Wednesday, February 14, 2007

Pelarian-Chapter 15

Kejengkelan yang disebabkan Elly masih belum hilang ketika pagi ini Alviorita kembali melihat kereta kuda di depan Castle Q`arde.

Setelah kedatangan Elly yang pertama, Alviorita tidak berharap wanita itu datang lagi. Tetapi rupanya dugaan Alviorita benar. Sekali bertemu Nathan, Elly akan terus menemui Nathan. Alviorita tidak ingin Nathan bertemu Elly. Ia juga tidak ingin bertemu wanita itu.


Elly benar-benar menguras seluruh tenaga Alviorita. Selama berada di antara Elly dan Nathan, Alviorita harus menahan kemarahannya yang ingin meledak. Sedetikpun Elly tidak mau jauh dari Nathan walaupun Nathan mengacuhkan keberadaannya.

Tingkah Elly membuat Alviorita bersikap dingin baik kepada Nathan maupun kepada Elly. Hanya itu satu-satunya cara yang dapat dilakukan Alviorita untuk menghentikan perasaan konyolnya. Pura-pura tidak tahu juga tidak melihat keberadaan mereka berdua di sekitarnya tanpa meninggalkan mereka.

Elly yang mulanya terus berada di samping Nathan yang terus menghiraukannya akhirnya jengkel.

“Mengapa Nathan mengacuhkanku?” tanyanya pada Alviorita.

“Aku tidak tahu. Tanya saja kepadanya,” jawab Alviorita acuh.

Elly menuruti saran Alviorita. “Nathan, mengapa engkau mengacuhkanku?”

“Engkau datang ke tempat ini untuk menemui Alviorita, bukan?” kata Nathan, “Aku tidak ingin engkau melupakan tujuan kedatanganmu tetapi sepertinya engkau telah melupakannya. Sejak tadi engkau hanya mengikutiku, mengapa engkau tidak berbicara dengan Alviorita yang kaucari?”

“Aku tidak melupakan tujuan kedatanganku ini. Tetapi aku ingin bersamamu.”

“Lalu bagaimana dengan Alviorita?” kata Nathan tajam sambil mengawasi Alviorita yang sejak tadi hanya duduk diam.

Walaupun Nathan mengucapkannya dengan keras, Alviorita tetap diam. Gadis itu pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu.

Elly juga menatap Alviorita yang tampak dingin. “Putri pasti mengerti kalau aku ingin bersamamu.”

Kata-kata yang diucapkan Elly seperti Alviorita tidak ada di tempat itu, akhirnya membuat Alviorita berkata, “Putri siapapun yang kaumaksud pasti akan merasa jengkel bila tamunya mengabaikannya.”

Elly terkejut. “Maafkan saya, Putri. Saya tidak tahu Anda akan merasa jengkel seperti itu.”

Alviorita tersenyum geli mendengar suara Elly yang seperti anak kecil yang merasa bersalah. “Engkau tidak akan pernah mengerti perasaan orang lain, Lily. Sejak dulu aku telah mengatakan kepadamu engkau terlalu kekanak-kanakan untuk mengerti semua ini.”

Kata ‘sejak dulu’ yang diucapkan Alviorita membuat Nathan was-was. Nathan khawatir Elly telah mengatakan segalanya dan membuat ingatan Alviorita pulih.

Sebaliknya Elly merasa senang mendengar kata ‘sejak dulu’ itu. “Anda telah mengingat kembali semuanya, Putri?”

Pertanyaan yang diucapkan dengan senang itu membuat Alviorita tertegun. “Ingat?” katanya, “Tidak. Hingga detik inipun aku tidak ingat siapa aku.”

“Tetapi Anda baru saja mengatakan…”

“Sudahlah, Elly,” sela Nathan, “Jangan kaupaksa Alviorita. Biarkan ingatannya kembali dengan sendirinya walaupun membutuhkan waktu yang lama.”

“Nathan benar, Lily. Tidak ada gunanya engkau memaksaku mengingat semuanya karena aku sendiripun tidak dapat melakukannya.”

“Tetapi, Putri…”

“Cukup, Lily,” potong Alviorita tegas, “Jangan seperti anak kecil yang keras kepala. Aku telah mengatakan kepadamu untuk tidak memaksaku.”

“Baiklah, Putri. Saya minta maaf.”

Alviorita tersenyum mendengar suara ketakutan Elly. “Tidak apa-apa, Lily. Justru akulah yang harus minta maaf kepadamu.”

Elly membalas senyuman Alviorita dan kembali sibuk dengan Nathan. Alviorita tahu wanita itu akan terus seperti itu. Apapun yang dikatakan orang lain serta apapun yang terjadi, ia akan tetap berusaha menarik perhatian Nathan.

Karena itulah Alviorita yakin hari ini wanita itu akan datang lagi. Untuk menghindari pertemuan dengan Elly, hari ini Alviorita dan Nathan berniat untuk pergi ke lapangan pagi-pagi sekali untuk menghindari Elly.

Tetapi kemarin malam Alviorita tidak dapat tidur. Alviorita terus memikirkan perasaannya sepanjang hari itu dan berusaha menghubungkannya dengan masa lalunya serta sikap Nathan yang seperti berusaha menghalangi pulihnya ingatannya. Hingga larut malam Alviorita terus memikirkannya hingga pagi ini ia tidak dapat bangun pagi seperti yang diharapkannya.

Ketika bangun tadi, matahari telah mucul dari balik gunung pertanda siang semakin dekat.

Memang tidak ada yang menyalahkan keterlambatan Alviorita itu tetapi Alviorita menyalahkan dirinya sendiri.

Karena kesalahannya, ia dan Nathan tidak dapat pergi ke lapangan lebih pagi dari biasanya. Dan karena kesalahannya pula, saat ini ia melihat kereta di depan Castle Q`arde.

Tanpa berusaha mengenali kereta itu, Alviorita bergegas mencari Nathan.

Alviorita tahu Nathan selalu menyibukkan diri di Ruang Kerjanya sambil menanti dirinya.

Langkah kaki Alviorita terhenti ketika ia tiba di depan pintu Ruang Kerja. Samar-samar dari balik pintu yang tertutup itu terdengar suara yang saling membentak.

Sebentar terdengar suara lantang yang dikenal baik oleh Alviorita. Kemudian disusul bentakan yang Alviorita rasa akrab dengannya tetapi tidak dapat diingatnya.

Bila orang lain yang mendengar suara yang saling membantah ini, mereka akan takut tetapi tidak bagi Alviorita. Alviorita merasa ia telah terbiasa mendengar bentakan-bentakan seperti ini.

Walaupun telah terbiasa, Alviorita tidak berniat mendengar pembicaraan itu maupun melihat siapakah yang sedang berbantah dengan Nathan.

Yang pasti bukan Duke maupun Duchess karena orang tua Nathan itu sangat sabar. Kalaupun mereka marah, mereka tidak pernah sampai berkata-kata dengan lantang seperti ini seperti orang berteriak.

