Wednesday, February 21, 2007

Topeng Sang Puteri-Chapter 6

Orang-orang itu terkejut. Beberapa dari mereka sibuk merapikan tempat itu dan beberapa sibuk menyambut.

“Selamat pagi, Paduka,” kata Steele kebingungan, “Maaf tempat ini kotor.”

“Selamat pagi,” balas Elleinder, “Apakah kalian dapat tidur nyenyak?”


“Ya, Paduka.”

“Apa yang sedang terjadi hingga keributan kalian terdengar sampai ke kapal induk?”

“Maafkan kami, Paduka,” Steele merasa bersalah, “Beberapa dari kami tiba-tiba memutuskan untuk makan pagi dengan ikan bakar. Tetapi dari tadi kami belum mendapat seekor pun. Itulah yang membuat kami ribut. Kami sungguh menyesal telah menganggu istirahat Anda, Paduka.”

“Tidak apa-apa, Steele,” kata Elleinder, “Kami ke sini bukan untuk marah tetapi untuk ikut makan pagi dengan ikan bersama kalian.”

Elleinder melihat sekeliling. Beberapa orang tampak menanti umpannya dimakan ikan dan beberapa yang menyadari kedatangan mereka, sibuk merapikan peralatan untuk segera menyambut.

“Sudah lama aku tidak memancing,” kata Elleinder tiba-tiba, “Masih ada alat yang tersisa?”

“Ada, Paduka,” kata Steele. Kemudian Steele memanggil seseorang yang berada di dekat mereka.

Elleinder melihat Illyvare. “Engkau mau di sini atau ikut bersamaku?” Sebelum Illyvare menjawab, Elleinder berkata, “Aku tahu engkau pasti ingin ikut bersamaku.”

Illyvare tak menanggapi.

Tak lama kemudian seseorang mendekati Steele sambil menyerahkan sebuah alat pancing.

“Ini alatnya, Paduka,” Steele menyerahkan dengan hormat.

“Terima kasih, Steele.”

Illyvare mengikuti Elleinder ke tempat prajurit yang lain memancing.

Prajurit-prajurit itu segera berdiri dan membersihkan bebatuan itu. “Silakan duduk, Paduka,” kata mereka hampir bersamaan.

“Tidak perlu bersikap seperti itu. Kali ini aku hanya seorang pemancing biasa seperti kalian,” kata Elleinder, “Mari kita memancing.”

Elleinder duduk diikuti prajurit lainnya yang telah memancing di sana sejak tadi.

“Berapa banyak ikan yang kalian dapatkan?” tanya Elleinder sambil menanti umpannya dimakan ikan.

“Kami hanya mendapat sedikit, Paduka.”

“Sepertinya ikan-ikan di tempat ini tahu akan dipancing sehingga kabur semua,” gurau yang lain.

“Kalian kurang bersabar. Memancing membutuhkan kesabaran.”

Mereka mengeluh panjang.

Elleinder tertawa. “Kalian tidak bersabar seperti itu bagaimana bisa mendapat ikan?”

Illyvare melihat pancing Elleinder bergerak-gerak, ia memegang lengan pria itu.

Elleinder menoleh. Ia melihat Illyvare memandang laut kemudian mengikuti pandangan gadis itu.

“Rupanya aku telah mendapat seekor,” kata Elleinder menarik pancingnya.

Elleinder melepas ikan yang menggelepar-gelepar itu. Illyvare mengambil ember di sampingnya.

“Anda beruntung, Paduka. Anda telah mendapatkan seekor sedangkan kami yang sejak tadi di sini belum mendapatkan apapun.”

“Kalian harus bersabar.” Elleinder melemparkan kailnya.

Pagi ini Elleinder beruntung. Lebih beruntung daripada prajurit-prajuritnya yang lain. Ketika orang banyak itu menanti ikan mengambil umpannya, Elleinder telah mendapatkan beberapa ekor.

“Mengapa ikan-ikan itu tidak mau berbelok sebentar?” keluh seorang di antara mereka.

“Karena ia takut padamu,” jawab yang lain.

Elleinder belum sempat ikut menanggapi ketika Illyvare menyentuh lengannya lagi untuk memberitahukan pancingnya bergerak-gerak.

“Aku dapat lagi,” kata Elleinder senang, “Rupanya kali ini aku memang sedang beruntung.”

Illyvare menyodorkan embernya yang hampir penuh oleh ikan.

Seorang prajurit meletakkan pancingnya dan mendekati Illyvare. “Ijinkan saya untuk memberikannya pada tukang masak, Paduka Ratu.”

Illyvare memberikan embernya.

Prajurit yang lain mengumpulkan ikan tangkapan mereka di ember yang lain. “Bawa juga ini,” katanya.

Prajurit itu membawa kedua ember itu ke kumpulan tenda di pantai.

“Paduka Ratu, silakan menggunakan ember,” seseorang berkata pada Illyvare sambil menyerahkan embernya.

Illyvare memandang pria itu tanpa berkata apa-apa.

“Saya ingin membantu yang lain memanggang ikan,” prajurit itu berkata canggung karena ditatap Illyvare.

“Illyvare,” Elleinder memanggil, “Aku telah mendapatkan lagi.”

Illyvare menyodorkan ember itu.

“Kami permisi dulu, Paduka.”

“Kalian mau pergi?” tanya Elleinder tak percaya, “Kalian belum mendapatkan banyak.”

“Kami bosan, Paduka. Sejak tadi kami menunggu tetapi tidak ada ikan yang mau menghampiri umpan kami.”

“Memancing itu membutuhkan kesabaran,” kata Elleinder.

“Cara yang baik untuk melatih kesabaran,” tambah Illyvare.

