Saturday, February 3, 2007

Pelarian-Chapter 4

Tepat seperti yang diramalkan Wolve, hingga hari pertunangannya, Alviorita masih belum ditemukan. Tentu saja hal ini membuat Raja Phyllips semakin marah. Tetapi Raja sendiri juga tahu tidak ada yang dapat dilakukannya selain menunda pesta tersebut.

“Jadi hingga hari ini Alviorita belum ditemukan,” kata Raja.

“Maafkan kami, Paduka. Kami telah mencari Tuan Puteri ke seluruh tempat tetapi hingga kini kami belum menemukan Tuan Puteri,” kata Wolve sambil membungkuk dalam-dalam.

Raja Phyllips menatap Wolve. “Lupakan saja. Sekarang tidak ada yang dapat kita lakukan selain menunda pesta pertunangan itu. Alviorita memang suka membuat masalah.”

Wolve diam menanti perintah selanjutnya dari Raja.

“Sebarkan perintah pencarian Alviorita,” kata Raja Phyllips, “Sebelumnya sampaikan suratku kepada Duke of Kryntz.”

Wolve terkejut melihat Raja mengeluarkan secarik surat dari sakunya. Rupanya Raja juga merasa ia tidak akan dapat menemukan putrinya tetapi ia tetap menyuruh semua orang mencoba untuk menemukan Alviorita. Raja menggunakan kesempatan yang sempit untuk menemukan Alviorita. Walaupun ia tidak berhasil, setidaknya ia telah mencoba. Wolve mengagumi sikap Raja. Ia mengambil surat itu dari tangan Raja.

“Sampaikan juga permintaan maafku yang sedalam-dalamnya,” kata Raja pada Wolve.

Kemudian Raja memalingkan kepalanya kepada Menteri Dalam Negeri, James. “Sebarkan pengumuman penundaan pesta pertunangan ini kepada seluruh undangan.”

“Baik, Paduka,” jawab James sambil membungkuk.

“Dan jangan kau bongkar ruang yang telah dipersiapkan. Biarkan ruang itu apa adanya karena begitu Alviorita ditemukan, aku akan segera melangsungkan pesta pertunangannya sehingga ia tidak dapat kabur lagi.”

Sekali lagi James membungkuk sambil berkata, “Baik, Paduka.”

“Sebarkan prajuritmu ke seluruh pelosok Kerajaan Lyvion, Rupert. Jangan sampai ada yang terlewatkan.”

Menteri Pertahanan yang mendapat tugas itu membungkuk dan berkata, “Baik, Paduka.”

Melihat ketiga orang yang mengemban perintahnya masih belum juga beranjak, Raja Phyllips berkata, “Sekarang lakukan perintahku.”

“Baik, Paduka,” kata mereka serempak.

Setelah kepergian ketiga pria itu, Raja masih terus mondar-mandir di Ruang Tahta. Pikirannya masih dipenuhi oleh hilangnya putrinya. Ia tidak mengerti mengapa tidak seorangpun yang tahu di mana Alviorita berada.

“Kurasa kali ini Raja Phyllips benar-benar marah,” kata James.

“Aku merasa tak lama lagi ia akan mengerahkan seluruh penduduk Kerajaan Lyvion untuk menemukan Tuan Puteri.”

“Engkau salah, Wolve. Ia sudah melakukannya,” kata Rupert sambil tersenyum.

“Apa yang dapat dilakukan? Seperti kata Maryam, Putri Alviorita selalu menghilang seperti ditelan bumi,” kata Wolve.

“Sejak dulu Putri Alviorita memang selalu begitu. Hingga kini aku selalu ingin tahu ke manakah Putri bersembunyi sehingga tidak seorangpun dari kita yang dapat menemukannya,” kata Rupert.

“Putri Alviorita pandai menghilang,” timpal James.

“Sekarang kita berpisah di sini,” kata Wolve ketika mereka telah sampai di halaman Istana Urza.

Mereka saling mengucapkan selamat tinggal kemudian menaiki kuda yang telah dipersiapkan.

Wolve segera menuju kediaman Duke of Kryntz.

Ketika Wolve sampai di sana, ia tidak menyadari sepasang mata hijau tengah mengawasinya dari atas pohon. Mata hijau itu bersinar penuh kemenangan.

Wolve terus memasuki halaman Castle Q`arde. Kedatangannya disambut oleh pelayan yang segera mengantarkannya ke tempat Duke of Kryntz.

“Apa yang membuatmu kemari, Wolve?” sambut Duke.

Wolve tersenyum. “Apa lagi selain perintah Paduka?”

Duke terkejut. “Apakah terjadi sesuatu yang serius di Istana Urza?”

“Dapat dikatakan seperti itu.”

“Apa yang terjadi?”

“Sebaiknya engkau membaca surat ini.”

Duke menerima surat itu. Dari amplopnya yang bergambar simbol kerajaan, ia tahu surat itu dari Raja Phyllips.

Setelah membaca surat itu, Duke tidak mengatakan apa-apa. Ia berkata kepada istrinya, “Panggilkan Nathan. Kurasa ia pasti tertarik mendengar hal ini.”

Duchess segera meninggalkan ruangan itu.

