Thursday, June 4, 2009

Kisah Cinta-Chapter 19

“Sudah cukup, Halbert!” Ratu tidak dapat mengendalikan emosinya. “Kapan engkau sadar kau adalah seorang Pangeran!?”

Halbert tidak menyalahkan ibunya. Kesalahan memang terletak padanya. Akhir-akhir ini ia tidak pernah berkencan namun ia juga tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia juga tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran khusus untuk mempersiapkannya menjadi seorang Raja.

“Kapan kau akan bangun dari mimpi-mimpimu itu!?” bentak Ratu. “Kau sudah bukan anak kecil lagi. Bagaimana kau akan memimpin kerajaan ini kalau kau tidak segera sadar!?”

“Aku tahu, Mama. Aku tahu!” Halbert juga tidak menginginkannya namun ia tidak bisa menghentikan kecemasannya.

Sejak pesta itu, undangan terus berdatangan di pintu Quadville. Sejak pesta itu, nama Sarita tidak pernah berhenti disebut. Semenjak pesta itu, ia selalu muncul di Quadville setiap ia mempunyai waktu luang. Semenjak pesta itu, ia selalu menyempatkan diri untuk menemui Sarita. Namun itu tidak cukup!

Setiap kali Sarita tidak berada di sisinya, kecemasan selalu menghantuinya. Setiap Sarita berada di luar jangkauannya, ia tidak dapat menghentikan kerinduannya pada Sarita.

Halbert tidak akan pernah merasa tenang sebelum Sarita menjadi miliknya. Halbert sadar penyebab kecemasannya ini adalah sikap gadis yang dicintainya itu. Ia telah melakukan segala cara untuk membuat gadis itu menerimanya namun gadis itu selalu membuat jarak dengannya ketika ia berpikir Sarita sudah menerimanya. Ia semua keahliannya tidak berguna. Semua daya pikatnya tidak dapat menarik perhatian Sarita.

“Kau memikirkan Sarita?” tanya Raja Marshall.

Halbert terperanjat. Bagaimana ayahnya bisa tahu?

“Kau benar-benar jatuh cinta pada Sarita,” Ratu Kathleen tersenyum.

Dan ibunya!? Halbert membelalak.

“Sarita memang mengagumkan,” Ratu Kathleen menambahkan. “Sejak awal aku sudah tahu Sarita pasti dapat menghentikan kebiasaan burukmu ini. Sejak melihat Sarita aku sudah tahu hanya putri Sharon yang bisa menangkap jiwa petualangmu itu.”

“Mama…,” Halbert kehilangan kata-katanya, “Mama sudah tahu semuanya dari awal?”

Ratu mengangguk bangga.

“Mengapa Mama tidak memberitahuku?”

“Aku sudah memberimu petunjuk,” ujar Ratu santai.

“Mengapa Mama membiarkanku pusing sampai gila!?” Halbert tidak dapat menerima penjelasan itu.

“Aku tidak mau kau melukai Sarita.”

Halbert membelalak.

“Sarita bukan mainanmu! Aku tidak mau kau bermain-main dengan Sarita. Ia adalah putri sahabatku. Aku tidak mau kau melukainya.”

Halbert tidak tahu harus bereaksi apa. Ibunya ternyata lebih memihak Sarita.

“Itu salahmu sendiri,” Ratu membaca ekspresi Halbert. “Kau tidak pernah serius berhubungan dengan wanita. Ini adalah petualangan, kau selalu berkata. Begitu melihatnya, aku tahu Sarita adalah putri Sharon. Aku harus melindunginya. Aku tidak bisa membiarkan seorang pun melukainya sekalipun itu adalah putraku sendiri!”

Tiba-tiba saja semuanya menjadi jelas. Ratu memerintah Savanah melayani Sarita bukan untuk mengawasinya tapi menjaganya. Ratu memaksanya menemui Duke of Vinchard karena ia ingin Halbert sadar siapa ibu Sarita. Ratu terus memperingatinya untuk menjauhi Sarita bukan karena ia tidak menyukai status Sarita namun karena Ratu tidak ingin ia melukai Sarita!

Halbert tertawa hambar. Ibunya ternyata sama sekali tidak mempercayainya!

Selama ini ia selalu mempermainkan wanita dan sekarang ia dipermainkan oleh ibunya sendiri. Halbert merasa sudah benar-benar gila.

