Tuesday, February 20, 2007

Topeng Sang Puteri-Chapter 5

“Illyvare!”

Illyvare memalingkan perhatiannya dari laut biru.

“Seharian aku melihatmu berdiri di sini. Engkau senang melihat laut?”

“Ya,” jawab Illyvare singkat – seperti biasanya.


Laut yang biru telah mempesona Illyvare. Di malam hari Illyvare dapat melihat laut seakan-akan bersatu dengan langit. Dan di pagi hari ia dapat melihat laut biru yang membentuk garis lurus dengan langit biru.

“Laut memang indah. Aku senang melihatnya terlebih saat matahari terbit atau matahari terbenam. Engkau telah melihat matahari terbit pagi tadi?”

“Ya.”

Illyvare telah banyak mendengar tentang keindahan laut saat matahari terbit juga matahari terbenam. Pagi ini ia bangun pagi-pagi dan berdiri di geladak untuk melihat matahari terbit.

Gadis itu telah membuktikan sendiri apa yang dikatakan banyak orang. Matahari yang terbit di laut memang tampak indah bahkan lebih indah dari apa yang dikatakan orang-orang.

Sesaat sebelum matahari muncul, langit tampak kemerahan dengan sinar-sinar orange ikut mewarnai langit. Warna merah yang cerah itu mengusir langit malam yang gelap. Beberapa saat kemudian matahari yang tampak besar seolah-olah muncul dari dalam laut. Matahari terus muncul perlahan-lahan sampai akhirnya ia menunjukkan seluruh wajahnya yang besar dan merah menyala.

Saat itu Illyvare mengerti mengapa Nissha mengatakan sinar matahari pagi membawa harapan baru dalam hidup setiap orang. Malam yang dingin dan gelap terusir oleh sinar matahari yang terang dan menghangatkan. Sinar itu mencerahkan hati siapa saja dan memunculkan harapan baru di dalam hati yang melihatnya.

Matahari siang memang tidak bersahabat terutama di musim panas, tetapi matahari pagi muncul dengan harapan-harapan baru.

Harapan-harapan baru yang dibawa matahari itulah yang berabad-abad lalu membangkitkan semangat para pelaut.

Dimulai dari bangsa Mesir kira-kira tahun 2000 SM yaitu oleh orang yang bernama Hennu. Menurut kepercayaan bangsa Mesir pada jaman itu, dunia ini dataran bulat yang dikelilingi air. Mereka menyangka bahwa Sungai Nil berasal dari kumpulan air itu di selatan dan mengalir lewat sebuah gua di dalam gunung.

Mula-mula Hennu membawa rombongannya menyeberangi gurun pasir ke ujung utara Laut Merah. Di sini mereka membangun kapal-kapal, lalu berlayar ke Punt melalui Laut Merah. Penduduk Punt ramah tamah. Hennu membuat kapal-kapalnya dengan barang-barang berharga, lalu kembali ke Mesir dengan selamat. Setibanya di tanah airnya kisah pelayarannya yang luar biasa dipahat pada sebuah batu.

Kapal Hennu mempunyai dasar yang datar serta haluan dan buritan yang menonjol. Ia terbuat dari potongan-potongan kayu kecil yang disatukan dan diperkuat dengan tali dan kulit mentah. Tiangnya hanya satu berbentuk huruf V terbalik, sedang layarnya juga hanya satu. Kapal itu dikemudikan dengan dayung-dayung kasar yang dilekatkan pada sisinya. Bila angin tidak cukup baik untuk menggunakan layar, pengayuh-pengayuh yang berdiri mendayung kapal itu.

Itulah kapal pertama yang dibuat manusia.

Selain itu kira-kira tahun 3000 sampai tahun 1400 SM di Kreta muncul penjelajah-penjelajah besar. Bangsa Minoan yang menempati Kreta ini menyukai laut. Mereka adalah pelaut-pelaut yang selama berabad-abad menjelajah seluruh dunia Laut Tengah.

Bangsa Minoan menggunakan kapal-kapal kecil menyerupai ember yang mempunyai satu layar. Serupa bangsa Mesir, mereka juga hanya dapat menggunakan layarnya bila angin berhembus dari buritan.

Orang Minoan dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dengan kapalnya yang kecil ini, yang hanya sedikit lebih besar daripada perahu dayung. Mereka tidak menggunakan jangkar dan di kapalnya itu mereka tidak mempunyai tempat untuk memasak dan tidak ada bilik untuk berbaring. Mereka harus berlabuh untuk makan, tidur dan mengumpulkan persediaan makanan dan minuman.

Satu keuntungan bagi bangsa ini adalah Laut Tengah tidak banyak pasang surutnya. Kecuali selama beberapa musim, anginnya tidak berhembus dengan kencang. Juga banyak pulau tempat mendarat. Semua ini memungkinkan mereka untuk menjelajah Laut Tengah.