Sepeninggal Duchess, Duke masih tidak mau membicarakan isi surat itu dengan Wolve.

Duke tersenyum pada Wolve, “Engkau mau minum apa?”

“Tidak, terima kasih.”

Wolve merasa heran melihat sikap Duke yang tenang itu. Semula ia menduga Duke akan sangat terkejut tetapi apa yang dilihatnya sekarang benar-benar bertentangan dengan apa yang dipikirkannya. Duke terlihat sangat tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal masalah ini menyangkut pertunangan putranya. Untuk menghilangkan kesunyian, Duke berkata, “Bagaimana keadaan Raja Phyllips?”

“Raja Phyllips baik-baik saja.”

“Apakah ia sudah tidak terguncang lagi karena kematian Ratu?”

Wolve menghela napasnya. “Kurasa sampai saat ini Raja masih saja merasa terguncang tetapi Tuan Puteri sudah tidak lagi. Sepertinya Tuan Puteri telah melupakan kematian ibunya.”

“Saat itu Putri Alviorita masih kecil. Ia pasti dengan cepat melupakan ibunya,” kata Duke.

“Siapa yang dapat menduga, Ratu yang selalu sehat tiba-tiba meninggal karena sakit,” kata Wolve, “Dan malang sekali Ratu meninggal di Castle ini.”

Duke hendak mengatakan sesuatu ketika pintu Ruang Duduk terbuka.

Duchess muncul beserta kedua putranya.

“Duduklah, Nathan,” kata Duke, “Aku mempunyai berita untukmu.”

Nathan mendekati ayahnya. Ketika ia sudah dekat, Duke menyodorkan surat Raja Phyllips kepadanya. Nathan menerima surat itu dan membacanya.

“Tidak mungkin?” tanya Nathan tidak percaya.

“Apa yang telah terjadi?” tanya Duchess ingin tahu.

“Putri Alviorita kabur dari Istana Urza,” kata Duke memberi tahu.

“Oh…,” kata Duchess sambil menutupi mulutnya.

Mereka memandang wajah Wolve yang sudah siap dengan serentetan pertanyaan.

Sebelum setiap orang memberinya pertanyaan, Wolve berkata, “Kemarin lusa Putri Alviorita menghilang. Tidak seorangpun yang dapat menemukannya baik di dalam maupun di luar Istana Urza. Juga tidak seorangpun yang melihat kepergian Tuan Puteri.”

“Hebat!” seru Trent kagum, “Seperti ditelan bumi.”

“Itulah yang selalu dikatakan Maryam. Putri Alviorita memang selalu begitu setiap kali ia menghilang tidak seorangpun yang dapat menemukannya. Ia hilang dan muncul seperti disihir.”

Trent berseru kagum. “Hebat! Aku ingin belajar bersembunyi darinya.”

“Kalian belum menemukannya?” tanya Duke.

“Sejak Putri hilang, kami telah berusaha mencarinya tetapi hingga saat ini kami tetap tidak berhasil. Raja Phyllips marah sepanjang hari karenanya. Dan hari ini ia mengadakan pencarian besar-besaran. Semua prajurit dikerahkannya untuk mencari Tuan Puteri bahkan seluruh penduduk Kerajaan Lyvion.”

“Itu artinya pesta pertunangan mereka ditiadakan?” tanya Duchess.

Wolve mengangguk.

“Engkau beruntung, Nathan. Tunanganmu kabur sehingga pertunangan kalian batal,” kata Trent.

“Tidak. Bukan begitu maksudku,” Wolve cepat-cepat membenarkan kata-kata Trent, “Begitu Putri ditemukan, Paduka akan segera melangsungkan pesta pertunangan mereka.”

“Pertunanganmu tidak jadi batal, Nathan,” kata Trent mengumumkan.

“Tetapi mungkin saja pertunangan itu batal,” kata Wolve, “Tidak seorangpun dapat menemukan Putri Alviorita bila ia telah bersembunyi.”

Wolve tiba-tiba teringat sesuatu. “Paduka meminta maaf yang sedalam-dalamnya atas penundaan pesta pertunangan ini.”

Duke tersenyum. “Tidak apa-apa. Kami mengerti.”

“Tugas pertamaku telah selesai. Sekarang aku harus segera kembali untuk menyelesaikan tugas keduaku.”

“Kami tidak akan menghalangimu. Kami mengerti dengan menghilangnya Putri Alviorita ini, engkau mempunyai banyak tugas,” kata Duke.

“Ya, sejak Yang Mulia Tuan Puteri kabur dari Istana Urza, aku mendapat banyak tugas.”

Merasa ia telah menyelesaikan tugasnya, Wolve bangkit. “Kurasa aku telah menyampaikan semua pesan Paduka.”

“Terima kasih, Wolve,” kata Duke.

Dari tempat duduknya, Alviorita melihat Duke mengantarkan Wolve hingga ke pintu depan.

Alviorita tersenyum puas melihat Wolve telah pergi. Sekarang Alviorita benar-benar merasa bebas. Ia senang sekali telah berhasil membatalkan pesta pertunangan konyolnya. Alviorita yakin tidak akan ada orang yang akan mencarinya di Castle Q`arde.

