Friday, February 2, 2007

Pelarian-Chapter 3

Alviorita melihat dua ekor kuda datang mendekati Castle Q`arde. Tetapi ia tidak mempedulikan itu. Sejak tadi pagi saat ia menghindari Trent, Alviorita terus duduk di dahan pohon yang tinggi itu sambil mengawasi setiap orang yang berlalu lalang di depan Castle Q`arde.

Langit yang cerah dengan awan-awan putihnya menaungi Alviorita. Awan-awan putih itu mengumpul di atas Alviorita seakan-akan ingin melindungi Alviorita dari sinar matahari yang semakin panas.

Angin sejuk yang berhembus membuat Alviorita semakin merasa betah duduk berjam-jam di dahan pohon itu.

Walaupun tempat duduknya berada jauh dari permukaan tanah, Alviorita tidak merasa takut. Ia sudah sering duduk di dahan pohon yang tinggi di Istana Urza.

Setiap kali Alviorita melarikan diri dari kegiatan rutinnya, pohon-pohon di halaman Istana Urzalah yang menjadi tempat persembunyiannya.

Tidak seorangpun yang menduga ia memanjat pohon itu dan duduk di dahannya sambil tertawa-tawa kecil melihat mereka yang mengejarnya tengah kebingungan mencarinya.

Tidak seorangpun yang mengetahui rahasia menghilangnya Alviorita itu. Hal itu membuat Alviorita semakin merasa senang dan bebas. Ia tidak perlu khawatir orang-orang akan menemukannya dan memaksa ia melakukan kegiatan rutinnya yang membosankan.

Sering kali Alviorita ingin tahu apa yang dikatakan pengasuhnya, Maryam bila wanita itu mengetahui apa yang dilakukannya bila ia menghilang. Bila Maryam yang selalu disiplin itu mengetahuinya, mungkin yang akan dilakukan wanita itu adalah pingsan. Wanita itu tentu tidak percaya Putri Mahkota seperti Alviorita memanjat pohon.

Tata krama sebagai Putri Mahkota tidak pernah mengajari Alviorita cara memanjat pohon bahkan tidak pernah mengijinkan Alviorita memanjat pohon. Tetapi Alviorita memang seorang gadis yang sulit diatur. Ia tidak pernah mempedulikan tata krama bila ayahnya tidak ada di Istana Urza.

Sikap Alviorita yang berubah menjadi seorang gadis yang patuh dan manis benar-benar membuat Maryam merasa lega sekaligus senang. Maryam tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya bersikap sopan dan manis sebagai Putri Mahkota yang baik membuat Alviorita merasa tersiksa. Alviorita sering kali tergoda untuk melarikan diri dari semua kegiatan yang membosankan tetapi ia selalu mengingat teguran pelayan itu dan ia berusaha keras untuk menahan rasa bosannya.

Setiap kali Alviorita duduk di dahan pohon, yang dilakukannya adalah melihat Kerajaan Lyvion yang terlihat dari atas pohon itu. Mengawasi rumah-rumah penduduk yang kecil mengumpul di suatu tempat serta melihat kilaunya sungai yang mengalir di kejauhan membuat Alviorita semakin merasa betah terus berada di atas pohon. Dan biasanya bila Alviorita sudah duduk di atas pohon, ia tidak segera turun kembali. Alviorita selalu menanti hingga hari gelap.

Alviorita senang ketika tadi ia telah membuktikan bahwa ia masih mampu memanjat pohon dengan mudah walau ia sudah lama tidak memanjat pohon.

Tadi pagi ketika Alviorita tengah berjalan-jalan di taman Castle Q`arde, ia merasa seseorang sedang mengikutinya tetapi ia pura-pura tidak tahu. Ia terus berjalan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sengaja ia berjalan lambat-lambat untuk menanti apakah orang yang mengikutinya itu akan segera mengejarnya. Tetapi rupanya orang itu tidak berusaha mengejarnya. Ketika ia membelok ke taman yang luas, Alviorita bersandar di tembok dan menanti siapa yang sedang mengikutinya.

Alviorita tidak terkejut ketika melihat Trentlah yang mengikutinya.

Sejak pertama kali bertemu dengan Trent, Alviorita sudah tidak menyukai pria itu. Entah mengapa ia segera tidak menyukai pria yang baru dijumpainya itu. Alviorita hanya tahu ia tidak pernah menyukai pria yang selalu menggodanya itu.

Kemarin malam Alviorita cepat-cepat kembali ke kamarnya karena ia bosan mendengarkan kata-kata yang sering didengarnya. Sekarang Trent mengikutinya.

Alviorita tidak tahu dari mana Trent tahu ia sedang berjalan-jalan di taman. Alviorita yakin tidak ada orang yang melihatnya ketika ia meninggalkan kamarnya.

Trent tiba di sisi Alviorita tetapi ia tidak mengetahui Alviorita tengah bersandar di dinding di sampingnya. Matanya mencari Alviorita di taman yang luas.

“Engkau mencariku?” tanya Alviorita sedingin es.

Trent terkejut. “Tak kuduga engkau ada di sini.”

“Engkau mencariku?” ulang Alviorita.

“Jangan seperti itu. Engkau tahu aku menyukaimu,” kata Trent.