Kira-kira tahun 1400 SM penyerbu-penyerbu biadab menaklukan Kreta. Perdagangan Laut Tengah yang sangat menguntungkan jatuh ke tangan bangsa Phunisia. Pada tahun 800 SM bentuk kapal Phunisia tidak lagi menyerupai ember, tetapi panjang dan ramping dengan lunas yang baik. Kapal-kapal itu juga menggunakan jangkar yang terbuat dari karung-karung kulir yang diisi dengan batu. Perkembangan lunas dan penemuan jangkar ini merupakan kemajuan besar dan pelayaran selanjutnya.

Tahun 600 SM kapal-kapal Phunisia sudah berani melewati Selat Gibraltar memasuki Lautan Atlantik. Mereka menyusur pantai barat Eropa, menyeberang ke Pulau-pulau Scilly, bahkan mendarat di Inggris.

Bangsa Kartago adalah penjelajah-penjelajah besar berikutnya. Kira-kira 500 tahun SM, suatu ekspedisi yang dipimpin oleh seorang nahkoda masyhur, Hanno, menemukai suatu pulau yang didiami oleh “orang-orang hitam kecil berbulu”. Hanno dan anak buahnya berhasil menangkap beberapa di antara “perempuan”, tetapi yang “laki-laki” berhasil lari. Yang disebut orang-orang itu tentu saja sama sekali bukan manusia, tetapi monyet.

Selain mereka, masih banyak bangsa-bangsa lain yang menjelajahi dunia melalui laut. Pelaut terkenal di permulaan abad Masehi, Viking, gerombolan bajak laut dari Skandinavia melancarkan serentetan serangan yang menghancurkan terhadap Inggris, Perancis, Jerman, Irlandia, Itali dan Spanyol antara tahun 700 dan 1100-an. Mereka juga menjelajah dan menetap di Tanah Hijau dan Eslandia.

Selama berabad-abad manusia mencoba menjelajahi dunia termasuk bangsa Eropa. Niat untuk menjelajah negeri Timur dimulai dari tulisan Marco Polo.

Orang tua Marco Polo, Nicolo Polo yang seorang pedagang Venesia, ingin mengetahui apakah ia dapat langsung membeli barang-barang dari Cinda dan India, dan tidak melalui pedagang-pedagang Arab sebagaimana dilakukan kebanyakan saudagar saat itu.

Dengan tekad bulat, ia dan saudaranya, Maffeo Polo berangkat dari suatu peabuhan di Laut Hitam pada tahun 1255. Di salah satu jalan kabilah besar dari Cina ke India, mereka bergabung dengan utusan-utusan Kublai Khan, kaisar yang memerintah Cina dan sebagian besar dari Asia.

Kublai Khan menyambut mereka dengan senang hati. Nicolo dan Maffeo tinggal selama 10 tahun di Cina. Tahun 1269 mereka kembali ke Venezia. Karena Kublai Khan ingin mereka kembali lagi ke Cina, mereka berangkat lagi dengan membawa Marco Polo, putera Nicolo Polo. Tahun 1271 Marco yang saat itu berumur 17 tahun berlayar dari Venezia ke Akko, pelabuhan besar di Palestina.

Di Cina, Marco Polo banyak menulis catatan-catatan terperinci yang kemudian dibukukan dalam bukunya yang berjudul “Gambaran Dunia”. Buku inilah yang kemudian mempengaruhi banyak penjelajah untuk mengarungi samudera dan menemukan daerah-daerah baru di Timur yang kaya akan hasil alam dan emas.

Tiba-tiba kapal berguncang keras.

Elleinder cepat-cepat menarik Illyvare ke dalam pelukannya. Ia melihat sekeliling dengan cemas. Beberapa prajurit berlari lalu-lalang dengan panik. Sementara itu kapal terus bergerak dengan keras.

Ayunan kapal yang tenang membuat Illyvare merasa terbuai tetapi ayunan yang keras ini membuat Illyvare merasa mual. Baru kali ini ia bepergian dengan kapal dan ia belum pernah mengalami guncangan sekeras ini. Sepanjang hari kemarin kapal terus berlayar dengan tenang.

Illyvare merasa apa yang telah dimakannya pagi tadi mulai naik ke atas tenggorokannya. Illyvare mual dan kepalanya terasa pening. Illyvare bersyukur Elleinder memeluknya kalau tidak, Illyvare yakin ia akan jatuh pingsan. Kakinya terasa lemas sekali sementara itu matanya terasa berkunang-kunang.

“Kurasa sesuatu telah terjadi,” kata Elleinder, “Sebaiknya aku membawamu kembali ke kamarmu.”

Elleinder membopong Illyvare dan membawa Illyvare ke kamarnya sambil menyesuaikan diri dengan gerakan kapal yang tidak teratur. Illyvare, merasa ia terlalu lemah untuk melakukan sesuatu, menyandarkan kepalanya di pundak Elleinder.