Setelah kepergian Wolve, Alviorita masih tidak ingin turun. Ia masih ingin menikmati saat yang paling membahagiakannya ini dari atas pohon.

Kepada serombongan burung yang terbang di atasnya, Alviorita berkata, “Sekarang aku mempunyai sayap seperti kalian dan dengannya aku akan mengelilingi dunia.”

Membayangkan ia berjalan-jalan ke bukit yang selalu dilihatnya dari puncak menara membuat Alviorita semakin senang. Dipandanginya rumah-rumah penduduk yang tampak dari atas pohon itu. Rumah-rumah dengan pemandangannya yang tampak kecil dari menara Istana Urza sekarang tampak lebih besar dan lebih dekat. Sekarang dengan cepat Alviorita dapat mencapai tempat-tempat yang ingin didatanginya.

Tanpa pengawal.

Tanpa tugas rutin.

Tanpa larangan setiap orang.

Dan yang lebih penting tidak seorangpun yang akan mengenalnya. Tidak akan ada orang yang mengenalnya sebagai Alviorita. Mereka hanya tahu ia adalah gadis yang hilang ingatan yang bernama Rosa.

Dibayangkannya hari-hari yang akan datang. Ia tidak perlu khawatir orang-orang akan menemukannya. Sekarang yang harus dilakukannya adalah membuat setiap orang Castle Q`arde semakin yakin ia bukan sang Putri Mahkota.

Awal dari rencana Alviorita telah berhasil dengan baik. Sekarang Alviorita dapat meneruskan rencananya.

Kepada ayahnya Alviorita telah membuktikan ia bukan gadis yang dapat dipaksa. Ia mau dipaksa belajar keras hanya untuk penduduk Kerajaan Lyvion. Tetapi ia tidak akan pernah mau dipaksa menikah dengan Nathan, pria yang paling membosankan yang pernah ditemuinya.

Setelah bertemu dengan Nathan sendiri, Alviorita masih merasa pria itu adalah pria yang paling membosankan. Pria itu sama sekali tidak peduli apa yang terjadi di sekelilingnya. Bagaimana ia akan peduli terhadap istrinya? Alviorita juga tidak mau mengakui pria itu adalah pria yang menarik walaupun Alviorita mengakui pria itu tampan.

Hingga saat ini Alviorita sering merasa heran mengapa Nathan berbeda dengan adiknya.

Dulu karena terkejutnya, Alviorita tidak dapat merasakan lucunya keluarga Kryntz. Tetapi sekarang saat Alviorita merasa senang dan lega. Ia mulai menyadari apa yang belum disadarinya dulu. Sekarang Alviorita dapat tersenyum geli ketika ia membayangkan Duchess yang cantik bersanding dengan Duke yang agak gemuk. Tetapi ia lebih tersenyum geli ketika ia membayangkan Nathan yang tinggi dan tampan dijajarkan dengan adiknya yang pendek dan lucu.

Hidup di Castle Q`arde tidak akan terasa membosankan bagi Alviorita. Ia telah menemukan apa yang dapat membuatnya gembira.

Alviorita tersenyum. Semalam ia telah menghabiskan waktunya sesuai dengan apa yang paling diinginkannya. Ia menghabiskan waktunya bersama Jeffreye. Dan ia masih berada di Ruang Kanak-Kanak ketika anak itu pergi tidur.

Melihat langit telah cerah, Alviorita memutuskan untuk melihat apakah Jeffreye sudah bangun.

Dengan hati-hati Alviorita memanjat turun pohon itu.

Sepasang tangan yang memegang pinggang Alviorita ketika ia hampir sampai di tanah.

Alviorita terkejut.

Orang itu mengangkatnya dari batang pohon dan menurunkannya tepat di depannya.

Alviorita terkejut melihat wajah Nathan berada di dekatnya.

“Terima kasih,” katanya gugup.

Nathan tersenyum sinis. “Sudah menjadi kebiasaanmu?” katanya sambil memandang puncak pohon.

Alviorita menyadari tangan pria itu belum beranjak dari pinggangnya. “Dapatkah Anda melepaskan tangan Anda?” tanyanya sopan namun tajam.

Nathan segera menarik tangannya dari pinggang Alviorita.

“Terima kasih,” kata Alviorita sambil berlalu.

Tetapi Nathan tidak melepaskan Alviorita begitu saja. Nathan menangkap lengan gadis itu. “Apa yang dapat membuatku yakin engkau tidak akan melakukan kebiasaanmu yang berbahaya itu?”

“Lepaskan aku!” kata Alviorita.

“Ke mana engkau akan pergi?”

“Aku tidak akan memanjat pohon lagi. Saat ini aku ingin melihat Jeffreye,” kata Alviorita sambil menyentakkan lengannya.

Begitu lengannya terlepas dari pegangan Nathan, Alviorita segera berlari ke dalam Castle Q`arde. Alviorita tahu pria itu mengikutinya tetapi ia tidak peduli. Ia tidak suka pria itu menemukan ia tengah menuruni pohon.

