Sunday, February 18, 2007

Topeng Sang Puteri-Chapter 3

Hari pernikahan yang direncanakan akhirnya tiba.

Dalam pertemuan antara Elleinder dengan Raja Leland, diputuskan untuk segera melangsungkan pernikahan. Dan untuk menunjukkan pernikahan ini untuk mempererat persahabatan dua kerajaan, pernikahan dilangsungkan di gereja yang paling dekat dengan perbatasan antara dua kerajaan.


Pernikahan yang baru diumumkan setelah semuanya siap ini mengejutkan banyak kerajaan.

Banyak yang menilai tindakan Elleinder sangat berani. Tidak ada seorang Pangeran pun yang mau menikah dengan Putri yang buruk rupa itu walau untuk menguasai Kerajaan Aqnetta.

Yang pertama kali terkejut dengan rencana pernikahan ini tentu saja penduduk Kerajaan Skyvarrna. Tetapi mereka sudah terlalu terlambat untuk menghentikan Raja mereka. Semua hal yang menyangkut pernikahan hampir selesai ketika mereka tahu. Para pejabat istana pun baru tahu setelah Raja Leland menerima lamaran Elleinder.

Yang diharapkan penduduk Kerajaan Skyvarrna hanya Raja mereka tahu tindakannya ini dan ia tidak menyesal menikah dengan Putri yang dikatakan sangat buruk rupa hingga Raja Leland sangat malu karenanya.

Dalam pernikahan ini diundang banyak keluarga kerajaan dari kerajaan lain. Dan semua sudah hadir sebelum waktunya.

“Lihatlah Gereja Chreighton sudah penuh,” kata Arwain yang hari itu menjadi pendamping pengantin pria, “Kurasa mereka lebih ingin melihat rupa sang Putri daripada pernikahanmu sendiri.”

“Mengapa mereka belum datang?” kata Elleinder cemas, “Raja Leland berjanji akan datang tepat waktu.”

“Engkau tidak sabar rupanya. Tidak mengetahui rupa calon istri saja sudah tidak sabar seperti ini belum lagi kalau tahu.”

“Aku tidak mengerti mengapa Raja Leland sangat menyembunyikan putrinya. Bahkan ketika aku menanyakannya, ia mengelak mengatakan segala sesuatu tentang putrinya.”

“Kurasa ia benar-benar malu akan putrinya,” Arwain memberi pendapat. “Selama kita di Istana Vezuza, aku juga tidak dapat menyelidiki lebih jauh. Istana itu sangat ketat penjagaannya. Sampai sekarang aku masih ingat bagaimana aku merasa seluruh bulu kudukku berdiri ketika menginjak halaman istana.”

Elleinder pun masih ingat suasana ketika berada di Istana Vezuza. Rasanya puluhan mata selalu mengawasi gerak-geriknya walau ruangan itu kosong. Penjagaan di Istana Vezuza memang sangat ketat bahkan lebih ketat dari penjagaan di Istana Qringvassein. Tidak heran kalau tidak ada yang berani mengusik kedamaian Istana Vezuza.

“Tampaknya calon istrimu sudah tiba,” kata Arwain ketika melihat keributan di luar pintu Gereja Chreighton.

Tak lama setelah Arwain mengucapkannya, Elleinder melihat seorang gadis yang berkerudung putih panjang memasuki pintu gereja dengan perlahan.

Raja Leland dengan bangga menggandeng gadis itu ke arahnya. Sesekali ia mengangguk kepada orang-orang yang mengucapkan selamat padanya.

“Seperti apa yang rupa gadis itu. Aku sama sekali tidak tahu apakah ia cantik atau jelek. Apakah ia gemuk atau tidak.”

“Apa boleh buat,” kata Elleinder, “Dari rambut sampai kakinya tertutup kerudung putihnya yang panjang. Dan sepertinya kerudungnya sangat tebal sehingga sukar melihat wajahnya.”

“Tampaknya Raja Leland benar-benar tidak mau putrinya terlihat siapapun sebelum engkau menikahinya.”

“Tampaknya memang seperti itu.”

Tiba-tiba Uskup berdehem cukup keras.

Kedua pria itu segera menyadari kesalahan mereka. Mereka diam seribu bahasa dan terus menantikan gadis yang semakin dekat itu.

“Gadismu datang,” bisik Arwain ketika gadis itu telah tiba di depan altar.

“Saat ini adalah saat terakhir kita berhubungan sebagai dua Raja,” kata Raja Leland sebelum menyerahkan putrinya kepada Elleinder, “Aku ingin engkau menjaga putriku baik-baik.”

“Tentu, Raja Leland,” jawab Elleinder.

Raja Leland tersenyum. “Terimalah putriku. Aku berharap dia tidak mengecewakanmu dan engkau mau membahagiakannya,” katanya sambil mengulurkan tangan putrinya pada Elleinder.

Elleinder tertegun melihat tangan itu. Tangan yang terbungkus sarung tangan putih itu kecil dan jari-jari lentiknya terulur anggun.

Perlahan tapi pasti Elleinder meraih tangan itu. Kembali ia tertegun ketika merasakan dinginnya tangan itu di tangannya. Tangan mungil itu terasa sangat tenang. Sama sekali tidak ada getaran khawatir atau sejenisnya. Juga tidak ada getaran gembira.

Elleinder heran. Setahunya setiap gadis pasti akan gugup menghadapi pernikahannya tapi tangan gadis yang akan menjadi istrinya ini sama sekali tidak menampakkan kegugupannya. Tangan itu sangat tenang dan lembut.

Segera setelah keduanya berlutut di depan altar, Uskup memulai upacara suci itu. Dalam keheningan yang sakral itu, Elleinder sama sekali tidak merasakan kecemasan sang Putri dan itu membuatnya semakin ingin tahu seperti apakah rupa sang Putri. Dalam upacara itu pula ia baru mengetahui nama sang Putri.

“Illyvare,” gumam Elleinder dalam hatinya sesaat setelah mengucapkan janjinya.

Keingintahuan Elleinder semakin besar ketika sang Putri mengucapkan janjinya dengan perlahan namun tetap tenang. Suara lembut itu mengusik keingintahuan Elleinder. Elleinder tahu ia harus bersabar hingga upacara selesai.

Ketika Uskup akhirnya berkata “Dengan ini kalian resmi menjadi suami istri”, Elleinder sudah tidak sabar untuk menyingkap kerudung yang menutupi seluruh wajah istrinya.

Dengan menahan perasaan ingin tahunya yang besar, Elleinder membuka kerudung itu perlahan-lahan. Ketika akhirnya kerudung itu benar-benar tersingkap, Elleinder tertegun.

Entah untuk keberapa kalinya dalam upacara pernikahannya ini ia dibuat tertegun oleh istrinya yang tak pernah dilihatnya sebelumnya juga tidak pernah dilihat orang lain. Tetapi kali ini Elleinder bukan hanya tertegun tetapi juga terpesona oleh wajah cantik yang menatapnya dengan tenang.

Wajah cantik itu tampak tenang setenang sinar bola matanya yang kecoklatan. Dengan rambut hitamnya yang indah yang disanggul rapi, gadis itu tampak anggun. Kulit putihnya bersemu rona merah muda yang membuatnya sangat manis.

Sungguh merupakan suatu kejutan melihat istrinya ternyata jauh berbeda dari apa yang diperkirakan semua orang. Putri Illyvare sangat cantik dan mungil seperti seorang peri. Kecantikkan timur yang lembut yang dimilikinya membuatnya tampak sangat anggun dan lembut.

Uskup tampaknya juga tertegun melihat Putri kerajaannya itu. Ia tidak segera menghentikan Elleinder yang terus menatap lekat-lekat wajah Illyvare. Dibiarkannya mata terpesona Elleinder terus beradu dengan mata tenang Illyvare.

Untung Elleinder cepat menyadari ia berada di tengah upacara pernikahan. Dengan perlahan seolah takut mengusik ketenangan gadis cantik itu, Elleinder mencium istrinya.