Alviorita tidak mempedulikan kata-kata itu. Dalam hati Alviorita menghitung berapa kali ia mendengar kalimat yang sama. Rasanya sudah terlalu sering Alviorita mendengar pria mengucapkan kalimat itu kepadanya. Dengan tenang Alviorita berkata, “Kalau engkau mencariku hanya untuk mengatakan itu, aku akan pergi.”

Alviorita hendak meninggalkan Trent tetapi pria itu menahan tangannya. Tangan Trent yang meremas lengannya membuat Alviorita kesakitan. “Lepaskan tanganku,” katanya dingin sambil menyentakkan tangannya dari pegangan pria itu.

“Mengapa engkau bersikap sedingin itu kepadaku?”

“Tidak tahu,” kata Alviorita sambil mengangkat bahunya dengan santai.

Trent tersenyum. “Apakah engkau terbiasa melakukan itu kepada semua pria yang kautemui?”

Ingin sekali Alviorita mengangguk tetapi ia bersikap tidak peduli. Ia meneruskan perjalanannya yang terhenti karena pria itu. Alviorita tahu Trent mengikutinya tetapi ia diam saja.

“Mengapa engkau selalu menghindar dariku? Apakah engkau tidak menyukaiku?”

Alviorita terus melanjutkan langkah kakinya tanpa mengatakan apa-apa.

“Kaukira aku tidak tahu mengapa kemarin malam engkau cepat-cepat kembali ke kamarmu. Engkau ingin menghindariku bukan?”

Kata-kata pria itu membuat Alviorita benar-benar ingin segera menghilang dari hadapan pria itu. Sudah cukup sering pula Alviorita mendengar kalimat itu di belakangnya. Sewaktu ia masih seorang Putri Mahkota tidak seorang pria pun yang berani mengucapkan kalimat itu walau sesesungguhnya mereka jengkel pada sikapnya yang angkuh.

Banyak yang mengatakan ia adalah gadis yang dingin. Tetapi itu adalah dugaan yang salah. Alviorita selalu menghindar dari setiap pria yang dijumpainya karena ia tidak menyukai mereka yang selalu memuji dirinya. Alviorita yakin andaikata ia bukan Putri Mahkota, mereka pasti tidak akan memujinya untuk mendapatkan perhatiannya. Siapa yang tidak tertarik untuk menjadi Raja di Kerajaan Lyvion yang makmur? Tentu tidak seorangpun yang tidak tertarik. Dan jalan termudah untuk mencapai kedudukan itu adalah melalui sang Putri Mahkota yang cantik juga kekurangan kasih sayang ayahnya. Alviorita percaya setiap pria memanfaatkannya untuk mencapai kedudukan itu sehingga ia tidak menyadari bahwa ia memang cantik seperti yang mereka katakan.

“Jangan menghindariku, Rosa,” kata Trent memperingatkan, “Akulah yang memilihkan nama itu untukmu.”

Alviorita membalikkan badannya dan menatap tajam wajah bulat Trent. “Aku tidak memintamu melakukannya.”

Alviorita tidak peduli nama apa yang diberikan keluarga Kryntz padanya. Saat ini yang ia pedulikan adalah rencananya untuk menggagalkan pertunangannya.

Trent terdiam mendengarnya. “Engkau tidak suka nama itu?”

Alviorita diam saja. Ia benar-benar ingin segera menjauh dari Trent.

“Mengapa engkau menghindari aku yang telah memilihkan nama itu untukmu? Kalau engkau tidak menyukai nama itu katakan saja kepadaku. Nama itu memang cocok untuk gadis secantik engkau. Setiap hari aku selalu melihat engkau berseri seperti bunga mawar.”

Alviorita sama sekali tidak sadar apa yang dikatakan Trent maupun Duchess memang tepat. Nama barunya itu memang sesuai dengan tatapan tajam yang dimilikinya. Matanya yang besar selalu menatap tajam apa yang dilihatnya, seperti elang.

“Nama itu sesuai untukmu. Engkau memiliki tatapan tajam seperti elang. Dan engkau sangat cantik dan selalu terlihat ceria seperti bunga yang sedang mekar. Dan hanya bunga mawar yang sesuai denganmu. Durinya seperti tatapan tajammu dan keindahan bunganya seperti kecantikkanmu,” kata Duchess ketika Trent mengajukan usulnya.

“Kalau engkau tidak ingin aku menghindarimu maka sekarang kejarlah aku,” kata Alviorita sambil berlari menjauh.

Alviorita tahu Trent tidak akan dapat mengejarnya. Sekerasa apa pun usaha Trent untuk mengejarnya, ia tidak akan dapat menangkap Alviorita yang berlari cepat.

Dulu ketika Alviorita sering melarikan diri dari kegiatan rutinnya, ia selalu berlari menjauh dari Maryam serta pengawal yang mengejarnya. Kebiasaan selalu berlari menjauh dari orang-orang itu membuat Alviorita semakin hari semakin dapat berlari cepat.

Setiap kali Alviorita berlari menjauh, tidak seorangpun yang dapat menangkapnya. Sehingga mereka akhirnya membiarkan Alviorita melarikan diri dari kegiatan rutinnya.

Alviorita tidak menyadari Duke dan Duchess tengah memperhatikan dirinya.

