuhan memiliki perasaan,” Illyvare menjelaskan singkat.

Nissha melihat Illyvare lekat-lekat. “Anda tidak berubah sedikitpun, Paduka Ratu. Anda tetap seperti dulu.”

Illyvare tidak menanggapi.

Elleinder semakin merasa ada sesuatu yang kurang pada Illyvare. Di saat ia melihat Nissha tersenyum senang, ia melihat Illyvare tetap tenang. Wajah cantiknya tetap menunjukkan ketenangannya.

“Kita masih mempunyai banyak waktu sebelum kita ke Skellefreinth,” Elleinder memberitahu.

Karena Elleinder mengatakannya dengan bahasa Inggris, Nissha dapat mengerti. “Mari, Paduka Ratu,” ajaknya.

Di pintu, Nissha tiba-tiba berbalik. “Terima kasih, Paduka. Saya senang Anda mempertemukan saya dengan Putri kembali.”

“Aku senang dapat melakukannya untuk kalian, Nissha.”

Nissha kembali mencurahkan perhatiannya sepenuhnya pada Illyvare.

Linty mendampingi mereka kembali ke kamar Illyvare.

Nissha berulang kali mengatakan kerinduannya pada Illyvare dan kata-kata penduduk Kerajaan Aqnetta tentangnya. Nissha mengatakan semua orang terkejut karena Putri Kerajaan Aqnetta yang dikatakan buruk rupa itu ternyata sangat cantik. Nissha tampak sangat puas ketika ia menceritakan kekagetan orang-orang itu.

Ia juga mengatakan kekagetannya ketika seorang prajurit Kerajaan Skyvarrna datang ke Istana Vezuza dan mengatakan Elleinder menyuruh mereka menjemputnya. Tanpa banyak bertanya, Raja Leland mengijinkannya pergi. Prajurit itu memacu kereta kuda yang ditarik empat ekor kuda, cepat-cepat sehingga ia tiba dalam waktu singkat. Pagi ini ia baru tiba dan langsung disambut Linty yang segera mengantarnya ke kamarnya.

Tak lupa Nissha mengatakan kesedihan bunga-bunga Illyvare karena kepergian gadis yang selalu merawat mereka. Tetapi Nissha tidak lupa membawa bunga-bunga yang telah mekar. Karena Nissha merendamnya dengan air segar selama perjalanan ke Istana Qringvassein, bunga-bunga itu masih segar. Nissha tidak lupa pada kebiasaan Illyvare untuk memanfaatkan udara musim gugur untuk mengeringkan bunga-bunga.

Nissha menunjuk tiga keranjang penuh bunga di tengah kamar Illyvare.

Ketika masuk tadi, Illyvare dapat mencium wanginya bunga-bunga dari tamannya dan ia telah melihat ketiga keranjang yang diletakkan di tengah kamarnya itu.

Usai bercerita panjang lebar, Nissha menghela nafasnya dalam-dalam dan berkata, “Saya tidak pernah menyangka Paduka Raja Elleinder akan mengijinkan saya mendampingi Anda walau sekarang Anda tinggal di Istana Qringvassein.”

“Paduka Raja memang orang yang pengertian,” Linty mencoba berbicara dengan bahasa Inggris.

“Sebaiknya engkau belajar bahasa kami, Linty. Aku tidak ingin engkau merasa tersisih ketika kami berbicara.”

“Mungkin sebaiknya saya juga belajar bahasa Latin Kuno. Saya tidak mau seperti orang bodoh yang hanya bisa kebingungan mendengar sekeliling saya berbicara.”

“Sebaiknya kalian saling belajar mengajar.”

Nissha tersenyum. “Anda tidak berubah, Paduka Ratu. Selalu berkata tenang, singkat, padat, dan jelas tetapi bertujuan besar.”

Karena bahasa yang digunakan di Kerajaan Skyvarrna agak mirip dengan bahasa Kerajaan Aqnetta, Linty dapat mengerti sedikit apa yang dikatakan Illyvare dan Nissha. Ia sependapat dengan Nissha. Illyvare tidak mengatakan ia ingin Linty dan Nissha berteman baik tetapi kata-kata singkatnya itu menunjukkan maksudnya.

Illyvare melihat matahari semakin tinggi. Ia menuju tiang penggantung mantel dan mengambil topinya.

“Anda mau ke mana?” tanya Linty dan Nissha bersamaan dalam bahasa yang berbeda.

“Panti Carmell,” jawab Illyvare singkat.

“Anda mau ke Panti Carmell dengan gaun itu?” Linty terkejut, “Jangan, Paduka. Paduka Raja pasti tidak senang melihat Anda pergi dengan gaun itu.”