Elleinder melihat langit dengan cemas. Ia khawatir akan terjadi badai. Itulah hal yang paling tidak diharapkannya akan terjadi selama perjalanan ini.

Saat ini Elleinder tidak dapat menanyakan apa yang telah terjadi. Illyvare berada di gendongannya dan ia tidak mau gadis itu menjadi khawatir kalau tahu sesuatu yang buruk telah terjadi.

Illyvare melingkarkan tangannya di sekeliling leher Elleinder. Gadis itu menyembunyikan kepalanya di dada Elleinder dan mencoba mengatasi rasa mual di perut dan lehernya. Matanya terus berkunang-kunang dan apa yang dilihatnya hanya membuat dirinya semakin pusing. Illyvare memejamkan mata.

Elleinder merasakan tubuh Illyvare bergetar di pelukannya. Ia mengerti gadis itu ketakutan oleh hal yang baru pertama kali dialaminya ini. Elleinder semakin berhati-hati membawa Illyvare ke kamarnya.

Linty yang sejak tadi menanti Illyvare, terkejut melihat Elleinder datang dengan Illyvare di gendongannya.

“Cepat siapkan tempat tidur,” perintah Elleinder.

Linty cepat-cepat membenahi letak bantal dan menarik selimut yang menutupi seluruh permukaan tempat tidur.

Dengan hati-hati Elleinder meletakkan Illyvare di tempat tidur.

Merasakan kelembutan tempat tidur, perlahan-lahan Illyvare membuka matanya.

Elleinder terkejut melihat wajah pucat Illyvare. Tiba-tiba saja ia menyadari ia tak memperhitungkan kemungkinan Illyvare mabuk laut.

“Maafkan aku,” kata Elleinder sambil menyelimuti Illyvare, “Aku sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan engkau mabuk laut.”

“Ti… tidak apa… apa…,” kata Illyvare sambil mencegah tubuhnya memuntahkan kembali apa yang telah dimakannya pagi tadi.

“Linty,” kata Elleinder, “Carikan obat untuk Illyvare.”

“Baik, Paduka.”

“Aku pun harus pergi, Illyvare,” kata Elleinder lembut. “Aku ingin mengetahui apa yang telah terjadi.”

Illyvare menarik lengan baju Elleinder.

Elleinder melihat tangan putih yang memegang erat-erat lengan bajunya itu. Elleinder meletakkan tangannya di atas tangan itu dan berkata lembut, “Jangan khawatir, Illyvare. Di sini engkau aman. Sebentar lagi Linty juga akan kembali. Ia akan menemanimu sampai aku datang.”

Elleinder melepaskan pegangan itu dengan lembut. “Tunggulah Linty di sini.”

Gadis itu mengangguk dan memejamkan matanya.

Elleinder meninggalkan kamar Illyvare dan segera menemui Steele di ruang kemudi.

“Apa yang terjadi? Apakah akan ada badai?”

“Tidak, Paduka,” jawab Steele, “Guncangan tadi akibat kapal kita hampir menabrak karang. Kami telah berhasil menjauhi karang-karang itu tetapi sebagian dari lambung kapal tertabrak akibatnya air masuk dan kapal menjadi tidak seimbang.”

“Perintahkan beberapa orang untuk memperbaiki kerusakan kapal dan membuang air yang masuk.”

“Paduka tidak perlu khawatir. Saya telah melakukannya.”

“Untuk menghindari kerusakan yang lebih parah, kita harus mendarat di daratan terdekat. Di sana kita akan memeriksa kerusakan dengan lebih teliti. Jangan sampai ada kerusakan yang terlewatkan.”

“Saya mengerti, Paduka.”

Elleinder melihat laut yang tenang. “Aku berharap tidak terjadi badai selama perjalanan ini hingga kita sampai di Leiffberg.”

“Saya juga berharap cuaca akan tetap tenang seperti ini hingga kita sampai di Leiffberg.”

Elleinder mengawasi laut yang tenang.

Steele mulai memeriksa kedudukan mereka dan membuka peta untuk mencari daratan terdekat untuk mendarat. Sementara itu di geladak, beberapa kelasi berlalu lalang kepanikan.

“Paduka! Paduka!”

“Ada apa, Linty?”

“Gawat, Paduka,” kata Linty terengah-engah, “Paduka Ratu…”

“Ada apa dengannya?” potong Elleinder panik.

“Paduka Ratu tidak mau makan obat dan ia tampak sangat pucat. Saya sudah membujuknya tetapi ia tidak mau.”

“Aku mengerti.”

Elleinder menuju kamar Illyvare. Elleinder melihat wajah Illyvare tampak putih pucat. Gadis itu tampak sangat kesakitan.

Elleinder duduk di samping Illyvare. Dengan satu tangannya, ia mengangkat tubuh Illyvare dan tangannya yang lain meraih obat di meja samping tempat tidur.

Illyvare membuka matanya perlahan-lahan.