Ketika mata Alviorita menangkap bayangan seseorang dari dalam Castle Q`arde, ia berhenti berlari. Ia tahu Nathan tidak mungkin berani menganggunya selama ada orang di Castle Q`arde. Dengan tersenyum senang, Alviorita berjalan dengan tenang menuju bangunan utama Castle Q`arde. Tepat seperti yang diduga Alviorita. Nathan tidak berusaha mengejar maupun menahan Alviorita. Ia hanya berjalan di samping Alviorita.

“Engkau harus berjanji dulu padaku. Engkau tidak akan melakukan kebiasaanmu yang berbahaya itu,” kata Nathan.

“Berbahaya?” tanya Alviorita santai.

“Apakah engkau tidak menyadari engkau dapat jatuh dan terluka bila engkau terus-menerus memanjat pohon seperti itu,” kata Nathan, “Aku tidak tahu apa yang terjadi bila aku tidak menemukanmu turun dari pohon itu.”

“Akan menjadi berbahaya bila engkau mengejutkanku seperti itu,” kata Alviorita tajam, “Lagipula mengapa engkau sibuk mengurusi aku? Bukankah masih banyak yang dapat kaulakukan? Pekerjaanmu yang membosankan itu, misalnya.”

“Aku tidak melakukannya demi engkau,” balas Nathan tak kalah tajamnya, “Aku melakukannya karena aku tidak ingin engkau memperngaruhi kemenakanku. Sejak kemarin ia tampak kagum dengan tindakan penyelamatanmu.”

“Sudah kuduga,” kata Alviorita santai, “Bagaimana mungkin manusia yang paling acuh seperti engkau akan mengurusi masalah selain tanggung jawab, tugas dan entah apa lagi pekerjaan yang membosankan.”

“Aku mengingatkanmu untuk tidak mempengaruhi Jeffreye,” kata Nathan memperingati.

Alviorita mengabaikan peringatan itu. “Itu tidak ada dalam rencanaku.”

Nathan tiba-tiba berhenti. Ia menangkap lengan Alviorita.

Alviorita memandang tajam Nathan. “Lepaskan aku!”

“Aku tidak akan melepaskanmu sebelum engkau berjanji padaku,” kata Nathan tajam.

Pandangan mata Nathan yang tajam membuat Alviorita merasa kecil dan itu membuat Alviorita semakin merasa jengkel pada tunangannya itu. Alviorita tidak suka pada segala macam perasaan yang ditimbulkan pria itu.

“Baiklah, aku berjanji,” kata Alviorita jengkel.

Dalam rencana Alviorita memang tidak ada kegiatan untuk mempengaruhi Jeffreye. Yang ada hanya bagaimana ia dapat membatalkan pertunangan konyolnya dengan pria yang sekarang berdiri di dekatnya.

Alviorita menatap tajam wajah Nathan tanpa menyadari wajahnya saat itu tampak cantik sekaligus berbahaya. Kalaupun Alviorita menyadarinya, Alviorita tidak akan merasa malu. Sebaliknya ia akan merasa senang dapat menunjukkan wajah berbahaya seperti itu. Seperti kegiatannya yang saat ini dapat berbahaya bagi pertunangan konyolnya.

“Bagus,” kata Nathan puas.

Alviorita merasa semakin membenci pria itu ketika ia melihat sinar kemenangan di matanya. Dengan marah ia menyentakkan lengannya. Bagi Alviorita cukup sekian saja ia berada di dekat Nathan. Belum sempat Alviorita menjauhi Nathan, Trent sudah muncul. Dalam hati Alviorita mengeluh mengapa ia bertemu dengan dua pria yang menjengkelkan dalam satu saat. Yang satu hanya mementingkan kewajibannya dan yang satu hanya pandai menjual pujian. Tiba-tiba Alviorita menyadari ia dapat memanfaatkan keberadaan Trent untuk menemukan perisai yang lain di Castle Q`arde.

“Siapakah pria yang tadi datang dengan kudanya bersama prajurit itu?” tanyanya.

“Orang itu adalah Kepala Pengawal Istana Urza, Wolve,” jawab Nathan.

“Mengapa ia kemari?”

“Ia menyampaikan surat Raja kepada ayahku,” jawab Trent.

“Apa isi surat itu?” tanya Alviorita tertarik.

“Aku tidak tahu. Tanyalah kakakku,” jawab Trent sambil memandang wajah Nathan.

Walaupun enggan tetapi Alviorita tetap menatap memohon pada Nathan. Ia ingin sekali mengetahui apa yang ditulis ayahnya untuk mengabarkan berita menghilangnya dirinya ini.

“Untuk apa engkau mengetahuinya? Ini bukan urusanmu,” kata Nathan sinis.

“Apa yang akan kaulakukan bila ini memang urusanku?” tantang Alviorita, “Engkau telah mengurusi masalahku yang bukan menjadi masalahmu.”

Nathan diam saja.

Dari sikapnya Alviorita tahu pria itu menolak untuk mengatakan isi surat Raja Phyllips. Alviorita sudah tahu seperti apa isi surat itu dan ia dapat memancing Nathan mengatakan isi surat itu dengan apa yang diketahuinya. Tetapi ia tidak ingin membongkar penyamarannya sendiri. Alviorita tahu sebelum tengah hari, tidak akan ada seorangpun di luar Istana Urza maupun keluarga Kryntz yang mengetahui berita ini. Penyusunan pengumuman maupun menyebarkan pengumuman itu membutuhkan waktu yang lama. Apalagi bila pengumuman itu mendadak seperti ini.