“Begitu melihat Sarita, semua orang pasti tahu siapa ibunya,” kata Raja Marshall pula, “Sarita sangat mirip dengan Sharon. Ia lebih cantik. Lebih rapuh dari Sharon.”

“Benar,” Ratu sependapat. “Tak heran ia memang putri wanita tercantik di Helsnivia.”

“Sejak melihatnya aku sudah tahu ia akan berhenti menjadi bahan pembicaraan.”

Dan juga ayahnya!? Halbert membelalak lebar. Ia tidak percaya mereka melakukan ini padanya hingga membuatnya berpikir orang yang ia hormati tengah bermain mata dengan Sarita!

“Kau tidak perlu mencemaskan Sarita,” ujar Ratu, “Ia tidak akan mengalami bahaya apapun seperti yang ia alami di Trottanilla.”

“Bukan itu yang aku cemaskan!?”

“Lalu apa?” tanya Raja tidak mengerti.

“Aku takut Sarita jatuh cinta pada pria lain!” Halbert mengakui.

Ratu Kathleen tersenyum penuh arti. “Tidak ada yang perlu kaucemaskan. Sarita tidak akan jatuh cinta pada pria lain.”

“Bagaimana aku tidak cemas!?” tanya Halbert dengan nada tinggi, “Dua bulan lamanya ia tinggal bersamaku dan selama itu ia tidak pernah tertarik padaku. Sedikit pun tidak pernah! Sekarang setiap saat segerombolan pria mengantri di depan pintu kamarnya. Bagaimana aku tidak cemas?”

“Kau tidak bisa mencegahnya. Ia adalah gadis tercantik di Helsnivia bahkan mungkiin di dunia,” Ratu Kathleen menjawab dengan bangga seolah-olah Sarita adalah putri kandungnya, “Walaupun ia lahir di luar nikah, ia tetap keturunan keluarga terhormat. Bangsawan-bangsawan dari luar pun berdatangan untuk melamarnya. Kudengar beberapa Pangeran negeri lain juga berencana mengundangnya ke kerajaan mereka.”

Halbert juga menyadari ke manapun Sarita pergi, ia akan menjadi pusat perhatian.

“Itulah yang membuatku kian tidak bisa tenang!” ujar Halbert gusar, “Di antara mereka pasti ada yang menarik perhatian Sarita. Dalam hitungan hari pasti akan muncul pria yang mendapatkan hati Sarita.”

“Mengapa kau tidak ikut mengantri daripada bercemas ria di sini?” tanya Raja Marshall.

“MUSTAHIL!”

“Mengapa?” tanya Ratu Kathleen.

Halbert tidak dapat menjawab.

“Hanya dirimulah yang menghalangimu,” kata Raja Marshall.

“Omong kosong!” sergah Halbert tidak senang. “Mustahil adalah mustahil! Bagaimanapun kau memaksanya mustahil tetaplah mustahil.”

“Mengapa?” Ratu memaksa.

“Karena Sarita lebih suka menjauhiku daripada menemaniku!” Mengapa rahasia umum seperti ini pun mereka tidak tahu?

“Benar. Karena kau hanya tahu bermain wanita,” hina Ratu Marshall.

“Aku tidak sedang bermain-main!” Halbert marah, “Aku serius. Aku mencintainya!”

“Kalau kau mencintainya, lakukan sesuatu yang nyata!” sahut Ratu, “Kalau Sarita bukan mainanmu, perlakukan dia dengan serius!”

“Aku serius! Aku selalu serius terhadapnya!”

“Aku tidak melihatnya,” Raja menyela.

Halbert melihat ayahnya.

“Kulihat caramu memperlakukan Sarita sama dengan caramu memperlakukan wanita-wanitamu yang lain,” komentar Ratu.

“Sarita bukan wanita yang akan menjadi pasanganmu hari ini dan akan kau buang ketika kau bosan. Bukankah begitu, Halbert?” tanya Raja serius.

“Tentu saja. Aku mencintainya hingga aku hampir gila memikirkannya.”

“Apa yang kauinginkan dari Sarita?” tanya Ratu lembut.

Apa yang ia inginkan dari Sarita? Tentu saja ia ingin Sarita mencintainya. Ia ingin Sarita hanya memikirkan dirinya. Ia ingin Sarita selalu berada di sisinya. Ia ingin Sarita menjadi miliknya seutuhnya, jiwa dan raganya. Ia ingin Sarita tergila-gila padanya.