Alviorita membalikkan badannya.

“Bagaimanapun juga Alviorita harus kembali ke Istana hari ini.”

Kata-kata yang diucapkan dengan lantang dan tegas itu membuat Alviorita segera menghentikan langkahnya.

Alviorita tertegun.

“Saya tidak akan menyerahkan Alviorita kepada Anda. Anda telah berjanji membiarkan Alviorita tinggal di sini sampai ingatannya pulih. Dalam perjanjian kita tidak dikatakan Alviorita tinggal di Istana Urza walaupun ingatannya berlum pulih.”

Untuk kedua kalinya sejak ia tinggal di Castle Q`arde, ia mendengar kata ‘Istana’ yang dihubungkan dengan dirinya.

Kemarin Alviorita dapat menerima penjelasan dari Nathan ketika Elly menghubungkan ‘Istana’ dengan dirinya. Tetapi kali ini lain. Dengan sahutan dari Nathan itu, kata ‘Elly selalu memanggilmu ‘Putri’ dan rumah seorang Putri adalah Istana’ sudah tidak berlaku lagi.

Alviorita yang semula tidak berniat mendengar pembicaraan itu menjadi tertarik. Keingintahuannya lebih besar dari perasaan yang selalu menghalangi dirinya mengingat semua masa lalunya.

“Kini semuanya tidak berlaku lagi. Alviorita harus kembali ke Istana.”

“Saya tidak akan mengijinkan siapapun membawa Alviorita meninggalkan Castle ini sebelum ingatannya pulih,” kata Nathan tegas.

“Apakah engkau tidak mengerti sebanyak apa tugas yang telah dilalaikannya?”

“Saya mengerti banyaknya tugas yang telah terabaikan selama Alviorita tinggal di sini. Tetapi Anda jangan lupa, Paduka, Anda sendiri yang mengijinkan Alviorita tinggal di sini sampai ingatannya pulih.”

Kata ‘Paduka’ yang diucapkan Nathan kembali membuat Alviorita bertanya-tanya.
Apakah hubungan dirinya dengan kata ‘Paduka’ itu serta ‘Istana’?

Alviorita terus mendengarkan baik-baik percakapan di balik pintu itu.

“Aku memang telah mengijinkannya tetapi kali ini masalahnya lain. Terlalu banyak yang ditelantarkan Alviorita selama ia tinggal di sini. Dan cukup lama ia tinggal di sini tetapi sampai sekarang ingatannya belum pulih.”

“Saya akui Alviorita telah lama tinggal di sini. Saya juga mengakui sampai sekarang ingatan Alviorita belum ada kemajuan yang berarti.”

“Karena itulah aku harus membawanya kembali ke Istana,” kata Raja Phyllips lembut.

“Tidak, saya tidak mengijinkannya.”

Suasana yang mulai mereda kembali menjadi panas dan kemarahan kedua orang itu siap meledak sewaktu-waktu.

“Aku akan tetap membawanya, Nathan. Engkau tahu engkau tidak dapat mencegahku. Terlalu lama Alviorita tinggal di sini. Terlalu lama Alviorita menelantarkan tugas-tugas kerajaannya.”

“Saya mengakui bahwa hingga saat ini ingatan Alviorita belum pulih. Dan kami semua telah berusaha.”

“Apa yang kudengar dari Maryam tidak seperti itu. Kata Maryam engkau seperti tidak menghendaki ingatan Alviorita segera pulih.”

Nathan kembali membantah Raja. “Bila saya tidak menghendaki pulihnya ingatan Alviorita, saya tidak akan mengijinkan Maryam membawa Alviorita ke Istana.”

Raja tidak percaya mendengar pengakuan itu. “Engkau telah membawa Alviorita ke Istana?”

“Benar. Saya menyetujui usul Maryam untuk membawa Alviorita ke Istana. Tetapi tetap saja Alviorita tidak dapat mengingat apapun. Alviorita sendiri yang mengatakan kepada saya.”

“Itu artinya usaha kalian kurang berhasil. Aku yakin bila aku yang mencobanya, pasti lebih berhasil,” ejek Raja.

Nathan tahu apa yang akan dilakukan Raja. “Dengan tugas-tugas kerajaan?”

Raja tersenyum senang. “Benar. Tugas-tugas itu pasti akan dapat membuat Alviorita teringat akan kedudukannya serta tanggung jawab yang menjadi bebannya.”

Nathan tidak ragu-ragu untuk mengatakan apa yang ada di benaknya.

“Saya yakin cara Anda juga tidak akan berhasil. Justru saya merasa cara Anda itu akan membuat Alviorita semakin tidak mau mengingat semua masa lalunya.”

Kemurkaan Raja kembali muncul. “Apa maksudmu?”

“Alviorita berkata kepada saya kalau ada sesuatu dalam dirinya yang menghalangi usahanya memulihkan ingatannya. Dan bila Anda melakukan itu, saya yakin perasaan yang menghalangi Alviorita itu semakin besar dan semakin kuat.”

“Perasaan apapun itu, itu bukan masalah bagiku. Kini yang menjadi masalah bagiku adalah pulihnya ingatan Alviorita.”

“Bila Anda memang memasalahkan pulihnya ingatan Alviorita itu, Anda juga harus memikirkan perasaan yang menghalangi pulihnya ingatan Alviorita itu.”

“Perasaan apakah itu?” tanya Raja Phyllips ingin tahu.

“Kebebasan,” jawab Nathan tegas.

“Kebebasan?” ulang Raja, “Apa yang kaukatakan itu? Apakah engkau pikir selama ini aku memenjarakan Alviorita?”

“Memenjarakan dalam arti sesungguhnya tidak,” kata Nathan dingin.

“Jelaskan apa maksudmu menuduhku seperti itu?” kata Raja geram.

“Anda terlalu memaksa Alviorita untuk belajar dan melakukan semua tugas kerajaan sejak ia masih kecil. Paksaan Anda itu memang berhasil membuat Alviorita menjadi seorang Putri yang dikagumi banyak orang.”

Tanpa menanti pendapat Raja, Nathan meneruskan,

“Paksaan itu juga membuat Alviorita semakin menginginkan kebebasan. Sekarang saat ingatan Alviorita hilang, keinginan itu semakin kuat dan menghalangi pulihnya ingatan Alviorita. Bawah sadar Alviorita tahu bila ingatannya pulih, semua kebebasan yang selama ini ia rasakan akan hilang.”

“Kebebasan? Paksaan?” kata Raja, “Engkau benar-benar membuatku ingin tertawa. Bagaimana mungkin Alviorita merasa seperti itu? Selama ini ia berkelimpahan kemewahan di Istana bukan berkelimpahan penderitaan di penjara.”

“Semua tugas-tugas kerajaan yang membelenggunya membuatnya merasa hidup di dalam penjara yaitu sangkar emas yang Anda buat sejak kematian Ratu.”

“Tugas-tugas kerajaan itu bukan penjara baginya tetapi suatu kewajiban yang menjadi tugas Alviorita sejak ia lahir.”

“Cara Anda menyuruh Alviorita melakukannya membuat semua itu terasa penjara baginya.”

“Atas dasar apa engkau mengatakan itu?” kata Raja geram.

“Kalau Alviorita memang tidak merasa seperti itu, tidak mungkin Alviorita tidak pernah memanfaatkan waktu luangnya untuk bersenang-senang sewaktu ia masih tinggal di Istana.”

“Alviorita memang seorang Putri yang baik. Ia tidak membuang waktunya untuk bersenang-senang,” kata Raja bangga.

“Bukan,” sahut Nathan, “Alviorita tidak pernah bersenang-senang karena ia selalu merasa ia tidak mempunyai waktu untuk bersenang-senang. Anda telah memaksa Alviorita meninggalkan masa kanak-kanaknya sejak ia masih kecil dan karena itu pula dalam hati Alviorita telah tertanam kepercayaan itu.”

Kemudian Nathan menambahkan, “Juga tidak mungkin ia bersikap seperti orang yang baru bebas dari sangkar emas selama ia tinggal di sini.”

“Ia tidak mungkin bersikap seperti orang yang baru bebas dari penjara selama ia tinggal di sini. Itu hanya perasaanmu saja,” bantah Raja.

“Bukan hanya saya saja yang berkata seperti itu. Orang tua saya juga semua orang di sini mengatakannya.”

“Itu masalah kalian. Tidak mungkin kalian lebih mengenal Alviorita daripada aku. Aku tahu putriku itu selalu merasa puas dengan apa yang selama ini dijalaninya.”

“Kami memang tidak mengenal Alviorita sebaik Anda tetapi saya tahu apa yang dirasakan Alviorita. Saya berani mengatakan saya lebih mengenal Alviorita daripada siapapun termasuk Anda.”

“Jangan lupa, Nathan. Aku adalah ayah Alviorita.”

“Anda juga jangan lupa, Paduka. Saya adalah tunangan Alviorita.”

Alviorita yang terus mendengar percakapan itu dari balik pintu, terkejut. Ia tidak menduga selama ini Nathan yang dianggapnya sebagai kawan masa kecil tak lain adalah tunangannya sendiri.

Alviorita menginginkan penjelasan dari Nathan saat ini juga. Ia tidak dapat menanti lagi. Dengan tangan gemetar menahan perasaan, Alviorita membuka pintu.

Dua pria yang sejak tadi saling membantah dan membentak itu tidak menyadari pintu yang dibuka perlahan-lahan oleh Alviorita itu.

“Engkau juga harus ingat Alviorita itu seorang Putri Mahkota.”

Mata Alviorita tidak lepas dari kedua pria yang berdiri berhadapan di depannya itu apalagi setelah kata terakhir yang diucapkan ayahnya.

Kata ‘Putri Mahkota’ itu membuat ribuan bayangan muncul dalam benak Alviorita.

Setumpuk tugas.

Sejumlah pengawal.

Sejumlah pelayan.

Dan yang seperti dikatakan Nathan, sangkar emas.

Alviorita tidak mau mempercayai semua itu dan berharap semua itu salah. Tetapi Nathan berkata,

“Alviorita memang satu-satunya Putri Mahkota Kerajaan ini tetapi apa yang dapat ia lakukan tanpa ingatannya?”

Alviorita masih belum dapat menguasai perasaannya setelah mendengar kata ‘Putri Mahkota’ itu untuk kedua kalinya, ketika Raja berkata tajam,

“Bagus, engkau telah mengerti Alviorita satu-satunya penerusku. Jadi sekarang engkau harus membiarkan aku membawa Alviorita kembali ke Istana.”

Bayangkan kembali ke Istana yang menjadi sangkar emasnya membuat Alviorita berkata lirih, “Tidak…”

Kedua pria itu terkejut dan memalingkan kepala kepada Alviorita yang berdiri terpaku di ambang pintu.

Wajah Nathan memucat melihat Alviorita sedangkan Raja tampak tenang.

“Bagus, engkau telah mendengar semuanya. Kini engkau harus ikut aku kembali ke Istana.”

“TIDAK!!!” teriak Alviorita.

Nathan cemas melihat Alviorita. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan gadis itu. Jelas Alviorita tidak dapat kabur dari kenyataan yang telah terbuka ini.

“Alviorita…,” kata Nathan cemas sambil mendekati Alviorita dengan tangan terulur.

Sebelum Nathan mendekat, Alviorita berteriak, “Tidak!”

Nathan mengulurkan tangannya tetapi Alviorita menepiskannya dan berlari menjauh.

“Alviorita!” seru Nathan.

Alviorita terus berlari sambil menutup telinganya dengan kedua tangannya.

Alviorita tidak ingin mendengar apapun. Alviorita tidak ingin mendengar suara Nathan yang telah membohonginya.

Nathan tidak tahu apa yang dirasakan Alviorita tetapi ia dapat menduga gadis itu merasa dikhianati olehnya sekaligus terkejut dengan semua kenyataan ini.

Kenyataan ini bagi orang lain mungkin terasa menyenangkan terutama yang hanya memikirkan uang. Tetapi tidak bagi Alviorita.

Alviorita sudah tidak ingin tinggal di ‘sangkar emas’ Istana yang bergelimangan kemewahan.

Telah lama tinggal bersama Alviorita serta bermain-main bersama gadis itu membuat Nathan tahu ia tidak akan dapat mengejar gadis itu. Alviorita selalu berlari cepat dan secepat apapun ia mengejar, ia selalu tidak dapat menangkap gadis itu.

Selain dapat berlari cepat, Alviorita juga pandai menghindar. Karena itu walaupun Nathan dapat mengimbangi langkah kaki gadis itu, ia tetap tidak dapat menangkap gadis itu.

Kali inipun Nathan tidak dapat menangkap Alviorita. Nathan hanya berharap Alviorita segera berhenti sebelum gadis itu terjatuh.

Harapan Nathan tidak terkabul. Alviorita terus berlari sepanjang lorong menuju Ruang Besar dan tanpa menghiraukan pelayan-pelayan yang terkejut melihat mereka, ia terus berlari ke halaman Castle Q`arde.

Tidak seorangpun yang membantu Nathan walaupun mereka melihat Nathan mengejar Alviorita dengan panik.

Semua orang di Castle Q`arde tahu Nathan dan Alviorita selalu bersama. Mereka juga sering melihat Alviorita bercanda dengan Nathan hingga mereka berkejar-kejaran seperti ini. Semua menganggap Nathan dan Alviorita tengah bermain.

Nathan sendiri terlalu sibuk memusatkan perhatiannya pada Alviorita daripada meminta bantuan orang lain.

Raja yang mengetahui apa yang tengah terjadi segera mengikuti Nathan mengejar Alviorita sambil berteriak, “Cepat kejar Alviorita. Jangan biarkan ia pergi lagi.”

Semua orang hanya termangu tanpa mengerti apa yang terjadi.

“Cepat!” seru Raja melihat tidak seorangpun yang bergerak, “Apa yang kalian tunggu? Alviorita kabur lagi?”

Duke yang mendengar keributan di luar Ruang Duduk tempatnya berada, keluar. Duke terkejut melihat Alviorita berlari dan Nathan mengikutinya dengan panik sementara Raja berteriak-teriak cemas.

Tanpa menanti apa-apa lagi, Duke segera berlari menyusul Nathan. Melihat kecemasan Raja serta kepanikan Nathan, Duke mengerti Alviorita benar-benar harus dihentikan.

Semua orang yang mendengar keributan di lantai dasar Castle Q`arde segera muncul untuk mengetahui apa yang terjadi.

Demikian pula Duchess. Duchess hanya dapat berdiri termangu di tangga melihat semua orang kepanikan karena teriakan Raja.

Keributan yang terjadi itu terdengar hingga ke lantai tiga tempat Maryam berada. Maryam yang sibuk di kamar Alviorita, tertarik mendengar keributan itu dan segera ke bawah.

Walaupun tahu ia telah menimbulkan keributan, Alviorita tetap tidak mempedulikan orang-orang yang panik. Alviorita hanya tahu ia harus berlari sejauh mungkin dari kenyataan ini sebelum ia terperangkap di dalamnya.

Perasaan Alviorita campur aduk. Alviorita tidak mau menerima kenyataan yang telah didengarnya itu tetapi hati kecilnya tahu semua itu benar dan tidak dapat dihindari olehnya sekalipun ia berusaha melarikan diri darinya.

Perasaan marahnya kepada Nathan yang selama ini dipercayainya membuat Alviorita menangis.

Tanpa disadari Alviorita, ia telah menyayangi Nathan melebihi sebelumnya. Melebihi perasaan sayangnya saat ia melihat masa kecilnya dalam mimpinya. Alviorita menyayangi Nathan bukan hanya sebagai teman tetapi sebagai kakak yang sangat dekat dengannya.

Alviorita sangat mempercayai Nathan. Walaupun tahu Nathan menyembunyikan sesuatu darinya, Alviorita tetap mempercayai pria itu. Alviorita yakin Nathan sengaja menyembunyikannya untuk kebaikannya tetapi kini semuanya terasa lain.

Alviorita tidak dapat mempercayai Nathan telah membohonginya sejauh itu. Nathan telah menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya bahkan berbohong ketika mengatakan mereka adalah teman.

Sekarang semuanya telah jelas. Hubungannya dengan Nathan bukan sekadar teman tetapi tunangan.

Sejak memasuki Castle Q`arde, Alviorita hanya mengerti ia diterima dengan baik di keluarga Kryntz karena ia adalah anak sahabat keluarga mereka. Sekarang pengertian Alviorita telah berubah.

Semua orang sangat menghormatinya karena ia adalah Putri Mahkota dan semua orang di Castle Q`arde menerimanya dengan baik selain karena ia seorang Putri juga karena ia adalah tunangan Nathan.

“Alviorita, jangan berlari lagi,” seru Nathan cemas, “Berhentilah. Aku tahu apa yang kaurasakan. Aku akan menjelaskan semuanya.”

Alviorita tetap menutup telinganya tanpa berhenti.

Di belakang Nathan terdengar suara orang yang juga berteriak-teriak memanggil namanya tetapi Alviorita tetap tidak mau berhenti.

Alviorita berlari semakin cepat ketika ia melihat pintu gerbang Castle Q`arde seolah-olah pintu itu merupakan pintu gerbang kebebasannya.

Sebuah kereta yang melaju cepat, tiba-tiba memasuki gerbang.

Kusir kuda itu terkejut melihat Alviorita dan segera menghentikan keretanya.

Seperti kusir kuda itu, Alviorita juga terkejut. Alviorita berdiri terpaku melihat kuda yang menarik kereta itu meringkik keras ketika kusir kuda menarik tali kekangnya kuat-kuat.

Bersamaan dengan itu, pelayan yang juga mengejar Nathan berteriak cemas bercampur ketakutan melihat jarak kuda itu yang sangat dekat dengan Alviorita. Sementara para pelayan itu berdiri ketakutan membayangkan apa yang akan terjadi, Nathan mempercepat langkahnya.

Perasaan terkejut bercampur marah dan sedih ketika mengetahui kenyataan yang selama ini disembunyikan darinya, belum pulih ketika ia menerima kejutan yang lain. Alviorita yang belum siap menghadapi perasaan terkejut ini segera jatuh pingsan.

Nathan yang telah menduga apa yang akan terjadi segera menangkap tubuh Alviorita sebelum gadis itu menyentuh tanah.

Nathan tahu Alviorita masih terlalu terkejut untuk menerima kejutan yang lain. Gadis itu tidak akan mampu menerima kejutan yang lain saat kereta kuda milik keluarga Kryntz tiba-tiba muncul di depannya.

Kusir kuda segera turun. “Ia baik-baik saja? Saya minta maaf. Saya tidak menduga ia akan muncul tiba-tiba.”

“Tidak apa-apa. Alviorita tidak tertabrak apapun. Ia hanya terkejut,” kata Nathan tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Alviorita yang memucat.

Nathan sudah berdiri dengan Alviorita dalam gendongannya sebelum kusir kuda itu menawarkan bantuannya.

Seorang pria yang diikuti seorang anak kecil muncul dari dalam kereta. Bersamaan dengan itu, Duke mendekat.

“Apa yang terjadi?” tanya Trent.

“Tidak ada apa-apa,” jawab Nathan.

Jeffreye menengadahkan kepalanya dan berusaha melihat wajah gadis yang dibopong pamannya.

“Apa yang terjadi padanya?” tanya Trent lagi.

“Ia hanya terkejut karena kereta kuda yang melaju cepat,” kata Nathan.

“Jangan kausalahkan aku,” kata Trent, “Jeffreye yang meminta kereta melaju cepat. Katanya agar lekas sampai.”

“Sudah, kalian jangan bertengkar,” kata Duke yang mendengar percakapan mereka, “Nathan, sebaiknya engkau membawa Alviorita ke kamarnya.”

“Aku memang bermaksud membawa Alviorita kembali ke kamarnya agar ia dapat berisitirahat.”

Tanpa menghiraukan Trent yang jengkel karena Duke membelanya, Nathan segera membawa Alviorita kembali ke Castle Q`arde.

Melihat Nathan mendekat, Maryam segera menghampiri mereka. “Bagaimana keadaan Tuan Puteri? Ia tidak terkena apapun?”

“Jangan khawatir. Kereta kuda telah berhenti sebelum mereka bertabrakan. Alviorita jatuh pingsan karena ia terlalu terkejut.”

“Apa yang dapat saya lakukan?” tanya Maryam kebingungan.

