Sunday, February 18, 2007

Topeng Sang Puteri-Chapter 2

Seperti keinginan Elleinder, dalam waktu empat hari ia telah tiba di Istana Vezuza.

Elleinder berdiri memandang Istana yang tinggi itu. Seumur hidupnya ia akan selalu mengagumi Istana itu walau ia juga mempunyai Istana yang besar dan indah.


Istana Vezuza yang berdinding putih dengan tamannya yang selalu berseri sepanjang tahun. Berbagai macam bunga tampak bermekaran di seluruh halaman Istana walau saat ini adalah pertengahan musim gugur. Tanaman perdu diatur rapi mengelilingi pohon-pohon tinggi yang berbagai macam. Bunga-bunga kecil tampak di antara rerumputan dan semak-semak. Angin berhembus menimbulkan suara gemerisik dedaunan. Dedaunan terus bergemerisik menyambut kedatangan setiap tamu. Bunga-bunga terus berseri dengan warnanya yang indah memberi senyuman ramah pada tiap tamu.

Prajurit berbaju putih kebiru-biruan berbaris rapi di depan pintu masuk. Di pintu gerbang, berbaris prajurit yang dengan teliti memeriksa setiap tamu yang datang.

“Benar-benar Istana yang indah,” kata Arwain.

Elleinder mengangguk.

“Selamat datang,” sambut seorang prajurit.

“Kami datang untuk menemui Raja Leland,” kata Elleinder.

“Ijinkanlah saya mengetahui siapa Anda dan ada keperluan apa Anda mencari Paduka Raja?” tanyanya pula.

“Saya adalah Raja Kerajaan Skyvarrna. Kami datang untuk membicarakan perjanjian yang penting yang telah kami sepakati bersama.”

“Silakan masuk, Paduka,” prajurit itu sedikit membungkuk. Tangan kirinya melintang ke pundak kanannya dan tangan kanannya menunjuk ke dalam Hall.

Prajurit itu kemudian mengantar mereka ke Ruang Duduk. “Silakan menanti di sini, Paduka. Saya akan memberitahukan kedatangan Anda pada Paduka Raja Leland.”

“Terima kasih,” kata Elleinder.

Arwain tiba-tiba bertanya, “Apakah setiap tamu selalu disambut oleh prajurit yang kaku seperti itu?”

“Sepertinya seperti itu,” jawab Elleinder.

“Benar-benar ketat penjagaan di sini,” bisik Arwain.

Tak lama kemudian pintu terbuka dan Raja Leland datang sambil tersenyum ramah. “Selamat datang. Anggaplah ini sebagai rumah kalian.”

“Terima kasih, Paduka,” kata Elleinder.

“Senang dapat bertemu dengan Anda, Raja Elleinder,” kata Raja Leland.

“Saya juga senang dapat berjumpa dengan Anda.”

Raja Leland melihat seorang pria yang berdiri di samping Elleinder.

“Ijinkanlah saya memperkenalkan teman saya, Arwain kepada Anda, Paduka.”

“Saya merasa terhormat dapat berjumpa dengan Anda, Paduka,” kata Arwain sopan.

“Saya juga senang dapat berkenalan dengan Anda, Tuan Arwain.”

“Ia ikut bersama saya karena ia mendengar tentang keindahan kerajaan ini. ia tertarik untuk melihatnya sendiri. Di sini ia juga bertindak sebagai seorang pengawal saya.”

Raja Leland mengangguk-angguk melihat Arwain kemudian ia kembali pada Elleinder dan berkata, “Saya merasa tersanjung mendapatkan lamaran Anda itu. Ijinkanlah saya mewakili putri saya mengucapkan terima kasih atas lamaran Anda.”

“Saya juga senang dapat mempersunting putri Anda yang cantik.”

Raja Leland tersenyum dan berkata, “Saya tidak pernah menduga akan mendapatkan lamaran Anda. Harus saya akui Andalah orang pertama yang melamar putri saya.”

“Saya merasa tersanjung mendengarnya, Paduka,” kata Elleinder.

“Tidak perlu merasa seperti itu. Mungkin putri saya ditakdirkan untuk menjadi istri Anda.” Raja Leland tertawa senang lalu melanjutkan, “Karena kita akan menjadi ayah dan menantu, sebaiknya panggilan sopan itu mulai kita hilangkan dari sekarang. Aku takkan senang mendengar menantuku memanggilku Paduka terus menerus. Kurasa mulai sekarang engkau harus membiasakan diri memanggil aku ayah.”