Rupanya sang Putri masih merasa belum cukup membuat Elleinder tertegun dalam upacara pernikahannya ini. Sekali lagi Elleinder tertegun oleh dinginnya bibir sang istri. Bibir yang lembut itu dingin dan tenang. Rasanya semua yang ada pada gadis itu dingin dan tenang tetapi juga lembut.

Setelahnya Uskup melanjutkan upacara dengan upacara peneguhan cincin pernikahan.

Ketika akan memasukkan cincin pernikahan itu ke jari istrinya, Elleinder baru sadar cincin itu terlalu besar untuk istrinya. Seperti semua orang, ia percaya sang Putri gemuk dan ia menyiapkan cincin yang cukup besar. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya kalau sang Putri ternyata seorang gadis yang sangat cantik seperti seorang peri.

Dengan perasaan bersalah, ia memasukkan cincin itu ke jari manis Illyvare yang tetap tenang dalam kediamannya.

Setelah semua rangkaian upacara pernikahan selesai, keduanya masih tidak dapat meninggalkan gereja. Mereka masih harus menanti upacara penobatan mereka sebagai Raja dan Ratu Kerajaan Aqnetta. Dan untuk Illyvare, ia harus mengikuti upacara penobatan dirinya menjadi Ratu Kerajaan Skyvarrna.

Mereka berdua terus berlutut di depan altar – membelakangi semua tamu yang ingin tahu seperti apakah rupa sang Putri.

Dalam ketenangan penantian itu, Illyvare kembali teringat saat-saat ia mengetahui pernikahannya ini.

“Putri! Putri Illyvare!”

Illyvare yang berada di antara kebun bunganya yang tinggi, memalingkan kepalanya dengan perlahan seolah tidak ingin rambut panjangnya merusak kuntum-kuntum bunga warna-warni yang bermekaran di sekitarnya.

Nissha yang terburu-buru lupa pada tujuannya semula karenanya. Nissha tidak pernah tidak mengagumi kecantikan Putri yang diasuhnya sejak kecil, ketika gadis itu berada di antara bunga-bunga di kebun bunganya.

“Ada apa, Nissha?” Illyvare membuyarkan senyuman yang menghiasi wajah Nissha.

Pertanyaan yang diucapkan dengan lembut itu membuat Nissha kembali teringat pada tujuannya semula. “Gawat, Tuan Puteri. Gawat sekali.”

Illyvare hanya menatap pengasuhnya itu.

“Baru saja Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna meninggalkan Istana Vezuza.”

Illyvare kembali melanjutkan kesibukannya merawat bunga-bunga di sekelilingnya dengan penuh perhatian.

“Tuan Puteri!” panggil Nissha merajuk.

“Aku mendengarkanmu,” sahut Illyvare sambil terus memilih bunga-bunga yang cukup tua untuk dipotongnya.

“Dengarkanlah saya, Tuan Puteri. Masalah ini benar-benar gawat,” kata Nissha setengah memohon, “Ini menyangkut masa depan Anda.”

Pandangan Illyvare menerawang jauh ke langit biru yang tak berujung sebelum ia kembali menatap Nissha.

“Menteri Luar Negeri itu datang untuk menyampaikan lamaran Raja Elleinder pada Anda. Dan ayah Anda menerimanya.”

Illyvare menatap Nissha dengan tenang.

Nissha keheranan melihat Illyvare tetap tenang walau ia tahu ia harus menikah dengan seorang pria yang belum pernah ditemuinya. “Tuan Puteri?”

“Tadi Calf menemuiku dan mengatakan semua hasil pembicaraan Menteri Perkins dengan mereka.”

“Mengapa Anda tenang-tenang saja seperti itu, Tuan Puteri?” Nissha mengungkapkan keheranannya, “Masalah ini bukan masalah sepele. Ini menyangkut masa depan Anda.”

Illyvare sambil menghela napasnya dengan pasrah. Kembali mata gadis itu menerawang jauh di langit biru yang tak berujung. “Langit sedemikian luasnya dan kita tidak tahu dan tidak dapat menentukan di mana ujungnya.”

Nissha tidak mengerti apa yang dikatakan Illyvare. Dan ia tidak bertanya lebih jauh lagi.

“Saya rasa Raja Elleinder mengajukan lamaran bukan karena ia mencintai Anda,” gumam Nissha.

Mendengar perkataan itu, Illyvare menggelengkan kepalanya. Dan tanpa berkata lebih banyak lagi, ia melanjutkan kesibukannya.

“Ia pasti melamar Anda karena ia ingin menguasai Kerajaan Aqnetta. Anda sering berkata banyak yang ingin menguasai kerajaan ini sejak dulu. Pasti Raja Elleinder termasuk di antara mereka. Kalau tidak, ia tidak mungkin melamar Anda yang kata orang-orang, jelek dan gemuk dan entah apa lagi.”

Sambil terus membantu Illyvare, Nissha terus berkata, “Saya tidak mengerti mengapa mereka mempunyai pikiran yang buruk-buruk tentang Anda.”

“Aku tidak pernah menampakkan diriku pada siapapun selain pada kalian yang tinggal di Istana ini, Nissha,” Illyvare memberi penjelasan.

“Tetapi tidak seharusnya mereka punya pikiran seperti itu walau Anda tidak pernah meninggalkan Istana.”

Illyvare tahu percuma berusaha memberi penjelasan lebih banyak kepada Nissha. Dibiarkannya Nissha terus menggumam.

“Putri! Putri Illyvare!” Kembali seseorang memanggil gadis itu.

Kembali pula Illyvare memalingkan kepalanya dengan perlahan.

“Paduka Raja Leland memanggil Anda,” kata prajurit itu, “Paduka ingin Anda menemuinya di Ruang Kerja.”

Illyvare tahu kalau ayahnya memanggilnya ke Ruang Kerja, berarti apa yang akan dikatakannya ini sangat penting dan menyangkut Kerajaan Aqnetta. Illyvare tahu apa yang akan dibicarakan ayahnya padanya.

“Paduka pasti memanggil Anda karena masalah itu,” Nissha memberi pendapat.

Illyvare mengabaikan Nissha. Dengan tenang dan tanpa kecemasan ia berkata, “Bawalah keranjang ini ke kamarku.”

Nissha keheranan melihat Illyvare yang tampak tenang walau tahu apa yang akan dibicarakan ayahnya. Gadis itu memang selalu tenang tetapi tidak pernah disangkanya bahwa ia sedemikian tenangnya hingga tetap tenang walau ada masalah besar yang menyangkut masa depan dan kebahagiaannya sendiri.

Nissha terus memandangi punggung Illyvare yang semakin jauh dan akhirnya menghilang di balik pepohonan yang tinggi di halaman Istana Vezuza yang memagari Istana Vezuza.

Illyvare tahu apa yang sedang dipikirkan pelayan sekaligus pengasuhnya itu tetapi ia tetap diam saja. Tanpa mengkhawatirkan apa pun, Illyvare terus menuju Ruang Kerja. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan ayahnya padanya dan ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.

“Masalah apakah yang ingin Ayahanda bicarakan hingga memanggil saya sepagi ini?” tanya Illyvare dengan sopan.

“Duduklah dulu,” kata Raja Leland tak dapat menahan luapan kegembiraannya.

Illyvare menuruti perintah ayahnya.

“Beberapa saat yang lalu Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna datang untuk menyampaikan surat dari Raja Elleinder. Dalam suratnya, Raja Elleinder ingin melamarmu demi semakin mempererat hubungan kedua kerajaan. Aku telah menerimanya dan aku ingin engkau juga menerimanya dengan ikhlas.”

“Saya mengerti, Ayahanda,” kata Illyvare, “Demi kesejahteraan penduduk Kerajaan Aqnetta, saya akan menikah dengan Raja Elleinder dengan segenap perasaan saya. Dan demi dua kerajaan saya akan melakukan tugas saya dengan baik.”

“Bagus,” kata Raja Leland puas, “Engkau harus tahu pernikahan kalian ini akan membuat kemungkinan dua kerajaan ini menjadi satu dengan kalian sebagai raja dan ratunya. Aku baru saja memutuskan akan segera menyerahkan tahtaku kepadamu setelah pernikahanmu. Dengan demikian engkau dapat dengan mudah membuat rakyat kita menjadi semakin sejahtera.”