“Mengapa engkau tidak mau minum obat? Engkau harus minum obat ini agar engkau merasa lebih baik.”

“S…”

Elleinder tidak melewatkan kesempatan baik ketika Illyvare membuka mulutnya. Cepat-cepat ia meraih gelas dan menyodorkannya di bibir Illyvare.

“Obat ini akan membuatmu mengantuk tetapi setelah engkau bangun nanti, engkau akan merasa lebih baik.”

Illyvare meneguk sedikit air yang disodorkan di mulutnya. Illyvare takut air itu akan membuat perutnya semakin mual dan akhirnya ia memuntahkan semua yang ada di perutnya.

Elleinder menyeka keringat dingin di kepala Illyvare yang tersandar di dadanya itu.

“Keadaanmu sangat mengkhawatirkan aku, Illyvare. Aku akan menyuruh Steele mendarat di kota terdekat. Dari sana kita akan ke Istana Qringvassein dengan kereta kuda. Kita akan berjalan pelan-pelan agar engkau dapat pulih sebelum kita mencapai Skellefreinth.”

Tangan Illyvare bergetar ketika ia berusaha meraih tangan Elleinder. Elleinder melihatnya dan ia cepat-cepat meraih tangan Illyvare.

“Ti… ti… ti…dak… p… pe… per… lu…”

“Perlu!” bantah Elleinder, “Kalau aku memaksa engkau pergi dengan keadaan seperti ini, engkau akan jatuh sakit. Itu adalah hal yang tidak kuinginkan. Rakyat kita pasti juga tidak ingin Ratunya sakit.”

“Baiklah,” Elleinder cepat-cepat mengalah ketika melihat Illyvare hendak berkata, “Kita akan membicarakannya setelah engkau merasa lebih baik. Sekarang engkau beristirahat saja.”

Illyvare mulai merasa mengantuk.

Elleinder terus memeluk Illyvare sampai gadis itu tertidur. Elleinder membaringkan tubuh Illyvare dan menyelimutinya.

Seperti dulu, ia senang melihat wajah cantik itu tidur dengan tenang. Tetapi kali Elleinder tidak ingin meninggalkan Illyvare. Elleinder ingin menjaga Illyvare.

Elleinder meletakkan kursi di samping tempat tidur Illyvare. Melalui pintu yang menghubungkan kamarnya dan kamar Illyvare, ia kembali ke kamarnya untuk mengambil koran tetapi ia tidak membacanya.

Elleinder mengawasi wajah Illyvare dengan penuh rasa ingin tahu. Sampai saat ini ia jarang mendengar suara Illyvare. Illyvare pendiam, sangat pendiam hingga kelihatannya ia marah pada Elleinder dan tidak mau berbicara dengannya. Sampai saat ini pula Elleinder tidak tahu mengapa gadis secantik Illyvare dikurung Raja Leland di Istana Vezuza.

Gadis itu baik tidur maupun tidak tidur selalu tenang bahkan ketika ia sakit pun matanya tetap terlihat tenang. Mata hitam yang selalu tenang itu indah dipandang. Hitam bagai gua yang tak berujung dan penuh misteri. Misteri kecantikan yang selalu memabukkan tiap orang untuk terus memandangnya.

Diam-diam Elleinder mengakui ia senang melihat wajah cantik itu baik sedang tidur maupun tidak. Untuk saat ini lebih aman bila ia menatap lekat-lekat wajah cantik itu saat gadis itu tidur. Kalau saat gadis itu bangun, Elleinder tidak tahu apa yang akan dilakukan Illyvare.

Terdorong perasaannya, Elleinder membungkuk mencium bibir yang terkatup rapat itu.

“Paduka.”

Panggilan ragu-ragu itu membuat Elleinder terpaksa berpaling dari Illyvare.

“Saya minta maaf telah mengganggu Anda,” Linty berkata hati-hati.

“Aku yakin ada sesuatu yang hendak kaukatakan, Linty. Mengapa engkau tidak mengatakannya sekarang?”

“Ini mengenai Paduka Ratu. Selama ini Paduka Ratu hampir tidak pernah berbicara dengan saya. Saya khawatir Paduka Ratu tidak mengerti apa yang saya katakan.”

“Kupikir ia mendiamkanmu bukan karena Illyvare tidak mengerti, tetapi karena ia memang pendiam. Engkau tidak perlu khawatir, Linty. Aku melihat Illyvare menyukaimu hanya saja dia terlalu pendiam.”

Linty lega Elleinder mengerti apa yang dikhawatirkannya. “Raja Elleinder memang orang yang pengertian,” pujinya dalam hati.

“Hari ini engkau bebas tugas, Linty. Aku yang akan menjaga Illyvare untuk hari ini. Engkau dapat bersenang-senang.”

“Terima kasih, Paduka,” kata Linty.

Linty membungkuk hormat sebelum meninggalkan kamar itu.

Elleinder kembali pada peri mungilnya yang cantik.