“Sebaiknya engkau menyiapkan tempat tidur Alviorita agar aku dapat segera membaringkan dia,” kata Nathan.

“Baik, Tuan Muda.”

Tak lama setelah Maryam berlalu, Duchess menghampiri.

Duchess berjalan di samping Nathan tanpa melepaskan pandangannya kepada wajah pucat Alviorita. “Mama akan memanggil dokter.”

“Kurasa tidak perlu, Mama. Alviorita hanya terkejut,” kata Nathan.

“Tetapi wajahnya pucat, Nathan.”

“Wajahnya pucat karena ia terlalu terkejut.”

“Sebenarnya apa yang telah terjadi sehingga Alviorita...?”

Nathan diam saja. Ia tidak ingin memberitahu ibunya mengenai pertengkarannya dengan Raja yang membuat Alviorita mengetahui apa yang selama ini disembunyikannya dari gadis itu. Duchess akan sangat sedih bila ia mengetahuinya.

“Mama tidak memaksamu, Nathan. Kalau engkau memang tidak mau mengatakannya tidak apa-apa,” kata Duchess, “Sebaiknya engkau segera membawa Alviorita ke kamarnya.”

Tidak perlu disuruh dua kali, Nathan telah membawa Alviorita ke kamarnya.

Ketika membaringkan Alviorita di tempat tidur, Nathan melihat wajah gadis itu tampak seperti sedang tersenyum bahagia.

Kening Nathan berkerut melihat wajah bahagia Alviorita. Nathan tidak mengerti mengapa gadis itu tampak bahagia saat ia baru saja mengetahui semua yang selama ini disembunyikan darinya yang membuatnya sangat sedih.

Nathan tidak tahu apa yang dimimpikan gadis itu tetapi ia tahu Alviorita memimpikan sesuatu yang sangat menyenangkan.

Saat itu Alviorita memang sedang bermimpi indah yang sangat menyenangkan hatinya.

Alviorita melihat Ratu bersamanya dan mengajak dirinya yang masih kecil bermain bersama. Bermain bersama Ratu membuat Alviorita merasa senang.

Ratu mengajak Alviorita bermain segala macam permainan. Ratu juga membawa Alviorita mengunjungi tempat-tempat yang indah.

Senakal apapun Alviorita, Ratu tetap bersikap sabar kepadanya. Ratu juga tidak pernah memarahinya walaupun Alviorita sering melanggar larangannya. Ratu hanya tersenyum dan menasehatinya dengan sabar bila Alviorita melakukan kesalahan.

Alviorita sangat menyayangi Ratu Valensia yang sangat sabar itu. Bersama Maryam, Ratu menjaga Alviorita bermain baik di dalam maupun di luar Istana.

Ratu menunjukkan banyak tempat indah kepada Alviorita. Hutan yang hijau, sungai yang jernih, pantai yang berkilauan, semua ditunjukkan Ratu kepada Alviorita.

Alviorita kecil hanya tahu bermain tanpa mengetahi usaha ibunya menjauhkah dirinya dari keinginan Raja.

Raja sangat menginginkan Alviorita menjadi Putri Mahkota yang baik bagi Kerajaan Lyvion dan untuk itu Raja ingin Alviorita rajin belajar sejak kecil.

Keinginan Raja yang bertentangan dengan keinginan Ratu ini tidak membuat mereka bertengkar. Dengan berbagai bujukan, Ratu berhasil membuat Raja menunda keinginannya itu. Dan sementara itu Alviorita tetap bermain sambil belajar bersama Ratu dan Maryam.

Alviorita kecil tidak menyadari kalau ia tidak hanya bermain dan bersenang-senang saja. Ratu memang kelihatannya hanya mengajak Alviorita bersenang-senang saja sepanjang hari. Namun sesungguhnya sambil bermain dan berjalan-jalan itulah Ratu mengajari Alviorita.

Tanpa disadari Alviorita, Ratu memberikan banyak pelajaran kepadanya. Alviorita kecil tidak pernah menyadari ia telah belajar banyak hal dari Ratu.

Tetapi kebahagiaan Alviorita itu tidak bertahan lama. Saat Alviorita dan Ratu sedang bercanda bersama, Ratu tiba-tiba berkata, “Waktuku sudah habis. Aku harus segera pergi. Jagalah dirimu baik-baik, Alviorita dan turuti semua kata-kata ayahmu serta Maryam.”

Setelah berpesan pada Alviorita, dari punggung Ratu muncul sepasang sayap putih seperti bulu burung dan Ratu Valensia perlahan-lahan naik ke angkasa.

“Mama… Mama…, jangan pergi. Jangan tinggalkan Alviorita,” teriak Alviorita panik.

Ratu tersenyum, “Mama tidak akan meninggalkanmu, Alviorita. Mama akan terus di sampingmu dan menjagamu.”

“Mama! Mama!”

Sekeras apapun Alviorita berteriak, Ratu tetap menjauh.

Alviorita tidak menyerah. Ia terus memanggil ibunya sampai ibunya tidak tampak lagi. Saat itulah Alviorita samar-samar mendengar pesan ibunya yang terakhir.

“Jadilah Putri yang baik.”

“Mama! Mama!” teriak Alviorita memanggil Ratu yang terus menjauh.

Alviorita menggapaikan tangannya berusaha menyentuh Ratu Valensia tetap tangan Alviorita tidak cukup panjang untuk meraih Ratu yang terus naik ke angkasa yang biru.

Sebagai gantinya, seseorang memeluk Alviorita erat-erat sambil berusaha menenangkan tangisnya.

“Tenanglah, Alviorita. Jangan menangis.”

Alviorita terus menangis sambil memanggil Ratu dalam pelukan orang itu.

Nathan kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menenangkan Alviorita.

Saat Alviorita tiba-tiba berteriak memanggil Ratu sambil menangis, Nathan tahu gadis itu memimpikan kepergian Ratu. Dulu saat Ratu meninggal, tidak seorangpun yang dapat menenangkan tangis Alviorita kecil. Kini Nathan ragu apakah dirinya mampu menenangkan Alviorita.

“Mama… jangan pergi…”

“Jangan menangis, Alviorita. Ratu tidak akan meninggalkanmu,” kata Nathan lembut.

“Mama…,” kata Alviorita sedih.

“Ratu tidak akan meninggalkanmu, Alviorita. Walaupun Ratu tidak ada di sisimu, ia terus menjagamu. Ratu terus menjagamu dari tempatnya berada,” kata Nathan.

Alviorita mengangkat kepalanya dari dada Nathan. Sesaat Alviorita merasa silau oleh sinar matahari yang memenuhi ruangan tempatnya berada. Di antara sinar matahari yang menyilaukan itu, Alviorita berusaha mengenali wajah yang memandangnya.

Wajah Nathan yang dihiasi senyum lembut membuat Alviorita kebingungan.

Nathan menyeka air mata yang membasahi wajah Alviorita sambil meyakinkan gadis itu, “Di manapun Ratu berada, ia terus menjagamu.”