Elleinder melihat Illyvare dengan heran. Ia baru sadar gadis itu sejak tadi tidak bersuara sedikitpun. “Mengapa engkau diam saja?” tanya Elleinder ingin tahu.

“Mencegah ikan lari ketakutan,” jawab Illyvare singkat.

Elleinder tersenyum geli, “Kurasa ikan-ikan itu tidak akan lari ketakutan mendengar suaramu yang merdu itu. Mereka akan mendekat.”

Illyvare tidak menanggapi.

Tak seorangpun di antara mereka yang sadar prajurit-prajurit yang memancing di sekitar mereka, telah pergi. Kini tanah terjal itu tinggal mereka berdua.

Mereka juga tidak sadar di pantai sana, beberapa orang membicarakan mereka.

“Paduka Raja memang beruntung. Ia mendapatkan banyak ikan daripada kita.”

“Kurasa Paduka Ratu yang membuatnya beruntung.”

“Apa yang kalian bicarakan?”

“Raja dan Ratu kita, Komandan.”

Steele melihat ke tempat Elleinder dan Illyvare berada.

Elleinder duduk menanti umpannya dimakan ikan sedangkan Illyvare berlutut di samping pria itu. Elleinder tidak tampak memperhatikan pancingnya. Pria itu berbicara dengan Illyvare. Illyvare hanya diam mendengarkan dan memberitahu Elleinder bila pria itu telah mendapatkan ikan.

“Ada apa dengan mereka?”

“Paduka Raja beruntung, ia mendapatkan banyak ikan.”

“Kurasa ia mendapat ikan banyak karena ikan-ikan itu ingin mendekati Ratu,” Brasch menyahut, “Ratu sangat cantik dan tidak akan ada orang yang menyangkalnya.”

“Aku yakin ia adalah seorang peri yang dapat memanggil para ikan.”

“Ia membuatku gugup ketika ia menatapku.”

“Bukan saatnya kita membicarakan mereka,” Steele memotong, “Banyak yang harus kita lakukan. Kita masih harus memeriksa kapal.”

“Dan aku menjaga keamanan,” tambah Brasch.

Baik Elleinder maupun Illyvare memang terlalu sibuk untuk memperhatikan orang lain. Elleinder sibuk membuat Illyvare berbicara sedangkan Illyvare sibuk mendengarkan sambil mengawasi pancing Elleinder.

“Hari ini aku benar-benar beruntung,” kata Elleinder sambil meletakkan seekor ikan lagi di ember. “Engkau mau mencobanya, Illyvare? Aku yakin engkau bisa.”

Illyvare menggeleng.

“Apakah ini sudah cukup?” Elleinder melihat ember ikannya. Elleinder melihat sekeliling dan sadar tidak ada orang lain selain mereka. “Rupanya mereka memang tidak sabar,” gumamnya.

“Paduka! Paduka Ratu!”

Illyvare berpaling pada Linty yang berlari mendekat.

“Maafkan saya, Paduka. Saya tidak melayani Anda dengan baik.”

“Engkau ingat perintahku kemarin?”

Linty mengingat-ingat kapan Illyvare memberinya perintah. Sejauh ingatannya, Illyvare belum pernah memberinya perintah. Illyvare jarang berbicara dengannya. Linty teringat kata-kata Illyvare kemarin malam.

Linty tersenyum sambil berkata, “Saya senang melayani Anda, Paduka Ratu.”

“Linty, apakah ikan di sana sudah cukup?”

“Saya rasa sudah, Paduka Raja. Tidak semua dari kami yang akan makan ikan,” jawab Linty.

“Berarti ini sudah cukup. Mari, Illyvare,” Elleinder mengulurkan tangan membantu Illyvare berdiri namun ia menariknya kembali. “Sebaiknya aku tidak membuatmu yang wangi menjadi bau ikan,” kata Elleinder jujur.

Illyvare tidak menanggapi dan berdiri.

Linty membantu Illyvare membersihkan debu dari gaunnya.

“Kurasa sudah ada ikan yang matang,” kata Elleinder.

Linty yang merasa menganggu Raja dan Ratunya berkata, “Akan saya siapkan untuk Anda berdua, Paduka.”

Sebelum seorang pun di antara mereka berkata, Linty telah berlari menjauh.

“Dia memang pelayan yang cekatan. Aku sengaja menyuruhnya menemani sekaligus melayanimu dalam perjalanan ini. Kuharap engkau menyukainya.”

“Aku menyukainya,” sahut Illyvare singkat.

Elleinder menatap lekat wajah Illyvare.

Beberapa orang mendekati mereka.

“Ijinkan saya untuk membantu Anda, Paduka.”

Elleinder menyerahkan pancing dan embernya yang penuh berisi ikan pada mereka.

Setelah mengantar Illyvare ke tengah kumpulan tenda itu, Elleinder berkata, “Aku akan pergi sebentar. Aku ingin mencuci tanganku.”

Elleinder mencari tong yang berisi air bersih. Ketika ia mencuci tangannya, Brasch datang mendekat.

“Ada apa, Brasch?”

“Paduka Ratu telah mempesona semua orang, Paduka. Apakah Anda tidak khawatir meninggalkan Paduka Ratu?”

Elleinder melihat Illyvare dan terkejut.

Beberapa pria mengelilingi Illyvare. Sembilan pria itu kemudian membawa Illyvare ke sebuah batang pohon besar yang terbaring di dekat hutan. Pria-pria itu tampak berbicara dengan Illyvare kemudian mereka meninggalkan Illyvare ke dalam hutan.

Elleinder tersenyum. “Mereka menjaga Illyvare, mengapa aku harus khawatir? Yang aku khawatirkan hanya apakah kapal kita akan selesai diperbaiki siang ini.”