“Tentu, tetapi saya akan mulai melakukannya setelah saya menikah dengan putri Anda.”

“Ya, tentu saja,” Raja Leland setuju. “Kapankah kalian akan menikah?”

“Itulah yang ingin saya bicarakan dengan Anda juga dengan putri Anda.”

“Putri saya akan selalu siap kapan saja,” Raja Leland cepat-cepat menyahut, “Anda tidak perlu mengkhawatirkan itu.”

“Kedatangan saya kemari juga ingin bertemu dengan putri Anda.”

“Maafkan saya,” kata Raja Leland, “Putri saya sedang tidak enak badan. Ia tidak dapat menemui Anda dalam beberapa hari ini. Anda tidak perlu khawatir. Ia akan cukup sehat untuk menghadiri pesta pernikahannya.”

“Saya berharap demikian. Saya tidak ingin putri Anda sakit ketika upacara itu berlangsung.”

“Saya meyakinkan Anda ia akan cukup sehat untuk menikah dengan Anda,” kata Raja Leland kemudian ia mengalihkan pembicaraan dengan berkata, “Menginaplah di sini untuk beberapa hari hingga kita selesai membicarakan pernikahan ini.”

“Saya juga berencana tinggal beberapa hari di Kerajaan Aqnetta untuk membicarakan masalah ini.”

Raja Leland tersenyum senang. “Makan siang akan siap sebentar lagi. Saya berharap Anda mau turut makan bersama kami. Anda juga, Tuan Arwain.”

“Terima kasih atas undangan Anda,” kata Elleinder dan Arwain hampir bersamaan.

Elleinder memberi tanda dengan matanya kepada Arwain ketika Raja Leland membawanya meninggalkan ruang itu.

Arwain tersenyum. Sekarang bukan waktunya ia memulai sandiwaranya sebagai seorang pengawal. Tidak tertutup kemungkinan saat makan siang nanti, mereka akan makan bersama sang Putri.

Sayangnya, harapan tinggallah harapan.

Di meja makan yang besar itu tidak tampak seorang gadis pun. Yang ada hanya Raja Leland, Elleinder dan Arwain serta beberapa prajurit pengawal.

Pelayan-pelayan berbaju biru cerah dengan celemek putihnya mulai bermunculan dengan nampan perak di tangan mereka. Mereka terus bergerak melayani ketiga orang itu.

“Hidangannya sangat lezat, Paduka,” puji Arwain, “Belum pernah saya merasa dijamu semewah ini.”

“Anda hanya melebih-lebihkan, Tuan Arwain,” kata Raja Leland merendah.

“Hidangan yang Anda sajikan ini sangat lezat,” timpal Elleinder.

“Terima kasih, saya senang Anda menyukainya,” kata Raja Leland.

Raja Leland melihat sinar matahari yang menyinari ruangan itu. “Hari sudah siang,” katanya, “Saya kira Anda lelah setelah perjalanan jauh Anda. Silakan Anda beristirahat. Besok kita baru membicarakan rencana pernikahan ini.”

“Anda benar, Raja Leland,” kata Elleinder, “Sebaiknya kita mulai membicarakannya esok hari.”

“Luke!” panggil Raja Leland, “Antarkan Raja Elleinder dan temannya ke kamarnya.”

“Baik, Paduka,” kata Luke kemudian pada Elleinder ia berkata, “Saya akan mengantar Anda berdua.”

“Kami permisi dulu, Paduka,” kata Arwain. Kemudian mereka meninggalkan Ruang Makan.

Ketika merasa cukup jauh dari Ruang Makan, Arwain berbisik, “Sang Putri tidak ada.”

Elleinder mengangguk.

“Sepertinya ia benar-benar disembunyikan bahkan dari calon suaminya sendiri,” bisik Arwain lagi.

“Kurasa kata-katamu tempo hari benar,” bisik Elleinder, “Sementara aku berunding, engkau mencari sang Putri.”

Arwain tersenyum puas.

Keduanya berdiam diri dan terus mengikuti Luke.

Luke membuka pintu sebuah ruangan. “Ini kamar untuk Anda, Paduka,” kemudian Luke melihat Arwain, “Di sampingnya adalah kamar untuk Tuan.”

“Terima kasih,” kata Elleinder.

Pria itu membungkuk dan meninggalkan mereka.