“Apa kau tahu apa yang diinginkan Sarita?” tanya Ratu pula.

Apa yang diinginkan Sarita? Jawaban pertanyaan itu sudah jelas. Tanpa berpikir pun Halbert dapat menjawab, Sarita ingin menjauhinya!

“Apa kau yakin?” Ratu membaca pikiran Halbert.

“Ia tidak mencintaiku, Mama. Ia pernah berkata aku bukan tipe pria yang akan dicintainya?”

“Mengapa?” tanya Ratu lebih lanjut.

“Karena aku adalah seorang playboy,” Halbert mengakui dengan muram, “Aku tidak pernah serius mencintai seorang wanita.”

“Apakah sekarang kau juga demikian?”

“Aku…” Halbert tidak tahu. Ia telah mempergunakan semua keahliannya tapi tidak ada yang berhasil. Ia telah memperlakukan Sarita dengan berbagai macam perlakuan yang ia ketahui namun itu juga tidak berguna. Halbert hanya tahu ia membutuhkan sesuatu yang lebih dari semua yang ia miliki saat ini. Ia membutuhkan sesuatu yang lebih dahsyat untuk mendapatkan cinta Sarita.

“Aku telah memanfaatkan semua yang aku ketahui,” Halbert mengakui.

“Sarita tidak pernah menganggapmu serius karena itulah,” Raja menegaskan, “Kalau kau memang mencintai Sarita, berhentilah memperlakukannya seperti wanita-wanita yang lain.”

Ratu menambahkan, “Kau memang pandai menghadapi wanita namun kau benar-benar tolol dalam memperlakukan cinta sejatimu.”

Mereka benar. Ia hanya tahu memperlakukan wanita namun ia tidak tahu bagaimana mencintai seorang wanita.

“Kau sudah berubah, Halbert,” Ratu Kathleen tersenyum penuh arti.

“Aku takut. Aku benar-benar takut, Mama,” Halbert mengakui, “Kau tidak punya ide bagaimana Sarita merubahku.”

Ratu Kathleen tersenyum. “Dengar, anakku. Tidak sulit menaklukkan Sarita.”

Halbert tidak punya ide apa yang dibicarakan ibunya.

“Sarita benar-benar mirip Sharon. Apa yang harus kaulakukan hanyalah menjadi dirimu sendiri. Kau sudah mempunyai sesuatu yang menarik Sarita.”

“Mama…”

“Ya, Halbert. Yang perlu kaulakukan hanyalah menjadi dirimu sendiri. Semakin kau berusaha, semakin kacau hasilnya. Jadilah dirimu sendiri dan semuanya akan berlangsung dengan sendirinya.”

“Mengapa Mama melakukan ini? Bukankah Mama tidak menyukai Sarita?”

“Aku?” tanya Ratu heran, “Bagaimana mungkin aku membenci putri sahabat baikku?”

“Mama membenci Sarita. Mama tidak pernah menyapa Sarita.”

“Aku hanya tidak suka kenyataan ia adalah putri pria yang telah merebut Sharon dariku. Tapi, karena Duke of Vinchard sudah mengakui Sarita, aku tidak punya alasan lagi untuk membenci Ithnan, bukan?”

Halbert benar-benar kehilangan kata-katanya.

“Ini bukan ide yang buruk untuk menjadi satu keluarga dengan Sarita. Tidakkah engkau berpendapat demikian, Marshall?” Ratu bertanya pada suaminya, “Ia adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki.”

“Mengatakannya memang mudah,” komentar Halbert sinis.

Ratu tertawa. “Jangan khawatir. Aku percaya kau pasti berhasil. Aku yakin Sharon juga merestuimu.”

Andai saja hal itu dapat dipercayai, Halbert tidak akan gundah seperti ini. Sekarang Sarita sudah berada di luar jangkauannya. Setiap hari Duke of Vinchard memperkenalkannya pada setiap orang di Helsnivia.

Sudah bukan rahasia lagi Duke membanggakan cucu satu-satunya itu.

Semua ini membuat posisi Halbert semakin sulit. Ia tidak punya alasan untuk setiap saat berada di sisi Sarita sementara setiap saat mungkin muncul seorang pria yang akan merebut hati Sarita.