“Aku bukan pergi ke pesta,” kata Illyvare singkat.

“Tetapi, Paduka…”

“Maaf,” Nissha memotong, “Apa yang kalian bicarakan?”

Sejak diberi tugas oleh Elleinder untuk melayani Illyvare, Linty telah belajar Bahasa Inggris namun ia masih terbata-bata dalam mengucapkannya.

“Paduka Ratu akan pergi ke Panti Asuhan dengan gaun itu,” Linty mencoba menjelaskan.

Nissha melihat Illyvare dari atas hingga bawah. Dengan rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai dan gaun putihnya yang sederhana, Illyvare tidak tampak seperti seorang Ratu. Ia lebih tampak seperti gadis biasa.

“Ke Panti Asuhan dengan gaun itu?” kata Nissha sambil berpikir.

Illyvare tidak menanti hasil pemikiran Nissha. Ia melambaikan topinya pada kedua orang itu dan melangkah pergi.

“Paduka! Paduka Ratu!” Linty mengejar Illyvare. “Saya mohon, Paduka. Dengarkanlah saya. Jangan pergi dengan gaun itu. Gaun itu tidak pantas.”

“Gaun ini pantas,” kata Illyvare tenang.

“Paduka!”

Illyvare terus menuju ke kereta kuda yang telah menanti. Linty juga terus mengikuti gadis itu dan terus memohon.

“Maafkan saya, Paduka Raja,” kata Linty, “Ratu tidak mau mengganti gaun. Ia memaksa pergi dengan gaun ini.”

“Gaun ini cocok untuk pergi ke Panti Asuhan,” kata Illyvare tenang.

Elleinder melihat Illyvare kemudian berkata, “Illyvare benar, Linty. Kami akan pergi ke Panti Asuhan bukan ke pesta. Lebih baik mengenakan pakaian yang sederhana bila akan berkunjung ke Panti Asuhan. Tidak baik membuat orang lain menjadi iri.”

Linty terpana mendengar Rajanya setuju dengan Ratu.

“Sebaiknya aku mengenakan sesuatu yang lebih sederhana.”

Elleinder kembali masuk ke dalam Istana.

“Mungkin Paduka Raja benar,” gumam Linty setelah terdiam beberapa saat. Sekali lagi Linty dibuat kagum oleh Illyvare. Gadis itu tidak mengatakan apa yang dipikirkannya tetapi langsung melakukannya.

“Sebaiknya saya kembali ke kamar Anda dan memulai pelajaran bahasa saya dengan Nissha,” Linty berpamitan. Linty membungkuk hormat kemudian masuk kembali ke dalam bangunan megah itu.

Tak lama kemudian Elleinder muncul kembali dan kali ini ia mengenakan kemeja santai yang terbuat dari bahan biasa. Pakaiannya seperti pakaian orang-orang lainnya tidak seperti pakaian seorang bangsawan.

“Mari kita berangkat.”

Perjalanan ke Panti Carmell tidak lama. Dengan kereta yang ditarik empat ekor kuda yang cepat, dalam waktu singkat mereka tiba di Panti Carmell.

Kali ini yang menyambut kedatangan mereka bukan hanya orang dewasa. Banyak anak yang berdiri di depan panti menanti mereka.

“Selamat datang, Paduka,” sambut seorang wanita, “Saya, Veri, Kepala Panti Carmell siap melayani Anda.”

Seorang anak tiba-tiba berseru, “Peri! Perinya datang!”

Mereka melihat anak-anak yang mulai ribut itu.

“Jangan berisik, anak-anak. Kalian belum memberi salam pada Paduka,” seorang wanita memperingati. Tetapi anak-anak itu tidak dapat diam. Mereka semakin ramai dan berulang kali mengatakan, “Benar. Perinya datang! Perinya datang!”

“Maafkan anak-anak itu, Paduka. Mereka terlalu senang dapat berjumpa dengan Paduka Ratu.”

“Peri yang mereka katakan itu?” tanya Elleinder tertarik. Elleinder melihat Illyvare yang tetap dengan tenang memandangi anak-anak Panti Carmell itu.

“Benar, Paduka, mereka menyebut Paduka Ratu. Maafkan mereka, Paduka. Mereka tidak mengerti siapa yang mereka sebut peri itu.”

“Aku mengerti mereka, Veri. Semua orang juga mengatakan padaku Illyvare lebih mirip seorang peri daripada seorang Putri.”

Veri melihat Illyvare. “Kami mengajak mereka menyambut Anda kemarin dan ketika mereka melihat Paduka Ratu memasuki Gedung Pertemuan, mereka mengatakan Paduka Ratu adalah peri.”