Elleinder memasuki kamarnya. Dibandingkan luas kamarnya di Kerajaan Skyvarrna, kamar ini sama besarnya.

“Benar-benar kamar yang indah,” kata Arwain.

Sebuah tempat tidur antik dengan tirai-tirai putihnya yang tipis terletak di dekat jendela. Antara jendela dan tempat tidur hanya berbatasan sebuah meja kecil. Sebuah meja lain terletak di depan perapian besar di hadapan tempat tidur. Di atas meja terdapat sebuah vas bunga dengan bunga-bunga keringnya yang ditata rapi dan indah.

Lantainya berselimutkan permadani hijau yang cerah. Dinding kamar putih bersih tanpa noda sedikit pun. Di sudut langit-langit kamar terdapat ukiran-ukiran malaikat yang indah. Langit-langit putih yang tinggi itu menaungi kamar yang rapi itu.

Tirai-tirai jendela menari-nari tertiup angin yang sejuk. Di luar jendela tampak sehamparan permadani alam yang hijau berseri.

“Inilah kamar Istana negeri dongeng,” kata Elleinder lalu ia melangkah masuk.

“Aku ingin tahu kamarku seperti apa.” Arwain berlari ke kamarnya dan tak lama kemudian ia kembali ke kamar Elleinder dengan wajah sedih.

“Ada apa?” tanya Elleinder ingin tahu.

“Kupikir kamarku akan lebih indah dari kamarmu tetapi…”

“Kamarmu lebih jelek,” sambung Elleinder.

“Tidak,” kata Arwain sedih, “Kamarku sama dengan kamarmu.”

“Mengapa engkau sedih seperti anak kecil?” tanya Elleinder, “Tidak ada gunanya menangisi kamar Istana ini. Kita sudah beruntung mendapat kehormatan untuk menginap di Istana negeri dongeng ini.”

Arwain menunduk sedih.

“Aku lelah sekali. Aku ingin beristirahat kemudian aku akan mencari tahu seperti apa rupa sang Putri.”

Tiba-tiba Arwain menjadi bersemangat lagi. “Istirahatlah,” katanya lalu menghilang dari kamar Elleinder.

Elleinder tersenyum. Ia yakin Arwain akan mencari sang Putri saat ini juga. Elleinder menjatuhkan diri di kasur bulu angsa yang lembut.

Sekarang ia dapat beristirahat dan menanti Arwain memberikan laporannya.

Arwain menuju lantai terdasar dari Istana Vezuza dan berjalan santai seperti layaknya penghuni Istana lainnya.

Orang-orang yang berlalu lalang di Hall tidak mempedulikan kedatangannya. Mereka tampak sibuk sendiri dengan pembicaraan mereka.

Tidak adanya orang yang memperhatikan, membuat Arwain merasa senang dan bebas. Ia dapat mencari sang Putri tanpa khawatir seorang prajurit akan menangkapnya karena mencurigainya.

Mengingat sang Putri tidak pernah meninggalkan Istana, sang Putri pasti telah terbiasa berada di dalam Istana. Karena sang Putri tidak pernah menampakkan diri, ia pasti tidak berada di Hall yang ramai seperti ini.

Berada di dalam Istana terus juga tidak mungkin. Bagaimana pun senangnya sang Putri tinggal di dalam Istana, ia pasti ingin melihat dunia luar.

Siang hari seperti ini, jarang ada orang di halaman. Halaman Istana sangat luas dan sang Putri tidak akan menemukan kesulitan untuk mencari tempat persembunyian yang sejuk dan menyenangkan.

Arwain terus melangkah ke taman dan berharap melihat seorang gadis buruk rupa seperti yang dikatakan orang-orang itu.

Berjalan di bawah teriknya matahari bukanlah hal yang menyenangkan. Tumbuhan di halaman sangat banyak dan lebat tetapi tidak dapat menandingi keangkuhan sang surya.

Belum ada setengah halaman yang dilalui Arwain tetapi seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat. Arwain tidak kuat lagi untuk berjalan di teriknya matahari. Ia kembali ke Istana.

Sang Putri tidak pernah meninggalkan Istana tentu ia juga tidak pernah merasakan teriknya matahari. Jadi, kemungkinan satu-satunya adalah sang Putri sekarang berada di dalam Istana. Di suatu tempat yang jarang didekati orang.

Tidak mungkin di lantai pertama karena tempat itu sangat ramai oleh orang yang berlalu-lalang. Lantai dua juga tidak mungkin karena di sanalah kamarnya juga kamar Elleinder berada. Lantai tiga masih mungkin apalagi lantai tertinggi Istana Vezuza.

Dengan penuh percaya diri Arwain melangkah ke lantai tiga. Seperti dugaannya di tempat itu jarang ada orang. Yang tampak olehnya hanya pelayan-pelayan yang bertugas membersihkan tempat itu.

Setelah lama mencari akhirnya Arwain menemukan sebuah tempat yang tidak tampak dihuni. Tidak seorang pun yang tampak di sana walaupun tempat itu sangat bersih. Lorong-lorongnya yang terang tampak kosong.

Arwain tersenyum puas dengan temuannya itu. Walau tidak tampak seorang pun di tempat ini, ia yakin sang Putri berada di sini di lantai empat ini.

Arwain mulai berjalan lambat-lambat dan berhenti di tiap pintu untuk mendengar bila ada kehidupan di dalamnya. Bila tak ada orang, Arwain membuka pintu yang tak terkunci itu dengan harapan sama yaitu melihat sang Putri.

Tetapi harapan Arwain tidak pernah terwujud. Dengan sedih ia melanjutkan pencariannya dan semakin lama semangat ingin tahunya semakin besar.

Tiba-tiba Arwain merasa hawa dingin di sekitarnya. Rasanya seperti ada beratus-ratus orang yang tengah mengawasinya dengan mata tajam mereka dan siap menghunuskan pedang ke perutnya.

Arwain melihat ke sekeliling lorong mulai dari atas hingga bawah tetapi ia tidak melihat seorang pun. “Mungkin hanya perasaanku saja,” kata Arwain pada dirinya sendiri tetapi pikiran Arwain mengatakan pasukan rahasia Kerajaan Aqnetta sedang mengawasinya.

Arwain memarahi dirinya sendiri. Sejak tadi hingga saat ini ia sama sekali tidak ingat tempat ia berada saat ini adalah markas dari pasukan rahasia Kerajaan Aqnetta yang sangat terkenal. Tentu sejak tadi mereka telah mengawasinya.

Celaka sudah dirinya! Sekarang seluruh pasukan Kerajaan Aqnetta akan mencurigainya.

Arwain mengutuki dirinya sendiri dan kembali ke kamarnya.

Walau ia telah meninggalkan lantai empat, perasaan diawasi itu masih tetap ada. Arwain merasa seluruh tubuhnya bergetar ketakutan membayangkan sekelompok pasukan rahasia sedang mencurigainya.

Dengan terpaksa Arwain harus membatalkan pencariannya untuk hari ini. Ia harus beristirahat agar pasukan rahasia itu tidak curiga lagi padanya. Kalau ia berhasil, maka pasukan itu akan menganggap perbuatannya sepanjang siang ini hanya karena ia ingin melihat seluruh isi Istana Vezuza bukan memata-matai kegiatan di Istana Vezuza.

Hari ini Arwain membatalkan pencariannya tetapi bukan berarti ia akan membatalkannya untuk seterusnya.

Pagi ini setelah makan bersama Raja Leland, Elleinder diajak Raja Leland ke ruangannya untuk membicarakan pernikahannya. Kesempatan ini dimanfaatkan Arwain dengan baik untuk mulai mencari sang Putri.

Pencariannya hari ini berbeda dengan pencarian kemarin. Hari ini ia mencari perhatian para wanita di Hall.

Seperti yang dilakukannya kali ini, Arwain mendekati sekelompok wanita yang sedang berbincang-bincang.

“Selamat pagi,” sapanya, “Maaf saya menganggu pembicaraan Anda. Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin bertanya pukul berapa sekarang.”

“Saat ini sekitar pukul setengah sepuluh.”

“Sudah siang rupanya,” Arwain berpura-pura mengeluh, “Saya tak menyangka waktu terasa lebih cepat berlalu di negeri ini.”

“Anda tidak berasal dari sini?” tanya seorang wanita tertarik.

“Saya berasal dari Kerajaan Skyvarrna.”

“Anda berasal dari negeri yang luas itu rupanya. Ada keperluan apa Anda datang kemari?” tanya yang lain.

Arwain puas mendapat perhatian dari para wanita itu.

“Saya ke sini menemani teman saya menyelesaikan masalahnya di sini.”

“Tampaknya masalah yang teman Anda hadapi itu bukan masalah mudah.”

“Anda benar. Saya yang hanya sebagai penonton ikut pusing karenanya.”

“Saya berharap dapat membantu Anda.”

“Anda sudah membantu saya bila Anda mengijinkan saya memperkenalkan diri pada wanita-wanita yang cantik seperti Anda semua.”

“Anda pandai memuji, Tuan.”

“Saya berkata yang sejujurnya. Saya belum pernah melihat wanita yang secantik Anda semua. Saya yakin sang Putri kalah cantik dari Anda semua.”

“Putri kami yang Anda maksud?” tanya seorang wanita.

“Ya, kata orang ia cantik tetapi saya yakin ia kalah cantik dengan Anda semua.”

Wanita-wanita itu tertawa geli.

“Siapakah yang mengatakan hal itu pada Anda, Tuan?”

“Putri kami sangat memalukan Paduka hingga Paduka melarangnya meninggalkan Istana Vezuza. Sejak lahir ia sudah buruk rupa karena itu Paduka tidak mengijinkannya keluar.”

“Benarkah itu?” tanya Arwain pura-pura tak percaya, “Apa yang saya dengar sangat berlainan dengan yang Anda katakan.”

“Kami mengatakan yang sebenarnya, Tuan. Semua orang di kerajaan ini juga tahu sang Putri sangatlah buruk hingga untuk menyebut namanya saja, Paduka malu. Kami dengar sang Putri sudah tua. Raja tampaknya sudah menyerah untuk mencarikan suami bagi putrinya itu.”

“Siapa yang mau menikah dengan wanita yang sudah buruk, gemuk juga tua walaupun ia seorang Putri Raja?”

“Orang yang menikah dengannya pasti orang gila.”

“Saya setuju dengan Anda,” sahut Arwain tak mau kalah, “Hanya orang gila yang mau menikah dengan gadis seperti itu.”

“Ia bukan seorang gadis muda lagi, Tuan,” kata seorang wanita mengingatkan, “Ia gadis tua.”

“Karena tua dan buruknya dia, Paduka sampai tak mengijinkannya meninggalkan kamarnya.”

“Benarkah itu?” Arwain pura-pura tak percaya, “Tidak mungkin Paduka Raja Leland menyembunyikan putrinya sampai tidak mengijinkanya meninggalkan kamarnya.”

“Itu benar, Tuan. Ayah saya telah bekerja di Istana ini selama berpuluh-puluh tahun tetapi belum pernah ia melihat sang Putri. Ia hanya tahu mengenai kelahirannya setelah itu ia tidak tahu apa-apa lagi tentangnya.”

“Jadi apa yang saya dengar selama ini sangat salah,” gumam Arwain.

“Benar, Tuan. Semuanya itu sangat salah.”

“Kalau Anda tidak mempercayai kami, Anda bisa menanyakannya pada para pelayan di Istana ini.”

“Anda jangan heran bila mereka mengatakan tidak pernah bertemu sang Putri.”

“Saya akan mencoba saran Anda,” kata Arwain, “Terima kasih atas pembicaraan yang menyenangkan ini.”

“Bila Anda sangat ingin tahu mengenai sang Putri, Anda bisa mencari Nissha. Kata ayah saya, wanita itulah yang merawat sang Putri sejak ia lahir.”

“Terima kasih atas saran Anda. Saya akan mencarinya.”

Arwain tersenyum puas ketika meninggalkan sekelompok orang itu.

Elleinder akan sangat terkejut bila mengetahui apa yang dikatakan para wanita itu padanya. Mungkin ia akan membatalkan pernikahan konyolnya ini.

Bila itu terjadi, Arwain sebagai temannya akan sangat senang.

Arwain tidak perlu menemui pelayan yang disebut wanita itu. Ia yakin wanita itu akan mengatakan hal yang sama padanya.

Ketika melihat Elleinder kembali ke kamarnya, Arwain segera menuju kamar pria itu.

“Dari wajahmu, aku melihat engkau telah menemukan sesuatu yang sangat menyenangkan hatimu.”

“Kau benar,” sahut Arwain, “Apa yang kutemukan ini pasti dapat mengubah semua rencanamu.”

Elleinder hanya memandang tak percaya.

“Aku yakin, Elleinder. Sangat yakin,” kata Arwain tegas.

Elleinder tetap memandang tak percaya.

“Putrimu itu benar-benar seperti yang dikatakan orang-orang. Wanita-wanita yang kutemui tadi mengatakan seperti apa rupa sang Putri tepat seperti yang kita ketahui. Mereka berulang kali menekankan sang Putri sudah tua.”

“Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membatalkan pernikahan ini.”

“Ia lebih tua darimu, Elleinder. Ia sangat tidak pantas untukmu.”

“Engkau terlambat, Arwain. Aku dan Raja Leland telah mencapai kata sepakat untuk menikah secepat mungkin. Kami juga telah membicarakan di mana dan kapan kami akan menikah. Malam ini puaskan rasa kagummu pada Istana Vezuza sebab besok siang kita akan kembali ke Kerajaan Skyvarrna untuk melaksanakan apa yang telah kusepakati dengan Raja Leland.”

Arwain hanya dapat terpana mendengar kata-kata tegas itu.

Elleinder menepuk pundak Arwain. “Bersenang-senanglah malam ini. Hanya malam ini satu-satunya kesempatan yang tersisa.”

Arwain tidak mengerti mengapa Elleinder secepat ini memutuskan pernikahannya. Elleinder dengan cepat memutuskan akan menikah di mana dan kapan. Masalah ini bukan masalah kecil tetapi kedua raja itu telah menyelesaikannya dalam sekali bicara. Tampaknya kedua raja merasa diuntungkan dengan pernikahan ini sehingga dengan cepatnya memutuskan akan segera menikahkan sang Putri dengan Elleinder.

Arwain yakin Raja Leland merasa sangat lega karena pada akhirnya ada pria yang mau menikah dengan putrinya yang buruk rupa.

Karena segalanya telah diputuskan berarti masa depan Elleinder juga Kerajaan Skyvarrna sudah jelas. Mereka akan mempunyai ratu yang buruk rupa dan sangat memalukan sepanjang sejarah Kerajaan Skyvarrna.

“Tidak,” kata Arwain dalam hatinya. Arwain tidak mau mempunyai ratu yang memalukan seperti itu. Satu-satunya jalan untuk membuka mata Elleinder adalah mempertemukannya dengan pengasuh sang Putri.

Arwain segera keluar mencari wanita itu.

“Di mana Nissha?” tanya Arwain kepada pelayan yang ditemuinya di lorong.

“Itu Nissha.” Pria itu menunjuk seorang wanita yang baru saja meninggalkan Ruang Perpustakaan.

Arwain segera menghampiri wanita tua itu. “Mrs. Nissha,” panggilnya.

Nissha berhenti. “Apakah saya mengenal Anda?” tanyanya heran.

“Saya Arwain, teman baik Raja Elleinder dari Kerajaan Skyvarrna. Saya tahu Anda adalah pengasuh sang Putri. Saya ingin bertanya pada Anda mungkinkah teman saya bertemu sang Putri.”

“Maaf, Putri sangat sibuk,” kata Nissha ketus.

Arwain tidak mengerti mengapa wanita itu bersikap ketus padanya. “Teman saya sangat ingin bertemu sang Putri sebelum menikah dengannya.”

“Untuk melihat apakah Putri seperti yang orang-orang katakan?” tanya Nissha tajam.

Arwain terdiam.

“Paduka Raja Elleinder telah melamar Putri tanpa melihat seperti apa rupanya. Ia juga tidak peduli seperti apa sang Putri. Sekarang ia ingin bertemu Putri. Apakah ia ingin lebih mengolok Putri?” tanya Nissha ketus, “Apakah ia ingin semakin mempermalukan Putri dengan membatalkan pernikahannya setelah bertemu dengannya dan semakin memperbesar mulut orang-orang itu? Maaf, saya tidak dapat membantu Anda.”

Nissha pergi dengan angkuhnya.

Arwain terpana melihat wanita itu.

Wanita itu tampaknya sangat mencintai sang Putri hingga tidak mau ada orang yang menjelek-jelekkannya. Itu berarti sang Putri memang seperti apa yang dikatakan orang-orang itu. Arwain yakin pada apa yang didengarnya tetapi Elleinder tentu tidak mau mempercayai apa yang baru saja terjadi ini.

Dengan lesu Arwain kembali ke kamarnya.

Tampaknya tidak ada jalan lagi untuk menyelamatkan Elleinder dari pernikahan konyol ini.



*****Lanjut ke chapter 3

1 comment: