Friday, February 16, 2007

Topeng Sang Puteri-Chapter 1

“Engkau sudah gila, Elleinder?” tanya Arwain tak percaya.

“Tidak,” sahut Elleinder tenang namun tegas.

Arwain tidak mengerti apa yang mempengaruhi pikiran Elleinder sehingga pria itu tiba-tiba memutuskan untuk menikah dengan Putri dari Kerajaan Aqnetta yang kecil tetapi subur dan makmur.


Tidak dapat disalahkan kalau pria yang baru saja diangkat menjadi Raja – menggantikan ayahnya yang meninggal karena sakit – itu berambisi untuk memasukkan kerajaan tetangga itu ke dalam wilayah kerajaannya yang luas, Skyvarrna. Sebagai teman akrab sejak kecil, Arwain tahu Elleinder sejak dulu mempunyai keinginan itu. Seperti banyak negara lain, kerajaan kecil itu sangat menarik perhatian. Wilayahnya memang kecil tetapi kesuburan tanahnya dan kekayaan alamnya sangat besar.

Konon sejak Kerajaan Aqnetta berdiri banyak yang berusaha menguasainya tetapi tidak ada yang pernah berhasil. Dan sampai sekarang hal itu tidak pernah terjadi. Kekuatan militer Aqnetta tidak dapat diabaikan. Kekuatan militernya yang tangguh itulah yang membuatnya tetap damai dalam kebebasannya.

Siapapun yang ingin menyerang Kerajaan Aqnetta selalu berpikir berulang kali. Apalagi terdengar adanya kabar bahwa Kerajaan Aqnetta mempunyai sekelompok pasukan rahasia yang tiada tandingnya.

Memang satu-satunya jalan yang termudah untuk memasukkan Aqnetta ke dalam Skyvarrna adalah dengan menikahi Putri Kerajaan Aqnetta. Tetapi Arwain tetap tidak setuju dan tidak mengerti mengapa Elleinder punya pikiran seperti itu.

Semua Pangeran maupun Raja tahu itu satu-satunya jalan yang termudah apalagi Putri Kerajaan Aqnetta saat ini hanya ada seorang dan kemungkinan besar ialah pewaris tahta kerajaan kelak bila Raja Leland meninggal. Tetapi tidak satupun yang mengambil jalan itu karena mereka tidak tahu banyak tentang Putri Kerajaan Aqnetta ini. Bahkan penduduk Aqnetta sendiri tidak banyak mengetahui Putri mereka.

“Engkau mengerti apa yang kaurencanakan ini, bukan?” tanya Arwain untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Berapa kalikah aku harus mengatakannya padamu, Arwain?” Elleinder balas bertanya, “Aku sudah memikirkannya masak-masak. Bahkan sebelum aku mengatakannya padamu, aku telah menetapkan bahwa aku tidak akan membatalkannya. Aku akan meneruskan rencanaku tak peduli kalau ada yang tidak setuju.”

“Engkau harus tahu, Elleinder, Putri satu ini tidak banyak kita ketahui,” Arwain memperingatkan, “Hampir tidak ada yang mengetahui tentangnya. Bahkan penduduk Kerajaan Aqnetta sendiri tidak banyak mengetahuinya.”

“Aku tahu,” sahut Elleinder, “Ia tidak pernah meninggalkan Istana Vezuza dan tidak pernah menampakkan dirinya pada siapapun.”

“Engkau juga harus tahu kabar tentangnya,” Arwain terus memperingatkan sahabatnya demi berusaha membatalkan rencana yang dianggapnya rencana paling konyol yang pernah diketahuinya. “Di kalangan penduduk Aqnetta beredar kabar bahwa Putri Kerajaan Aqnetta tidak secantik Putri-Putri yang lain. Bahkan mereka mempunyai keyakinan Putri mereka jelek dan gemuk sehingga membuat Raja Leland malu dan melarangnya meninggalkan Istana Vezuza.”

Elleinder terus mendengarkan ceramah Arwain sambil mengangguk-angguk bosan.

“Mungkin ini terdengar aneh bagimu tetapi ini benar. Karena malunya, Raja Leland tidak pernah mengucapkan nama putrinya kepada siapapun sehingga tidak seorangpun di luar mereka yang tinggal bersama Putri yang tahu namanya.”
Arwain jengkel melihat sikap Elleinder yang seakan mengacuhkannya. “Engkau mendengarkanku, Elleinder?”

“Aku mendengar semuanya, Arwain dan engkau harus tahu aku sudah tahu semua yang kaukatakan itu.”

“Lalu mengapa engkau mempunyai rencana konyol seperti itu?”

“Rencana konyol?” tanya Elleinder keheranan, “Kaukatakan rencana hebat ini rencana konyol?”

“Apalagi kalau bukan rencana konyol?” tanya Arwain geram, “Tidak ada seorang Pangeran pun yang mempunyai pikiran sepertimu. Tidak seorangpun yang mengambil resiko untuk menikah dengan Putri yang tidak jelas itu.”

“Pikiran mereka lain denganku,” kata Elleinder santai.

“Dengar baik-baik, Elleinder,” Arwain menggebrak meja di depannya – tanda ia mulai tidak sabar melihat sikap Elleinder yang tidak peduli pada apapun yang dikatakannya, “Kita tidak tahu seperti apa rupa Putri satu ini. Kita juga tidak tahu seperti apakah wataknya. Bagus kalau ia mempunyai sifat yang baik walau wajahnya tidak seperti yang kauharapkan. Tetapi kalau wataknya buruk, maka yang celaka adalah engkau kemudian Kerajaan Skyvarrna. Aku tidak ingin engkau mengambil resiko itu.”

“Engkau juga harus mendengarkanku baik-baik, Arwain,” Elleinder turut menggebrak meja Ruang Kerjanya dan menatap tajam wajah Arwain, “Aku tidak peduli pada protes siapa pun tentang rencanaku ini. Aku tidak akan membatalkan rencanaku ini.”

“Tidak akan,” ulang Elleinder dengan tegas.

Arwain duduk kembali di kursinya dengan putus asa. Dengan nada putus asa pula ia berkata, “Baiklah, Elleinder. Percuma menghalangimu.”

Elleinder pun kembali duduk. Dengan senyum penuh kemenangan ia menatap wajah putus asa Arwain.

“Aku tahu sejak dulu engkau memang tertarik pada Kerajaan Aqnetta,” kata Arwain seperti orang yang kalah perang, “Mungkin ini satu-satunya jalan yang teraman untuk mewujudkan impianmu menguasai kerajaan itu.”

Arwain menatap lekat-lekat wajah Elleinder sebelum dengan penuh kesedihan berkata, “Aman bagi orang lain tetapi tidak bagimu.”

“Engkau tahu sendiri kekuatan Aqnetta tidak dapat diabaikan. Kerajaan Aqnetta terlalu kuat untuk diserang oleh kita walau aku yakin kekuatan kita sebanding dengan mereka.”

“Kabarnya Aqnetta mempunyai pasukan rahasia yang sangat kuat.”

Elleinder mengangguk. “Itulah yang membuatku tidak yakin kita akan menang. Aku tidak tahu apa yang membuat mereka sangat kuat tetapi tidak ada yang berani mencoba mengusik pasukan itu bahkan penduduk Kerajaan Aqnetta sendiri.”

“Seorang temanku pernah berkunjung ke Istana Vezuza ketika ia ada urusan dagang dengan kerajaan itu. Katanya ia merasa sangat tidak nyaman ketika berada di sana. Ia merasa ribuan mata selalu mengawasinya dengan ketat. Aku menduga perasaan itu karena keberadaan pasukan rahasia itu di Istana Vezuza.”

“Mungkin juga.”

“Harus kauketahui selama berada di Istana Vezuza, ia sama sekali tidak bertemu sang Putri juga tidak mendengar tentangnya dari orang-orang Istana,” Arwain kembali mengingatkan kemisteriusan Putri Kerajaan Aqnetta.

“Aku tahu,” kata Elleinder, “Perkins juga pernah ke sana ketika ayahku masih hidup. Dan ia juga tidak bertemu dengan Putri juga tidak mendengar tentangnya.”

“Putri ini sangat misterius, Elleinder, jangan mengambil resiko apapun. Aku tidak ingin melihatmu berdampingan dengan wanita yang tidak pantas denganmu,” kata Arwain, “Aku tidak dapat membayangkan bila sang Putri memang seperti yang dikabarkan itu.”

Elleinder hanya tertawa mendengarnya. “Mengapa engkau khawatir seperti itu, Arwain? Engkau seperti ibu-ibu yang mencemaskan anaknya yang akan menikah.”

Arwain geram karenanya.

“Jangan cemas, aku telah memikirkan semuanya. Tidak ada satupun yang terlewatkan termasuk kemungkinan kalau Putri itu jelek, gemuk, atau apapun yang buruk-buruk yang kita semua perkirakan. Bahkan kemungkinan kalau ia ternyata lebih tua dariku.”

Arwain mengawasi Elleinder yang tampak percaya diri dengan rencananya itu. Arwain tidak dapat membayangkan bila temannya itu harus berdampingan dengan seorang Putri yang gemuk. Sebagai sahabatnya, Arwain lebih senang kalau Elleinder menikah dengan seorang gadis yang cantik dan ramping. Gadis seperti itulah yang cocok untuk Elleinder yang tampan dan gagah, bukan Putri pilihannya.

Tetapi apa yang dapat dilakukan Arwain? Ia telah berusaha membuat Elleinder membatalkan rencananya tetapi ia tidak berhasil.

“Sekarang bantu aku menyusun surat lamaran yang indah dan pasti membuat sang Putri menerimanya.”

“Tanpa kata-kata yang indah pun, ia pasti akan menerimanya,” kata Arwain setengah mengejek, “Ia pasti merasa sangat beruntung dapat menikah dengan pria sepertimu.”

“Cepat bantu aku!” Elleinder pura-pura marah, “Surat ini harus sudah siap dalam waktu lima menit.”

“Lima menit?” tanya Arwain tak percaya, “Engkau gila, Elleinder?”

“Tidak,” sahut Elleinder, “Aku sudah memanggil Perkins sebelum engkau datang tadi. Dan kuperkirakan ia telah siap berangkat ke Aqnetta dalam waktu lima menit lagi.”

“Engkau benar-benar Raja paling gila yang pernah kuketahui,” kata Arwain, “Juga paling tidak masuk akal.”

“Sudah cukupkah ejekan itu?” tanya Elleinder acuh, “Aku rasa justru itu yang membuatmu terus berteman denganku.”

“Engkau benar,” sahut Arwain, “Sejak dulu engkau memang seperti itu. Sekali mempunyai keinginan, selalu berusaha mewujudkannya tanpa peduli apa kata sahabatmu ini.”

Elleinder tersenyum puas sambil menyodorkan pena kepada Arwain.

“Ini benar-benar gila,” kata Arwain, “Engkau yang akan menikah tapi aku juga harus ikut repot.”

“Kau tahu sendiri aku tidak pandai merayu wanita,” Elleinder berkata jujur, “Engkau lebih pandai dari aku.”

“Engkau memang pandai memanfaatkan orang lain,” gerutu Arwain, “Sekarang katakan apa yang harus kutulis. Bahwa engkau jatuh cinta pada sang Putri atau bahwa engkau ingin mempersatukan dua kerajaan melalui ikatan perkawinan.”

“Karena tujuan pernikahan ini murni karena politik, katakan saja untuk mempersatukan dua kerajaan,” sahut Elleinder tegas, “Aku yakin ia pasti menerimanya.”

“Aku tidak tahu harus mengucapkan apa atas semua kekonyolanmu ini,” gerutu Arwain.

“Terus saja menulis,” perintah Elleinder.

Suara ketukan yang tiba-tiba terdengar menghentikan gurauan kedua sahabat itu.

“Masuk!” sahut Elleinder.

Perkins muncul lengkap dalam pakaian kementeriannya. “Selamat siang, Paduka. Selamat siang, Sir Arwain,” sapa Perkins.

“Selamat siang,” sahut mereka.

“Saya melaporkan bahwa saya telah siap menuju Kerajaan Aqnetta.”

“Tetapi surat lamarannya belum siap,” keluh Arwain.

“Surat lamaran?” tanya Perkins tak mengerti.

Pandangan menyelidik Arwain menatap tajam wajah tak bersalah Elleinder.

“Sudah lanjutkan tugasmu,” kata Elleinder pada Arwain kemudian pada Perkins ia berkata, “Duduklah dulu.”

“Baik, Paduka.”

Perkins mengambil tempat tepat di samping Arwain.

“Kalau boleh saya tahu, Paduka. Untuk apakah surat lamaran itu?”

“Raja kita punya rencana konyol yang tak masuk akal,” jawab Arwain, “Ia bermaksud menikahi Putri Kerajaan Aqnetta.”

Perkins terkejut karenanya.

Sebelum pria setengah baya itu sempat mengatakan apapun, Elleinder mendahuluinya, “Jangan berkomentar apapun. Tidak ada gunanya. Rencana ini tetap berjalan walau kalian tidak setuju.”

“Ia benar,” Arwain setuju, “Aku telah berusaha membujuknya tetapi ia tetap tidak berubah pendirian.”

“Anda tahu resikonya bila menikah dengan gadis yang tak banyak kita ketahui, bukan? Resikonya bukan hanya akan menimpa diri Anda tetapi juga Kerajaan Skyvarrna.”

“Aku tahu.”

Elleinder sudah bosan diceramahi hal yang sama sepanjang siang hari ini. Untuk mengalihkan perhatian Perkins, ia bertanya, “Sudah selesai, Arwain?”

“Sebentar lagi,” kata Arwain.

Perkins terus memperhatikan Arwain yang sibuk menyelesaikan tugasnya sementara itu Elleinder yang melihat surat lamaran itu hampir selesai, segera mempersiapkan penanya.

“Selesai,” kata Arwain pada akhirnya, “Ditambah tanda tanganmu, maka surat ini akan resmi darimu.”

Elleinder menerima surat itu dan membacanya sebelum membubuhkan tanda tangannya kemudian memasukkan surat itu ke dalam sampul surat yang telah disiapkannya.

“Berikan surat ini pada Raja Leland dan sampaikan maafku padanya karena tidak dapat datang sendiri.”

Perkins bangkit dan menerima surat itu. “Baik, Paduka.”

“Setelah tugasmu selesai, segera kembali ke sini.”

“Baik, Paduka,” sahut Perkins.

Segera setelah berpamitan pada Elleinder dan Arwain, Perkins meninggalkan Kamar Kerja.

Sepanjang perjalanan ke kereta kudanya, Perkins terus memandangi surat di tangannya sambil terus berpikir. Tetapi ia tetap tidak mengerti mengapa Elleinder tiba-tiba melamar Putri Kerajaan Aqnetta yang sangat misterius bagi semua orang.

“Kita berangkat,” kata Perkins pada kusir kudanya sebelum naik kereta.

“Baik.”

-------0-------



Raja Leland duduk di Ruang Rekreasi sambil bersantai membaca koran dan menikmati hangatnya kopi hitam. Itulah kebiasaannya di pagi hari.

Seharian mengurus banyak urusan kerajaan membuatnya lelah dan hanya di pagi hari seperti inilah ia bisa beristirahat.

Tengah ia menikmati istirahatnya, seseorang mengetuk pintu.

“Masuk!” kata Raja Leland jengkel.

“Lapor, Paduka,” kata prajurit itu, “Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna ingin bertemu Anda. Katanya ini urusan yang sangat penting yang menyangkut dua kerajaan.”

“Sepenting apakah urusannya?” gumam Raja Leland jengkel.

“Maafkan saya, Paduka,” kata prajurit itu, “Saya telah mengatakan padanya bahwa Anda tidak senang diganggu pada pagi hari tetapi ia mengatakan Raja Elleinder memberinya tugas yang sangat penting dan ia harus bergegas kembali ke Kerajaan Skyvarrna.”

“Baiklah,” kata Raja Leland, “Katakan padanya untuk menungguku di Ruang Tahta. Aku akan menemuinya di sana.”

“Baik, Paduka.”

Prajurit itu pergi untuk melakukan tugas yang diperintahkan padanya.

Tak lama kemudian pintu diketuk lagi.

“Ada apa lagi?” kata Raja Leland geram.

Calf terkejut melihatnya. “Ada apa, Paman?”

“Kukira engkau adalah prajurit itu lagi.”

“Ada apa Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna datang sepagi ini?”

“Aku tidak tahu. Katanya sangat penting.”

Calf ingin tahu apa yang dibawa Menteri itu dari kerajaannya yang luas. “Boleh aku ikut?” tanyanya hati-hati.

“Justru aku mengharapkan engkau ikut,” kata Raja Leland, “Engkaulah calon penggantiku.”

Calf senang mendengarnya. Ribuan kali ia mendengarnya, ia tidak akan bosan. Memang sejak dulu itulah yang diharapkannya, menggantikan pamannya.

Berdua mereka menemui Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna di Ruang Tahta.

“Selamat pagi, Paduka,” sapa Perkins ketika melihat mereka, “Maafkan saya yang telah menganggu Anda sepagi ini.”

“Selamat pagi,” kata Raja Leland sambil tersenyum ramah, “Urusan penting apakah yang membuatmu datang sepagi ini?”

“Saya diperintahkan oleh Paduka Raja Elleinder untuk menyampaikan surat pada Anda. Sebelumnya ia minta maaf karena tidak dapat datang sendiri.”

“Katakan padanya aku mengerti. Memang sulit memerintah kerajaan yang seluas itu.”

Perkins merogoh sakunya dan mengeluarkan surat itu. “Ini surat dari Paduka Raja Elleinder,” katanya sambil menyerahkan surat itu.

Calf menerima surat itu kemudian memberikannya pada Raja Leland.

Raja Leland membuka surat itu dan membacanya.

Calf yang ikut membaca terkejut melihat isi surat itu yang berbunyi:

Kepada Yang Terhormat Paduka Raja Leland,


Hubungan antara Kerajaan Aqnetta dan Kerajaan Skyvarrna telah terjalin dengan baik sejak lama. Persahabatan yang telah berlangsung selama lebih dari tiga abad ini telah mempererat hubungan kedua kerajaan. Sebagai kerajaan yang bertetangga, saya merasa tidak ada salahnya kalau kita semakin mempererat hubungan itu.

Saya telah banyak mendengar tentang Putri Anda. Banyak yang mengatakan ia sangat cantik sehingga Anda tidak rela ia dilihat oleh orang lain. Sayapun kemudian merasa tidak pantas untuk mendampinginya. Tetapi demi mempererat hubungan dua kerajaan yang bertetangga ini, saya memberanikan diri untuk melamarnya.

Dengan pernikahan ini, Kerajaan Aqnetta yang makmur dan Kerajaan Skyvarrna yang luas dapat lebih saling mendukung. Pada akhirnya kedua kerajaan ini akan mempunyai hubungan yang sangat erat yang kelak akan sangat bermanfaat bagi generasi mendatang.

Melalui pernikahan antara saya sebagai Raja Kerajaan Skyvarrna dan Putri Mahkota Kerajaan Aqnetta, dapat dikatakan Kerajaan Skyvarrna menjadi wilayah dari kerajaan Kerajaan Aqnetta demikian pula sebaliknya. Hal ini selain dapat memperluas hubungan kerjasama antara dua negara juga dapat menghilangkan perbedaan yang selama ini ada di kedua kerajaan.

Pada akhirnya, pernikahan ini akan menguntungkan kedua belah kerajaan.

Hormat saya,


Elleinder

Calf mengawasi raut tak percaya Raja Leland dengan cemas.

“Hal ini tidak pernah kubayangkan sebelumnya,” kata Raja Leland tak percaya. “Katakan pada Raja Elleinder aku setuju dengan pendapatnya.”

“Paman?” bisik Calf cemas, “Raja Elleinder hanya ingin menguasai kerajaan kita.”

“Mengapa engkau cemas, Calf?” Raja Leland balas bertanya dengan berbisik, “Kedua kerajaan akan menjadi satu dengan pernikahan ini. Sejak dulu aku ingin menguasai kerajaan yang luas seperti Kerajaan Skyvarrna dan dengan pernikahan ini impianku terwujud.”

“Tetapi kerajaan kita menjadi milik mereka.”

“Tidakkah engkau mengerti, Calf? Pernikahan dua Putra Mahkota dari dua kerajaan akan mempersatukan dua kerajaan. Seperti yang dikatakan Raja Elleinder dalam suratnya, Kerajaan Skyvarrna menjadi wilayah Kerajaan Aqnetta dan Kerajaan Aqnetta menjadi wilayah Kerajaan Skyvarrna.”

“Berarti aku bukan lagi pengganti Paman?” tanya Calf tak percaya.

“Maafkan aku, Calf. Aku tidak ingin mengecewakanmu tetapi inilah yang akan terjadi dengan pernikahan ini,” kata Raja Leland, “Demi kemajuan Kerajaan Aqnetta, engkau harus merelakan hal ini.”

Calf kecewa bercampur geram karenanya. Tanpa mengatakan apapun, ia meninggalkan Ruang Tahta.

Perkins kebingungan melihat pemuda itu berlalu begitu saja dengan marah.

“Abaikan dia,” kata Raja Leland, “Sekarang kita akan membicarakan isi surat Raja Elleinder.”

“Katakan padanya aku sepenuhnya setuju padanya. Aku menerima lamarannya,” kata Raja Leland dengan gembira, “Atau aku harus menulis surat untuknya.”

“Menurut saya, lebih baik kalau Baginda membalas surat Paduka Raja Elleinder sehingga tidak akan ada keraguan ketika saya menyampaikan balasan Anda.”

“Tentu. Tentu saja,” kata Raja Leland, “Tunggulah sebentar.”

Raja Leland memerintahkan kepada prajurit untuk mengambilkan kertas dan pena dari Ruang Gambar yang dekat dengan Ruang Tahta.

Sambil menunggu prajurit itu kembali, Raja Leland mengajak Perkins bercakap-cakap.

“Raja Elleinder memang seorang raja yang cakap walau ia masih muda. Aku tidak pernah menyangka ia mempunyai pikiran yang sangat jauh tentang hubungan dua kerajaan ini.”

“Anda benar, Paduka,” sahut Perkins, “Ketika Raja Fahrein meninggal, Kerajaan Skyvarrna menjadi kacau tetapi Raja Elleinder dapat segera menguasai keadaan.”

“Aku tidak pernah memikirkan bahwa dengan menikahkan putriku dengannya, kedua kerajaan ini akan mempunyai hubungan kerabat bahkan kedua kerajaan tetangga ini dapat menjadi satu kerajaan. Sungguh merupakan suatu keberuntungan bagi kerajaan kecil ini untuk dapat menjadi satu dengan Kerajaan Skyvarrna yang luas.”

Akhirnya Perkins mulai dapat memahami mengapa Elleinder melamar Putri Kerajaan Aqnetta. Tetapi ia tetap tidak mengerti mengapa demi menguasai Kerajaan Aqnetta, ia rela mengorbankan dirinya sendiri untuk menikah dengan Putri yang konon sangat tidak cocok menjadi seorang Putri sejati.

“Juga merupakan keberuntungan bagi Kerajaan Skyvarrna untuk dapat bergabung dengan Kerajaan Aqnetta yang makmur dan kaya hasil alam,” kata Perkins merendah.

Raja Leland tertawa karenanya. “Kerajaan Skyvarrna beruntung memiliki seorang menteri sepertimu.”

Lagi-lagi Perkins merendahkan diri. “Kerajaan Aqnetta juga beruntung memiliki seorang Raja yang sebijaksana Anda, Paduka.”

Raja Leland senang melihat sikap Perkins yang penuh rasa hormat dan kesopanan.

Prajurit yang ditugaskan Raja Leland untuk mengambil kertas beserta pena itu akhirnya tiba. Dengan setengah membungkuk hormat, ia menyerahkan benda-benda itu pada Raja Leland.

Segera setelah menerimanya, Raja Leland menulis surat jawabannya. Tidak sampai sepuluh menit ia telah selesai menuliskan semua kegembiraan dan persetujuannya atas lamaran Elleinder.

“Berikan ini pada Raja Elleinder,” katanya sambil menyerahkan surat itu pada Perkins.

“Baik, Paduka,” jawab Perkins.

“Apakah engkau mau sarapan pagi di sini bersamaku?” Raja Leland tiba-tiba mengundang Perkins sebagai wujud kegembiraannya.

“Saya akan senang sekali tetapi maafkan saya, Baginda. Paduka Raja Elleinder memerintahkan saya untuk segera kembali setelah menerima jawaban Anda atas suratnya.”

“Ya… ya tentu saja,” kata Raja Leland berulang-ulang. “Bila demikian halnya, aku tidak dapat memaksamu lagi. Sampaikan juga salam dan hormatku pada Raja Elleinder.”

“Baik, Baginda,” kata Perkins sambil membungkuk hormat, “Semua perkataan Anda akan saya sampaikan pada Paduka Raja Elleinder.”

Tak lama kemudian Perkins meninggalkan Istana Vezuza dengan berbagai perasaan.

Lamaran telah diterima. Untuk hubungan kedua kerajaan sudah jelas tetapi tidak untuk masa depan Raja dari Kerajaan Skyvarrna. Perkins tidak dapat membayangkan seperti apakah rupa Putri Kerajaan Aqnetta. Dan kalau apa yang dikatakan banyak orang tentangnya itu benar, Perkins tidak dapat membayangkan bagaimana kebahagiaan Elleinder yang harus berdampingan dengan Putri itu.

Perkins telah menjadi Menteri Luar Negeri Kerajaan Skyvarrna sejak Elleinder masih kecil. Dan hubungan mereka sudah akrab seperti ayah dan anak.

Perkins tahu seperti dirinya, Raja Fahrein mengharapkan Elleinder menikah dengan seorang gadis yang cantik jelita bukan dengan putri yang tak banyak diketahui orang. Bahkan dikatakan gemuk, buruk dan entah apa lagi. Yang pasti kesan yang dikatakan banyak orang tentang Putri Kerajaan Aqnetta adalah bahwa Putri itu tidak pantas menjadi seorang Putri sejati yang anggun, cantik dan penuh pesona. Karena itu Raja Leland malu dan melarang sang Putri meninggalkan Istana Vezuza.

Kalau memang ini yang diinginkan Elleinder, Perkins tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia baru mengetahui rencana ini setelah semuanya terlambat.

Ketika utusan Elleinder datang ke rumahnya untuk menyampaikan perintah Elleinder, Perkins tanpa curiga segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke Kerajaan Aqnetta. Dan di Istana Qringvassein, ia tidak punya banyak kesempatan untuk mengetahui apa yang tengah direncanakan Elleinder hingga memerintahkannya untuk segera berangkat ke Kerajaan Aqnetta.

Semua telah siap ketika ia tiba dan yang dapat dilakukannya hanya melakukan tugas itu walau hatinya bingung dan tidak setuju dengan rencana ini. Arwain benar, ini rencana konyol tetapi juga rencana yang sangat berani. Menempuh resiko yang sangat besar hanya untuk menguasai Kerajaan Aqnetta yang kecil tetapi sangat menarik perhatian kerajaan manapun.

Pangeran-pangeran dari kerajaan lain pasti juga tahu dengan menikah sang Putri, mereka dapat menguasai Kerajaan Aqnetta. Tetapi sebesar apapun ambisi mereka, tidak ada yang berani mengambil resiko itu. Hanya Elleinder saja yang berani mengambil resiko itu.

Perkins memandangi halaman Istana Vezuza yang sangat luas.

Istana Vezuza sangat megah dan indah. Walaupun Kerajaan Skyvarrna lebih luas dari Kerajaan Aqnetta, tetapi Perkins mengakui Istana Vezuza lebih indah daripada Istana Qringvassein. Di dalam istana yang indah bagai istana negeri dongeng itu, tinggal seorang Putri yang penuh misteri bagi siapapun kecuali orang Istana Vezuza sendiri.

Perkins menghela napas dengan pasrah. Seperti apapun rupa sang Putri, ia berharap Putri itu dapat membahagiakan Elleinder. Perkins juga berharap Elleinder tidak menyesal dengan jalan yang ditempuhnya ini bila ia tahu rupa sang Putri.

Perkins menyapu seluruh Istana Vezuza beserta halamannya itu dengan pandangannya sebelum akhirnya ia memasuki kereta.

Seperti yang diharapkan Elleinder, Perkins sudah tiba di Istana Qringvassein hanya dalam waktu tak lebih dari dua minggu setelah kepergiannya.

Begitu mencapai Skyvarrna, Perkins segera menuju Istana Qringvassein untuk menyerahkan surat jawaban Raja Leland kepada Raja Elleinder.

Elleinder tampak begitu percaya diri ketika menerima surat itu. “Engkau secepat yang kuharapkan, Perkins.”

“Terima kasih, Paduka.”

Dengan penuh percaya diri, Elleinder membuka surat itu.

Arwain juga ingin tahu jawaban Raja Leland tetapi ia tahu batas-batas keakraban mereka sebagai sahabat. Walaupun mereka adalah sahabat akrab sejak kecil, Arwain tahu ia harus menjaga sikapnya kepada orang nomor satu di Skyvarrna.

“Aku sudah menduganya,” kata Elleinder puas, “Mungkin engkau mau melihatnya, Arwain.”

Arwain tentu saja mau. Ia segera menerima surat itu dan membacanya cukup keras sehingga Perkins juga dapat mendengarnya.

Kepada Yang Terhormat Raja Elleinder,


Saya merasa sangat beruntung atas lamaran Anda kepada putri saya. Saya menyadari apa yang Anda katakan dalam surat Anda benar. Persahabatan antara kerajaan kita telah terjalin cukup lama dan tidak ada salahnya bila kita mempererat hubungan ini dalam suatu ikatan pernikahan. Saya dan putri saya merasa sangat beruntung dengan lamaran Anda ini.

Saya akan merasa sangat beruntung dapat mempunyai menantu yang hebat seperti Anda.

Hormat saya,


Raja Leland
“Tentu saja ia merasa sangat beruntung mempunyai menantu yang sangat tampan sepertimu untuk putrinya yang jelek,” Arwain memberi komentar setelah selesai membaca surat itu.

Elleinder diam saja mendengarnya. Ia senang rencananya berjalan mulus seperti harapannya. Dan ia tidak mau memikirkan yang lain selain keberhasilannya ini.

Arwain menatap lekat-lekat wajah penuh kemenangan Elleinder. “Rencanamu berhasil,” katanya, “Aku hanya dapat mengucapkan selamat menjadi pengantin yang bahagia.”

Elleinder hanya tersenyum mendengarnya.

“Paduka,” kata Perkins tiba-tiba, “Apakah Anda yakin dengan rencana Anda ini? Rencana ini terlalu besar resikonya.”

Entah untuk yang keberapa kalinya, Elleinder berkata, “Aku telah memikirkan semuanya.” Untuk meyakinkan Perkins kalau ia tidak bisa mencegahnya, Elleinder menambahkan, “Kalaupun engkau ingin menghentikanku, semuanya sudah terlambat. Engkau tidak ingin kerajaan kita berperang dengan Kerajaan Aqnetta, bukan?”

“Tentu saja bukan itu maksud saya. Tapi…”

“Sudahlah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Dengan penuh keyakinan, Elleinder berkata, “Setelah menjadi istriku, ia harus menurut padaku. Aku adalah suaminya dan ia tidak akan bisa melawanku.”

“Kuharap engkau bisa mengendalikannya,” Arwain berkata acuh, “Kurasa ia akan terpesona padamu hingga ia akan selalu menuruti semua kata-katamu.”

Elleinder mengacuhkan sahabatnya dan berpaling pada Perkins. “Apakah Raja Leland mengatakan sesuatu tentang rencana pernikahan putrinya?”

“Tidak, Paduka,” jawab Perkins.

“Baiklah,” kata Elleinder tiba-tiba, “Sudah kuputuskan.”

“Memutuskan apa, Paduka?”

“Aku akan ke Kerajaan Aqnetta, Perkins. Aku akan menemui Raja Leland untuk membicarakan pernikahan ini dan mengaturnya.”

“Anda bisa menyuruh saya melakukannya untuk Anda, Paduka,” kata Perkins, “Lagipula banyak yang harus Anda kerjakan di sini.”

“Tidak, Perkins. Aku merasa lebih baik kalau aku sendiri yang membicarakannya dengan Raja Leland. Aku tidak ingin membuat Raja Leland tersinggung.”

“Aku rasa engkau ingin ke sana karena ingin bertemu calon istrimu,” kata Arwain mengejek.

“Aku memang berharap seperti itu. Setidaknya aku sudah tahu bagaimana rupa gadis yang akan menjadi istriku sebelum aku menikahinya.”

Arwain terus menganggu Elleinder. “Kalau ia buruk rupa, engkau akan tetap menikahinya?”

“Sudah berulang kali kukatakan aku tidak akan membatalkan rencanaku,” kata Elleinder jengkel, “Lagipula aku tidak yakin dapat menemuinya. Raja Leland tentu akan menyembunyikannya entah di mana.”

“Saya juga tidak pernah bertemu dengannya ketika dulu saya ke Istana Vezuza,” kata Perkins, “Tampaknya putri ini benar-benar disembunyikan oleh Raja Leland dari semua orang.”

“Baiklah, sekarang semua telah diputuskan. Perkins, engkau boleh kembali ke rumahmu untuk beristirahat. Arwain, engkaupun boleh kembali kalau engkau ingin.”

“Aku ingin ikut denganmu. Aku ingin melihat calon istrimu.”

“Tidak,” kata Elleinder tegas, “Aku yang akan pergi sendiri.”

“Paduka,” kata Perkins, “Saya akan lebih tenang kalau Sir Arwain juga ikut Anda.”

“Tidak,” sekali lagi Elleinder berkata tegas, “Ini perintah dan tidak ada yang boleh membantahnya.”

“Kalau aku ikut, aku dapat mencari tahu tentang sang Putri sementara engkau sibuk berunding dengan Raja Leland,” Arwain tidak berhenti membujuk Elleinder, “Aku juga ingin bertemu dengan calon istri sahabat baikku yang juga rajaku.”

“Saya pikir apa yang dikatakan Sir Arwain benar, Paduka. Seperti yang Anda katakan, lebih baik Anda mengetahui seperti apa rupa sang Putri sebelum Anda menikah dengannya. Sehingga Anda bisa tahu apa yang harus dilakukan sebelum memboyongnya ke sini.”

“Membawa Arwain sebenarnya adalah bencana. Tetapi kalau kalian memaksa Arwain ikut, aku tidak akan mencegah,” kata Elleinder, “Aku juga tidak akan bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu padamu ketika engkau berusaha menyelidiki sang Putri.”

“Aku telah melarangmu,” Elleinder memperingatkan.

“Jangan khawatir,” Arwain tersenyum senang.

“Sebelum engkau kembali, Perkins, tolong panggilkan salah seorang prajurit.”

“Baik, Paduka.”

Perkins segera berlalu dari ruangan itu.

“Keputusan yang sangat bijaksana untuk membawaku pergi besertamu, Elleinder,” kata Arwain puas.

“Seperti yang kukatakan membawamu sepertinya bukan ide yang baik. Tetapi kupikir daripada aku harus sibuk menceritakan apa yang terjadi selama aku berada di Istana Vezuza, lebih baik engkau melihatnya sendiri.”

Arwain tersenyum penuh kemenangan.

“Sebaiknya engkau lekas bersiap-siap. Kalau tidak malam ini, kemungkinan aku akan berangkat besok pagi.”

“Baik, Paduka,” kata Arwain. Kemudian pria itupun segera berlalu.

Sesaat setelah kepergian Arwain, pintu diketuk seseorang.

“Masuk!”

“Paduka memanggil saya?” tanya prajurit itu.

“Aku ingin engkau memanggil Brasch untukku. Dan aku ingin sesegera mungkin, ini masalah yang sangat mendesak.”

“Baik, Paduka,” sahut prajurit itu sebelum meninggalkan Kamar Kerja.

Elleinder menyandarkan punggungnya ke kursinya yang tinggi dengan puas. Ia sangat puas dengan keberhasilannya ini hingga ia yakin ia tidak akan dapat tidur malam ini. Sejak kecil ia berambisi menguasai Kerajaan Aqnetta ke dalam kekuasaan Kerajaan Skyvarrna.

“Kerajaan kecil yang hijau permai namun tak terjangkau,” gumam Elleinder sambil membayangkan keindahan tempat itu.

Hanya sekali Elleinder berkunjung ke Kerajaan Aqnetta, itupun ketika ia masih berusia sepuluh tahun. Tetapi sejak itu dan terus selama tujuh belas tahun terakhir ini, ia tidak pernah melupakan tempat itu. Ia seperti terbius oleh pesona alamnya yang indah.

Pegunungan Alpina Dinaria yang memanjang di perbatasan barat dengan Gereja Chreighton-nya yang lebat dan masih liar. Kota-kotanya yang damai dan penuh pesona. Istana Vezuza-nya yang indah seperti istana negeri dongeng.

Kerajaan Aqnetta. Sebuah kerajaan kecil yang indah dan kaya namun tak berani disentuh kerajaan manapun.

Elleinder puas bahkan sangat puas dengan keberhasilan rencananya ini. Ia merasa telah menang dari kerajaan manapun.

Mereka tidak berani mengambil resiko untuk menghadapi Kerajaan Aqnetta. Elleinder pun juga tidak mau mengorbankan pasukannya ke dalam cengkeraman kekuatan Kerajaan Aqnetta yang terkenal sangat kuat. Kekuatan Kerajaan Aqnetta terlalu kuat untuk diusik kerajaan manapun bahkan bila mereka bersatupun, belum tentu mereka dapat menang dari pasukan Kerajaan Aqnetta terutama pasukan rahasianya.

Tetapi Elleinder lebih berani mengambil resiko untuk menikahi Putri Mahkota Kerajaan Aqnetta. Walau ia tidak pernah tahu seperti apakah rupa sang Putri, ia berani mengambil resiko itu. Tidak peduli sang Putri jelek, tua, gemuk atau apapun, Elleinder tetap akan menjalankan rencananya ini. Setelah menjadi istrinya sang Putri harus tunduk padanya dan ia tidak akan dapat bertindak sekehendak dirinya sendiri.



*****Lanjut ke chapter 2

1 comment:

  1. haia author salam kenal.baru nemu blog ini gara2 baca wattpad . niat raja muda itu udah ga baik dari awal. gimana lanjutannya ya

    ReplyDelete