Wednesday, February 25, 2015

Aileen-Chapter 15

“Evans!”

Pandangan Evans mendingin. Ia tidak menyukai kehadiran Geert di pesta pertunangannya. Andai bukan karena ia adalah kakak ipar Aileen, ia tidak akan mengundangnya.


“Selamat,” Geert menepuk punggung Evans dengan gembira, “Semoga engkau berbahagia bersamanya.”

Evans tak senang mendapat ucapan itu.

“Jujur saja, aku iri padamu,” Geert berkata tiba-tiba, “Aku dulu sangat mencintai Aileen tapi Aileen tak pernah mencintaiku. Ia selalu menolak cinta semua lelaki tanpa alasan. Tapi aku tahu ia telah mencintai seseorang dan sekarang aku baru sadar bahwa pria itu adalah kau. Kau sungguh berutung.”

Evans tidak pernah mendengarnya.

“Dulu aku hampir mendapatkan Aileen tapi aku termakan bujukan.”

Evans tahu cerita itu.

“Aku berpikir aku menemukan pasangan hidupku di sini tapi aku salah. Sekarang aku menyesal telah melepaskan Aileen. Sekarang aku sadar Denise hanyalah pelarian putus asaku karena Aileen selalu menolak cintaku. Aileen adalah gadis yang baik. Aku tahu itu. Ia sangat berbeda dengan kakaknya yang hanya mau memikirkan diri sendiri itu. Aku benar-benar menyesal sekarang.”

“Geert!”

Geert memalingkan kepala. “Sayang aku tidak bisa berbicara lebih lama denganmu. Nyonya mau menang sendiri itu memanggilku. Lain kesempatan kita berbicara lagi.”

Evans membalas lambaian tangan kakak iparnya. Ia tersenyum bahagia. Dalam hati ia berpikir mungkin ia bisa berteman dengan Geert. Evans yakin ia pasti bisa. Ia dan Geert sepertinya mempunyai banyak kesamaan.

“Apa yang kau tertawakan?” Aileen yang baru saja tiba keheranan.

Evans berpaling pada Aileen yang memandangnya dengan heran. “Tidak ada,” Evans merangkulkan lengannya di sekeliling pinggang Aileen. Sekarang ia bisa bernapas lega.

Aileen memperhatikan Evans dengan kening berkerut.

“Pengantinku tidak boleh seperti ini.”

“Aku belum menjadi pengantinmu,” protes Aileen.

Evans ingin langsung menikahi Aileen begitu ia membawa Aileen ke hadapan orangnya. Akan tetapi Kathy, ibu Evans, memutuskan mereka harus bertunangan terlebih dahulu setidaknya selama setahun. Tentu saja Evans memprotes hingga Kathy harus memberikan ultimatum, “Ambil Aileen sebagai tunanganmu dahulu atau jangan bermimpi menikahi Aileen!" dan kepada Aileen, ia berkata, “Aileen, kau akan tinggal bersamaku sampai ia mengambilmu sebagai istrinya."

“Tidak,” Evans menyembunyikan Aileen di belakangnya, “Ia akan tinggal denganku.”

“Apa yang kaupikir akan aku lakukan pada Aileen?” Kathy dibuat kesal oleh ketidak percayaan putranya, “Aku tidak akan melepaskannya pada pria lain sampai kau mengambilnya sebagai istri.”

Aileen merasa bersalah. Ia sadar ia adalah pusat pertengkaran ibu dan anak ini.

Aileen memahami keinginan Evans untuk tidak berpisah dengannya. Setelah perpisahan selama setengah tahun terakhir ini, ia pun tidak ingin berpisah dengan Evans. Namun Aileen juga memahami Kathy. Ia adalah seorang wanita tradisional yang menyanjung kehormatan. Ia tidak mau mereka menikah dengan terburu-buru. Ia tidak mau mereka mempunyai bayi sebelum menikah. Aileen juga sadar skandal yang disebabkan oleh kakaknya, Denise, telah membuat cukup masalah untuk keluarga Renz. Tentu setelah skandal tersebut Kathy tidak mau ada skandal lagi terutama skandal Evans Renz.

Evans telah berjanji padanya untuk tidak melampaui kain yang memisahkan tubuh mereka hingga mereka bersatu dalam janji suci. Aileen mempercayai Evans. Hari itu… wajah Aileen memanas teringat hari Evans menemuinya di rumah Wilder.

“Aileen,” Kathy memanggil lembut, “Kemarilah, putriku,” ia mengulurkan tangan.