“Mereka kelihatannya akrab sekali,” kata Duchess yang melihat Alviorita sedang berkejar-kejaran dengan Trent.

Duke mengangguk membenarkan kata-kata istrinya.

Mereka terus memperhatikan Trent yang berusaha mengejar Alviorita.

Alviorita tertawa senang ketika ia melihat Trent tertinggal di belakangnya. Ia menghilang di halaman luar Castle Q`arde.

Suara kuda yang meringkik membuat Alviorita mengalihkan perhatiannya ke kuda-kuda yang mendekati Castle Q`arde.

Seorang anak kecil yang mengendarai salah satu kuda itu tiba-tiba melarikan kudanya dengan cepat ketika ia melihat Castle Q`arde. Anak itu tampak benar-benar senang melihat Castle Q`arde yang telah dekat.

Dari tempatnya yang cukup tinggi, Alviorita mendengar suara lantang seorang pria yang mengawasi anak itu.

“Hati-hati!”

Baru saja pria itu mengatakannya ketika tiba-tiba kuda yang ditunggangi anak itu meringkik keras kemudian berlari kencang tanpa mau menuruti perintah anak itu.

Alviorita melihat anak itu berteriak ketakutan karena kuda yang ditungganginya tiba-tiba menjadi liar.

Pria yang sejak tadi mengikuti anak itu dari kejauhan segera mendekat. Tetapi ia terlambat, anak itu telah terjatuh dari kudanya ketika ia sampai di bawah pohon tempat Alviorita duduk sambil mengawasi mereka.

Tingkah kuda yang benar-benar tidak dapat dikendalikan lagi itu membuat Alviorita tidak berpikir panjang lagi. Ia melompat ke punggung kuda yang berada tak jauh dari tempatnya duduk.

Ketika Alviorita melompat ke punggung kuda itu ia tidak sempat berpikir kalau ia dapat terluka. Saat itu yang dipikirkan Alviorita hanya segera menenangkan kuda yang sulit dikendalikan itu sehingga tidak semakin mendekati anak kecil yang ketakutan itu.

Untunglah kali ini sang Takdir memihak Alviorita. Alviorita jatuh tepat di punggung kuda itu dan dengan segera ia berusaha mengendalikan kuda itu. Ia menarik kuat-kuat tali kendali kuda itu. Mula-mula kuda itu tidak mau menurut tetapi Alviorita bukan seorang gadis yang mudah menyerah. Setelah Alviorita berhasil mengendalikan kuda itu, ia segera melompat dari punggung kuda yang telah diam itu dan mendekati anak kecil yang terpana dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya. Alviorita memeriksa lutut anak itu yang terluka. Dengan saputangannya ia membersihkan luka itu dari debu kemudian membalutnya. Alviorita tersenyum melihat wajah terkejut anak itu. “Sebaiknya aku segera membawamu ke dalam.”

Anak itu masih terkejut dengan kejadian yang baru dialaminya sehingga ia diam saja ketika Alviorita menggendongnya.

“Terima kasih atas pertolongan Anda.”

Suara lantang yang tadi didengarnya dari atas pohon membuat Alviorita terkejut. Rupanya sejak tadi Alviorita hanya memusatkan perhatiannya ke anak kecil di gendongannya serta kudanya sehingga ia melupakan kehadiran pria itu.

Alviorita lebih terkejut lagi ketika ia melihat wajah pria itu. Pria itu mirip Duchess namun matanya gelap seperti Duke of Kryntz.

Ketika mata Alviorita bertemu dengan mata pria itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa seakan-akan mata pria itu telah menghentikan seluruh gerakannya. Tidak seorangpun dari mereka yang bergerak. Mereka hanya diam terpaku dan terus saling memandang seolah-olah ingin saling mengenal.

Suara erangan anak di gendongan Alviorita mengejutkan mereka berdua yang sibuk bertatap-tatapan.

Pria itu mendekati Alviorita.

Alviorita yang sibuk dengan pikirannya sendiri terkejut ketika pria itu berkata, “Terima kasih atas bantuan Anda. Sekarang ijinkanlah saya untuk membawa kemenakan saya masuk Castle Q`arde.”

Walaupun Alviorita telah menduga pria itu adalah kakak Trent tetapi kalimat yang diucapkan pria itu tetap membuat Alviorita terkejut. Alviorita sama sekali tidak dapat mempercayai apa yang dilihat dan didengarnya. Walaupun secara tidak langsung pria itu telah mengatakan bahwa ia adalah Nathan tetapi Alviorita tetap tidak percaya. Bagi Alviorita sungguh mustahil Nathan berbeda dari adiknya. Trent lebih mirip dengan Duke sedangkan Nathan mirip dengan Duchess.

Pria itu semakin mendekati Alviorita. “Saya akan membawa kemenakan saya.”

Untuk kesekian kalinya suara lantang itu membuat Alviorita terkejut.

Untuk menutupi keterkejutannya Alviorita cepat-cepat berkata, “Saya akan membawanya masuk. Anda membawa kuda-kuda itu saja.” Tanpa menanti jawaban pria itu, Alviorita segera membawa masuk anak itu. Walaupun Alviorita tidak memalingkan kepalanya untuk melihat apakah pria itu mengikutinya tetapi dari pendengarannya ia tahu pria itu mengikuti mereka.

“Engkau tidak apa-apa?” tanya Alviorita memecahkan kesunyian.

Anak itu menggeleng.

Alviorita tersenyum. Ia tahu anak laki-laki itu masih terkejut dengan kejadian yang baru dialaminya.

“Apakah lukamu tidak terasa sakit?”

Sekali lagi anak itu menggelengkan kepalanya.

Alviorita tahu anak itu sebenarnya merasa sakit tetapi ia tidak mau berkata terus terang. Alviorita tidak berkata apa-apa lagi. Ia kembali memusatkan perhatiannya ke pria yang berjalan di belakangnya sambil menuntun dua ekor kuda melewati taman.

Seperti halnya Alviorita, pria itu juga tidak berkata apa-apa. Pria itu memusatkan perhatiannya ke gadis yang berjalan di depannya sambil menggendong kemenakannya. Ia masih tidak percaya pada apa yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Sesaat yang lalu saat ia mendekati kemenakannya yang jatuh dari kudanya, tiba-tiba ia melihat sesuatu yang berwarna putih terjatuh dari atas pohon. Ia menengadahkan kepalanya dan terkejut melihat seorang gadis terjatuh dari pohon yang yang tinggi. Tanpa disadarinya ia menghentikan langkah kudanya. Semula ia mengira gadis itu akan jatuh tetapi ternyata gadis itu dengan mudah mencapai punggung kuda yang semula ditunggani kemenakannya. Dengan mudah pula gadis itu mengendalikan kuda yang tiba-tiba menjadi liar itu. Melihatnya, pria itu semakin terkejut. Rupanya gadis itu tidak terjatuh dari pohon tetapi memang sengaja menjatuhkan dirinya dari atas pohon untuk mengendalikan kuda yang liar itu. Tanpa mempedulikan sekitarnya, gadis itu segera menghampiri kemenakannya yang terluka. Ia melihat gadis itu mengatakan sesuatu kepada kemenakannya.

Keterkejutan pria itu masih belum berakhir.

Ia terkejut ketika ia melihat wajah gadis itu. Wajah cantik itu tampak tenang namun matanya memandang tajam padanya. Matanya yang hijau tua tampak kontras dengan rambut hitamnya. Pria itu terpana pada mata hijau yang menatap tajam padanya. Mata itu seakan-akan tidak ingin melepaskan dirinya.

Sekarang ia hanya dapat terdiam memandangi gadis yang tampak berbeda sekali dengan gadis yang beberapa saat lalu melompat dari pohon. Gadis yang beberapa saat lalu terlihat seperti gadis liar sekarang berjalan dengan anggun di depannya.

Pria itu semakin ingin mengetahui siapakah gadis itu ketika ia melihat gadis itu dengan mudah mencapai bangunan utama Castle Q`arde yang terletak di tengah-tengah taman yang luas.

Kemarin saat ia meninggalkan Castle Q`arde, ia tidak melihat gadis itu di Castle Q`arde. Dan sekarang ketika ia kembali, ia melihat gadis itu.

Alviorita terus berjalan tanpa mempedulikan pria yang mengikutinya. Ia ingin segera mencapai Ruang Kanak-Kanak dan segera merawat luka anak di gendongannya.

Darah yang terus membasahi saputangan putihnya itu benar-benar membuat Alviorita semakin khawatir. Walau anak itu tidak mengatakan apa-apa ataupun mengeluh tetapi Alviorita tahu anak itu kesakitan.

Melihat anak itu terus menahan sakit, Alviorita berkata lembut, “Bersabarlah aku akan segera membawamu ke Innane. Ia akan merawat lukamu.”

Anak itu mengangguk tetapi ia tetap tidak berkata apa-apa.

Kerutan di keningnya cukup mengatakan kalau ia tengah kesakitan. Melihat itu Alviorita membatalkan niatnya untuk membawa anak itu ke Ruang Kanak-Kanak. Alviorita merasa kasihan pada anak itu bila ia terus memaksanya menahan sakit hingga mereka tiba di Ruang Kanak-Kanak yang letaknya di lantai tiga. Terlebih lagi ketika ia melihat darah yang terus mengalir dari luka anak itu. Alviorita khawatir anak itu akan kehilangan banyak darah sebelum mereka tiba di Ruang Kanak-Kanak.

Ketika Alviorita melihat seorang pelayan berjalan ke arahnya, ia segera berkata, “Ambilkan seember air dan obat untuk mengobati luka anak ini.”

Alviorita sama sekali tidak menyadari kata-katanya yang terdengar seperti perintah tegas itu. Kebiasaan memerintah selama ia masih berada di Istana Urza membuat Alviorita lupa kalau ia sekarang berada di Castle Q`arde sebagai gadis yang tak dikenal.

Pelayan itu terkejut mendengarnya tetapi ketika ia melihat luka di lutut anak yang digendong Alviorita, ia mengerti mengapa Alviorita berkata setegas itu.

Tanpa menanti pelayan itu pergi, Alviorita segera membelok ke Ruang Duduk yang berada tepat di sebelah kanan lorong yang sedang dilaluinya dan mendudukan anak itu di kursi terdekat. Dengan hati-hati Alviorita membuka lilitan saputangannya di lutut anak itu. Ia tidak terkejut ketika melihat lutut anak itu memerah karena lukanya.