Sekarang Halbert benar-benar berharap ia bisa membalik waktu dan mencegah pertemuan Duke of Vinchard dengan Sarita. Namun itu akan terlalu kejam untuk Sarita, bukan?

Sekarang Halbert hanya dapat berharap reaksi Sarita pada ciumannya bukan palsu.

“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkan diriku jatuh cinta untuk kedua kalinya. Ini semua sudah membuatku lebih dari tersiksa. Aku merasa setiap saat aku akan mati.”

“Kau terdengar tragis,” komentar Ratu.

“Aku benar-benar berharap dulu aku memenuhi keinginan Duke of Cookelt. Setidaknya sekarang aku yakin tidak akan ada yang berani mengusik Sarita.”

“Kalau kau demikian cemasnya, mengapa kau tidak langsung melamar Sarita?” tanya Raja, “Tidak ada larangan yang menyebut kau tidak boleh melamar Sarita.”

“Melamar Sarita?” Halbert mengulangi usul itu.

“Kau tidak pernah memikirkannya, bukan?” tebak Ratu.

Terbersit dalam benaknya pun tidak pernah.

“Kau pasti tidak pernah menyatakan cintamu pada Sarita,” Ratu menebak lagi.

“Apakah itu penting?” Halbert bertanya polos. “Aku sudah menunjukkannya dalam sikapku.”

“Halbert... Halbert...,” desah Ratu putus asa, “Sikap yang menurutmu membuktikan cintamu pada Sarita itu hanyalah omong kosong!” Suara Ratu kian meninggi, “Apa yang perlihatkan itu hanyalah keinginan untuk memiliki, keinginan untuk menguasai Sarita!”

Halbert termenung. Ia hanya ingin Sarita selalu berada di sisinya. Apakah itu salah? Ia hanya tidak ingin pria lain mendekati Sarita. Apakah itu tidak boleh?

“Mencintai seseorang tidak selalu berarti harus memilikinya,” Raja memberitahu dengan sabar, “Ada kalanya cinta harus mengalah. Yang terutama adalah bagaimana kau membahagiakan cintamu.”

Membahagiakan Sarita? Halbert termenung. Selama ini ia hanya ingin memuaskan dirinya sendiri. Dari dulu hingga kini hal itu tidak berubah. Ia bermain-main dengan wanita hanya untuk kesenangannya sendiri. Ia menginginkan Sarita juga karena ia tidak ingin terus bergelut dengan perasaan yang menyiksa ini. Apakah itu yang dimaksudkan orang tuanya? Apakah ini yang membuat Sarita tidak pernah menganggapnya serius?

Ia hanya tahu Sarita tidak mencintainya tapi ia tidak pernah tahu bagaimana perasaan gadis itu padanya. Ia tahu Sarita ingin menjauhinya tapi ia tidak tahu mengapa Sarita juga sering memberinya kesempatan.

“Kau tidak perlu aku memberikan pelajaran khusus, bukan?” Ratu memotong lamunan Halbert.

Halbert terperanjat. “T-tidak, Mama. Tidak perlu. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”

“Lalu apalagi yang kau tunggu!?” bentak Ratu marah, “Cepat ke Quadville! Jangan pulang sebelum kau membawa pulang Sarita!”

Halbert serta merta melesat.

Raja Marshall tersenyum. Karena Kathleen mencintai keduanya, ia bersikap keras pada Halbert.


-----0-----



Sarita menutup koran.

“Anda baik-baik saja, Tuan Puteri?” tanya Zielle cemas, “Anda terlihat pucat.”

“Aku baik-baik saja,” jawab Sarita.

Zielle tidak akan pernah mengerti kegalauan hatinya ini.

“Lagi-lagi Anda dan Pangeran Halbert menjadi berita utama,” Zielle melihat halaman terdepan koran yang baru diletakkan Sarita di meja, “Anda berdua memang serasi.” Zielle mengambil koran itu dan membacanya dengan gembira.

Sarita ingin menyahut, “Sedikitpun tidak,” namun ia tetap menutup mulut. Zielle tidak akan senang mendengar bantahannya ini. Zielle tidak akan pernah memahami kegalauannya.