“Kakakku batal menghadiri pesta pertunangannya hari ini,” kata Trent memberitahu.

Alviorita terkejut mendengar nada mengejek dalam suara Trent.

Dalam hati Alviorita tersenyum senang. Tetapi di luar, ia berpura-pura terkejut, “Pertunangan?”

“Ya, seharusnya petang hari ini kakakku akan mengumumkan pertunangannya dengan Putri Alviorita tetapi sang Putri kabur dari Istana Urza.”

Alviorita hanya dapat memandang kasihan wajah Nathan tetapi dalam hati ia tersenyum mengejek. Alviorita ingin sekali mengatakan sesuatu tetapi ia khawatir kata-katanya akan terdengar seperti mengejek sebab saat ini yang paling dirasakan Alviorita hanya keinginannya untuk mengejek pria yang tidak disukainya itu.

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Trent.

“Biasa saja,” kata Nathan santai.

Telinga Alviorita yang terlatih untuk mendengarkan setiap nada suara seseorang dengan baik, menangkap nada senang dalam suara Nathan.

“Engkau tidak lupa bukan? Setelah Putri Alviorita ditemukan, Raja Phyllips akan segera melangsungkan pertunangan kalian sehingga Tuan Puteri tidak dapat kabur lagi,” kata Trent mengingatkan.

Nathan diam saja.

Alviorita tidak terkejut mendengarnya. Ia sudah menduga ayahnya akan melakukan itu.

Alviorita berjanji pada dirinya sendiri kelak bila ayahnya menemukan dirinya, ia telah mempersiapkan sejumlah perisai. Dengannya, Alviorita akan mengadakan pertempuran hanya antara dirinya dan ayahnya. Karena pertempuran ini untuk menentukan masa depan dirinya maka Alviorita harus benar-benar mempersiapkan perisai yang banyak dan dirinya sendiri untuk menghadapi pertempuran itu. Sekarang Alviorita telah menemukan perisai keduanya. Ia harus menyimpan baik-baik perisai itu dan menjaga agar jangan sampai perisai itu menjadi pedang ayahnya. Alviorita tahu bila ia ingin memenangkan pertempuran dengan ayahnya ini, ia harus selalu bersikap hati-hati. Perisai kedua telah ditemukan Alviorita. Kemudian Alviorita segera menuju Ruang Kanak-Kanak tanpa mengatakan apa-apa.

Mula-mula Alviorita tidak mendengar suara langkah kaki yang mengikutinya. Tetapi ketika telah dekat Ruang Kanak-Kanak, ia mendengar langkah kaki. Telinga Alviorita yang telah dilatih Alviorita untuk membedakan suara langkah kaki setiap orang – tahu langkah kaki itu adalah langkah Nathan.

Alviorita jengkel menyadari pria itu masih tidak mempercayai kata-katanya. Ingin sekali ia berkata kepada pria itu, “Aku adalah Putri Mahkota dan tidak mungkin seorang Putri Mahkota melanggar janjinya sendiri.” Tetapi bila ia mengatakan itu, semua penyamarannya akan terbongkar. Dan itu yang paling tidak diinginkannya apalagi sebelum ia menemukan perisai yang cukup untuk menghadapi pertempurannya dengan ayahnya.

Sebelum Nathan mendekatinya, Alviorita mempercepat langkahnya ke Ruang Kanak-Kanak. Namun Alviorita lupa, pria itu lebih cepat dari Trent bahkan mungkin dari dirinya sendiri.

“Engkau akan ke mana?” tanya Nathan setajam pandangan matanya.

Alviorita membalas pandangan mata itu. “Melanjutkan rencanaku.”

“Kuperingatkan kepadamu. Aku tidak akan membiarkan engkau mempengaruhi kemenakanku.”

Alviorita yang keras kepala tidak mau mendengarkan nada mengancam itu. Dengan senyum menantang, ia berkata, “Semoga aku tidak melupakannya.”

Wajah Nathan tampak tegang mendengarnya.

Tetapi hal itu tidak membuat Alviorita merasa takut. Ia sudah sering melihat wajah murka ayahnya yang lebih menakutkan dari wajah Nathan. Terutama saat ia menolak pertunangan konyol yang dipersiapkan ayahnya.

“Lepaskan aku,” kata Alviorita dengan kemanisan yang tajam.

Kemanisan yang ditunjukkan Alviorita sirna ketika Nathan semakin mengetatkan pegangannya pada lengannya.

Sekuat tenaga Alviorita menyentakkan lengannya. “Aku ingin menemui Jeffreye.”

Nathan tidak melepaskan lengan Alviorita melainkan ia semakin mempererat pegangannya sehingga gadis itu kesakitan.

“Lepaskan aku!” kata Alviorita tajam, “Aku hanya ingin melihat apakah Jeffreye sudah bangun.”

“Sepanjang hari kemarin engkau terus bermain dengannya hingga larut malam. Kurasa saat ini Jeffreye belum bangun,” kata Nathan sambil melonggarkan pegangannya.