Aileen terkejut oleh panggilan itu. Sebuah perasaan hangat mengembang di dadanya. Sepanjang ingatannya, ibu kandungnya tidak pernah memanggilnya seperti itu. Aileen mencengkeram lengan Evans kuat-kuat - takut air matanya jatuh.

Evans melihat mata Aileen yang membasah. Ia tidak menduga hati Aileen akan tergetar oleh panggilan lembut seorang ibu. Ia telah mendengar bagaimana orang tua Aileen menganaktirikan putrinya ini. Akan tetapi ia tidak pernah mengira Aileen haus akan cinta seorang ibu. Ia terlihat begitu tegar dan kuat. Evans tersenyum. Aileen adalah porselen yang cantik dan kuat namun mudah hancur.

“Pergilah, Aileen,” ia mendorong Aileen ke arah orang tuanya.

Kaki Aileen melangkah ke arah Kathy dan ketika Kathy menggenggam tangannya, barulah ia sadar ia telah dipisahkan dari Evans.

“Aku akan menurutimu. Aku akan mengambil Aileen sebagai tunanganku tapi tidak lebih dari sebulan!” Evans memutuskan.

“Setahun!” Kathy bersikeras.

“Tidak. Sebulan!” Evans juga tidak mau kalah.

Devin sadar perdebatan ini tidak akan ada akhirnya. “Setengah tahun lebih dari cukup untuk mempersiapkan pernikahan kalian,” ia berkata, “Kalian akan menikah setengah tahun setelah pertunangan kalian.”

Baik Evans maupun Kathy tidak suka mendengar pendapat itu.

“Kalian boleh berdebat sampai kalian puas. Akan tetapi pertunangan kalian tidak akan segera dilangsungkan bila kalian tidak segera mengambil keputusan,” ayah Evans kembali mengingatkan, “Mari, Aileen,” ia mengambil tangan Aileen, “Aku akan menunjukkan kamarmu.”

“Baik!" Evans dan Kathy menyahut bersaman. “Setengah tahun.”

“Aku akan mengumumkan pertunanganku dengan Aileen saat ini juga,” Evans memutuskan.

“Kau sudah gila!?” protes Kathy, “Aileen baru saja tiba. Ia pasti sudah lelah. Kau juga belum menyiapkan cincin pertunanganmu.”

“Aileen sudah mengenakannya sejak berbulan-bulan lalu. Aku telah memberitahumu, ” Evans mengingatkan.

Baik Kathy dan Devin terkejut.

“Benarkah itu, Aileen?” tanya Kathy.

Aileen mengangguk dengan wajah memerah. Jari jemarinya memainkan cincin bermata berlian di jari manis tangan kanannya. Cincin ini selalu tersemat di jari manisnya. Ia hanya menyembunyikan cincin ini ketika ia pulang ke rumahnya setengah tahun lalu.

Aileen tidak mau ibu dan kakaknya yang selalu haus akan perhiasan mewah melihatnya. Aileen tahu bila mereka melihatnya, mereka akan terus memberi komentar negatif hingga membuat Aileen menyerahkan cincin yang menurut mereka tidak pantas untuknya kepada salah seorang dari mereka.

Mata tajam Kathy menilai cincin di jari manis Aileen. “Seleramu tidak buruk,” komentarnya tajam pada Evans, “Tapi ia lebih pantas mendapatkan sesuatu yang lebih baik.” Lalu ia berkata pada Aileen, “Aku akan membawamu ke kamarmu. Mulai hari ini rumah ini adalah rumahmu dan kau harus memanggilku Mama.” Ia membawa pergi Aileen.

“Apa maksud Mama? Aku tidak tahu lagi ia merestui pernikahanku dengan Aileen atau tidak,” Evans memprotes ketika kedua wanita itu sudah meninggalkan ruang keluarga.

“Kathy selalu mengagumi Aileen. Ia sangat gembira kau membawa pulang Aileen. Ia ingin mempunyai seorang putri seperti Aileen.”

“Sekarang ia mendapatkan Aileen di tangannya,” Evans mulai menyesal membawa Aileen pulang ke rumah orang tuanya.

Devin tertawa. “Ibu mertuamu bukan seorang yang mudah dihadapi.”