Sambil menanti pelayan, Alviorita membersihkan luka anak itu dengan gaunnya untuk menggantikan saputangan yang sudah kotor itu. Alviorita sama sekali tidak peduli ketika gaun putih yang dibawanya dari Istana Urza menjadi merah karena darah anak itu.

Ketika melihat pelayan datang dengan seember air dan sehelai kain yang bersih, Alviorita berkata, “Segera bawa ke sini.”

Pelayan itu sudah tidak peduli lagi pada kata-kata Alviorita yang tegas. Ia segera menyerahkan benda yang dibawanya kepada Alviorita.

“Tahan sebentar,” kata Alviorita lembut sambil membersihkan luka anak itu dengan air.

Walaupun anak itu diam saja tetapi Alviorita tahu ia menahan rasa sakit ketika lukanya tersentuh oleh air.

Melihat tangan anak itu menggenggam erat-erat pinggiran kursinya, Alviorita tersenyum padanya dan membersihkan lukanya dengan lembut. Alviorita masih tersenyum kepada anak itu ketika ia membalut lukanya. Anak yang sejak tadi hanya menahan sakit, membalas senyum Alviorita.

“Hebat,” kata seseorang sambil bertepuk tangan.

Alviorita mengenali suara itu tetapi ia tidak mau memalingkan kepalanya. Ia merasa malas mendengar suara yang paling tidak ingin didengarnya itu.

“Tak kusangka engkau mampu membuat Jeffreye duduk diam sementara engkau mengobatinya.”

“Mari kita ke Ruang Kanak-Kanak,” bisik Alviorita.

Melihat Alviorita tidak memperhatikan pujiannya melainkan mengulurkan tangan pada kemenakannya, Trent merasa jengkel. “Engkau tidak pernah memperhatikan segala yang kukatakan.”

“Bagaimana mungkin aku memperhatikan segala pujian kosongmu?” kata Alviorita dalam hati sambil tersenyum sinis – mengejek Trent.

Alviorita tahu Trent merasa terhina ketika ia tetap tidak memperhatikannya melainkan memperhatikan Jeffreye yang sekarang telah berada dalam gendongannya. Walaupun demikian Alviorita tetap tidak mengalihkan perhatiannya dari Jeffreye.

Dengan tenang, ia berjalan mendekati Trent yang berdiri di salah satu pintu Ruang Duduk yang menuju ke dalam.

Trent memegang lengan Alviorita ketika gadis itu hendak melaluinya.

“Lepaskan aku.”

Suara Alviorita yang dingin dan tegas itu tidak membuat Trent melepaskan lengan gadis itu. Sebaliknya ia semakin memperat pegangannya.

“Mengapa engkau selalu menghindar dariku?”

“Tanyalah pada dirimu sendiri. Sekarang biarkan aku mengantar kemenakanmu ini ke Ruang Kanak-Kanak.”

Trent baru saja akan mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba terdengar seseorang berkata tegas,

“Biarkan ia lewat, Trent.”

Alviorita terkejut mendengar suara lantang dan tegas itu. Ia memalingkan kepalanya ke pintu Ruang Duduk yang lain yang menuju ke halaman Castle Q`arde.

Pria itu menatap tajam wajah Alviorita yang masih dikuasai rasa terkejutnya. “Ia benar. Jeffreye pasti lelah setelah perjalanan yang jauh.”

“Baiklah, Nathan,” kata Trent mengalah.

Alviorita segera berlalu dari tempat itu sebelum Trent melihat wajah terkejutnya. Sekarang semuanya telah jelas bagi Alviorita. Ia telah bertemu tunangannya. Dan tunangannya itu adalah pria yang tadi datang bersama anak yang sekarang ada dalam gendongannya.

Alviorita heran mengapa ia takut mendengar kata-kata tunangannya itu mengenai tingkahnya ketika ia melompat dari pohon untuk menghentikan kuda yang sedang marah. Tetapi ia juga senang karena dengan demikian pria itu tidak akan pernah menduga ia adalah sang Putri Mahkota.

Mengingat masih ada seorang anak dalam gendongannya Alviorita tidak berani menunjukkan rasa senangnya karena hingga kini tidak seorangpun dari Istana yang mencarinya ke Castle Q`arde.

“Engkau tidak apa-apa?” tanya Alviorita.

“Tidak.”

“Siapa namamu?”

“Jeffreye.”

Mendengar Jeffreye terus memberi jawaban singkat, Alviorita tersenyum. “Lukamu masih terasa sakit?”

Jeffreye menggeleng.

“Engkau lelah?”

Jeffreye mengangguk.

“Sandarkan kepalamu pada bahuku dan tidurlah.”

Belum sempat Alviorita menyelesaikan kalimatnya ketika anak itu telah menyandarkan kepalanya ke bahu Alviorita dan memejamkan matanya.

Alviorita tersenyum melihat anak itu segera tertidur. Ia mengerti anak itu telah menempuh perjalanan yang panjang dan sekarang ia lelah terlebih lagi setelah menahan rasa sakitnya.

Melihat anak itu tertidur dalam pelukannya, Alviorita melupakan rasa senangnya karena tidak seorangpun dari Istana Urza yang mencarinya di Castle Q`arde.