Alviorita memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan diri dari Nathan. Alviorita benar-benar tidak menyukai sikap Nathan. Ia tidak menyukai pria yang telah membuat dirinya merasa tidak berdaya itu. Alviorita mengerti kekhawatiran Nathan tetapi ia tidak menyukai cara pria itu. Sebenarnya Nathan tidak perlu khawatir karena Alviorita sendiri tidak berniat untuk membuat Jeffreye seperti dirinya.

Dalam rencana Alviorita tidak ada keinginan untuk mengajari Jeffreye segala yang dapat dilakukannya. Tidak mungkin ia mengajari anak semanis itu memanjat pohon. Alviorita sendiri sudah tahu bahaya yang dapat terjadi bila ia memanjat pohon tetapi kebiasaan itu telah ada pada dirinya sejak ia kecil. Tidak ada tempat yang dijadikan tempat persembunyiannya dari pengasuh serta pengawal-pengawalnya selain pohon.

Bagi Alviorita hanya sekali Nathan menunjukkan perhatiannya pada hal yang bukan menjadi masalahnya.

Kemarin ketika pria itu melihat gaun putih Alviorita yang terkena darah Jeffreye, ia berkata, “Sebaiknya Anda mengganti gaun Anda. Gaun itu telah kotor karena darah Jeffreye.”

Saat itulah Alviorita menyadari ujung gaunnya memerah. Sejak tadi Alviorita hanya memperhatikan Jeffreye sehingga ia melupakan gaunnya sendiri yang telah digunakannya untuk membersihkan luka Jeffreye.

“Anda benar. Noda ini tidak akan hilang bila saya tidak segera membersihkannya.”

Alviorita segera meninggalkan Ruang Kanak-Kanak untuk mengganti gaunnya tetapi ia segera kembali lagi untuk menemui Jeffreye. Saat ia tiba kembali di Ruang Kanak-Kanak, ia melihat Nathan telah meninggalkan ruangan itu dan di sana telah ada Innane yang menjaga Jeffreye. Bersama Innane, Alviorita menanti Jeffreye bangun kembali. Bersama wanita itu pula, Alviorita menghabiskan waktunya dengan Jeffreye.

Innane sama sekali tidak marah ketika Alviorita terlarut dalam kegembiraannya sehingga melewati batas tidur malam Jeffreye.

Tadi pagi ketika Alviorita melihat Jeffreye di Ruang Kanak-Kanak, anak itu masih tertidur. Alviorita menduga sekarang anak itu sudah bangun.

Apa yang diduga Alviorita memang tepat. Jeffreye sudah berpakaian rapi.

Anak itu segera menyambut kedatangan Alviorita.

“Engkau sudah bangun rupanya,” kata Alviorita.

“Ke mana kita akan pergi hari ini?” tanya Jeffreye.

Alviorita menatap Nathan. “Tanyalah pamanmu. Aku tidak tahu ke mana ia akan membawamu.”

“Ke mana kita hari ini?” tanya Jeffreye.

“Kurasa sebaiknya kita tidak pergi dulu hari ini. Luka di lututmu masih belum sembuh,” jawab Nathan.

“Paman berjanji membawaku berjalan-jalan,” kata Jeffreye merajuk.

Alviorita membungkuk dan berkata lembut, “Pamanmu benar, Jeffreye. Lukamu masih belum sembuh benar.”

“Kakiku sudah tidak sakit lagi kalau aku berjalan,” kata Jeffreye merujuk.

“Sungguh?” tanya Alviorita sambil tersenyum, “Coba kulihat.”

Jeffreye segera mundur ketika tangan Alviorita hampir menyentuh lututnya.

Alviorita tersenyum, “Katamu sudah tidak sakit lagi?”

“Memang sudah tidak sakit lagi,” kata Jeffreye mencoba membela dirinya.

Alviorita berdiri dan mendekati Jeffreye. “Mari kita mencobanya.”

“Baiklah,” sahut Jeffreye.

Alviorita tersenyum senang. “Bagus. Sekarang duduklah di sini,” kata Alviorita sambil meraih sebuah kursi.

Jeffreye segera duduk di kursi yang diberikan Alviorita dan menanti apa yang akan dilakukan gadis itu untuk membuktikan kata-katanya.

Seperti halnya Jeffreye, semua orang di ruangan itu menanti apa yang akan dilakukan Alviorita.

Innane memandang ingin tahu sedangkan Nathan hanya memandang tak mengerti. Mereka sama-sama ingin tahu apa yang akan dilakukan Alviorita.

Alviorita membungkuk di depan Jeffreye. Ia tersenyum pada anak itu sebelum ia memegang kaki anak itu yang luka.

Wajah Jeffreye tampak pucat ketika gadis di depannya itu menyentuh kakinya. Ia menduga Alviorita akan memegang lukanya. Tetapi Alviorita tidak melakukannya. Alviorita tahu luka Jeffreye yang kemarin masih belum kering dan ia tidak ingin membuat darah mengucur kembali dari luka itu.

Alviorita menekuk lutut Jeffreye. Walaupun gerakan gadis itu sangat lembut dan perlahan tetapi itu cukup untuk membuat Jeffreye kesakitan.