Ibu mertua… Ya, cara ibunya memperlakukan Aileen bisa dikatakan seorang ibu yang melindungi putrinya. Berbincang tetang mertua, “Apa yang harus kita katakan pada LaSalle?” Evans, secara pribadi, tidak peduli pada keluarga yang telah membuang Aileen itu. Akan tetapi, Aileen tidak akan menyukainya. “Setelah gosip yang disebarkan wanita sial itu,” tentu saja ia tidak akan menyebut Denise seperti ini di hadapan Aileen, “Hal terakhir yang ingin aku lakukan akan berhubungan dengan mereka.”

“Jangan khawatir,” tanggap Devin, “Ibumu pasti akan mengatasi mereka dengan baik.”

Dan itulah yang Kathy lakukan, ia menyebarkan berita bahwa putranya, Evans Renz dan Aileen LaSalle telah menjalin hubungan sejak lama. Ia bahkan menyebutkan gadis dalam foto skandal Evans Renz setahun lalu adalah Aileen LaSalle. Kelanjutan gosip lama Pacar Baru dan yang Terakhir Evans Renz tentulah jauh lebih menarik daripada gosip Perceraian Denise LaSalle dikarenakan Evans Renz. Apalagi bila gosip tersebut didukung oleh foto-foto lama, foto-foto terbaru mereka, cinta sang calon ibu mertua yang tak tertutupi kemudian diakhiri dengan pesta pertunangan yang cukup meriah.

Evans sempat memprotes lamanya proses persiapan pertunangannya. Akan tetapi, ia sangat puas ketika Denise Balkanende terdesak untuk merestui pernikahan adiknya dengan Evans Renz di depan umum. Fanny LaSalle, seperti prediksi ibunya, tidak menyukai pernikahan Aileen LaSalle ke keluarga Renz. Akan tetapi ia menelannya demi hubungan keluarga LaSalle dan Renz.

Kepada kalangan umum, Kathy beralasan demi mempersiapkan Aileen LaSalle sebagai seorang Renz, Aileen tinggal bersamanya. Pada kenyataannya, selain ingin tinggal bersama putri terbarunya, Kathy juga melindungi Aileen dari ibu kandungnya yang ingin mendekatinya demi harta benda. Pada saat bersamaan, ia menghargai hubungannya dengan Fanny LaSalle sebagai besannya.

Untuk inilah Evans terkagum-kagum pada ibunya. Pada saat yang bersamaan, ia sering khawatir pengaruh ibunya akan merubah kepolosan Aileen.

Membawa Aileen keluar dari rumah orang tuanya bukanlah alasan utama ia ingin segera membawa Aileen pulang. Evans merangkulkan tangan di pinggang Aileen dan menariknya mendekat.

“Belum tapi pasti,” Evans membenarkan dan ia memperingatkan, “Aku tidak akan membiarkanmu melepaskan diri.”

“Melepaskan diri dari mana?”

“Jangan mencari masalah, Aileen,” Evans geram melihat kepolosan Aileen.

Aileen tertawa geli.

Tiba-tiba Evans sadar gadis itu sengaja. “Kau akan merasakan pembalasannya nanti,” ia berjanji.

“Aku telah berjanji pada Mama akan pulang ke rumah.”

“Tentu saja kau akan pulang ke sana,” Evans tidak menutupi kekecewaannya, “Kau tidak diperbolehkan tinggal di tempatku sampai kita menikah?”

“…,” Aileen tidak tahu bagaimana memulainya, “Bukan Mama Kathy tapi Mama Fanny, ibu kandungku.”

Alis mata Evans berkerut, “Kau akan pulang ke sana? Apakah Mama tahu?”

Aileen mengangguk.

Evans tidak menyukainya. Ibunya pasti tahu apa yang dilakukannya.

“Jangan khawatir,” Aileen segera menambahkan, “Aku tidak akan kabur lagi. Besok Mama Kathy akan menjemputku. Ia ingin aku menemaninya ke sebuah acara sosial sebagai tunangan Evans Renz. Katanya, setelah menjadi seorang Renz, aku tidak akan mempunyai banyak waktu luang untuk menghabiskan waktu bersama keluargaku.”

Tentu saja bukan itu yang Evans khawatirkan. Sepanjang pesta ini tidak ada keganjilan dalam interaksi Fanny LaSalle dengan putrinya. Denise juga terlihat lebih tertarik pada gaun yang dikenakan Aileen dan cincin pertunangannya daripada Aileen sendiri. “Apakah kau akan baik-baik saja?”

Evans khawatir.

“Mama masih suka membandingkan aku dengan Denise,” ujar Aileen. “Tetapi ia tidak akan berusaha memutuskan pertunangan kita. Mama Kathy telah mengajaknya membuat beberapa keputusan mengenai pernikahan kita. Ia tahu ia tidak bisa menelan kata-katanya sendiri.” Ironisnya, Aileen tahu, karena Kathy Renz.