Gadis itu merasa senang sekali melihat anak yang manis itu tertidur nyenyak dalam gendongannya. Tidak pernah Alviorita merasa sesenang ini.

Ini adalah pengalaman pertama kalinya. Ini pertama kalinya ia menyentuh anak kecil. Sebelumnya ia tidak pernah mendekati anak-anak. Semua orang yang berada di sekitarnya lebih dewasa darinya. Hanya sedikit orang yang lebih muda darinya. Tetapi mereka hanya lebih muda beberapa tahun darinya.

Dalam setiap kunjungannya ke kota-kota besar pun ia tidak pernah berada di dekat anak-anak bahkan mengunjungi panti asuhan. Semua yang dilakukannya selama hampir delapan belas tahun hanyalah mengurusi masalah kerajaan. Mulai dari kehidupan rakyat hingga masalah politik. Di dalam semua kegiatannya tidak pernah tercantum masalah anak-anak.

Ketika masih kecil Alviorita sering kali merasa iri pada anak-anak lainnya. Anak-anak lainnya tidak dibebani oleh tugas kerajaan sedangkan ia sejak lahir telah dibebani setumpuk tugas yang tidak pernah berkurang bahkan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hingga saat ini Alviorita masih sering merasa iri pada anak-anak. Ia merasa ia telah kehilangan masa kecilnya bahkan tidak pernah mempunyainya. Hidupnya hanya dipenuhi kewajiban-kewajiban saja. Dan itu tidak pernah menyentuh masalah anak-anak. Alviorita tidak pernah melihat keceriaan anak-anak itu dengan mata kepalanya sendiri. Ia hanya dapat membayangkan hidup anak-anak sangat bebas dan penuh keceriaan seperti berada di surga.

Bagi Alviorita sekarang semuanya telah berubah. Ia bukan lagi Putri Mahkota dengan setumpuk tugasnya. Ia adalah gadis biasa yang sedang menyamar di Castle tunangannya sendiri.

Sekarang ia dapat melakukan apa saja yang diinginkannya.

Duke dan Duchess of Kryntz sama sekali tidak keberatan ketika kemarin mereka melihat dirinya berkelakuan yang dikatakan Maryam bukan sebagai tingkah seorang Putri Mahkota. Memang kemarin Alviorita tidak menunjukkan kemahiran memanjat pohonnya tetapi ia tahu Duke dan Duchess tidak akan mempermasalahkan bila ia bertingkah tidak seharusnya, sopan dan lemah lembut. Sepanjang hari kemarin ia mempergunakan waktunya untuk menikmati kebebasannya dengan berkeliling Castle Q`arde seorang diri. Tidak jarang ia berlari-lari sambil melompat kecil.

Saat itu Alviorita berpikir. Bagaimana reaksi pengasuhnya bila melihat ia bertingkah seperti itu.

Maryam adalah seorang wanita yang penuh pengertian kecuali dalam hal peraturan. Ia sangat ketat dalam hal satu ini. Ia selalu menginginkan Alviorita bersikap seperti seorang Putri Mahkota yang sempurna. Setiap langkah Alviorita selalu diperhatikannya dengan cermat. Ia tidak pernah mengijinkan Alviorita bersikap kurang sopan dan anggun. Ia juga mengajari Alviorita untuk bersikap angkuh tetapi tetap memperhatikan keramahan. Walaupun Alviorita tidak pernah mengeluh tetapi sebenarnya ia tidak menyukai semua itu. Seperti ia tidak menyukai kegiatan rutinnya.

Alviorita melihat Duke tengah berjalan menuju ke arahnya ketika ia hampir sampai di Ruang Kanak-Kanak.

“Siapa anak itu?” tanya Duke ingin tahu.

“Jeffreye.”

Duke terkejut. “Nathan sudah datang?”

Alviorita mengangguk.

“Engkau akan membawa Jeffreye ke mana?”

“Saya akan membawanya ke Ruang Kanak-Kanak. Sekarang ia sudah tertidur. Sepertinya ia lelah sekali,” kata Alviorita menjelaskan.

“Kalau begitu kami tidak akan menghalangimu lagi,” kata Duchess yang tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya.

Duchess menarik suaminya menuju Ruang Duduk.

Alviorita tersenyum. Ia segera membawa Jeffreye ke Ruang Kanak-Kanak.

Ruang Kanak-Kanak kosong. Innane yang setahu Alviorita selalu berada di sana, kali ini tidak ada di sana. Dengan hati-hati Alviorita meletakkan Jeffreye di tempat tidur dan menyelimutinya.

Alviorita memandangi wajah mungil yang tertidur itu sebelum ia memperhatikan ruangan itu.

Suasana di Ruang Kanak-Kanak tidak berbeda dari ruangan yang lain. masih ada ukiran tumbuhan yang dapat dijumpai di sana.

Alviorita tertarik melihat mainan di sana. Ia senang sekali dapat berada di Ruang Kanak-Kanak kembali walau bukan Ruang Kanak-Kanak yang ada di Istana Urza.

Sudah lama sekali Alviorita tidak pernah mengunjungi Ruang Kanak-Kanak. Sejak kematian ibunya saat ia baru berusia tiga tahun, ia sudah harus meninggalkan masa kecilnya dan mulai belajar segala urusan kerajaan.