Ia mencintai Halbert. Sarita tidak meragukannya lagi. Semakin ia menyangkal, semakin besar perasaan itu. Namun ia bukanlah pasangan yang cocok untuk Halbert. Ia bukan keturunan keluarga bangsawan terhormat. Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya hanya setengah. Bagaimana ia bisa menyetarakan dirinya dengan sang Pangeran yang terhormat?

“Saya dapat melihatnya,” Zielle menegaskan dengan mantap, “Pangeran sangat mencintai Anda. Pangeran selalu cemburu pada setiap pria yang mendekati Anda.”

Itu bukan cinta. Sarita menyangkal. Halbert tidak pernah mencintainya. Halbert hanya ingin menemukan petualangan baru darinya.

Zielle tertawa. “Anda telah membuat banyak wanita patah hati.”

Tidak! Besok mereka pasti tertawa puas. Ketertarikan Halbert padanya hanyalah sesaat. Bagaimanapun juga ia adalah petualang seperti ayahnya.

“Sarita juga akan membuat banyak pria patah hati bila ia tidak segera menjawab undangan-undangan ini,” Duke Ephraim muncul membawa sekotak penuh surat undangan yang ditujukan padanya.

Sarita sama sekali tidak memiliki keinginan untuk muncul lagi di muka umum.

Duke meletakkan kotak itu di depan Sarita.

Sarita hanya memandang tidak tertarik pada surat-surat di dalam kotak itu.

“Kalau kau tidak segera menjawab undangan mereka, besok aku akan menjadi berita utama,” gurau Duke, “Semua orang akan mengatakan aku melarangmu muncul.”

“Itu tidak akan terjadi,” sela Chris, “Semua orang tahu Halbert yang pencemburu itu tidak suka Sarita didekati pria manapun.”

Bukan itu alasannya tidak ingin muncul. Ia hanya tidak menyukai pria-pria yang selalu mendekatinya hanya untuk satu tujuan, dirinya! Andai ia mempunyai perisai yang dapat menangkal mereka, ia mungkin akan memikirkan ulang undangan mereka. Sayangnya, ia tidak punya. Ia juga tidak dapat terus menggunakan Halbert sebagai perisainya. Halbert tidak dapat dipastikan hadir dalam pesta-pesta tersebut. Halbert bukan kekasihnya, dan Halbert tidak mencintainya. Ia juga tidak mungkin membawa pria lain dalam undangan kencan mereka, bukan?

“Aku tidak membutuhkan mereka. Aku hanya menginginkan kakek seorang.” Sarita memandang kakeknya dengan sedih, “Apakah kakek tidak suka?”

Duke Vinchard tertawa. “Kau memang tahu bagaimana menyenangkan hatiku. Persis seperti Sharon.”

Tapi Chris lebih memahami Sarita. “Kalau kau mau, aku bisa menemanimu,” ia menawarkan diri.

“Daripada menemani Sarita, kau masih punya tempat yang harus kaudatangi,” sahut Duke Vinchard, “Jangan lupa besok kau akan pulang ke Cookelt bersamaku!”

“Kalian akan ke Cookelt?” Sarita terperanjat, “Kapan kalian memutuskannya? Mengapa kalian tidak memberitahuku?”

“Aku memutuskannya kemarin,” Duke Vinchard menjawab, “Chris tidak bisa terus menerus di sini. Sewaktu-waktu ia juga perlu pulang melihat keadaan Cookelt.”

“Aku ikut!” Sarita memutuskan.

Mereka terkejut.

“Aku perlu menemui Graham,” Sarita menjelaskan, “Graham mengabarkan padaku keadaan Duchess tidak baik. Ia terlilit hutang besar.”

“Itu salahnya sendiri,” komentar Chris. “Siapa suruh dia mengincar hartaku.”

“Harta keluarga Riddick masih belum menjadi milikmu sepenuhnya,” Duke Vinchard mengingatkan, “Kau masih harus menunggu beberapa tahun lagi.”

Chris mendengus kesal.

“Kapan kalian akan berangkat?” Sarita memotong pembicaraan mereka, “Aku akan membuat janji dengan Graham. Aku juga perlu mendatangi beberapa tempat.

“Yang Mulia, Anda berkata akan mendidik Tuan Muda Chris menjadi penerus Duke Norbert, tapi mengapa Tuan Puteri tetap mengurus Cookelt?” Zielle memprotes.

Pada awalnya Duke Vinchard mengawasi Chris melakukan pekerjaan Sarita namun sekarang tidak lagi. Sarita mempercayai kakeknya namun rasa tanggung jawab membuatnya tidak bisa menandatangani apa pun tanpa memahami duduk persoalan. Sekarang Sarita akan mempelajari persoalan-persoalan yang dikirim Graham lalu Duke Vinchard akan membimbing Chris membuat keputusan dan Sarita akan melakukan pekerjaan selanjutnya. Memang lebih rumit tapi Chris tahu apa yang tengah terjadi di wilayahnya sambil belajar mengambil langkah bijaksana.

“Aku adalah wali Chris, Zielle,” entah berapa kali Sarita menjelaskan hal ini, “Tidak ada hal tentang Cookelt yang tidak kuketahui sebelum Chris mengetahuinya. Walaupun kakek telah bersedia mendidik Chris, kakek tetap tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan apapun.”

“Yang Mulia!” Zielle memprotes keras, “Tidak bisakah Anda melakukan sesuatu!? Apa Anda ingin Tuan Puteri menghabiskan waktunya di belakang meja terus menerus!?”

“Aku juga tidak dapat berbuat apa-apa, Zielle,” Duke Vinchard menyerah, “Kalau Chris bisa sadar, Sarita tidak perlu duduk di sini.”

“Tuan Muda Chris!” Zielle mengalihkan sasaran ketidakpuasannya. “Ini semua gara-gara Anda. Mengapa Anda terus bermain!?”

“Apa salahku?” gerutu Chris, “Yang memutuskan ini bukan aku tapi Papa.”

“Anda tidak punya waktu lagi untuk bermain!” Zielle menjewer telinga Chris. “Cepat, Yang Mulia Duke! Kita tidak punya waktu bercanda di sini!” Ia menarik Chris pergi.

“Lepaskan aku!” Chris memberontak, “Lepaskan tangan kotormu, Zielle!”

“Chris sudah ada kemajuan,” Sarita tersenyum.

Chris yang dulu pasti akan memaki Zielle dengan segala kata yang tidak dapat dibayangkan Sarita. Walaupun Chris tidak sepenuhnya menjadi seorang pemuda yang sopan, ia sudah mengalami banyak kemajuan. Zielle adalah orang yang paling berjasa dalam hal ini.

Wanita tua itu telah menjadi pelayan di sini semenjak muda. Walaupun telah berkeluarga dan mempunyai cucu, ia masih mencintai Quadville. Ketegasannya pada tata krama membuatnya tidak gentar pada Chris bahkan kepada Duke of Vinchard, majikannya. Bila Zielle melihat suatu kesalahan, maka ia tidak akan ragu melakukan hukumannya tanpa pandang bulu.

“Semua ini berkat Zielle.”

“Untung di sini masih ada Zielle,” Duke sependapat, “Aku selalu khawatir aku terlalu keras terhadap Chris namun Zielle lebih ketat terhadap Chris.”

“Aku lihat Chris menyukai cara kalian. Akhir-akhir ini aku selalu berpikir mungkinkah Chris mencari keluarga seperti kalian. Kalian memang keras dan ketat dalam mendidik Chris namun bagi Chris itu adalah bukti kalian memperhatikannya.”

“Anak itu kurang kasih sayang.”

“Benar,” Sarita mengakui, “Duke Norbert maupun Duchess Belle selalu menyibukkan diri dengan urusan mereka. Dorothy juga tidak tertarik menjadi pengasuh adiknya.”

“Zielle benar.” Duke menatap Sarita lekat-lekat, “Kau terlalu mempedulikan orang lain.”

“Apakah itu tidak boleh?”

“Aku tidak mengatakan itu salah. Aku hanya mengingatkanmu untuk mengambil batas.”

“Maksud kakek?”

“Yang Mulia!” Zielle menampakkan kepala di pintu dengan wajah tidak senang, “Apa yang Anda lakukan!? Kita tidak punya waktu untuk bersantai-santai!”

“Baik. Aku akan segera ke sana,” sahut Duke. Lalu ia berkata pada Sarita sambil tersenyum, “Aku harus pergi, Sarita. Kau tahu Zielle.”

Sarita hanya termenung melihat kepergian kakeknya. Sekarang tinggallah ia seorang diri menghadapi tumpukan pekerjaan yang belum diselesaikannya.

Sebelum ia menyentuh tumpukan itu, ia harus segera mengirim surat kepada Graham untuk mengabarkan kedatangannya. Ia tidak ingin menganggu waktu kerja Graham seperti yang pernah dilakukannya.

Tengah ia menulis surat, seseorang memasuki ruangan.

“Apa kalian memerlukan sesuatu?” Sarita menengadahkan kepala.

Halbert memasuki ruangan dengan aura wibawanya.

Sarita terperanjat. “Selamat siang, Pangeran. Apakah ada yang bisa saya bantu?” ia bertanya sopan.

“Satu hal yang pasti, kau tidak bisa menyisihkan waktu untukku,” Halbert melihat tumpukan kertas di depan Sarita. “Mengapa kau masih harus mengurusi Cookelt?” tanyanya kemudian, “Katamu Duke Vinchard akan membimbing Chris melakukan tugas-tugasnya.”

“Saya tetap wali Chris. Selain itu, saya tidak terbiasa menjadi pengangguran.”

“Aku sudah mengatakan kau bisa memanggilku kalau kau kesepian.”

“Saya tidak bisa. Anda adalah seorang Pangeran.”

Halbert berjalan ke sisi Sarita. “Sarita,” ia menggenggam tangan Sarita.

Sarita terpesona. Sepasang mata lembut yang tidak pernah dilihatnya itu, mengunci pandangannya hanya ke wajah tampan yang ia rindukan.

Cinta benar-benar menakjubkan. Semenjak orang tuanya memberinya ide untuk melamar Sarita, pikiran Halbert dipenuhi oleh hari-hari bersama Sarita. Beberapa saat lalu ketika melihat Sarita mengerjakan tugasnya sebagai wali Duke Cookelt, hatinya dipenuhi suatu perasaan hangat yang tidak dapat ia utarakan. Melihat gadis ini, Halbert dapat membayangkan hari-hari mendatang bersama Sarita di sisinya, bersama Sarita yang dengan bijaksana membantunya mengerjakan tugasnya sebagai seorang Raja, bersama Sarita yang dengan cinta kasihnya merawat anak-anak mereka.

Anak-anak, Halbert terkesiap. Bayangan Sarita menggendong putra-putri mereka membuat Halbert semakin terbang tinggi.

Sarita terperangah melihat senyum bahagia Halbert.

“Oh, Tuhan,” Halbert menarik Sarita ke dalam pelukannya. Ia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini pada wanita manapun. Ia tidak pernah merasa begitu bahagia hanya karena memandang seorang wanita. Ia tidak pernah disesaki kebahagiaan seperti ini. Cinta memang menakjubkan.

Halbert membelai Sarita dan merapatkan Sarita ke pelukannya sehingga tidak ada celah di antara mereka.

Sarita hanya terpaku. Halbert tidak pernah memperlakukannya seperti ini. Halbert sering memeluknya tapi baru kali ini Sarita merasakan kebutuhan Halbert. Bukan nafsu tetapi sesuatu yang lebih menggetarkan. Dari setiap sentuhan Halbert, Sarita dapat merasakan sesuatu yang membuat tubuhnya lebih bergetar dari saat Halbert menciumnya.

“Sarita,” bisik Halbert, “Menikahlah denganku, Sarita. Menikahlah denganku.”

Mata Sarita membelalak lebar.

“Menikahlah denganku,” Halbert menatap Sarita dengan serius.

Sekarang Sarita yakin ia tidak sedang berkhayal.

“Menikahlah denganku, Sarita,” Halbert mengulangi untuk keempat kalinya, “Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku membutuhkanmu. Aku tidak dapat hidup tanpamu.”

Tidak! Itu tidak mungkin! Halbert tidak mungkin melamarnya!

“Jangan bergurau, Pangeran.”

“Aku tidak bergurau, Sarita,” Halbert menegaskan. “Aku takut. Aku tidak pernah merasakan perasaan seperti ini terhadap wanita mana pun. Aku tidak pernah begitu takut kehilangan seorang wanita.”

Pada akhirnya semua ini hanya karena satu kata, petualangan.

“Aku mencintaimu.”