Melihat Jeffreye menahan sakitnya, Alviorita melepaskan kaki anak itu dengan hati-hati.

“Sakit bukan?” tanya Alviorita sambil tersenyum.

Jeffreye mengangguk.

“Engkau tidak boleh meninggalkan ruangan ini,” kata Nathan menegaskan.

Alviorita terkejut. Ia tidak setuju dengan sikap Nathan yang seperti ayahnya yang selalu mengurungnya di Ruang Belajar. Pengalamannya sendiri membuat Alviorita tidak setuju dengan pengurungan kebebasan anak-anak. Ia telah kehilangan masa kecilnya yang bahagia dan ia tidak ingin melihat anak-anak lainnya mendapat hal yang sama seperti dirinya. Cukup hanya dirinya yang seorang Putri Mahkota yang tidak dapat bermain saat ia masih kecil. Cukup hanya dirinya yang harus menghabiskan waktunya untuk belajar sejak ia masih tiga tahun.

“Tidak!” bantah Alviorita, “Engkau tidak dapat mengurungnya sepanjang hari di sini.”

Nathan menatap tajam wajah Alviorita yang penuh tantangan. “Engkau sendiri yang mengatakan lukanya masih sakit.”

“Memang tetapi itu tidak berarti ia harus terus dikurung di sini,” kata Alviorita, “Aku akan membawanya keluar dari ruangan ini.”

Sebelum Nathan sempat melarangnya, Alviorita telah menggendong Jeffreye. Dan dengan tenang gadis itu mendekati Nathan. “Ia tidak perlu berjalan untuk meninggalkan ruangan ini,” kata Alviorita tajam kemudian ia segera meninggalkan Ruang Kanak-Kanak.

Alviorita tahu Nathan mengikutinya tetapi ia tetap diam saja.

Ia benar-benar tidak menyukai tunangannya itu. Itu telah menjadi perisainya yang lain. Bahkan menurutnya perisai yang paling kuat di antara semua perisainya. Sampai ia telah menemukan perisai yang cukup bahkan lebih kuat dari senjata ayahnya, Alviorita harus bertahan di Castle Q`arde.

Alviorita tahu ia tetap akan dapat bertahan di Castle Q`arde karena ia telah menemukan kegembiraan ketika ia bersama Jeffreye. Juga pada diri Duchess, ia menemukan sosok seorang ibu yang lain.

Bagi Alviorita yang kehilangan ibunya saat ia masih tiga tahun, sosok seorang ibu tidak pernah dikenalnya. Pada diri Maryam ia menemukan sosok seorang ibu yang penuh pengertian dan juga sangat disiplin. Tetapi pada diri Duchess, ia menemukan sosok seorang ibu yang lemah lembut. Alviorita menyayangi keduanya baik Maryam yang telah bersamanya kurang lebih selama delapan belas tahun maupun Duchess of Kryntz yang baru saja dijumpainya. Pada diri Innanepun, Alviorita juga melihat sosok seorang ibu, sosok seorang ibu yang pelupa.

Alviorita mengakui ia menyukai pada semua yang ada di Castle Q`arde kecuali kedua putra Duke of Kryntz. Terlebih lagi Nathan.

Alviorita benar-benar tidak menyukai pria itu. Selama ini ia selalu merasa tidak ada yang dapat menentang keinginannya. Ia selalu merasa apa yang dilakukannya telah tepat. Ayahnya telah berulang kali menekankan padanya bagaimana ia harus bersikap agar tidak mengecewakan rakyatnya. Ia tidak boleh membuat keputusan yang akan menyebabkan rakyatnya menolaknya. Tetapi pria itu telah membuktikan kalau Alviorita masih tidak dapat membuktikan ia adalah seorang Putri Mahkota yang baik. Setiap tindakannya selalu dinilai salah oleh pria itu. Bukan itu yang membuat Alviorita tidak menyukai Nathan. Ia tidak suka perasaan tidak berdaya yang timbul setiap kali ia bertemu dengan pria itu. Karena itulah Alviorita tidak pernah mau mengalah bila ia telah berbicara dengan Nathan.

Setiap kata-kata yang diucapkan Alviorita hanya untuk membuktikan dirinya tidak tak berdaya di hadapan pria itu. Ia masih seorang Putri Mahkota yang tidak pernah merasa rendah diri walaupun ia sedang berada dalam penyamaran. Itulah yang ingin dibuktikan Alviorita kepada Nathan.

Sesuai kata Maryam, seorang Putri tidak boleh menundukkan kepalanya apalagi merasa rendah diri di hadapan rakyatnya, maka Alviorita juga tidak mau merasa tidak berdaya di hadapan tunangannya.

Kepada Trent ia ingin mengatakan bahwa ia bukan gadis yang mudah dirayu dengan pujian. Dan kepada ayahnya, Alviorita ingin mengatakan ia tidak akan pernah mau menikah dengan pria yang tidak disukainya. Untuk mengatakan itu kepada ayahnya, hanya ada satu jalan yaitu melalui pertempuran.