-----0-----



Illyvare kesulitan membiasakan matanya dalam cahaya yang memenuhi kamarnya. Sinar yang menyilaukan itu membuat Illyvare melindungi matanya.

“Engkau sudah bangun?”

Illyvare mengerjapkan mata berulang kali sebelum ia benar-benar terbiasa dengan sinar itu.

Elleinder duduk di sisi Illyvare. Perlahan-lahan ia mengangkat badan Illyvare. Sementara tangannya yang lain menyangga punggung Illyvare, Elleinder menumpuk bantal di pinggiran ranjang. Elleinder masih bersikap hati-hati ketika ia menyandarkan punggung Illyvare di tumpukan bantal itu.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?”

“Saya baik-baik saja,” jawab Illyvare singkat.

Elleinder tidak percaya. Ia meraba kening Illyvare. “Aku senang mendengarnya.”

“Kita…,” Illyvare tidak merasakan buaian laut yang lembut, “Kita telah mendarat?”

Elleinder tersenyum lembut. “Benar, kita sekarang sudah mendarat.”

“Kita akan tetap melanjutkan perjalanan laut ini tetapi kita harus memeriksa lambung kapal. Guncangan siang tadi disebabkan kapal kita menabrak karang. Tabrakan itu menyebabkan lambung kapal koyak dan air masuk. Kerusakan itu telah dibenahi tetapi aku tetap memerintahkan kita mendarat di daratan terdekat. Aku ingin kerusakan diperiksa dengan lebih teliti sebelum melanjutkan perjalanan. Aku juga ingin pendaratan ini memulihkan keadaanmu.”

Illyvare diam saja. Ia sadar apa yang diinginkan Elleinder benar. Setelah guncangan yang membuat ia mual tadi, Illyvare merasa ia perlu meninggalkan buaian laut yang dapat memabukkan itu. Tubuhnya harus sehat kembali agar dapat meneruskan perjalanan sampai akhir.

Illyvare melihat jendela tempat sinar itu masuk. Ia ingin tahu apakah ini sudah saatnya matahari terbenam.

“Belum terlalu terlambat untuk melihat matahari terbenam.”

Illyvare mengalihkan perhatiannya.

“Aku akan memanggil Linty untuk membantumu mempersiapkan diri.”

Illyvare melihat tubuhnya dan memerah. Gaunnya telah ditanggalkan dari tubuhnya. Yang melekat padanya adalah gaun tidurnya. Ini sudah kedua kalinya Elleinder melihatnya berbaring di ranjang dengan mengenakan gaun tidur sutra yang lembut. Pertama kemarin sore lalu sore ini.

Pintu diketuk seseorang lalu Linty muncul. Seperti biasa Linty tersenyum ramah sambil menyapanya, “Selamat sore, Paduka Ratu. Apakah Anda sudah merasa lebih baik?”

Illyvare mengangguk. Gadis itu meninggalkan tempat tidurnya.

Linty dengan cekatan mengambil gaunnya dan membantunya mempersiapkan diri.

Illyvare hanya dapat terpana ketika melihat di buritan kapal terdapat meja yang telah dihiasi dengan taplak putih dan pot bunga besar.

Elleinder tersenyum ramah ketika mendekatinya. Pria itu mencium tangannya. “Kita akan makan siang di sini. Engkau senang?”

Illyvare melirik matahari yang hampir terbenam.

Elleinder tertawa geli. “Baik. Aku ralat makan sore sebagai ganti makan siang kita yang terlewatkan.”

“Aku berkata ingin mengenalmu karena itu aku juga ingin makan bersamamu.”

Elleinder membimbing Illyvare ke meja makan. Seperti yang sering dilakukannya, Elleinder menarik kursi untuk Illyvare sebelum ia duduk di hadapan gadis itu.

Pelayan mulai melayani mereka.

Matahari yang terus mendekati wajah bumi menyinari mereka. Sinarnya yang merah terasa hangat. Angin laut yang bertiup sepoi-sepoi meramaikan suasana. Ombak laut membuai perahu.

Suasana makan siang seperti ini tidak pernah dibayangkan Illyvare. Sangat romantis. Berdua menyantap makan siang sementara matahari menyinari mereka, angin memabukkan mereka dan laut membuai mereka.

Elleinder berdiri di samping Illyvare yang tengah memandang matahari yang mulai memasuki peraduannya.

Langit membara terang. Matahari tampak sangat besar dan sinarnya yang jatuh di permukaan laut membuat laut tampak merah. Di sekeliling matahari tampak pelangi yang mempesona.

Tidak seorangpun dari mereka yang berbicara. Juga para pelayan yang tengah merapikan meja makan.

Elleinder mengira Illyvare akan terpesona melihat keindahan alam itu. Ia terkejut ketika melihat Illyvare dan mendapati gadis itu tetap tenang. Ketika matahari sudah benar-benar memasuki peraduannya dan meninggalkan sinarnya yang membara pun, Illyvare masih tetap tampak diam membisu.