Sarita menggeleng sedih. Bahkan di saat-saat seperti inipun Halbert tahu bagaimana merayu wanita. Sarita sadar Halbert tidak akan pernah berhenti sebelum ia mendapatkan kepuasan itu. Sarita juga tahu ia tidak bisa terus membiarkan Pangeran seperti ini.

“Aku serius, Sarita. Aku benar-benar mencintaimu. Aku tidak pernah merasakan perasaan ini pada setiap wanita mana pun. Aku tidak pernah gila hanya karena memikirkan seorang wanita.”

“Cukup, Pangeran,” Sarita menjauhkan diri dan dengan tegas berkata, “Anda boleh bercanda apapun tetapi tidak dalam hal satu ini. Anda tidak mungkin mencintai saya.”

“Aku tidak sedang bergurau, Sarita,” Halbert menegaskan untuk sekian kalinya, “Aku bersungguh-sungguh. Setiap kata-kataku adalah kenyataan.”

“Tidak,” Sarita menggeleng, “Saya tahu Anda tidak bersungguh-sungguh.”

“Percayalah padaku,” desak Halbert.

“Saya percaya Anda sedang bercanda.”

Halbert merasa ia mulai kehilangan kesabarannya.

“Gurauan ini tidak menyenangkan, Pangeran,” Sarita memberitahu, “Saya tidak menyukainya.”

“Kau pikir aku bisa bercanda untuk hal seserius ini!?”

“Siapa tahu, Pangeran,” jawab Sarita tenang, “Besok atau lusa Anda akan bertemu wanita yang jauh lebih cantik dan menarik dari saya. Saat itu Anda pasti akan berpaling.”

Halbert geram hingga tidak bisa berkata apa-apa. Gadis ini adalah satu-satunya orang yang memahami petualangannya. Sialnya, ia terlalu mengerti tentang jiwa petualangannya!

“Anda sendiri pernah berkata saya bukanlah tipe wanita yang bisa membuat Anda ingin menikah.”

“Aku memang pernah mengatakannya tetapi itu adalah dulu,” Halbert membela diri.

“Anda juga tahu, Pangeran. Kita tidak boleh menikah.”

“Katakan alasanmu,” Halbert memerintah.

“Anda adalah keturunan keluarga terhormat sedangkan saya hanyalah putri seorang petualang,” dan sebelum Halbert menyahut, Sarita menambahkan, “Saya tidak pernah menerima pendidikan layak seperti Anda. Darah biru yang mengalir dalam tubuh saya juga hanya setengah. Rakyat Helsnivia tidak akan dapat menerima saya.”

“Omong kosong! Aku tahu tidak ada wanita yang lebih pantas dari kau.”

“Tidak, Pangeran,” Sarita menggeleng, “Ini semua hanyalah khayalan Anda. Percayalah besok Anda akan menyesali hari ini.”

“Apa kau serius?” Halbert tidak melepaskan mata dari Sarita.

Sarita mengangguk mantap.

Halbert marah. Sekalipun ia telah melakukan suatu tindakan yang serius, memohon seperti yang tidak pernah dilakukannya terhadap wanita manapun, gadis ini tetap tidak mempercayainya! “Apa kau lebih tertarik menikah dengan Marcia, pemuda kotor itu!?”

“Mengapa tidak?” Sarita menjawab jujur, “Ia jujur dan setia. Walau ia tidak kaya, ia mempunyai cinta yang tulus pada saya.”

Bertambahlah sudah dosa Halbert.

Selama ini ia terus bermain-main dengan cinta sehingga ketika ia benar-benar jatuh cinta, masa lalu tidak bisa lepas darinya. Kenyataan itu menyapu bersih amarah Halbert dan menambah gumpalan putus asa dalam dirinya.

“Kau memang keras kepala, bukan?”

Sarita tidak menanggapi.

“Tidak ada yang bisa merubah keputusanmu, bukan!?”

“Percayalah Anda akan menyesali keputusan Anda ini.”

“Baik!” tegas Halbert, “Lakukan apa yang kausuka!”

Sarita memperhatikan pintu yang dibanting Halbert keras-keras. Ia yakin ia sudah membuat keputusan yang benar untuk itu ia tidak akan mengeluarkan air mata. Namun wajahnya telah basah sebelum ia mampu menegaskan hal itu pada dirinya sendiri.

Andaikan Halbert tahu betapa ia mengharapkan kesungguhan kata seorang petualang cinta.

No comments:

Post a Comment