Semasa ibunya masih hidup, Alviorita masih dapat menghabiskan waktunya untuk bermain-main. Ibunya tidak mengijinkan ayahnya memberinya segala macam pelajaran untuk dapat menjadi Ratu yang baik. Tetapi sejak Ratu yang selalu memberi perlindungan kepada Alviorita dari setumpuk tugas kerajaan itu meninggal, Raja mulai memberikan apa yang tidak dapat diberikan olehnya semasa Ratu masih hidup. Alviorita yang masih kecil harus memasuki dunia yang sama sekali baru baginya. Ia harus mulai belajar bersikap sebagai Putri Mahkota. Walaupun setiap orang di sekelilingnya selalu mengatakan ia adalah Putri Mahkota tetapi Alviorita tidak pernah menyukainya. Ia masih ingin menghabiskan waktunya untuk bermain ketika ia dipaksa belajar oleh Raja. Karena itu, setiap kali Raja tidak ada, Alviorita selalu meninggalkan semua kegiatan rutinnya dan membuat semua orang kebingungan.

Tengah Alviorita asyik memperhatikan Ruang Kanak-Kanak, seseorang membuka pintu. Tetapi Alviorita tidak mendengarnya. Gadis itu tenggelam dalam dunianya sendiri.

“Terima kasih atas bantuan Anda.”

Sekali lagi suara berat itu membuat Alviorita terkejut. Alviorita memalingkan kepalanya kepada pria itu.

Nathan menimbang apakah ia harus mengatakan segala yang diketahuinya dari orang tuanya mengenai gadis itu.

Sesaat setelah kepergian gadis itu bersama Jeffreye, Trent berkata,

“Menurutmu bagaimana dia?”

Nathan mengerti siapa yang dimaksud adiknya tetapi rasa herannya membuat ia bertanya tanpa sadar, “Gadis itu?”

Trent mengangguk. “Ia cantik bukan?”

Tanpa menanti jawaban Nathan, Trent berkata, “Aku menyukainya. Ia gadis yang paling cantik yang pernah kujumpai. Aku menyukai mata hijaunya yang selalu menatap tajam.”

“Siapakah gadis itu?”

Duke yang baru muncul tersenyum dan berkata, “Ia adalah hasil dari keterburu-buruanmu.”

“Maksud Papa?” tanya Nathan tidak mengerti.

“Karena engkau terburu-buru berangkat ke Druqent, engkau lupa membawa barang yang akan diberikan Mamamu pada adiknya. Kemudian Trent menyusulmu. Adikmu juga berangkat dengan terburu-buru dan akhirnya ia menabrak gadis malang itu.”

“Gadis malang itu kehilangan ingatannya dan Mama meminta ia tinggal di sini sampai ingatannya pulih,” kata Duchess.

“Aku memberinya nama Rosa. Bagus bukan? Nama itu sesuai untuk kecantikannya dan matanya yang tajam,” kata Trent bangga.

Nathan diam saja.

“Engkau telah bertemu dengannya?” tanya Duke.

“Ya. kami bertemu di depan.”

“Jadi engkau telah mengenalnya?” tanya Duchess.

“Belum. Kami tidak saling berkenalan.”

Duke menggeleng tak mengerti. “Apa saja yang kaulakukan? Engkau bertemu gadis secantik dia tetapi engkau tidak mengajaknya berkenalan.”

“Bagaimana dengan tunangannya?” tanya Trent merajuk.

“Oh…, aku lupa dia sudah punya tunangan.”

“Engkau sudah siap untuk pesta pertunanganmu besok?” tanya Duchess.

Nathan enggan mendengar masalah itu. “Aku akan melihat keadaan Jeffreye,” katanya dan sebelum orang tuanya memberinya ijin, ia telah berlalu dari ruang itu.

Melihat kebingungan di wajah gadis itu, Nathan berkata, “Saya telah mengetahui tentang Anda. Kata orang tua saya, Anda kehilangan ingatan Anda.”

“Lupakan saja. Saya tadi hanya bertindak tanpa rencana.”

“Saya tidak melihatnya seperti itu,” Nathan mengakui, “Saya melihat Anda telah memperhitungkan segala sesuatunya sebelum Anda melompat dari pohon.”

Alviorita menggeleng. “Saya hanya melakukannya sesuai apa yang saat itu terlintas dalam benak saya dan tanpa perhitungan. Kebetulan saja saya dapat mencapai punggung kuda itu.”

“Kebetulan yang menguntungkan.”

“Sepertinya itulah,” kata Alviorita, “Bagaimana keadaan kuda itu?”

“Ia sudah lebih tenang sekarang. Kuda itu menginjak sesuatu yang tajam.”

Alviorita terkejut. “Dan ia tiba-tiba bertingkah seperti itu karena ia terkejut.”

Nathan menatap wajah Jeffreye yang tertidur. “Untung Anda cepat menolong.”

Mendengar nada suara pria itu, Alviorita tahu pria itu menyembunyikan sesuatu dalam kata-katanya. “Maksud Anda melompat dari pohon?”

Nathan menjawabnya dengan tersenyum.

Alviorita jengkel melihat senyum itu. Senyum itu seperti mengejek. “Saya memang tidak dapat berbuat yang lain selain itu. Dan saya tidak menyalahkan Anda yang mempunyai pandangan seperti itu mengenai sikap saya.”

“Saya tidak mengatakan apa-apa,” Nathan membela dirinya tetapi senyumnya masih tidak hilang.

“Anda memang tidak mengatakan apa-apa tetapi wajah Anda lebih menerangkan apa yang Anda pikirkan,” kata Alviorita dengan ketenangan yang dingin.

Nathan tersenyum pada Alviorita kemudian ia mengalihkan perhatiannya pada kemenakannya yang tertidur nyenyak.

“Lebih baik Anda beristirahat. Anda pasti lelah karena…”

“Melompat dari pohon?” kata Alviorita tajam.

Nathan hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum.

“Tidak, terima kasih. Saya ingin mengawasinya.”

Suara Alviorita yang tidak mau mengalah itu membuat Nathan hanya mengangkat bahunya tanpa mengatakan apa-apa.

Alviorita jengkel melihat sikap pria itu yang seperti tidak peduli atas apa yang telah terjadi. Tetapi ia juga merasa senang karena sikapnya ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa ia tidak ingin bertunangan dengannya. Sikap Nathan yang selalu menyembunyikan sesuatu itu dapat dijadikan Alviorita sebagai perisainya bila ayahnya tetap memaksa dirinya untuk menikah dengan pria itu.

Tetapi apa yang dilakukan Alviorita ini memang curang. Tanpa sepengetahuan siapa pun, ia berusaha menggagalkan pertunangannya sendiri dari dalam keluarga Kryntz.

Meskipun demikian Alviorita tidak peduli. Ia tidak peduli apakah yang dilakukannya ini curang atau tidak. Yang dipedulikan Alviorita hanya hasil dari penyamarannya ini.

Apakah ia berhasil atau sebaliknya?

Alviorita tahu semua ini tergantung dari dirinya sendiri. Bila ia dapat menjaga sikap terutama kata-katanya. Ia akan membuat semua orang di Castle Q`arde mempercayai bahwa ia bukan sang Putri Mahkota.

Dan besok adalah hari yang dinanti-nantikan oleh Alviorita. Esok adalah bukti apakah Alviorita benar-benar dapat melarikan diri dari Istana Urza atau tidak. Apakah Alviorita dapat melanjutkan rencananya atau sebaliknya, ia harus membuat rencana baru.

Rencana yang sedang dijalaninya ini memang merupakan rencana mendadak. Tetapi hingga saat ini rencana itu berjalan dengan lancar.

Buktinya adalah suasana tegang di Istana Urza.

Sejak kemarin, sepanjang hari Raja Phyllips marah. Wolve serta semua prajurit yang bertugas menemukan Alviorita menjadi takut melihatnya. Walaupun Wolve telah sering melihat kemarahan Raja. Namun kali ini ia tetap merasa takut melihat kemurkaan yang luar biasa di wajah Raja. Wajah Raja Phyllips benar-benar menakutkan. Awan kemarahan terus membayangi wajahnya yang tetap terlihat muda.

“Ingat waktumu hanya tinggal hari ini,” kata Raja Phyllips mengingatkan, “Hari ini juga engkau harus menemukan Alviorita.”

Mendengar nada mengancam dalam suara Raja, Wolve tidak berani membantah. Ia hanya mengangguk.

“Apa lagi yang engkau tunggu?” kata Raja, “Cepat temukan Alviorita. Hingga ke ujung dunia pun engkau harus menemukan Alviorita.”

“Hari ini juga,” tambah Raja dengan tegas.

Wolve membungkuk. “Baik, Paduka.”

Ketika meninggalkan Ruang Tahta, Wolve berpikir bagaimana cara ia menemukan Alviorita di kerajaan yang berbukit-bukit seperti ini dalam satu hari. Kepergian Alviorita ini telah membuat setiap orang di Istana Urza menjadi cemas sekaligus takut pada kemurkaan Raja Phyllips. Tetapi tidak ada yang tahu siapa yang harus disalahkan. Alviorita yang kabur? Maryam yang tidak dapat menjaga Alviorita dengan baik? Raja Phyllips yang membuat Alviorita kabur? Atau penjaga gerbang yang tidak melihat kepergian Alviorita? Kalaupun ada yang tahu siapa yang harus disalahkan dalam hal ini. Tidak mungkin orang itu akan mengatakan yang sebenarnya. Setiap orang pasti merasa takut sebelum menunjukkan kepada siapa kesalahan itu terletak. Tidak mungkin ada yang berani mengatakan Alviorita atau Raja Phyllips yang bersalah.

Yang menjadi persoalan saat ini bukan siapa yang bersalah melainkan bagaimana menemukan Alviorita. Bagaimana menemukan gadis itu sebelum pesta pertunangannya.

Wolve merasa tidak ada yang dapat dilakukan selain menunda pesta pertunangan itu. Waktu untuk mencari Alviorita sangat sempit. Dan daerah pencariannya sulit ditempuh. Tidak mungkin Alviorita akan ditemukan. Wolve sendiri mulai merasa ragu apakah Alviorita masih berada di Vximour atau ia sudah berada di kota lain. Hingga saat ini tidak seorangpun di Vximour yang melihat Alviorita.

Seperti kata Maryam, Alviorita selalu menghilang seperti ditelan bumi."



*****Lanjut ke chapter 4

No comments:

Post a Comment