“Saya lebih mengharapkan Ayahanda yang memegang tampuk pemerintahan Kerajaan Aqnetta sampai saya benar-benar siap,” kata Illyvare merendah, “Tetapi bila Ayahanda memaksa, saya hanya dapat melakukannya dengan sebaik-baiknya. Saya berharap kelak Ayahanda mau membantu saya yang belum berpengalaman ini.”

Raja Leland tertawa senang karenanya.

“Bagus. Bagus sekali,” katanya berulang-ulang, “Memang itu yang harus kaulakukan. Engkau sudah beruntung bisa dilamar oleh Raja dari kerajaan luas seperti Kerajaan Skyvarrna.”

Illyvare terdiam mendengar kata ‘beruntung’ yang diucapkan dengan penuh kemenangan itu. Ia tahu yang lebih beruntung dengan pernikahan ini adalah ayahnya dan Kerajaan Aqnetta bukan dirinya. Illyvare tahu ia hanya sebagai suatu pion dalam penyatuan dua kerajaan sahabat ini, pion yang sangat penting.

“Karena pernikahanmu ini aku telah mengecewakan Calf. Aku tidak akan memaafkanmu kalau engkau tidak melakukan tugas ini dengan baik.”

“Saya mengerti besarnya tanggung jawab yang berada di tangan saya ini. Saya tidak akan mengecewakan Ayahanda juga rakyat Kerajaan Aqnetta,” Illyvare berjanji.

Raja Leland kembali tertawa senang dan penuh kemenangan.

“Illyvare! Illyvare!”

Illyvare terkejut mendengar panggilan yang semakin lama semakin keras itu. Dengan segera ia menguasai perasaannya kemudian dengan tenang memalingkan kepala pada pria yang kini menjadi suaminya.

“Aku minta maaf.”

Illyvare hanya menatap bingung sebagai jawabannya.

“Cincin yang kusiapkan terlalu besar untukmu.”

“Lupakan saja,” sahut Illyvare kemudian ia kembali menatap lurus ke depan.

Elleinder terus memperhatikan Illyvare yang memandang lurus ke depan. Pandangan yang lurus dan jauh ke depan. Pandangan yang tenang.

Illyvare tahu Elleinder sedang menatapnya namun ia tidak mempedulikannya. Sejak tahu ia akan menjadi Ratu dari dua kerajaan, Illyvare terus berdoa memohon bantuan-Nya agar dapat melakukan tugas beratnya dengan baik.

Elleinder terus memperhatikan gadis itu menutup matanya setelah sekian lama menatap lurus ke salib Yesus di belakang altar.

Tidak dapat dimengerti oleh Elleinder mengapa Raja Leland menyembunyikan putrinya yang sedemikian cantik bahkan malu karenanya. Gadis ini terlalu cantik untuk disembunyikan dari siapapun. Tidak ada suatupun pada diri Illyvare yang dapat menimbulkan perasaan malu.

Elleinder menatap lekat-lekat bulu mata hitamnya yang lentik. Mulutnya yang menekuk lembut di bawah hidungnya yang mungil. Semua yang ada pada gadis ini tampak begitu indah untuk terus dipandang. Elleinder yakin ia takkan menemukan gadis yang jauh lebih mempesona dari Putri satu ini.

Seorang wanita tua mendekati Illyvare.

Elleinder melihat Illyvare merendahkan kepalanya seolah tahu apa yang akan dilakukannya. Kemudian gadis itu membiarkan wanita itu bersama pelayan-pelayannya yang lain melepas mahkota pengantinnya beserta kerudungnya yang panjang.

“Semoga Anda berbahagia bersamanya, Tuan Puteri,” bisik Nissha sesaat sebelum meninggalkan gadis yang terus berlutut di depan altar itu.

“Terima kasih, Nissha,” bisik Illyvare pula. Dan ia kembali tenggelam dalam doanya.