Alviorita terus memandang kebingungan wajah Nathan. Alviorita merasa ada yang salah tetapi kesedihan yang memenuhi pikiran Alviorita membuat gadis itu berpikir lambat.

Ketika Alviorita menyadarinya, ia berkata heran, “Mengapa engkau ada di sini?”

Alviorita yang merasa dirinya berada di Istana Urza merasa heran melihat Nathan di kamarnya. Sambil terus melihat Nathan, Alviorita bertanya-tanya sendiri.

Nathan tidak mengijinkan Alviorita berpikir lebih jauh lagi. Nathan membaringkan kembali tubuh Alviorita di atas tempat tidur.

“Sebaiknya engkau berisitrahat lagi. Engkau masih terlihat lemah.”

Melihat mata hijau itu tetap keheranan memandang dirinya, Nathan berkata, “Tidurlah, Alviorita. Engkau tidak akan mengerti kalau engkau tidak tidur.”

Nathan mengawasi Alviorita yang memandang sekelilingnya dengan kebingungan.

“Ruangan ini terlalu terang untukmu?” tanya Nathan, “Aku akan menutup tirainya.”

Nathan beranjak dari sisi Alviorita untuk menutup tirai. Ruangan itu masih terlihat terang walaupun tirai telah tertutup rapat.

“Ruangan ini tidak dapat lebih gelap lagi dari ini, Alviorita. Saat tengah hari seperti ini, sinar matahari memang sangat kuat tetapi aku yakin engkau dapat tidur nyenyak.”

Alviorita masih memandang kebingungan sekelilingnya.

Melihatnya, Nathan berkata, “Ayolah, Alviorita jangan nakal. Tutuplah matamu dan tidurlah lagi. Engkau masih lemah dan membutuhkan banyak istrirahat.”

Nathan mendekati Alviorita dan melihat kecemasan bercampur kesedihan di mata gadis itu. Nathan meraih tangan Alviorita dan berkata lembut, “Jangan khawatir, aku akan terus menjagamu di sini. Engkau tidak akan bermimpi buruk lagi selama aku ada di sisimu.”

Nathan membungkuk dan mencium dahi Alviorita. Nathan tersenyum melihat wajah terkejut Alviorita. “Selamat tidur.”

Alviorita membalas senyuman Nathan kemudian memejamkan matanya.

Nathan tersenyum melihat Alviorita kembali tertidur dengan senyum manis menghiasi wajahnya.

Sikap Alviorita sesaat lalu yang tampak lain dari biasanya membuat Nathan heran.

Kesedihan yang meliputi perasaan dan juga pikiran Alviorita dapat membuat sikap gadis itu berubah total. Gadis yang biasanya selalu cepat menanggapi segala sesuatu jadi tampak pendiam dengan segala kebingungannya.

Kesedihan Alviorita membuat Nathan tahu apa yang dimimpikan gadis itu. Nathan kembali duduk di kursi yang telah diletakkannya di samping tempat tidur Alviorita. Nathan membiarkan Alviorita kembali bertemu Ratu di alam mimpinya.

“Apa yang terjadi?”

Nathan yang tengah memandangi wajah Alviorita terkejut mendengar pertanyaan itu. Nathan masih terkejut ketika ia memalingkan kepalanya. “Alviorita hanya bermimpi buruk, Paduka.”

“Untunglah. Mendengar teriakannya tadi, kukira sesuatu telah terjadi,” kata Raja lega.

“Jangan khawatir, Paduka. Selama saya berada di sini, Alviorita akan baik-baik saja.”

“Aku percaya kepadamu, Nathan, seperti Valensia mempercayaimu.”

Raja Phyllips menarik kursi ke samping tempat tidur Alviorita. “Engkau tidak keberatan aku menemanimu, bukan?”

“Sama sekali tidak,” sahut Nathan.

“Mengapa Alviorita tadi berteriak seperti itu dan mengejutkan semua orang yang mendengarnya?” tanya Raja.

“Saya menduga Alviorita bermimpi bertemu Ratu tetapi Ratu kemudian meninggalkannya.”

“Ya, aku mengerti. Alviorita sangat mencintai Valensia. Dulu waktu Valensia meninggal Alviorita terus menangis sepanjang hari tanpa ada yang dapat menghentikannya hingga ia jatuh sakit,” Raja Phyllips menatap Nathan sambil menghela napas.

“Seharusnya dulu aku memanggilmu untuk menenangkannya seperti engkau menenangkannya saat ini, sehingga ia tidak sampai jatuh sakit. Tetapi waktu itu aku sendiri terlalu sedih untuk memikirkannya.”

“Jangan Anda pikirkan, Paduka. Saat itupun saya tidak yakin akan mampu menghibur Alviorita. Alviorita sangat sulit dijauhkan dari Ratu. Walaupun saya yang mengajaknya, Alviorita tidak mau meninggalkan Ratu kecuali Ratu yang menyuruhnya.”

“Alviorita sangat mencintai Ratu bahkan kata Maryam hingga kini ia masih mengingat wajah Ratu dengan baik.”

Raja memperhatikan wajah Alviorita yang tampak tenang dalam tidurnya.

Seperti halnya Nathan, Raja ingin mengetahui apa yang sedang dimimpikan gadis itu. Gadis itu tampak begitu tenang dengan seulas senyum yang menghiasi wajah cantiknya.

Tidak lama setelah Alviorita memasuki dunia mimpinya, Alviorita melihat Raja menghampirinya dan memaksanya memasuki ruangan yang sebelumnya belum pernah dimasukinya.

Di ruangan itu, Alviorita merasa dikurung dengan guru privat yang senantiasa mengawasinya dengan ketat. Setiap hari setumpuk pelajaran disodorkan kepadanya.

Alviorita membenci semuanya. Alviorita juga membenci Maryam yang semula selalu menemaninya bermain kini tidak pernah mau diajak bermain oleh Alviorita. Maryam hanya ingin Alviorita belajar, belajar dan belajar seperti keinginan Raja.

Sejak kepergian Ratu, dunia Alviorita berubah dari dunia yang penuh kegembiraan menjadi dunia yang penuh keseriusan.

Hanya demi pesan ibunya, Alviorita menjalani apa yang diinginkan Raja terhadapnya. Bertahun-tahun dilewati Alviorita dengan penuh kejenuhan dan keinginan untuk bebas.

Alviorita terus menekan keinginannya sendiri hingga saat Raja memberitahu sebuah kenyataan yang sangat mengejutkan Alviorita.

Bahwa dia mempunyai tunangan sejak kecil, Alviorita tidak pernah tahu bahkan tidak pernah menduganya.

Kenyataan itu sangat bertentangan dengan apa yang diinginkan Alviorita.

Sejak kecil Alviorita berangan-angan menikah dengan seorang Pangeran. Keinginannya ini disebabkan oleh dongeng-dongeng yang sering diceritakan Ratu kepada Alviorita.

Kepada Ratu, Alviorita kecil pernah berkata, “Aku ingin menikah dengan seorang Pangeran agar dapat menjadi Putri.”

Ratu Valensia tersenyum geli. “Engkau lupa, Alviorita? Engkau seorang Putri. Pangeran mana yang akan menjadikan engkau seorang Putri?”

Menyadari apa yang dikatakan Ratu benar, Alviorita sedih.

“Jangan sedih, Alviorita,” hibur Ratu, “Engkau akan menemukan Pangeranmu. Mama yakin ada Pangeran untukmu di dunia ini.”

“Sungguh?” tanya Alviorita senang, “Di mana? Aku ingin menemuinya.”

“Jangan terburu-buru, Alviorita. Pangeranmu pasti ada di suatu tempat dan suatu hari nanti engkau akan menemukannya.”

Apa yang dikatakan Ratu tetap menjadi keyakinan Alviorita selama bertahun-tahun walaupun semakin hari Alviorita menyadari mimpinya itu tidak akan pernah terwujud.

Alviorita tidak pernah berusaha menghapus keyakinan itu dari benaknya. Alviorita terus membiarkan keyakinan itu ada di dalam dirinya dan menjadi secercah harapan di antara kenyataan yang ada.

Dan saat Raja mengatakan kepadanya tentang keberadaan tunangannya itu, secercah harapan itu mulai menghilang.

Alviorita tidak mengijinkan hal itu terjadi.

Dengan segala keteguhan hatinya yang menginginkan kebebasan, Alviorita memilih meninggalkan Istana. Walaupun tahu orang-orang di Istana mencemaskannya, Alviorita tetap tidak mau memberitahukan keadaannya kepada Istana Urza.

Alviorita membiarkan kecemasan itu terus ada di hati orang-orang di sekitarnya sementara ia terus melangkahkan kaki menuju sinar lain yang muncul.

Sinar menuju kebebasan yang selama ini dicarinya. Bebas dari belajar, dari pengawal dan yang terutama bebas dari tunangannya.

Alviorita terus berjalan ke dalam sinar yang seakan tak berujung di depannya.

Alviorita membuka matanya. Samar-samar ia mendengar seseorang berkata, “Ia bangun.”

Alviorita memalingkan kepalanya ke arah datangnya suara itu.

Sesaat Alviorita tidak dapat mengenali wajah itu. Ketika Alviorita mengenali wajah itu, berbagai ingatannya muncul kembali. Alviorita ingat ia kini berada di Castle tunangannya dan wajah di hadapannya itu adalah wajah sang tunangan, Nathan.

Ketika melihat wajah Nathan yang tersenyum senang melihatnya, kemarahan Alviorita sebelum ia jatuh pingsan muncul lagi.

Nathan terkejut melihat sinar mata Alviorita yang berubah menjadi penuh kemarahan.

“Mengapa engkau membohongiku?” tanya Alviorita tajam.

“Membohongimu?” tanya Nathan tak mengerti.

“Jangan membohongiku lagi, Nathan. Aku tahu engkau membawaku ke sini dari Synghz dan sejak itu engkau membohongiku.”

Nathan mengerti apa yang dikatakan Alviorita dan ia mencoba memberi pengertian. “Aku tidak pernah membohongimu, Alviorita.”

“Engkau menipuku, Nathan,” kata Alviorita tajam bercampur sedih, “Engkau menyembunyikan semua kenyataan dariku. Engkau membuat aku mempercayai segala yang engkau katakan dan aku dengan begitu bodohnya mempercayai segala yang kaukatakan.”

“Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu,” kata Nathan menyesal.

“Kalau engkau memang tidak bermaksud seperti itu, mengapa engkau tidak mengatakan yang sebenarnya kepadaku? Mengapa engkau menyembunyikan kenyataan kalau engkau adalah tunanganku?”

Kemarahan bercampur kesedihan karena telah ditipu oleh orang yang dipercayai, membuat Alviorita ingin menangis.

“Aku memang bersalah, Alviorita. Tetapi sebelum engkau marah, dengarkan dulu penjelasanku.”

“Penjelasan apa?” tanya Alviorita tajam, “Apa yang dapat dijelaskan oleh pembohong sepertimu!?”

Seperti biasanya, Nathan tidak dapat terus berkepala dingin menghadapi Alviorita. “Dengarkan apa yang akan kukatakan, Alviorita!”

“Apa yang dapat dikatakan oleh pembohong sepertimu selain kebohongan,” kata Alviorita tajam.

Nathan yang ingin membantah Alviorita, terpana melihat air mata Alviorita yang tiba-tiba mengalir.

“Engkau tidak mengerti apa yang kurasakan, Nathan. Aku sangat mempercayaimu tetapi engkau telah menyembunyikan kebenaran itu dariku. Engkau membuatku sangat marah sekaligus sedih kepada diriku yang telah mempercayaimu dan kepada dirimu yang telah menyalahgunakan kepercayaanku.”

“Maafkan aku, Alviorita,” kata Nathan menyesal sambil meraih tubuh Alviorita.

Alviorita menepis tangan Nathan. “Jangan menyentuhku, Nathan. Aku tidak ingin disentuh oleh pembohong sepertimu.”

Nathan menarik tubuh Alviorita dan mengabaikan usaha gadis itu untuk melepaskan diri dari pelukannya. “Dengarkan aku, Alviorita. Aku tidak pernah merasa senang atas perbuatanku itu. Aku tahu aku tidak boleh menyembunyikan kenyataan ini darimu tetapi aku harus melakukannya.”

Alviorita meronta-ronta dalam pelukan Nathan. Kedua tangannya yang mengepal terus memukul dada Nathan. “Aku membencimu,” katanya di sela-sela air matanya yang terus mengalir.

Nathan mengabaikan tingkah Alviorita. “Diamlah, Alviorita, dan dengarkan apa yang akan kukatakan,” kata Nathan sambil mempererat pelukannya.

Kedua tangan Nathan yang semakin erat memeluknya, membuat Alviorita semakin sulit melepaskan diri. Tetapi gadis itu tetap meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari pelukan Nathan.

“Aku membencimu,” kata Alviorita terisak-isak sambil terus memukuli dada Nathan.

Mendengar kalimat yang diucapkan berulang-ulang itu, Nathan tahu ia tidak akan dapat membuat Alviorita diam, maka ia memutuskan untuk mengatakannya sekarang tanpa menanti Alviorita diam.

“Aku terpaksa melakukannya, Alviorita. Aku terpaksa menyembunyikan kenyataan ini darimu,” kata Nathan.

Tanpa menghentikan perlawanannya, Alviorita bertanya tajam, “Terpaksa? Jangan membohongiku, Alviorita. Aku tahu tidak ada yang dapat memaksamu.”

“Ada, Alviorita. Ada yang dapat memaksaku melakukan apa yang tidak ingin kulakukan. Dan orang itu adalah kau.”