Bahkan setelah menerima pertunangannya dengan Evans, ibunya masih suka membandingkannya dengan Denise. Ia sering berkata, ‘Bila Denise bertunangan dengan Renz, ia…’ Satu-satunya perbedaan adalah Aileen tidak lagi merasa sesedih dulu setiap kali mendengarnya. Ia masih kecewa dengan sikap ibunya akan tetapi ia lebih dapat menerimanya sebagai angin lalu.

Aileen menyadari jauh di dalam hatinya ia lebih mencintai Kathy Renz sebagai seorang ibu daripada ibu kandungnya. Ironis tetapi inilah kenyataan yang membuat dada Aileen lebih terbuka untuk menerima perbedaan perlakukan orang tuanya terhadapnya.

“Oh, Aileen.” Ia akan memastikan malam ini Aileen pulang larut malam.

“Jangan terlalu dipikirkan,” Aileen tersenyum, “Aku telah terbiasa mendengarnya.”

“Aku akan menjemputmu begitu kau ingin pulang,” Evans berjanji.

Aileen tertawa, “Kau bagaikan ayah yang putrinya pergi ke kamp militer.”

“Apa boleh buat, aku ingin kau menghabiskan lebih banyak waktu bersamaku tetapi kau lebih memilih menghabiskan waktu bersama Mama.”

“Mama kesepian,” Aileen membela calon ibu mertuanya, “Siapa suruh kau jarang pulang.”

“Jadi semua ini salahku?” Evans bertanya lalu ia menyerah. “Terserah pada kalian. Gunakan baik-baik kesempatan kalian karena setelah pernikahan kita, kau tidak punya kesempatan untuk menemui Mama.”

Aileen hanya melihat Evans dengan penuh tanda tanya.

“Aku sudah meminta Papa untuk memberikan rumah di pulau itu sebagai hadiah pernikahan kita.”

Hanya ada satu rumah di atas pantai pribadi yang pernah Aileen datangi. “Apakah kita akan tinggal di sana?”

“Benar tapi tidak setiap saat.”

Aileen melihat Evans dengan bingung. Bila itu adalah rumah mereka, mengapa mereka tidak bisa tinggal di sana selamanya?

“Kurasa aku sudah menegaskan aku tidak akan melepaskan mata darimu. Kau akan ikut bersamaku ke mana pun aku pergi.”

“Tapi…”

“Kau akan menjadi sekretaris pribadiku,” Evans menegaskan, “Bukannya kau ingin menjadi seorang sekretaris?”

“Benar, tapi,” bibir Evans sudah mendarat di bibir Aileen sebelum Aileen melanjutkan protesnya.

“Kadang kala kau memang bisa menjadi seorang yang keras kepala dan banyak ‘tetapi’,” komentar Evans, “Di saat seperti ini aku lebih suka Aileen yang lemah pendirian.”

Aileen hanya tersenyum.

“Aku lebih mencintai Aileen yang selalu tersenyum seperti ini,” Evans tersenyum lebar.

Aileen dengan sengaja memasang wajah sedih.

“Sebaiknya kau bersiap-siap, kau tidak akan punya kesempatan untuk menangis,” Evans memperingati.

“Apa mereka tidak bisa berhenti pamer!?” komentar Denise tajam melihat sepasang tunangan baru itu.

Geert hanya tersenyum antara cemburu dan bahagia. Ia cemburu melihat kemesraan mereka. Pada saat yang bersamaan, ia turut berbahagia untuk kebahagiaan Aileen.

“Mereka benar-benar tidak terpisahkan,” komentar Kathy Renz.

“Benar,” Fanny pun sependapat. “Bila kau tidak memisahkan mereka, aku tidak akan kaget bila Aileen sekarang sudah hamil. Itu akan sangat memalukan keluarga kita.”

Tentu saja hingga saat ini Fanny tidak pernah berhenti memberi Aileen komentar negatif.

“Aku tidak keberatan bila mereka mempunyai bayi sekarang,” Kathy terang-terangan membela Aileen, “Aileen terlalu kuno untuk satu hal ini. Aku sering menggodanya untuk menerima rayuan Evans dan segera hamil.”

Devin tahu tentu saja itu tidak pernah terjadi. Akan tetapi Kathy yang sudah menganggap Aileen sebagai putri kandungnya tidak terima bila orang lain menjelekan Aileen.

Komentar itu membuat Fanny seketika tutup mulut.

Tidak mau terlibat dengan pertukaran komentar antara dua ibu ini, Devin berkata pada Josef LaSalle, “Ikutlah aku, Josef. Aku akan memperkenalkanmu pada rekan bisnismu.” Dan pada kedua wanita di dekatnya, “Silakan lanjutkan perbincangan kalian, ladies. Perbincangan bisnis di antara para pria pasti tidak akan menarik perhatian kalian.”

Kathy memperhatikan kepergian suaminya bersama Josef. Ikatan dengan keluarga Renz tidak dapat diingkari telah membawa keuntungan pada bisnis keluarga LaSalle. Ia sadar inilah yang membuat Fanny LaSalle menerima pernikahan putranya dan Aileen. Pun, bila mereka tidak menyetujuinya, Kathy tetap akan mempersatukan keduanya.

“Aku tidak sabar menimang cucuku dari Aileen,” komentar Kathy melihat Evans yang tidak terpisahkan dari Aileen. “Apa yang Evans lakukan!??” Kathy bertanya dengan nada tinggi ketika ia melihat Evans mengangkat Aileen.

“Evans, apa yang kau lakukan pada Aileen!??” ia berjalan cepat ke arah keduanya.

“Kepala Aileen pening jadi aku akan membawanya beristirahat di dalam,” jawab Evans.

Kathy terperanjat. “Oh, segera bawa Aileen beristirahat,” lalu kepada pelayan restauran, ia memerintah, “Kau, bawa mereka ke kamar terbaik dan panggil dokter.”

“Baik, Ma'am,” sang pelayan segera berlari membawa nampan berisi piring kotor di tangannya.

“Evans…,” protes Aileen.

“Ssh,” Evans memperingati dan membawa Aileen melangkah ke elevator.

“Kepalaku sama sekali tidak pening,” akhirnya Aileen memprotes.

“Aku tahu,” ujar Evans.

Aileen memperhatikan Evans menekan tombol lantai teratas hotel bintang lima tempat pesta pertunangan mereka.

“Turunkan aku,” pinta Aileen.

“Tidak sebelum kita sampai.”

Pintu elevator terbuka dan Evans melangkah dengan penuh percaya diri.

“Kau tahu ke mana tujuan kita?” Aileen bertanya-tanya.

Evans hanya tersenyum.

“Selamat atas pertunangan Anda, Mr. Renz dan Miss La Salle,” seorang pelayan menyambut kehadiran mereka. “Saya telah mempersiapkan semuanya sesuai permintaan Anda, Mr. Renz.”

Aileen semakin bertanya-tanya namun ia tetap menanggapi dengan sopan, “Terima kasih.”

Evans melangkah ke dalam kamar. “Tinggalkan kami berdua.”

“Baik, Tuan Renz,” pelayan itu membungkuk.

“Oh,” Evans membalik badan, “Katakan pada pelayan restoran untuk membatalkan kamar yang ia pesan. Beritahu orang tuaku aku sudah menangani semuanya.”

“Saya mengerti. Selamat beristirahat, Mr. Renz dan Miss LaSalle,” ia menutup pintu dengan hati-hati.

“Kau merencanakan semua ini!” Aileen menjatuhkan vonisnya.

Evans tersenyum nakal. Ia duduk di sofa panjang di President Suite pesanannya dan menurunkan Aileen di pangkuannya.

“Kau!”

“Aku sudah ingin meninggalkan tempat itu semenjak melihatmu siang ini,” Evans menjatuhkan kepalanya di dada Aileen, “Aku merindukanmu. Persiapan pertunangan ini benar-benar membuatku gila. Bila aku memikirkan persiapan pernikahan kita, aku tidak ingin menikahimu. Aku tidak sanggup tidak melihatmu selama berhari-hari.”

“Mama akan sangat kecewa. Ia telah memesan baju pengantinku.”

Evans gembira mendengarnya, “Itu artinya kau tidak akan menghilang selama berhari-hari demi berburu gaun dan sebagainya.”

“Aku khawatir itu tidak akan terjadi. Mama telah mempersiapkan daftar tempat yang perlu aku kunjungi untuk menemukan perlengkapan lainnya. Aku juga harus membantu Sigrid menemukan gaun bridesmaid-nya. Ia telah berjanji akan menjadi pengiringku di pernikahan kita sebagai ganti tidak dapat menghadiri pesta ini.”