Sesaat setelah itu, Raja Leland dengan pakaian kerajaannya yang lengkap dengan jubah merahnya yang panjang dan berjahitkan benang emas keperak-perakan, memasuki Gereja Chreighton dan terus menuju altar.

Tampak seorang prajurit yang berpakaian seragam lengkap membawa sebuah mahkota yang bertahtakan emas dan berbagai macam batu indah di belakangnya. Beberapa prajurit lain yang juga berpakaian lengkap mengawal mereka dengan ketat.

Elleinder melihat Illyvare masih terus memejamkan matanya walau tamu-tamu menjadi ramai karena terpesona pada mahkota Kerajaan Aqnetta yang indah. Elleinder tidak tahu apakah yang sedang dilakukan gadis itu. Ia hanya menduga gadis itu ingin menikmati saat-saat terakhir sebelum ia menjadi Ratu dan ia membiarkannya.

Sesaat sebelum Raja Leland berdiri di depan mereka, Illyvare membuka matanya perlahan-lahan. Ia tahu saatnya sudah tiba dan ia telah siap menjadi Ratu dari dua kerajaan.

Uskup muncul kembali di altar. Setelah itu Raja Leland baru melepas mahkota di kepalanya dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala Elleinder.

“Hari ini dalam pernikahan kalian, aku menyerahkan tahta Kerajaan Aqnetta kepada kalian,” Raja Leland memulai upacara penyerahan tahta, “Aku ingin kalian memerintah Kerajaan Aqnetta dengan jujur, adil dan bijaksana. Dan demi kemakmuran dan kebahagian seluruh rakyat Kerajaan Aqnetta, aku ingin kalian bersumpah dengan hati yang tulus.”

Kemudian pada Elleinder, Raja Leland berkata, “Elleinder, hari ini aku mengangkatmu menjadi Raja dari Kerajaan Aqnetta menggantikan aku, Raja Leland. Engkau adalah Raja dari Kerajaan Skyvarrna dan aku ingin engkau tidak membedakan kedua kerajaan.”

Kemudian Uskup mendekati Elleinder dan meletakkan tangan Elleinder di atas Kitab Suci. “Sebelum engkau menjadi Raja, aku ingin mendengar sumpahmu. Sekarang ucapkanlah sumpahmu dalam kekudusan Allah,” katanya.

“Saya, Elleinder, bersumpah tidak akan membedakan Kerajaan Aqnetta dari Kerajaan Skyvarrna dan akan melakukan segala sesuatu yang terbaik bagi kebahagiaan Kerajaan Aqnetta.”

“Dengan demikian, sejak saat ini engkaukah Raja dari Kerajaan Aqnetta,” kata Raja Leland sesaat sebelum memasangkan mahkota itu di kepala Elleinder.

Upacara penobatan masih belum selesai dan tidak seorang tamupun yang berani menganggu dengan tepuk tangan.

“Illyvare, pada hari ini pula aku mengangkatmu menjadi Ratu Kerajaan Aqnetta, menggantikan ibumu, Ratu Saundra. Sebagai istri dari Elleinder, engkau harus membantunya melakukan segala tugasnya demi kesejahteraan Kerajaan Aqnetta.”

Sekali lagi setelah Raja Leland berbicara, Uskup mengambil alih. Ia meletakkan tangan Illyvare di atas Kitab Suci dan berkata, “Sebelum menjadi Ratu Kerajaan Aqnetta, aku ingin mendengar sumpahmu. Sekarang ucapkanlah sumpahmu yang tulus dalam kekudusan Allah.”

“Saya, Putri Mahkota Kerajaan Aqnetta, Illyvare,” kata Illyvare tegas namun tetap tenang dan perlahan-lahan, “Bersumpah atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus akan membantu suami saya dalam memerintah Kerajaan Aqnetta. Demi kemakmuran Kerajaan Aqnetta dan kebahagiaan rakyatnya, saya bersumpah akan melakukan setiap tugas saya dengan sebaik-baiknya.”

Raja Leland kembali menggantikan tugas Uskup. Ia mengambil mahkota lain dari prajurit tadi. Kemudian ia berkata, “Dengan ini aku mengangkatmu menjadi Ratu Kerajaan Aqnetta yang harus membantu setiap tugas suamimu.” Dan iapun memasangkannya di kepala Illyvare.