Kalimat terakhir itu membuat Alviorita terpana.

“Aku?” tanya Alviorita setelah terdiam cukup lama.

“Ya, engkau satu-satunya orang yang mampu memaksaku,” ulang Nathan tegas.

“Mengapa?” tanya Alviorita tak mengerti, “Mengapa aku membuatmu terpaksa membohongiku?”

“Apakah engkau akan percaya kalau saat itu aku mengatakan aku adalah tunanganmu? Apakah engkau mau ikut denganku bila aku mengatakan hal itu? Apakah keluarga Rpiayh akan mempercayaiku bila aku mengatakannya? Siapa yang saat itu akan mempercayaiku?”

Alviorita semakin terdiam mendengar kata-kata tajam itu.

“Aku yang tidak dikenal tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai tunanganmu yang saat itu kehilangan ingatan. Tidak akan ada yang mempercayaiku. Mereka hanya akan menduga aku berbohong untuk mendapatkanmu, si cantik yang misterius.”

Alviorita memikirkan kata demi kata yang diucapkan Nathan dengan tajam itu.

Alviorita tahu Nathan benar. Bila saat itu Nathan tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai tunangannya, ia pasti tidak akan mempercayainya. Demikian pula keluarga Rpiayh. Lebih mudah menganggap Nathan sebagai seorang penipu daripada mempercayai kata-katanya.

“Maafkan aku,” kata Alviorita lirih.

“Semuanya bukan salahmu, Alviorita,” kata Nathan lembut, “Aku terpaksa membohongimu juga karena aku tidak ingin engkau terbebani oleh pertunangan yang tidak kausukai ini selama engkau dalam masa penyembuhan.”

“Maafkan aku, Nathan. Aku telah menuduhmu sekejam itu,” kata Alviorita sedih.

“Jangan sedih, Alviorita. Aku memang kejam. Aku telah menipumu yang telah mempercayaiku.”

“Tetapi engkau melakukannya untuk kebaikanku,” sahut Alviorita.

“Tidak apa-apa, Alviorita. Engkau tidak tahu apa-apa saat itu. Sekarang setelah engkau mengetahui alasanku menyembunyikan kebenaran ini darimu, engkau tidak boleh menuduhku lagi.”

“Tapi…”

Nathan meletakkan jarinya di mulut Alviorita. “Sudahlah, Alviorita. Engkau tahu kita mudah bertengkar hanya karena masalah kecil seperti ini. Daripada kita bertengkar lebih baik kita lupakan saja masalah ini. Dan sekarang kita pikirkan dirimu.”

“Aku?” tanya Alviorita tak mengerti.

Nathan tersenyum. “Engkau tahu, Alviorita, engkau telah tidur sepanjang hari. Engkau pasti haus sekarang apalagi setelah mengeluarkan air mata.”

Dengan satu tangannya, Nathan meraih segelas air di meja di samping tempat tidur. “Untung tadi Maryam meletakkan segelas air di sini,” kata Nathan, “Sekarang minumlah.”

Nathan menyodorkan mulut gelas itu di bibir Alviorita.

“Sekarang engkau harus beristirahat,” kata Nathan setelah meletakkan kembali gelas itu di meja.

“Tidur lagi?” tanya Alviorita manja.

Nathan tersenyum lembut. “Benar. Engkau pasti sangat lelah setelah mendapat banyak kejutan hari ini.”

“Aku tidak lelah, Nathan.”

“Tubuhmu memang tidak lelah, Alviorita tetapi jiwamu lelah. Engkau mendapat banyak kejutan hari ini, Alviorita, dan saat ini yang terbaik untukmu adalah tidur,” kata Nathan. “Jangan membantah,” tambahnya.

Alviorita menurut.

Nathan membungkukkan badannya dan mencium dahi Alviorita. “Selamat tidur.”

“Engkau akan ke mana?” tanya Alviorita ketika melihat Nathan menjauhinya.

“Menemui ayahmu,” jawab Nathan, “Aku yakin ia kesal kepadaku yang telah merebut perhatianmu darinya sehingga ia meninggalkan ruangan ini.”

“Tadi Papa ada di sini?” tanya Alviorita tak percaya.

“Tadi engkau tidak melihat ayahmu? Ayahmu duduk di sampingmu seperti aku.”

“Tidak, aku tidak melihatnya. Aku hanya melihatmu.”

“Pantas saja ayahmu meninggalkan kita,” gumam Nathan, “Aku senang engkau hanya memperhatikan aku.”

“Apa?”

“Tidak apa-apa,” jawab Nathan, “Aku akan menemui ayahmu sekarang.”

Alviorita bertanya manja, “Lalu aku?”

Nathan tersenyum geli. “Rupanya kucing liar ini benar-benar menjadi manja. Aku akan segera menemanimu, Little Pussycat.”

“Aku telah menemukan sifat manja kucing, the Devil Dog,” kata Alviorita sambil tersenyum, “Aku menunggumu.”

Tanpa menanti Alviorita tertidur, Nathan segera mencari Raja.

Nathan segera menuju Ruang Kerja. Nathan tahu ia akan menemukan Raja di sana. Di Ruang Kerja itulah tadi Raja berbincang dengan orang tuanya.

Ketika menuruni tangga, Nathan bertemu Maryam. Untuk meyakinkan dirinya, Nathan bertanya, “Di mana Paduka berada?”

“Saya melihat Paduka berjalan ke Ruang Kerja beberapa saat yang lalu,” jawab Maryam.

“Terima kasih, Maryam.”

“Tuan Muda,” panggil Maryam.

Nathan yang hendak melanjutkan perjalanannya berhenti dan membalikkan badan ke Maryam yang terlihat cemas.

“Bagaimana keadaan Tuan Puteri? Apakah ia baik-baik saja?” tanya Maryam cemas.

“Jangan khawatir, Maryam. Alviorita baik-baik saja. Sekarang ia sedang tertidur,” jawab Nathan.

Nathan tahu wanita tua itu mengkhawatirkan teriakan Alviorita tadi. “Jangan khawatir. Alviorita tadi hanya bermimpi buruk. Sekarang ia dapat tidur nyenyak lagi.”

“Apakah saya boleh melihat Tuan Puteri?”

“Tentu saja, Maryam. Mengapa aku harus melarangmu?” jawab Nathan, “Aku senang sekali engkau mau menjaga Alviorita sementara aku berbicara dengan Raja.”

“Terima kasih, Tuan Muda,” kata Maryam senang.

“Aku juga berterima kasih kepadamu, Maryam,” kata Nathan, “Sekarang segera temui Alviorita dan aku akan segera menemui Raja.”

Maryam membungkukan badannya kemudian bergegas ke kamar Alviorita.

Nathan tersenyum geli melihat wanita tua itu berlari-lari kecil menuju kamar Alviorita. Wanita itu seperti takut tidak dapat bertemu Alviorita.



*****Lanjut ke chapter 16

No comments:

Post a Comment