Evans putus asa mendengarnya.

“Ia ingin memastikan kau didampingi pengantin yang sempurna.”

“Tidak," Evans membenarkan, “Ia ingin kau menjadi seorang pengantin yang akan dibicarakan selama berpuluh-puluh tahun mendatang. Sekarang, aku ingin kau memiliki kenangan yang bisa kaukenang seumur hidupmu,” ia meraih sakunya.

Aileen terperanjat melihat kotak merah beludru di tangan Evans. “Evans, aku,” tangan Evans menghentikan protes Aileen, “Kau akan membutuhkannya.”

Aileen menerima kotak itu dan membukanya. Sebuah kunci! “Apa artinya ini?” Kekecewaan bercampur tanda tanya tampak begitu jelas di wajahnya. “Itu adalah kunci ke ruangan itu,” ia menunjuk pintu yang berlawanan dari pintu masuk. “Gantilah bajumu di sana. Aku telah mempersiapkan baju gantimu di atas tempat tidur. Kemudian temui aku di atas.”

Kala itulah Aileen menyadari kemewahan kamar tempat mereka berada.

Dua tangga masing-masing di sisi kanan dan kiri pintu yang ditunjuk Evans melengkung elegan ke lantai di atasnya. Desain pagarnya yang unik bersinar di bawah sinar matahari yang masuk melalui jendela besar di hadapan mereka. Di belakang Evans, Aileen melihat minuman-minuman beralkohol terjajar rapi di bar.

“Aku tidak keberatan bila kau bergabung bersamaku dengan tubuh seksimu yang tak terbalut selembar kain pun,” Evans menarik resleting gaun Aileen.

“A-aku akan mengganti bajuku,” Aileen meloncat dan berlari ke dalam kamar.

Evans tertawa melihatnya. “Sekarang…,” ujarnya melepaskan dasi kemejanya, “Persiapan berikutnya,” dan ia melangkah ke pintu di atas kamar Aileen menghilang.

Aileen menatap heran bikini di atas tempat tidur. “Aku harus mengenakan bikini ini?”

‘Aku tidak keberatan bila kau memamerkan tubuhmu tanpa selembar kainpun,’ teringat akan godaan Evans, Aileen melepaskan gaunnya.

Tak lama kemudian Aileen telah berdiri di depan pintu di atas kamar ia berganti baju. Ia telah menuruti perintah Evans untuk mengganti bajunya. Akan tetapi, ia tidak akan berkeliling tempat ini hanya dengan bikini yang hampir tidak menutupi tubuhnya. Aileen telah berusaha mencari handuk untuk menutupi tubuhnya. Akan tetapi, ia tidak menemukan apa pun untuk menutupi tubuhnya yang hampir telanjang kecuali selimut aksen di bagian bawah kasur.

Dengan selimut aksen itulah Aileen membalut tubuhnya.

Aileen ragu-ragu, haruskah ia mengetuk pintu? Bagaimana bila di dalam ruangan ini adalah kamar dan Evans sedang berganti baju?

Tunggu dulu, Aileen tersadar. Apa maksud Evans membuatnya berganti baju ke bikini yang dapat berfungsi sebagai pakaian dalam dan membuatnya masuk ke dalam kamarnya? Ia bukan seorang domba yang akan masuk ke mulut serigala dengan suka rela!

“EVANS RENZ!?” Aileen membuka pintu dua daun itu lebar-lebar. “Apa tujuan…”

Kelopak bunga mawar merah berjatuhan bagaikan hujan dari atas kepala Aileen.

Aileen terperangah melihat hujan kelopak bunga mawar merah di depannya. Matanya langsung terpaku pada permukaan kolam renang yang tertutupi oleh kelopak bunga mawar. Dari tempatnya berdiri Aileen bisa melihat kolam renang itu menjulur dari dalam ruangan hingga bergantung di luar dinding hotel. Tidak ada satu pembataspun antara sisi kolam dan udara. Kaki Aileen langsung lemas memikirkan setengah dari kolam renang tergantung di udara.

“Aku sudah tahu kau akan mengenakan ini,” Evans memegang kedua tangan Aileen untuk menopang gadis itu.

“Evans… kau tidak bermaksud membuatku berenang di sana bukan?” Aileen berharap.

“Aku ingin kau melihat sesuatu dari sana.” Demi getaran yang ia rasakan, Evans menambahkan, “Bersamaku.”