Beberapa anak memberontak dari pengasuh mereka. Mereka tidak menghiraukan larangan pengasuh-pengasuh mereka dan berlari mendekati Illyvare.

“Anda benar-benar seorang peri?”

“Mana sayap Anda?” tanya yang lain.

Illyvare melihat wajah-wajah polos itu dan tersenyum. “Aku bukan peri dan tidak mempunyai sayap,” katanya lembut.

Seorang anak perempuan menarik tangan Illyvare. “Ikutlah main bersama, peri.”

Veri membungkuk dan berkata pada anak-anak itu. “Kalian jangan mengangguk Paduka Ratu. Pergilah bermain.”

Anak-anak membandel. Mereka memegang erat-erat tangan Illyvare dan berkata, “Kami mau bermain dengan peri.”

Veri tampak kewalahan menghadapi anak-anak itu. “Maafkan anak-anak ini, Paduka Ratu,” kata Veri bersalah, “Mereka anak-anak yang nakal. Saya akan membujuk mereka untuk pergi bermain.”

“Mereka di sini untuk menyambut kedatangan kami.”

Veri menatap Illyvare lekat-lekat.

Anak-anak itu tidak mau menanti ijin dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Beramai-ramai mereka menarik Illyvare dan membuat gadis itu tidak dapat berbuat lain selain mengikuti mereka.

Melihat wajah bersalah Veri, Elleinder berkata, “Tidak apa-apa, Veri. Anak-anak itu menunjukkan rasa sayang mereka pada Illyvare. Illyvare juga tampak senang dapat menemani mereka.”

Veri melihat Illyvare yang seakan-akan menjadi mainan anak-anak itu dengan pandangan bersalah.

“Bagaimana perkembangan tempat ini, Veri?”

Veri memalingkan kepala. “Seperti tahun-tahun sebelumnya, Paduka. Anak-anak di tempat ini tidak berkurang jumlahnya tetapi semakin bertambah. Beberapa di antara mereka sudah ada yang diambil keluarga lain tetapi masih ada anak-anak yang ditinggalkan di depan Panti. Kami kesulitan menemukan orang tua kandung mereka.”

Elleinder mendengarkan sambil melihat Illyvare.

Illyvare mengeluarkan sesuatu dari kantung bajunya dan memberikannya pada anak perempuan yang tadi memegang tangannya.

Anak itu melupakan bonekanya dan mengambil bunga kering itu. Dengan bangga anak itu menunjukkan pemberian Illyvare pada teman-temannya. Entah karena terlalu senangnya anak itu atau karena kecerobohannya, bunga itu tiba-tiba jatuh dan seorang anak tidak sengaja menginjaknya.

Illyvare cepat-cepat mendekati anak itu sebelum ia menangis. Illyvare mengeluarkan bunga yang lain dari sakunya dan anak itu gembira menerimanya.

Beberapa prajurit menurunkan peti-peti berisi mainan yang dibawa dari Istana Qringvassein dan membawa sebuah peti ke samping Illyvare.

Bagaikan seorang peri yang baik hati, Illyvare mulai memberikan mainan itu pada tiap anak. Anak-anak tentu saja senang mendapat hadiah dari peri mereka. Mereka berebutan menerima pemberian Illyvare tetapi Illyvare dengan tenang terus membagikan.

Dua orang anak terlihat berebut kereta kayu. Mereka sama-sama tidak mau mengalah.

Illyvare ingin melerai mereka tetapi sebuah tangan kecil memegang tangannya. Illyvare berlutut di depan anak itu. Anak itu mengulurkan tangannya. Illyvare menyambut ulurn tangan itu dengan menggendongnya.

Anak yang tadi berebut mainan melihatnya dan mereka meninggalkan mainan itu. Mereka berlari menuju Illyvare.

“Aku!”

“Tidak! Aku dulu!”

Terdengar mereka masih memperebutkan sesuatu. Ketika sampai di samping Illyvare, mereka sama-sama mengulurkan tangan meminta gendong. Kedua anak itu saling melihat dengan marah kemudian berkejar-kejaran di sekeliling Illyvare dan membuat gadis itu kewalahan.

Kedua anak itu tidak sadar teman mereka yang lain mengambil mainan yang tadi mereka perebutkan. Anak itu berjingkat-jingkat seperti seorang maling kecil dan tersenyum nakal ketika melihat mainan yang tergeletak itu.

Ketika ia kembali ke tempatnya semua, anak-anak itu baru menyadarinya. Serentak mereka meninggalkan Illyvare dan berlari mengejar pencuri mainan mereka.