“Steele mengatakan bila tidak ada hambatan maka kita dapat berlayar lagi siang ini,” Brasch melaporkan.

Elleinder melihat kapal yang terombang-ambing di laut lepas itu. “Kuharap tidak ada badai.”

“Saya juga berharap demikian, Paduka.”

Elleinder berpaling pada Illyvare yang duduk diam memandang kesibukan di depannya. Beberapa pria mengajaknya berbicara. Elleinder tidak heran ketika mereka kesulitan melihat sikap diam Illyvare.

Tidak heran pula bila di sekeliling Illyvare yang ada hanya lelaki. Karena Illyvare tidak seperti dugaannya, banyak perhitungan Elleinder yang salah. Elleinder tidak membawa pelayan wanita lain selain Linty.

Semula Elleinder berniat membuat Putri Kerajaan Aqnetta itu tahu ia tidak bisa berbuat sewenang-wenang pada rakyatnya. Elleinder tidak mau banyak pelayan wanita membuat wanita itu besar kepala. Tetapi ia telah melakukan kesalahan dengan tindakannya itu.

Sekarang di sekeliling Illyvare yang ada hanya pria selain Linty yang selalu melayaninya.

Elleinder melihat prajurit-prajurit yang tadi masuk hutan kembali dengan buah-buahan di tangan mereka. Mereka memberikan buah itu pada Illyvare.

Illyvare tersenyum manis.

Elleinder tercengang.

“Aku harus kembali, Brasch,” kata Elleinder, “Awasi terus keadaan sekitar tempat ini.”

“Baik, Paduka,” kata Brasch sambil tersenyum penuh arti.

Elleinder bergegas mendekati Illyvare.

Gadis itu mengangkat kepala melihat kedatangannya.

“Mereka memberimu banyak buah-buahan,” kata Elleinder.

Illyvare memandangi buah-buahan di pangkuannya.

“Kami permisi dulu, Paduka.” Prajurit-prajurit itu meninggalkan mereka berdua.

Elleinder duduk di samping Illyvare. “Bagaimana perasaanmu?” kata Elleinder tajam.

Illyvare mengangkat bahunya.

“Mengapa? Bukankah engkau seharusnya senang mendapat banyak buah?”

Illyvare menatap Elleinder lekat-lekat. Ia tidak mengerti mengapa pria itu tiba-tiba menjadi sinis kepadanya. Ia tidak tahu apakah ia telah berbuat kesalahan. “Engkau mau?” Illyvare memberikan sebuah pada Elleinder.

Elleinder menerimanya tapi tidak mengatakan apa pun.

Illyvare diam memandangi buah-buahan itu kemudian memandang hutan di belakang mereka.

“Sarapan telah siap,” Linty datang dengan nampannya. Linty meletakkan nampan itu di antara Elleinder dan Illyvare. “Biarkan saya menyimpan buah-buahan ini, Paduka.”

Illyvare membantu Linty memindahkan buah itu ke celemek Linty. Illyvare mengawasi kepergian wanita itu. Beberapa prajurit ingin mengambil buah itu dari Linty, tapi mereka tidak melakukannya setelah Linty memarahi mereka.

Illyvare melihat Elleinder yang sedang memakan seekor ikan. Illyvare tidak merasa lapar, tetapi ia merasa tidak pantas mengecewakan Linty yang telah bersusah payah membakarkan ikan untuknya. Illyvare memilih seekor ikan yang kecil.

Tak seorangpun di antara mereka yang bersuara. Baik Elleinder maupun Illyvare diam memandang prajurit lain yang juga makan ikan bakar.

Illyvare melihat laut. Pandangannya menerawang jauh dan pikirannya melayang-layang tanpa arah.

“Illyvare!”

Seperti waktu upacara pernikahan mereka, Elleinder melihat Illyvare tenggelam dalam dunianya sendiri. Kali ini Elleinder tidak memanggil Illyvare berulang-ulang, ia memegang lengan Illyvare.

Illyvare berpaling.

“Hari semakin siang. Aku melihat Steele telah kembali. Tak lama lagi ia akan datang melaporkan kapal telah selesai diperbaiki.”

Elleinder mengulurkan tangan membantu Illyvare berdiri. Mereka berjalan mendekati tepi pantai.

“Perbaikan kapal telah selesai?”

“Benar, Paduka. Kerusakan kapal tidak separah yang kita duga. Lambung kapal hanya terkoyak sedikit. Sebagian besar telah kami perbaiki kemarin. Hari ini kami hanya memperkuat perbaikan itu. Saat ini juga kita bisa berlayar.”

“Kalian beristirahat dulu setelah itu kita baru berangkat.”

“Baik, Paduka.” Steele memimpin anak buahnya ke pantai.

“Kita bisa berperahu sebelum kapal berangkat kalau engkau mau,” kata Elleinder mengulurkan tangannya.

Illyvare menyambut uluran tangan itu.

Dengan tangkas, Elleinder menarik Illyvare mendekat dan mengangkat tubuh gadis itu. Elleinder mendudukkan Illyvare di perahu kecil itu dan mulai mendorong perahu.

Elleinder sudah mulai mendayung perahu kecilnya ketika para pengawalnya sadar di mana Raja dan Ratunya berada. Mereka bergegas naik perahu dan bersiaga di tepi pantai.

Illyvare menatap kaki langit tanpa suara.

“Engkau marah padaku, Illyvare?”

Illyvare diam saja.

“Aku tidak pernah ingin membuatmu marah. Aku ingin membuatmu senang. Kalau engkau marah padaku, katakan saja tetapi jangan berdiam diri seperti ini.”

“Saya tidak bisa marah,” Illyvare mengakui.

Elleinder menatap heran. “Jangan bercanda, Illyvare. Tiap orang pasti bisa marah termasuk aku juga engkau.”

Illyvare hanya memandang langit dengan pandangannya yang menerawang jauh.
Elleinder memegang dagu Illyvare dan memalingkan wajah gadis itu. “Kalau aku membuatmu marah, maafkan aku,” katanya lembut.

Illyvare tetap memandang langit.

“Apakah yang merisaukanmu, Illyvare? Aku sering melihatmu memandang jauh. Apa ada yang kaupikirkan?”

“Tidak ada,” kata Illyvare tenang.

“Engkau merindukan kerajaanmu?” tanya Elleinder.

Illyvare menggeleng.

Tiba-tiba ombak yang cukup besar menerjang perahu mereka. Illyvare memegang erat-erat lengan Elleinder. Wajahnya memucat – teringat pengalaman yang lalu.

Elleinder memeluk Illyvare dan berkata, “Tidak apa-apa. Jangan khawatir. Ombak di sekitar tempat ini memang tidak teratur. Ada yang besar dan ada yang kecil.”

Setelah perahu seimbang, Elleinder melepaskan Illyvare. “Sebaiknya kita menanti mereka di kapal.”

Elleinder mendayung perahu mendekati kapal.

“Naiklah dulu. Aku di bawahmu,” Elleinder mengangkat tubuh Illyvare ke tangga tali di samping kapal.

Illyvare berpegangan erat pada tangga itu. Belum lama ia berpegangan pada tali ketika angin tiba-tiba bertiup keras. Illyvare terkejut. Ia merasa tubuhnya didorong angin keras itu.

“Tidak apa-apa,” tubuh tegap Elleinder menghadang angin itu. Elleinder yang tinggi tegap itu hanya butuh berada setingkat di bawah Illyvare untuk bisa melindunginya.

Dengan kata-katanya yang lembut, Elleinder berkata, “Jangan takut. Teruslah melangkah, aku akan terus berada di sisimu.”

Illyvare hanya menatap wajah tampan yang lembut itu.

Elleinder tersenyum – mendorong semangat Illyvare.

Sesuatu dalam senyum itu meyakinkan Illyvare bahwa ia tidak akan apa-apa. Elleinder pasti akan menangkapnya bila angin meniupnya. Elleinder pasti akan memeganginya bila ia terjatuh. Maka Illyvare pun melanjutkan langkah-langkahnya.

Seperti tadi, Elleinder menjaganya dalam tiap langkahnya.

Ketika mereka hampir sampai di ujung tangga, Elleinder berkata, “Aku akan naik dulu. Berpeganglah yang erat.”

Illyvare menepi memberi jalan pada Elleinder.

Elleinder berhati-hati ketika ia melewati gadis itu. Ketika ia telah sampai di dek kapal, ia mengulurkan tangan membantu Illyvare. “Naiklah seperti tadi, Illyvare,” Elleinder memberitahu, “Jangan takut, aku memegang tanganmu.”

Illyvare baru menaiki dua tangga tali ketika Elleinder mengangkat tubuhnya. Elleinder tidak menurunkan Illyvare di dek kapal melainkan membawanya ke kamarnya.

“Engkau bisa tenang sekarang,” kata Elleinder setelah menurunkan gadis itu. “Engkau merasa pusing lagi?”

Illyvare menggeleng.

Terdengar suara ramai mendekati kapal.

“Mereka telah berkemas. Sekarang mereka pasti telah mendekati kapal.”

Elleinder menuju dek diikuti Illyvare.

“Kami siap berangkat, Paduka,” Steele melaporkan.

Dek kapal yang sepi itu kembali ramai. Orang-orang berhilir mudik mempersiapkan keberangkatan mereka. Beberapa orang menarik perahu-perahu kecil. Ada pula yang menarik jangkar.

“Angkat jangkar!” Steele memberi perintah.

Illyvare yang tidak melihat saat pertama kali mereka akan berlayar, memperhatikan kesibukan itu.

Ketika melihat jangkar telah dinaikkan ke dek, Steele kembali berseru, “Tarik layar!”

Prajurit yang telah bersiap-siap, segera menarik layar.

Angin yang bertiup membentangkan layar dan menjalankan kapal. Steele mengawasi orang yang mengemudikan kapal. Prajurit-prajurit meninggalkan tempat mereka dan mulai berjaga-jaga.

Kesibukan di kapal telah dimulai sejalan dengan lajunya kapal.

Mereka berlayar dengan tenang. Tidak ada gangguan lagi dalam pelayaran ini. angin berhembus seperti biasa dan terus mendorong kapal. Ombak terus membuai kapal.

Perjalanan menuju Leiffberg telah dilanjutkan setiap orang ingin perjalanan itu tanpa gangguan lagi. Juga tidak ada badai yang ditakutkan.

Illyvare tahu perjalanan menuju Leiffberg masih panjang. Masa depannya juga masih panjang. Ia tidak tahu seperti apakah tempat ia akan tinggal itu. Sama seperti ia tidak tahu bagaimanakah kehidupannya akan berlangsung. Yang diketahuinya saat ini adalah ia telah menjadi milik Kerajaan Skyvarrna dan Kerajaan Aqnetta. Ia adalah Ratu dari kedua kerajaan itu.

Tetapi sebagai Ratu, Illyvare tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Seperti langit, ia tak dapat melihat ujung masa depannya. Langit membentang di hadapannya. Laut yang biru membentang di kakinya. Tetapi semua itu tak memberikan jawaban apapun.

Illyvare bagaikan kapal itu. Terombang-ambing di antara laut dan kaki langit. Berlayar menurut arah tujuan sang nahkoda kapal. Tetapi itu bukan masalah bagi Illyvare. Ia telah terperangkap dalam Istana Vezuza seumur hidupnya. Ia telah hidup menurut aturan-aturan ayahnya. Di Kerajaan Skyvarrna pun ia tahu ia harus mengikuti semua peraturan kerajaan itu.

Illyvare tahu keputusan Elleinder untuk menikah dengannya ditentang oleh rakyat Kerajaan Skyvarrna. Kecil kemungkinan rakyat Kerajaan Skyvarrna akan mencintai dirinya sebagaimana mereka mencintai Elleinder. Tetapi Illyvare telah bersumpah di hadapan Uskup, di hadapan ayahnya, di hadapan rakyatnya dan di hadapan Allah bahwa ia akan mendampingi Elleinder apa pun yang terjadi.

Tidak banyak yang Elleinder ketahui tentang dirinya tetapi Illyvare tahu banyak tentang pria itu. Calf membantunya mencari informasi tentang suaminya itu.

Illyvare tahu ketika Elleinder datang ke Istana Vezuza bersama rombongannya. Ia ada di Istana, ia ada di dekat pria itu tetapi ia tidak pernah menemui pria itu. Illyvare tahu Elleinder berusaha menemukannya, tetapi pria itu tidak pernah dapat menemukannya.

Illyvare tahu banyak kerajaan yang memuji keberanian Elleinder ketika mereka tahu pria itu melamar dirinya. Resiko besar yang tidak pernah diambil siapapun, telah diambil Elleinder. Illyvare mengagumi pria itu.

Tak diragukan lagi bila rakyat Kerajaan Skyvarrna sangat mencintai Raja Muda itu. Raja Fahrein meninggal dengan meninggalkan banyak masalah. Selama ia jatuh sakit, pemerintahannya terhambat. Menteri-menteri disibukkan oleh kondisi Raja.

Keadaan raja yang kritis itu membuat para menteri terbagi dua. Sebagian sibuk menjemput Pangeran Elleinder yang masih bersekolah di Paris. Sebagian sibuk melayani perintah Raja.

Di saat-saat terakhir sebelum kematiannya, Raja Fahrein menjadi sangat pemarah. Ia akan membanting apa saja bila perintahnya tidak dituruti. Perintahnya bukan lagi menyangkut kerajaan tetapi pesta.

Bahkan sehari sebelum kematiannya, Raja Fahrein meminta diadakan pesta meriah untuk kesembuhannya. Saat itu Raja Fahrein tampil dengan segar bugar. Semua orang menyangka Raja memang telah sembuh. Tidak seorangpun menyangka itu adalah pesta terakhir Raja Fahrein.

Keesokan paginya Raja Fahrein ditemukan dalam keadaan tak bernafas di tempat tidurnya. Kerajaan Skyvarrna berduka. Namun Elleinder tidak membiarkan dirinya terlarut terlalu lama dalam kedukaan itu. Ia segera membenahi segala pekerjaan yang terbengkalai sejak ayahnya sakit.

Setelah semuanya selesai, ide itulah yang muncul. Keinginan untuk memiliki Kerajaan Aqnetta melalui pernikahan telah terwujud. Sekarang mereka berada dalam perjalanan ke Leiffberg dan kemudian menuju Istana Qringvassein.

Setiap perjalanan pasti ada akhirnya demikian pula perjalanan Illyvare ini. Setelah melewati hari-hari yang tenang di atas laut, mereka akhirnya melihat kota pelabuhan Leiffberg.

“Daratan! Daratan!” teriak prajurit di menara pengintai.

“Kita sudah tiba di Leiffberg,” sahut yang lain senang.

Kesibukan kembali memenuhi seluruh kapal itu. Prajurit-prajurit mulai bersiap-siap di posisinya. Mereka menanti perintah Steele sebagai kapten kapal.

Illyvare berdiri di dek kapal dan melihat daratan yang semakin mendekat itu. Tampak olehnya daratan itu yang semakin mendekati mereka bukan kapal yang mendekati daratan itu.

“Itu adalah Leiffberg,” Elleinder memberitahu, “Dari situ kita akan naik kereta menuju Istana Qringvassein.”

Illyvare diam memandangi daratan yang semakin mendekat itu. “Laut pun akhirnya ada batasnya,” gumamnya lirih.

“Kita harus bersiap-siap untuk pendaratan ini.”

Elleinder mengajak Illyvare kembali ke kamar mereka masing-masing.

Linty segera menyambut kedatangan Illyvare. “Kita hampir merapat di pelabuhan, Paduka. Anda harus segera mempercantik diri,” kata wanita itu ketika merapikan kembali rambut Illyvare.

Illyvare mengenakan mantel panjangnya yang tebal kemudian kembali ke dek. Elleinder sudah ada di sana menanti kedatangannya.

Tak sampai setengah jam kemudian mereka telah melihat perahu-perahu lain di dekat daratan itu.

Ketika mereka semakin mendekati pelabuhan itu, Steele berseru, “Turunkan layar!”

Prajurit yang telah bersiap-siap segera menarik layar. Beramai-ramai mereka menarik tali dan menutup layar yang terkembang itu.

Illyvare terus memandangi pelabuhan itu.

“Kita tiba lebih lambat dari yang semula dijadwalkan. Kukira orang-orang yang ingin menyambut kita telah pulang semua.”

Illyvare diam saja.

Akhirnya mereka merapat di pelabuhan dan Steele kembali berseru, “Tambatkan kapal!”

Beberapa orang melompat keluar dan melakukan perintah itu. Orang-orang mulai memasang tangga kayu di dek.

Pelabuhan masih ramai seperti biasanya walau hari sudah menjelang sore. Sebuah kereta emas terlihat di tepi pelabuhan. Kereta terbuka itu menanti dengan anggun di bawah kapal.

“Itu kereta kuda yang akan membawa kita ke Istana Qringvassein,” Elleinder memberitahu, “Menurut jadwal semula, kita akan tiba pagi hari tetapi kita baru tiba saat ini. Aku ingin menunjukkan padamu kerajaanku dalam perjalanan ke Istana Qringvassein. Sekarang aku menyesal menyuruh kereta itu yang menjemput kita. Hari sudah malam dan udara semakin dingin, kita tidak dapat berjalan cepat bila tidak ingin engkau sakit.”

Illyvare melihat orang banyak yang berdiri di belakang sebaris prajurit yang memagari mereka.

Elleinder juga melihat orang banyak itu dan berkata, “Aku tidak tahu mereka akan menyambut kita. Aku sama sekali tidak memberitahu siapa pun kapan kita datang. Kurasa mereka mengetahuinya dari kereta yang menanti kita.”

“Kapal telah merapat, Paduka,” Steele melaporkan.

Illyvare mengenakan topi mantelnya untuk mencegah angin mempermainkan rambut panjangnya.

“Kita jangan membuat mereka menanti lebih lama lagi, Illyvare.”

Illyvare memasukkan tangannya di siku Elleinder dan berjalan di samping pria itu.

Terdengar suara ramai ketika mereka berjalan ke kereta. Ketika seorang prajurit membuka pintu kereta dan Elleinder mengangkat Illyvare ke dalam kereta itu, suara ramai itu masih tidak berhenti.

Elleinder terkejut melihat Illyvare tetap tenang. Sikap gadis itu menunjukkan ia tidak terpengaruh oleh keramaian itu.

Seharusnya seorang gadis yang selama ini dikurung di Istananya yang besar, akan bingung dan gugup ketika mendapat sambutan semeriah ini dari rakyat. Tetapi raut wajah Illyvare tetap tenang. Matanya memandang ke depan.

Kereta berjalan perlahan menuju Istana Qringvassein. Orang-orang yang telah menanti mereka sejak tadi itu tidak tampak lelah. Mereka berseru-seru memanggil mereka dan melambai-lambaikan tangannya.

Illyvare memberikan senyum kepada mereka dan membalas lambaian tangan mereka.

Elleinder juga tidak mau berdiam diri saja menghadapi sambutan rakyatnya yang meriah itu.

Seperti yang dikatakan Elleinder, kereta berjalan lambat. Illyvare tidak menyadari kereta berjalan lebih lambat dari yang diperhitungkan Elleinder.

Kusir kuda tidak berani menjalankan kereta lebih kencang. Ia khawatir rakyat yang ingin menyambut kedatangan Raja dan Ratu, kecewa bila tidak dapat melihat rupa Raja dan Ratu.

Prajurit berkuda yang mengawal mereka baik di depan maupun di belakang kereta yang ditumpangi Elleinder dan Illyvare juga berjalan lambat.

Elleinder menyadari hal ini tetapi ia tidak mempedulikannya. Dengan kecepatan seperti ini, Elleinder tidak khawatir Illyvare kedinginan.

Melalui ujung matanya, Elleinder melihat Illyvare yang terus membalas lambaian tangan rakyat. Gadis itu telah menutupi seluruh tubuhnya dengan mantelnya yang tebal. Cukup tebal untuk menghadapi angin yang bertiup lembut ini tetapi tidak cukup untuk menghadapi angin yang lebih kencang.

Illyvare merasa sedang diperhatikan. Namun ia tidak mempedulikannya. Ia terus membalas lambaian tangan rakyat.

Elleinder juga terus melambaikan tangannya pada rakyat.

Hingga mereka meninggalkan Leiffberg, kereta tetap berjalan lambat. Ketika mereka telah meninggalkan kota Leiffberg, orang-orang yang berdiri di tepi jalan tidak kunjung berkurang. Baru ketika mereka memasuki kawasan yang jauh dari rumah penduduk, orang-orang mulai berkurang.

“Engkau kedinginan?”

Illyvare menggeleng.

Elleinder terdiam beberapa saat. Ia melihat langit yang semakin gelap kemudian melihat Illyvare dengan cemas. “Berhenti!” Elleinder memerintah kusir.

Brasch yang mengawal di belakang mereka segera mendekat. “Ada apa, Paduka?”

“Pergilah lebih dulu dan cari penginapan. Malam ini kita beristirahat dulu. Besok baru kita lanjutkan.”

“Saya khawatir kita akan mengecewakan rakyat, Paduka. Saya baru saja mengirim orang untuk melihat keadaan di kota yang akan kita lalui dan ia mengatakan banyak orang yang berdiri di tepi jalan menanti Anda.”

“Kita tidak bisa mengecewakan mereka,” kata Illyvare perlahan.

“Baiklah. Kita akan meneruskan perjalanan walau mungkin kita akan tiba tengah malam.”

“Menurut perhitungan saya, Paduka, dengan kecepatan seperti ini kita akan mencapai Skellefreinth dalam empat jam. Ketika kita meninggalkan Leiffberg, waktu menunjukkan pukul lima sore. Jadi, kita akan tiba sekitar pukul sembilan malam.”

“Kita lanjutkan perjalanan.”

“Baik, Paduka.” Kemudian Brasch memerintahkan kusir menjalankan kuda.

“Kalau kita tidak berada di keramaian, cepatkan kereta,” Elleinder memberitahu kusir kuda.

“Baik, Paduka.” Kusir kuda itu melakukan perintah Elleinder.

Elleinder melihat Illyvare yang duduk menepi. Jarak di antara mereka sangat lebar hingga cukup untuk satu orang lagi. Illyvare merapat di pinggir kereta seolah-olah ia takut berdekatan dengan Elleinder.

“Illyvare,” panggilnya.

Gadis yang sedang memandang ke depan itu menoleh.

“Aku menyesal kita tidak dapat menginap di kota terdekat malam ini.”

“Tidak apa-apa.”

“Mendekatlah kemari,” Elleinder mengulurkan tangannya, “Aku tidak ingin engkau kedinginan.”

“Saya tidak kedinginan.”

“Engkau yakin?” Sebelum Illyvare menjawab Elleinder telah berkata, “Kalau engkau duduk menjauh seperti itu, engkau akan kedinginan. Kemarilah, aku tidak akan menyakitimu.”

“Saya paham akan hal itu.”

“Maka, kemarilah,” Elleinder berkata lembut, “Aku hanya tidak ingin engkau kedinginan.”

Illyvare menyambut uluran tangan itu dengan ragu-ragu. Ia bukannya ingin menjauhi Elleinder tetapi ia tidak terbiasa duduk berdua dengan pria di kereta.

Elleinder menarik Illyvare menyeberangi jarak di antara mereka. “Kalau kita duduk seperti ini, engkau tidak akan terlalu kedinginan.

Illyvare diam memandangi tangannya.

Elleinder memegang kata-katanya. Ia menyandarkan punggung dan melipat tangan di belakang kepalanya.

Perjalanan ini masih jauh. Illyvare tahu itu. Ia belum melihat pucuk-pucuk menara Istana Qringvassein. Yang dilihatnya masih hijaunya dedaunan dan rimbunnya pohon.

Setelah beberapa saat, Illyvare mulai melihat rumah-rumah penduduk dan orang-orang yang berdiri di belakang barisan prajurit.

“Mereka menyambut kita.”

Illyvare hanya mengangguk.

Illyvare seorang putri kerajaan, tetapi ia tidak pernah tahu sambutan rakyat terhadap keluarga kerajaan bisa lebih meriah dari yang dibayangkannya. Matahari mulai kembali ke istananya tetapi rakyat masih berdiri di tepi jalan dan dengan bersemangat menyambut kedatangan Raja dan Ratu mereka.

Semangat rakyat yang besar itu menunjukkan cinta mereka pada Raja dan Ratu. Illyvare terharu melihatnya.

Ketika untuk pertama kalinya ia meninggalkan Istana Vezuza, sepanjang jalan rakyat berteriak-teriak memanggilnya. Sepanjang jalan menuju Gereja Chreighton, rakyat mengelu-ngelukan namanya.

“Putri! Putri!” demikian teriak mereka. “Putri lihatlah kemari!”

Mereka berharap dapat melihat wajah Illyvare, tetapi jendela kereta tertutup rapat. Illyvare ingin sekali melihat wajah-wajah rakyat yang menyambutnya tetapi Raja Leland yang duduk di sampingnya tidak ingin ia melakukannya.

Illyvare hanya dapat mendengar panggilan rakyat itu dan merasa bersalah. Rakyat telah menantinya sepanjang jalan dan berharap dapat berjumpa dengannya yang untuk pertama kalinya meninggalkan Istana Vezuza. Tetapi ia bersikap sangat angkuh dan sedikitpun tidak mau mengintip keluar.

Di jalan masuk menuju Gereja Chreighton, Illyvare melihat banyak orang berdiri dengan penuh semangat. Melalui kerudungnya, Illyvare dapat melihat harapan di wajah orang banyak itu.

Seperti orang-orang di tepi jalan yang dilaluinya, mereka juga berharap dapat melihat wajahnya. Sayang, saat itu Illyvare dalam perjalanan menuju altar. Dari ujung rambut hingga kakinya tertutup oleh kerudung pengantinnya yang sangat panjang dan tebal.

Gaun pengantin itu dipesan khusus untuk Illyvare. Perancang gaun itu membuatnya sedemikian rupa hingga ia tampak seperti pengantin misteri. Seluruh tubuhnya tertutup oleh kerudung pengantinnya yang tebal. Dan gaun pengantinnya dibuat berleher tinggi dan berlengan panjang.

Dua lapisan kain yang menutupi tubuh itu dapat membuat Illyvare kepanasan. Untung udara pagi musim gugur di Kerajaan Aqnetta sangat dingin dan membuat Illyvare yang bersembunyi di balik gaun pengantinnya tidak kepanasan.

Melalui kerudungnya, Illyvare dapat melihat pandangan kagum orang-orang pada gaun pengantinnya yang bersulamkan benang perak. Juga pada kristal-kristal kaca bening yang membentuk bunga-bunga mawar di ujung gaunnya.

Saat memasuki Gereja Chreighton, Illyvare tahu masa depannya bukan berada di tangannya lagi. Di depan sana menanti pria yang akan menjadi suaminya. Pria yang bersama-sama dengan dirinya akan memerintah Kerajaan Aqnetta.

Saat itu pula Illyvare menyadari ia bukan lagi seorang Putri tetapi seorang Ratu yang memiliki tanggung jawab besar. Illyvare menyadari kedudukannya ini sejak ia tahu Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna datang untuk menyampaikan surat lamaran Raja Elleinder.

Sekarang Illyvare telah berada di sisi Elleinder dan dalam perjalanan ke Istana Qringvassein.

Mereka melewati lautan manusia bagaikan melewati sebuah ujian untuk dapat mencapai Istana Qringvassein.

Ribuan, puluhan orang telah mereka lewati. Hari semakin malam tetapi orang-orang tetap bersemangat menyambut mereka. Hingga mereka tiba di Skellefreinth, masih banyak orang yang menyambut kedatangan mereka. Ketika puncak-puncak menara Istana Qringvassein terlihat, lautan itu tak berkurang.

Illyvare tidak lagi memperhatikan orang-orang di kanan kirinya. Ia memandang jauh ke depan ke Istana Qringvassein yang berdiri dengan kokoh.

Istana itu berbeda jauh dengan Istana Vezuza tetapi tidak berbeda jauh dengan Istana Camperbelt. Di depan bangunan Istana terdapat sebuah air mancur besar dikelilingi rerumputan yang menguning. Sebuah jalan besar terbagi dua memutari air mancur itu dan bergabung kembali ke depan pintu masuk Istana.

Istana ini tidak memiliki serambi depan seperti Istana Vezuza. Juga tidak ada taman bunga Illyvare.

Illyvare sedih menyadari ia tidak berada di Istananya lagi. Ia merindukan Istana negeri dongengnya yang putih dengan menara-menaranya yang menjulang tinggi dan atapnya yang bercat biru. Juga pada kebun bunganya yang terletak di belakang Istana Vezuza.

Kereta melalui air mancur itu dan berhenti di depan pintu masuk Istana.

Seorang pelayan segera membuka pintu kereta dengan membungkuk hormat.

Elleinder turun kemudian membantu Illyvare. Ketika ia menurunkan Illyvare, seseorang mendekat dan berseru marah,

“Apa saja yang kaulakukan? Mengapa lama sekali? Katamu akan datang sebelum makan siang, tetapi ini sudah melewati makan malam.”

“Maafkan atas gangguan ini, Illyvare,” bisik Elleinder kemudian menoleh pada Arwain. “Kapal kami mendapat kecelakaan, Arwain.”

Arwain melihat gadis mungil yang berdiri di samping Elleinder. Di Gereja Chreighton, ia tidak dapat melihat dengan jelas rupa Putri Illyvare selain mengetahui ia bertubuh ramping dan tidak gemuk. Dan ia mempunyai rambut hitam yang indah.

Arwain menatap lekat-lekat wajah cantik yang tenang itu.

Bola mata yang dikeliling bulu mata yang lentik itu menatapnya dengan tenang. Bibirnya yang menutup rapat membentuk sebuah senyuman. Tubuhnya tertutup rapat oleh mantel coklat tebal tetapi tidak dapat menyembunyikan kemolekannya. Rambut hitamnya berjuntai keluar dari topi mantelnya. Mantelnya menari-nari diterbangkan angin malam dan membuat ia nampak seolah-olah akan terbang jauh.

“Illyvare, engkau telah bertemu dengannya di upacara pernikahan kita. Ia adalah teman baikku, Arwain,” Elleinder memperkenalnya.

“Senang berkenalan dengan Anda.”

Arwain tiba-tiba saja menjadi gugup karena suara tenang namun merdu itu. Ia meraih tangan Illyvare dan menciumnya sebelum berkata, “Sungguh merupakan suatu kebanggaan bagi saya dapat bertemu dengan Anda, Paduka Ratu.”

“Dapatkah saya juga menjadi teman baik Anda?”

“Tentu, Paduka Ratu. Anda adalah istri teman baik saya berarti Anda teman baik saya pula.”

Illyvare tersenyum.

“Bisakah saya meminjam suami Anda sebentar, Paduka Ratu?” Sebelum Illyvare menjawab, Arwain mendekati Elleinder dan menariknya menjauh.

“Ada apa, Arwain?” tanya Elleinder heran. “Aku sudah mengatakan padamu, aku terlambat karena kapal mendapat kecelakaan kecil.”

Arwain melirik Illyvare yang berdiri dengan tenang di samping kereta. “Ia benar-benar Putri Kerajaan Aqnetta?”

Elleinder belum menjawab, Arwain telah berkata, “Gadis itu cantik sekali. Aku sampai dibuat gugup olehnya. Mengapa ia disembunyikan sampai mendapat banyak tuduhan jelek?”

“Aku tidak tahu, Arwain. Aku tidak punya ide tentang itu,” kata Elleinder kesal, “Kalau sudah tidak ada yang ingin kaukatakan lagi, aku permisi.”

Elleinder beranjak pergi.

“Elleinder!”

Elleinder berbalik dan berkata, “Aku lelah dan lapar, Arwain. Engkau sudah makan malam atau belum? Kalau belum, ikutlah bersama kami.”

Arwain hanya dapat menahan kekesalannya melihat Elleinder terus berjalan mendekati Illyvare kemudian membawa gadis itu masuk.

“Percuma memisahkan mereka, Arwain,” tegur Brasch, “Selama perjalanan Paduka Raja terus berada di samping Ratu. Raja seolah-olah khawatir Ratu akan direbut orang lain.”

Arwain mendesah panjang.

“Raja benar. Kalau saya mempunyai istri secantik itu, saya juga pasti akan selalu berada di sisinya. Saya takkan rela ia direbut orang lain.”

“Ini aneh, bukan?” celetuk Perkins, “Dulu kita khawatir Putri Illyvare takkan sepadan dengan Paduka, tetapi ternyata Putri Illyvare sangat cocok bersanding dengan Paduka. Aku yakin Paduka bahagia didampingi seorang gadis secantik itu.”

“Ratu cantik dan ramping seperti seorang peri mungil, bukan seperti yang dikatakan orang banyak,” kata Arwain.

“Aku heran mengapa ia disembunyikan sampai muncul banyak dugaan yang sangat salah?” tanya Perkins heran.

“Jangan tanya aku karena aku tidak tahu. Elleinder sendiri juga tidak tahu.”

Tidak seorangpun di antara mereka yang tahu. Mereka hanya dapat menebak-nebak tetapi tidak akan pernah tahu jawaban yang sebenarnya.



*****Lanjut ke chapter 7

No comments:

Post a Comment