Raja Phyllips tidak tahu putrinya tengah mempersiapkan pertempuran antara mereka untuk menentukan masa depan Alviorita. Tetapi Alviorita tahu ayahnya telah mempunyai senjata yang sangat berbahaya bahkan sebelum Alviorita memutuskan untuk mengadakan perang ini.

Alviorita senang tidak ada yang mengetahui penyamarannya karena itu akan membantunya menemukan perisai yang banyak dari dalam keluarga Kryntz.

“Ya, kita sudah sampai,” kata Alviorita sambil menurunkan Jeffreye di Ruang Duduk.

“Bagaimana keadaanmu, Jeffreye? Lukamu sudah sembuh?” tanya Duke ketika melihat Jeffreye datang menghampirinya.

“Belum,” jawab Jeffreye.

“Mengapa engkau meninggalkan kamarmu?” tanya Duke terkejut.

“Karena aku tidak ingin siapa pun mengurung anak ini di Ruang Kanak-Kanak,” kata Alviorita tegas.

Duke tersenyum. “Apakah baik Jeffreye berjalan-jalan dengan kaki seperti ini?”

“Justru akan menjadi sangat buruk bila ia terus-terus duduk selama lukanya masih belum sembuh,” kata Alviorita tenang, “Bila kalian memperlakukannya seperti itu, aku khawatir ia lupa bagaimana caranya berjalan.”

Kalimat terakhir Alviorita membuat Duke tertawa.

“Jawaban yang tepat,” puji Duke.

“Kata-katamu seperti Nanny yang telah tua saja,” goda Duchess.

“Sebaliknya, saya masih bayi,” sahut Alviorita tenang.

Alviorita sama sekali tidak berbohong mengenai ini. Ia masih bayi di dunianya yang baru. Ia tidak tahu apa-apa mengenai keadaan di luar Castle Q`arde. Tetapi tidak lama lagi segalanya akan berubah. Setelah keguncangan penduduk Kerajaan Lyvion karena berita hilangnya dirinya mereda, Alviorita akan segera memulai rencananya mengepakkan sayap ke seluruh penjuru dunia. Saat itu tidak akan ada yang mencurigai dirinya.

“Engkau pandai merangkai kata-kata,” kata Duke.

“Saya hanya mengatakan yang sebenarnya.”

“Sayang sekali hingga saat ini kita masih belum tahu siapa dirimu,” kata Duchess, “Aku menduga engkau semenarik pribadimu.”

“Menarik?” tanya Alviorita tak mengerti.

“Engkau memang menarik,” kata Trent, “Telah berulang kali aku mengatakannya.”

“Dan telah berulang kali pula aku membantahnya,” sahut Alviorita tajam.

Alviorita mulai bosan mendengarkan suara Trent. Ia merasa pria itu akan mulai memamerkan kepandaiannya lagi.

“Saya permisi dulu. Saya ingin berjalan-jalan,” kata Alviorita.

“Sepertinya engkau tidak pernah puas berjalan-jalan di sekeliling Castle Q`arde,” kata Duke sambil tersenyum.

“Tempat ini terlalu indah walaupun ribuan kali saya mengelilinginya, saya tidak akan pernah merasa puas.”

“Aku ikut,” kata Jeffreye sambil mendekati Alviorita.

“Tidak, Jeffreye. Engkau tidak boleh berjalan jauh.”

“Tetapi aku ingin menemanimu,” kata Jeffreye merajuk.

Alviorita tersenyum. “Tunggu hingga lukamu sembuh saja. Aku yakin saat itu tidak akan ada yang melarangmu,” katanya sambil menatap tajam wajah Nathan.
Nathan tahu ia tengah diawasi oleh mata hijau yang tajam itu tetapi ia tetap bersikap acuh.

Sebelum meninggalkan ruang itu, Alviorita menangkap senyum puas di wajah Nathan. Alviorita benar-benar tidak dapat mengerti Nathan. Pria itu tampaknya tidak pernah peduli dengan sekitarnya tetapi masih memberikan senyum puas ketika Alviorita memutuskan untuk pergi berkeliling seorang diri. Bila pria itu puas Alviorita tidak mengajak serta kemenakannya yang selalu dikhawatirkannya, Alviorita dapat mengerti hal itu. Tetapi tadi saat menolongnya, Nathan juga memberikan senyum. Senyum yang mengejek. Terlalu sulit bagi Alviorita untuk mengerti pria itu.

Alviorita berhenti. “Untuk apa aku berusaha mengerti dia? Aku tidak akan menikah dengannya,” katanya pada dirinya sendiri. Tetapi siapa dapat menebak masa depan? Takdir telah membuat Alviorita terjebak dalam pertunangan dan Takdir pula yang membawa Alviorita yang ingin melepaskan dirinya dari pertunangan konyolnya justru berada ke Castle tunangannya.

Alviorita berjanji kepada dirinya sendiri. Apa pun yang telah ditetapkan sang Takdir, ia tidak akan mau menyerah begitu saja. Ia berjanji ia akan membuat pertunangan ini batal. Alviorita tidak mau menjadi korban keinginan dua keluarga tertua di Kerajaan Lyvion. Biarlah kedua keluarga itu mengikat hubungan keluarga asalkan tidak membuat dirinya menjadi korban.



*****Lanjut ke chapter 5

No comments:

Post a Comment