“Tuan Puteri, apakah Anda ingin berendam kolam bunga mawar?” Evans melepas selimut pembalut tubuh Aileen dan membawanya ke dalam kolam renang. Seperti biasanya Aileen kalah.

Butuh waktu lama untuk Aileen terbiasa dengan kolam menggantung itu. Evans hampir putus asa ketika matahari sudah begitu rendah dan Aileen masih menolak melangkahkan kaki ke bagian kolam yang menggantung di udara. Ia sudah siap membawa paksa gadis itu ketika Aileen bertanya, “Bagaimana pemadangan matahari terbenam di sana?”

“Maksudmu langit yang memerah itu?” Evans bertanya balik. Ia segera menyadari kesempatan tersebut, “Sangat luar biasa. Kau tidak akan dapat melihat pemandangan ini di tempat lain.”

“Evans, ulurkan tanganmu,” pinta Aileen.

Evans mengulurkan tangan dan mendekati Aileen.

Begitu Aileen menerima uluran tangannya, ia menarik Aileen ke pelukannya dan membawanya ke tepi kolam.

“Evans!” Aileen memprotes.

“Lihat, Aileen,” Evans segera mengalihkan perhatian Aileen. Tangannya memeluk Aileen erat-erat – merangkum tubuh Aileen ke dadanya. Walaupun sistem pemanas meregulasi air kolam pada suhu yang hangat, angin dingin di bagian kolam terbuka ini tidak menjamin kehangatan Aileen.

Aileen menatap matahari yang perlahan-lahan menghilang di balik gunung di kejauhan. Aileen menyandarkan punggungnya ke dada Evans.

Ini benar-benar pemandangan yang indah.

Dari semua pria yang ia kenal, hanya Evans yang akan merencanakan sesuatu yang khusus untuk tunangannya di pesta pertunangan mereka.

Suara ledakan diikuti sinar merah di langit malam mengagetkan Aileen.

Aileen mengalihkan matanya ke kembang api yang menghiasi langit malam. Ia terperangah melihat setiap kembang api yang meledak di angkasa berbentuk hati. Ia tidak pernah melihat kembang api yang seunik ini. Betapa beruntungnya mereka bisa menikmati kembang api ini. Baru saja Aileen berpikiran demikian ketika kembang api berikutnya membentuk kata-kata,

Selamat pada Tuan Renz dan Nona LaSalle.

Aileen membelalak.

“Aileen.” Entah kapan Evans berpindah ke sisinya. Tangannya mengambil tangan Aileen dan menggenggamnya dengan lembut. “Aku, Evans Renz, mengambil engkau, Aileen LaSalle, sebagai istri sahku, mulai dari hari ini baik dalam kebahagiaan, kesusahaan, kekayaan, kemiskinan, dalam masa-masa sakit maupun sehat hingga kematian memisahkan kita.”

“Evans…,” Aileen kehilangan kata-katanya. Kata-kata yang diutarakan Evans adalah sebuah janji pernikahan.

“Apakah kau bersedia menjadi istriku, Aileen LaSalle?”

“Kau telah melamarku berkali-kali. Aku juga telah resmi menjadi tunanganmu, apakah itu masih belum cukup?” Aileen kehilangan kata-katanya oleh perasaan yang meluap di dadanya.

Evans mengerang. “Kau benar-benar perusak semua rencanaku. Ketika aku mengejarmu, kau kira aku mendekati Sigrid. Ketika aku melamarmu, kau kira aku hanya main-main. Sekarang aku sedang membuatmu menjadi istriku, kau kira aku sedang melamarmu.”

“Pernikahan kita masih beberapa bulan mendatang,” Aileen mengingatkan.

“Lalu?” tanya Evans, “Tidak ada yang mengatakan aku tidak boleh mengambilmu menjadi istriku saat ini juga. Kau kira aku akan menanti setahun lagi?”

Aileen tertawa mendengarnya. Evans benar-benar kehilangan kesabarannya ketika persiapan pengumuman pertunangan mereka memakan waktu jauh lebih lama dari rencananya. Evans hanya ingin membuat pengumuman. Sedangkan Kathy ingin mengadakan pesta. Jamuan malam inilah yang membuat pengumuman pertunangan mereka memakan waktu berbulan-bulan setelah Aileen diboyong pulang ke kediaman Renz.

Evans dibuat gemas dibuatnya. “Aileen LaSalle, apakah kau bersedia mengambil aku, Evans Renz, menjadi suamimu mulai dari hari ini hingga kematian memisahkan kita?” Ia menyingkat sumpah pernikahan versinya.

“Oh, Evans,” Aileen terharu, “Kau adalah satu-satunya pria yang kucintai. Aku bersedia menjadi istrimu. Aku akan selalu berada di sisimu. Aku akan berjuang bersamamu melewati hari-hari sulit mendatang. Aku akan mendampingimu melewati hari-hari bahagia mendatang.”

“Katakan lagi,” tuntut Evans.

“Aku bersedia menjadi istrimu.”

“Sebelum itu.”

“Sebelumnya?”

“Kau tidak pernah mengatakannya padaku. Katakan lagi, Aileen,” pinta Evans.

Aileen teringat ucapannya dan wajahnya memerah. Ia masih tidak terbiasa mengucapkan tiga kata yang sering diucapkan Evans itu. Wajah Evans menunjukkan tuntutan seriusnya dan membuat Aileen tidak dapat menghindar. “Aku mencintaimu,” bisiknya perlahan.

Evans merogoh saku baju renangnya dan menyematkan cincin di jari manis tangan kiri Aileen.

“Evans, aku sudah mempunyai cincin,” protes Aileen.

“Itu adalah cincin tunangan kita warisan Mama,” Evans merujuk cincin di tangan kanan Aileen.

“Aku sudah mempunyai cincin darimu.”

“Itu adalah cincin pertunangan kita dariku. Ini,” Evans mengambil tangan kiri Aileen, “Adalah cincin kawin kita.” Ia mencium cincin di tangan Aileen yang ia sematkan.

Aileen tersenyum bahagia. Dadanya siap meledak oleh kebahagiaan dan cinta. Ia mendapatkan lebih dari yang ia bayangkan.

Aileen berterima kasih pada keluarganya karenanya. Mereka telah membuatnya menjadi seorang wanita mandiri. Keluarganya pula yang telah memungkinkan hari ini terjadi. Tanpa campur tangan orang tuanya, Geert tidak akan menikahi Denise dan Evans tidak akan menemuinya. Aileen sangat berterima kasih untuknya melebihi semua yang telah mereka perbuat untuknya.

Ia telah menempuh jalan panjang untuk menemukan pria yang benar-benar ia cintai, pria yang ia ingin melewati hari-hari mendatang bersama, pria yang benar-benar mencintainya pula.

Aileen melingkarkan tangannya di leher Evans dan menjatuhkan kepalanya di dada pemuda itu. Ia telah menemukan sesuatu yang memang untuknya.

8 comments:

  1. Aaaaa is this the end?? Really?? Gak bisa bayangin evans menikah dikolam renang.. Pasti bener bener sweet bangeet.. Makasiih kakak udah bikin ending yang kayak gini.. Apa ada epilog?? Hehehe aku tunggu triloginya kak sherls..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sherls juga tidak menyangka Evans akan menikahi Aileen di kolam renang. =)

      Kok bisa? Sherls tidak merencanakannya. Cerita tersebut terus bergulir dalam kepala saya. Saya tidak pernah merencakan setiap detail karya-karya saya. Semuanya bergulir di kepala Sherls seperti movie. Suatu hari nanti saya akan membagi bagaimana saya menulis setiap karya saya.

      Cheers,
      Sherls

      Delete
  2. Terima kasih atas ceritany yg begitu bagus n menarik...
    Saya tunggu kelanjutan karya anda...
    :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Siti Fachriah. Maaf karya saya yang terbaru mungkin agak tersendat-sendat. Seperti yang saya utarakan, saya disibukkan oleh usaha mencari kerja. Semoga Siti bisa memakluminya. =)

      Cheers,
      Sherls

      Delete
  3. akhirnya... selamat untuk aileen dan evans yang akhirnya nikah juga. :D
    makasih kak sherls atas selesainya aileen. tapi aku nggak rela pisah dari mereka berdua. nambah epilog dong kak :) hehehe

    wie

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Wie,

      Terima kasih sudah mengikuti Aileen hingga akhir. Saat ini movie dalam kepala Sherls sudah berpaling pada karya trilogi Sherls. Bila suatu hari nanti kelanjutan Aileen muncul dalam kepala saya, saya akan menuliskannya dalam kata-kata dan membaginya kepada para pembaca termasuk Wie.

      Semoga Wie juga menyukai karya trilogi saya.

      Cheers,
      Sherls

      Delete
  4. Bangus keren pokoknya is the best banget ceritanya, makasih ya sherls udah buat cerita yg bagus banget ^^ aku tunggu karya-karya kamu selanjutnya :)

    ReplyDelete