“Bagaimana menurutmu?” Elleinder sengaja memancing Illyvare berbicara.

“Seperti tiara laut,” jawab Illyvare singkat.

Untuk sesaat Elleinder kebingungan mendengar jawaban itu. Ia melihat laut di kejauhan dan mengerti apa yang dikatakan Illyvare.

Sinar merah matahari di permukaan laut tampak seperti permata yang tiada taranya. Benar-benar permata laut yang indah.

Illyvare melihat sekeliling kapal yang sepi.

“Malam ini mereka berkemah di daratan. Besok mereka akan kembali memeriksa kapal. Ketika kita mendarat tadi, hari sudah sore dan pemeriksaan belum selesai. Menurut perhitunganku, besok siang kita sudah akan berlayar kembali.”

Illyvare melangkah ke geladak kapal. Dari situ ia melihat prajurit-prajurit yang mengawal mereka telah mendirikan tenda. Sekarang mereka tengah bercakap-cakap sambil mengelilingi api unggun.

“Apa yang akan kaulakukan?” Elleinder kaget ketika Illyvare menuju tangga tali kapal. Elleinder cepat-cepat menarik Illyvare.

“Saya merasa kita tidak adil. Mereka tidur di tanah sementara kita tetap di kapal.”

“Mereka yang ingin berkemah, Illyvare,” kata Elleinder lembut, “Aku tidak melarang kalau mereka ingin tidur di kapal. Kurasa mereka sudah merindukan daratan.”

Illyvare memandang pantai di kejauhan.

Elleinder berkata tegas, “Engkau masih belum sehat benar. Jangan sampai engkau tidur dengan angin dingin sepanjang malam terus menerpamu. Malam ini engkau harus tidur di kamarmu yang hangat!”

Belum habis kekagetan Illyvare mendengar nada-nada tegas dan memerintah itu ketika tubuhnya tiba-tiba terangkat.

“Angin malam laut musim gugur sangat kejam. Ia akan membuatmu sakit. Kalau itu terjadi, aku akan membatalkan perjalanan ini walau engkau tidak suka.”

Illyvare hanya berpegangan pada pundak Elleinder yang lebar dan membiarkan pria itu membawanya ke kamarnya.

Linty telah menyalakan lilin-lilin. Wanita itu tersenyum ramah ketika melihat mereka. “Selamat malam.”

“Selamat malam, Linty.”

“Bila Anda mengijinkan, Paduka, saya ingin berkumpul dengan yang lain.”

“Lakukan apa yang kaumau, Linty,” kata Illyvare.

Linty terpana mendengarnya. Kemudian ia tersenyum senang dan membungkuk badan dalam-dalam sebelum meninggalkan mereka berdua.

Elleinder menurunkan Illyvare dengan hati-hati. “Aku tahu engkau bisa bahasa kami.”

Illyvare diam saja.

“Linty khawatir engkau tidak dapat mengerti Bahasa Latin Kuno. Sekarang ia tidak perlu khawatir lagi. Engkau dapat berbicara bahasa itu dengan fasih. Dan, sepertinya aku tidak harus berbicara dalam bahasamu.”

Pelajaran bahasa Latin Kuno adalah satu di antara pelajaran-pelajaran lain yang diterima Illyvare. Raja Leland berulang kali menegaskan Illyvare harus bisa menggunakan bahasa yang menjadi induk hampir semua bahasa di Eropa ini.

“Hari ini masih panjang. Bagaimana kalau kita bermain kartu atau catur sambil berbicara tentang sesuatu yang menarik?”

“Saya tidak mempunyai apa pun untuk diceritakan.”

“Sebaliknya, Illyvare, aku berpendapat engkau mempunyai banyak hal menarik yang dapat kauceritakan.”

Illyvare diam saja.

“Aku akan mengambilnya di kamarku.”

Tak lama kemudian Elleinder kembali bersama kotak catur dan sebuah buku tebal. Elleinder menunjukkan buku itu pada Illyvare.

“Aku menemukan buku ini ketika mencari catur ini. Kulihat engkau sangat menyukai laut. Aku yakin engkau akan menyukainya.”

Illyvare melihat judul buku itu itu. “Gambaran Dunia” begitu judulnya.

“Buku ini ditulis oleh Marco Polo,” Elleinder menjelaskan, “Ia banyak bercerita tentang Negara-negara Timur. Tentang kerajaan yang semuanya berlapis emas, negeri-negeri yang subur. Semuanya ada.”

“Bukan oleh Marco Polo,” Illyvare membenarkan, “Tetapi oleh seorang pengarang populer yang bernama Rusticello dari Pisa.”

“Tak kuduga engkau banyak tahu tentang buku ini,” Elleinder terkejut.

Illyvare tidak menanggapi.

Elleinder melihat pembicaraan tentang buku ini dapat membuat Illyvare berbicara panjang lebar. Pria itu tidak membuang kesempatan ini. “Mengapa bukan Marco Polo sendiri yang menulisnya?”

“Waktu itu Marco Polo ditangkap dan dipenjara oleh tentara Genoa. Sewaktu di dalam penjara itulah Marco Polo memutuskan untuk membukukan kisah perlawatannya. Dengan bantuan catatan-catatannya, ia mendiktekan pengalaman-pengalamannya kepada Rusticello yang waktu itu juga terpenjara bersamanya. Rusticello menterjemahkan cerita itu ke dalam bahasa Perancis Kuno, bahasa sastra Itali di abad 13. Buku itu selesai tahun 1298.”

Elleinder senang pada akhirnya ia berhasil membuat Illyvare berbicara panjang. Tapi ia harus puas sekali membuat Illyvare berbicara banyak. Selanjutnya Elleinderlah yang banyak bicara. Illyvare lebih banyak membenarkan atau mendengarkan.

Mereka berbicara sampai larut malam hingga membuat Illyvare khawatir ia tidak dapat bangun sepagi yang ia harapkan. Tetapi pagi ini ia sudah membuka matanya ketika hari masih gelap.

Illyvare masih ingat benar apa yang mereka bicarakan sepanjang malam hingga lewat tengah malam. Mereka berbicara tentang Marco Polo yang merupakan penjelajah pertama yang menempuh seluruh Asia dari barat ke timur dan kembali lagi.

Elleinder menjelaskan apa saja yang ada dalam buku “Gambaran Dunia.” Bagaimana Marco Polo menyebutkan semua kerajaan yang dilaluinya dan melukiskan negeri-negeri dan rakyatnya.

Elleinder juga menjelaskan bahwa di dalam buku itu dijelaskan bahwa Marco Polo adalah orang yang pertama yang mendaki dataran Pamir yang tinggi di Asia Tengah dan menceritakan tentang gurun-gurun Parsi yang penuh bahaya. Ia adalah orang Eropa pertama yang melukiskan kehidupan rakyat Cina.

Marco Polo juga menggambarkan kehidupan di Tibet, Burma, Siam, Srilangka dan India. Semua negeri ini sudah dikunjunginya. Tetapi ia juga menceritakan tentang negeri-negeri berbatasan yang diketahuinya keadaannya dari orang lain.

Ia bicara mengenai Jepang dengan angkatan lautnya yang kuat dan diceritakannya tentang kereta luncur yang ditarik anjing, tentang rusa-rusa dan beruang-beruang kutub di Siberia dan daerah-daerah Kutub Utara yang beku.

Dalam bukunya yang diberi judul “Gambaran Dunia” Marco Polo menceritakan tentang kerajaan Kublai Khan yang makmur dan maju, tentang kekayaan kerajaan itu, perdagangan, jalan-jalan dan terusan-terusannya yang panjang.

Ia juga menceritakan tentang sistem pos Khan yang terdiri dari jaringan stasiun-stasiun kurir di seluruh kerajaannya. Penunggang-penunggang kuda menyampaikan berita-berita secara beranting dari stasiun yang satu ke stasiun yang lain.

Semua itu diceritakan Elleinder kepadanya kemarin malam. Sepanjang malam Illyvare mendengar bagaimana Elleinder menjelaskan isi buku itu padanya. Illyvare sudah membaca buku itu tetapi ia tetap tertarik mendengar penjelasan Elleinder.

Mereka keasyikan membahas buku itu hingga tidak sadar hari telah berganti dan saat mereka sadar, waktu menunjukkan hampir pukul setengah dua.

“Sudah hampir pukul setengah dua?” kata Elleinder tak percaya ketika melihat jam. “Tak kuduga kita terlalu larut membicarakan buku ini hingga dini hari.”

Illyvare juga tidak menyadari waktu terus berjalan sementara ia asyik mendengar Elleinder berbicara.

“Kurasa kita harus tidur sekarang juga kalau tidak ingin kita bangun lebih siang,” kata Elleinder sambil menutup buku, “Aku khawatir kita akan bangun terlambat.”

Elleinder meletakkan buku itu di meja lalu mendekati Illyvare. “Tidurlah yang nyenyak,” Elleinder mencium dahi Illyvare, “Selamat malam.”

Setelah Elleinder menghilang di balik pintu, Illyvare berganti gaun tidur lalu naik ke tempat tidur. Seperti Elleinder, ia juga khawatir akan kesiangan. Tetapi saat ini ia sudah membuka mata.

Sayup-sayup Illyvare mendengar keramaian di kejauhan. Illyvare tahu suara ramai itulah yang membangunkannya sepagi ini. Illyvare tertarik untuk mengetahui apa yang menyebabkan suara itu.

Illyvare membuka lemari bajunya dan mencari mantel yang tebal. Kemudian ia menuju geladak yang menghadap pantai.

Di pantai prajurit-prajurit sudah terbangun. Terlihat beberapa api unggun sudah padam dan meninggalkan asap membumbung tinggi. Beberapa masih menyala terang.

Sejumlah prajurit menuju ke bagian pantai yang menjorok ke laut dan melemparkan sesuatu ke dalam laut. Yang lain ada yang masih berada dalam tenda tetapi ada juga yang menghidupkan api unggun kembali.

“Sepertinya mereka yang membuat kita terbangun.”

Illyvare membalikkan badan.

“Entah apa yang membuat mereka ribut seperti ini,” Elleinder mendekati Illyvare, “Sangat ribut sampai suara mereka terdengar di sini.”

Illyvare melihat keramaian di pantai.

“Aku rasa mereka sedang memancing. Aku ingin sesekali sarapan dengan ikan bakar. Engkau mau ikut?” Tanpa perlu bertanya pun Elleinder tahu Illyvare mau.

“Kita harus berganti baju dulu,” Elleinder mengajak Illyvare kembali ke kamar mereka masing-masing.

Ketika sampai di depan pintu kamar Illyvare, Elleinder berkata, “Aku akan menunggumu di sini.”

Illyvare segera masuk dan cepat-cepat merapikan diri. Gadis itu ingin segera turun melihat keramaian di pantai. Illyvare membiarkan rambut panjangnya terurai kemudian ia mengambil mantel coklatnya.

Ketika Illyvare keluar, Elleinder juga baru keluar dari kamarnya.

“Dengan gaun biru cerah itu, engkau tampak seperti peri yang baru muncul dari laut,” puji Elleinder.

Illyvare diam termenung.

Elleinder mengambil mantel tanpa lengan di tangan Illyvare kemudian mengenakannya pada Illyvare. “Lebih baik engkau memakai mantelmu. Di bawah sana lebih dingin dari di sini.”

Elleinder membawa Illyvare ke geladak.

Illyvare melihat laut di sekeliling kapal mereka.

“Kita akan ke pantai dengan perahu kecil,” Elleinder menjelaskan.

Illyvare melihat di bawah telah ada sebuah perahu kecil.

“Aku akan turun dulu untuk menjagamu,” kata Elleinder kemudian pria itu menuruni tangga tali di samping kapal. Setelah menuruni beberapa tangga, Elleinder berkata pada Illyvare, “Turunlah, aku menjagamu.”

Illyvare mengikuti apa yang disuruh Elleinder.

Elleinder benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Pria itu menjaga Illyvare dalam setiap langkahnya.

Ketika Elleinder sampai di perahu, ia segera mengangkat tubuh Illyvare dari tangga.

Illyvare memegang erat-erat lengan Elleinder sampai ia terbiasa oleh ombak yang menghantam perahu kecil itu.

Elleinder membantu Illyvare duduk di perahu kemudian ia duduk dan mulai mendayung.

Ketika mereka mulai meninggalkan kapal besar itu, Illyvare melihat beberapa perahu mengikuti mereka. Illyvare tahu prajurit yang ada di dalam perahu itu adalah pasukan pengawal Raja dan Ratu.

Semakin mereka menjauhi kapal besar itu, Illyvare semakin tahu sebesar apa kapal itu. Kapal itu sangat besar dan kokoh. Tiang-tiang layarnya berdiri tegak menjulang ke angkasa seolah-olah memamerkan kekuatan mereka. Kapal yang berdiri di lautan itu tampak terayun-ayun oleh ombak besar. Kapal dengan laut biru yang membentang luas itu tampak seperti lukisan di dini hari.

Semakin mereka menjauhi kapal, semakin luas laut yang tampak oleh mata. Laut yang terhampar di depannya, tampak hitam dan memantulkan sinar kemilau bintang-bintang yang mulai memudar.

Elleinder melihat gadis yang duduk di hadapannya itu memandang jauh. Pria itu terus mendayung kapal ke pantai.

Orang-orang yang berada di pantai tidak menyadari kedatangan Elleinder dan Illyvare. Mereka terlalu sibuk dengan keramaian mereka sendiri.

Elleinder melompat ke pantai ketika mereka tiba. Elleinder mencegah Illyvare yang hendak melompat juga. Elleinder menarik perahu kecil itu ke pantai yang tidak tergenang air lalu mengangkat Illyvare keluar dari perahu.

Perahu-perahu lain yang mengikuti mereka juga mulai mendekati pantai. Tetapi baik Elleinder maupun Illyvare tidak menanti mereka. Mereka berdua berjalan ke tenda-tenda di depan mereka.

Semua orang di sana tidak menyadari Raja dan Ratu mereka telah berada di dekat mereka hingga salah seorang yang kebetulan melihat ke arah laut, melihat mereka berjalan mendekat dengan sejumlah pasukan di belakang mereka.

“Paduka Raja dan Paduka Ratu datang!” teriaknya.



*****Lanjut ke chapter 6

No comments:

Post a Comment