Kemudian Raja Leland mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Raja Leland mengangkat tongkat emas yang tak kalah indahnya dengan mahkota Kerajaan Aqnetta di antara kedua Raja dan Ratu baru itu. “Ini adalah tongkat kekuasaan Kerajaan Aqnetta. Sekarang aku ingin kalian berpegang pada tongkat ini dan sekali lagi bersumpah akan memerintah bersama demi Kerajaan Aqnetta.”

Elleinder segera melakukan apa yang diperintahkan Raja Leland diikuti Illyvare. Bersamaan keduanya berkata, “Kami bersumpah akan bersama-sama memerintah Kerajaan Aqnetta dan saling membantu demi kemakmuran Kerajaan Aqnetta.”

“Dengan ini resmilah kalian menjadi Raja dan Ratu Kerajaan Aqnetta. Atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus,” Uskup mengakhiri upacara penobatan, “Semoga kalian memerintah dalam nama kebenaran dan keadilan.”

Akhirnya selesailah rangkaian upacara suci di Gereja Chreighton.

Kembali Uskup menyalami mereka. Kali ini bukan selamat atas pernikahan mereka tetapi selamat atas pengangkatan mereka menjadi penguasa Kerajaan Aqnetta yang baru.

Raja Leland juga tidak ketinggalan memberi selamat. Ketika menyalami Illyvare, ia berkata, “Jangan kecewakan aku.”

Illyvare hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun.

Suasana ramai memenuhi Gereja Chreighton setelahnya. Tamu-tamu sudah tidak sabar ingin melihat dari dekat wajah sang Putri dan memberi ucapan selamat kepada mereka.

Prajurit yang tadi mengawal masuknya Raja Leland beserta mahkota kerajaan, segera membuka jalan bagi keluarga kerajaan itu.

Dalam perundingan antara Elleinder dan Raja Leland, disepakati setelah menikah di Gereja Chreighton, Illyvare akan segera dibawa ke Istana Qringvassein. Alasan yang diberikan Raja Leland saat itu adalah putrinya pasti lelah setelah menjalani dua upacara dalam waktu yang berturut-turut dan ia tidak ingin putrinya jatuh sakit karenanya. Saat itu Elleinder hanya mengangguk sambil tersenyum dalam hati. Ia tahu Raja Leland tidak ingin orang lain tahu rupa putrinya yang buruk.

Tetapi itu adalah saat itu. Saat ini sudah lain dari saat itu. Saat ini Elleinder menganggap apa yang dikatakan Raja Leland benar. Ia sendiri merasa sangat lelah setelah menjadi dua upacara yang cukup melelahkan dalam waktu satu hari. Belum lagi perjalanan panjang ke Istana Qringvassein yang harus ditempuh.

Apapun alasan Raja Leland menyembunyikan istrinya dari orang banyak, Elleinder tidak tahu. Tetapi Raja Leland benar-benar menyembunyikannya dari siapapun.

Mungkin karena keingintahuan para tamu yang besar, prajurit yang memagari mereka kewalahan. Di saat-saat genting sebelum mereka terdorong oleh para tamu itulah datang pasukan lain dalam jumlah besar yang segera membantu mereka.

Entah dari mana mereka datang tetapi mereka tampak tiba-tiba muncul dari segala penjuru dan segera membuat pagar betis yang sangat kuat sehingga Elleinder dan Illyvare dapat terus berjalan di lorong depan altar yang memisahkan kedua baris bangku umat itu.

“Mungkin merekalah pasukan rahasia Kerajaan Aqnetta,” pikir Elleinder saat melihat kesigapan pasukan yang baru datang itu.

Illyvare melihat Elleinder terus memperhatikan pasukan yang membukakan jalan bagi mereka. Ia tahu apa yang sedang dipikirkan pria itu dan berkata, “Mereka pasukan Pengawal Istana.”

Elleinder terkejut mendengarnya. “Pasukan Pengawal Istana?”

Illyvare hanya mengangguk untuk meyakinkan Elleinder.