Illyvare tertawa geli melihat mereka. Bukan salah anak itu kalau ia mengambil mainan yang menjadi perebutan itu. Mereka meninggalkan benda itu tergeletak begitu saja di tanah dan sibuk memperebutkan Illyvare.

Elleinder terpana melihat tawa Illyvare itu. Tiba-tiba saja ia menyadari apa yang tidak ada pada Illyvare.

Gadis itu memang sempurna tetapi ia bagaikan mengenakan sebuah topeng. Topeng cantik dengan bibirnya yang selalu tersenyum.

Benar, sebuah topeng cantik yang selalu tersenyum. Di saat diam, bibir Illyvare menekuk halus membentuk sebuah senyum tipis. Tetapi tidak pernah ada ekspresi di sana. Sinar matanya selalu tenang. Senyum di bibirnya terasa hambar. Wajahnya tidak pernah terlihat bahagia. Gadis itu terlalu tenang dan dingin.

Benar-benar seperti sebuah topeng yang dingin dan hanya menunjukkan wajah yang sama. Ketika melihat Nissha datang, Illyvare juga tidak tampak bahagia. Ia dengan tenang menatap wajah wanita tua itu dan tidak membalas pelukannya.

Elleinder yakin pasti ada penyebabnya di balik semua sikap dingin Illyvare ini. Elleinder semakin yakin Illyvare memang marah padanya bahkan mungkin tidak senang menjadi istrinya!

Elleinder mulai menduga sebelum menikah dengannya, Illyvare telah jatuh cinta pada seseorang. Dan karena harus menikah dengannya, ia melepaskan kebahagiaannya itu di Kerajaan Aqnetta dan sekarang yang tertinggal padanya hanya seorang peri cantik dengan topengnya yang selalu tersenyum.

Tidak ada alasan yang lebih tepat dari itu!

Raja Leland mengurung peri cantik itu di Istana Vezuza juga pasti karena ia mempunyai rencana lain terhadap masa depan gadis itu. Raja Leland mungkin ingin menikahkan Illyvare dengan pria pilihannya dan ia tidak mau ada orang lain yang mengetahui kecantikkan Illyvare. Raja Leland tidak mau banyak pria melamar Illyvare karena kecantikkannya yang tiada tara ini. Raja Leland menginginkan seorang pria yang benar-benar mencintai Illyvare dan tetap mau berada di sisinya walaupun ia buruk rupa.

Pasti karena itu Raja Leland membiarkan khayalan orang-orang melambung tinggi dan berlawanan dengan kenyataan. Raja Leland terus membiarkan hal itu hingga ada seorang pria yang benar-benar mau mendampingi Illyvare seumur hidupnya baik ia buruk rupa maupun ia cantik.

Dan ketika Elleinder melamarnya, Raja Leland merasa senang dan menerimanya dengan terbuka. Tetapi Raja Leland tidak tahu saat itu Illyvare sudah jatuh cinta pada pria lain. Raja Leland tentu memaksa Illyvare menikah dengannya demi hubungan dua kerajaan ini.

Tiba-tiba saja Elleinder merasa bersalah pada Illyvare. Tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya. Mereka telah menikah. Pernikahan mereka sakral dan tak terpisahkan. Dalam upacara pernikahan mereka, mereka telah berjanji untuk terus bersama sampai maut memisahkan.

Illyvare menunjukkan ketidakbahagiaannya dengan berdiam diri sepanjang hari dan tidak menunjukkan ekspresi di wajahnya selain wajah tenangnya. Illyvare mendiamkan Elleinder dan tidak mau berbicara banyak kepadanya.

Elleinder melihat ketiga anak yang berkejaran itu berlari ke arah Illyvare. “Permisi,” katanya kemudian mendekati Illyvare.

Sebelum anak yang dikejar itu menabrak Illyvare, Elleinder menggendong anak itu. “Cukup,” katanya, “Jangan berebut lagi. Masih ada banyak mainan untuk kalian.”

Elleinder menurunkan anak itu dan menunjuk dua buah peti lain di samping kereta.

Melihat teman-temannya berlari ke kereta, anak perempuan di gendongan Illyvare meminta turun. Illyvare menurunkan anak itu.

Elleinder melihat wajah Illyvare yang kembali tenang seperti tertutup topeng itu. Elleinder ingin melepas topeng itu dan sebelum ia melakukannya ia ingin sebuah kepastian. Ia tahu apa yang harus dilakukannya dalam waktu dekat ini.



*****Lanjut ke chapter 9

No comments:

Post a Comment