“Tak heran kalau tidak ada yang berani mencoba kekuatan militer Kerajaan Aqnetta,” pikir Elleinder tanpa berhenti memperhatikan pasukan itu.

Semua tampak tangguh dan kuat. Tidak seorangpun yang tampak lemah. Pandangan tajam mereka menyiratkan kekuatan yang tersembunyi. Benar-benar sekelompok pasukan yang tangguh. Pasukan Pengawal Istananya saja sangat tangguh seperti ini apalagi Angkatan Bersenjatanya yang lebih penting tugasnya yang bukan hanya melindungi keluarga Raja tetapi juga seluruh Kerajaan Aqnetta.

Tanpa kesulitan mereka berhasil mencapai kereta yang telah dipersiapkan di depan pintu.

Elleinder segera membantu Illyvare naik sebelum ia sendiri naik.

Pasukan Pengawal Istana Qringvassein segera mengambil alih tugas Pasukan Pengawal Istana Vezuza. Mereka mengiringi kepergian kereta yang membawa Raja dan Ratu.

“Untung kita berhasil lolos dengan mudah,” kata Elleinder setelah mereka agak jauh dari Gereja Chreighton.

Illyvare tidak menanggapinya.

Elleinder melihat gadis itu memandang lurus ke luar jendela. Ia menduga gadis itu masih enggan meninggalkan kerajaannya.

“Suatu hari nanti kita pasti akan kembali lagi ke sini,” Elleinder mencoba menghibur Illyvare.

Illyvare memalingkan kepalanya dan mengangguk.

“Engkau tidak lelah?” tanya Elleinder – mencoba membuka percakapan.

“Tidak,” jawab Illyvare singkat.

“Lebih baik engkau tidur. Perjalanan ini sangat panjang. Ayahmu tidak ingin engkau sakit,” Elleinder membujuk Illyvare. “Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggumu. Aku sendiri sangat lelah dan yang kuinginkan saat ini hanya tidur.”

“Lakukanlah,” kata Illyvare tanpa meninggalkan ketenangannya.

“Tidurlah,” Elleinder kembali mencoba membujuk Illyvare, “Aku tidak akan menyentuhmu. Aku janji.”

Elleinder pikir bila ia memberi contoh pada Illyvare, gadis itu akan mengikutinya. Maka ia menyandarkan punggung dan memejamkan matanya.

Kesunyian yang ada di antara mereka membuat Elleinder menduga Illyvare telah mengikuti tindakannya. Diam-diam ia membuka mata dan terkejut melihat Illyvare masih tetap memandang ke luar jendela.

“Mungkin ia masih malu,” pikir Elleinder, “Tapi tak lama lagi ia akan lelah dan akhirnya tidur.”

Elleinder kembali memejamkan mata.

Illyvare memandang tempat-tempat yang dilaluinya tanpa mengedipkan mata. Sungguh aneh ia sekarang Ratu dari kerajaannya sendiri, Kerajaan Aqnetta tetapi baru kali ini ia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.

Daerah-daerah hijau itulah yang kini harus diperintahnya. Penduduk-penduduk yang ramah itulah yang kini menjadi rakyatnya. Ia sebagai Ratu harus bertindak bijaksana demi kemakmuran mereka.

Diam-diam Elleinder memincingkan matanya. Lagi-lagi ia terkejut melihat Illyvare tidak bergerak sejak tadi. Ia tidak bisa melihat wajah gadis yang duduk membelakanginya itu tetapi ia bisa merasakan gadis itu terpesona oleh hal-hal baru yang dilihatnya.

Elleinder tidak heran. Seumur hidup dikurung dalam Istana Vezuza yang luas tanpa mengenal dunia luar, pasti tak tahu apa yang ada di luar istana. Istana Vezuza memang indah dan luas tetapi lebih luas lagi daerah di luar Istana Vezuza.

Elleinder tidak lagi berpura-pura tidur. Ia juga tidak mencoba membujuk Illyvare lagi. Elleinder mengerti Illyvare terlalu terpesona untuk merasa lelah.



*****Lanjut ke chapter 4

1 comment: