Friday, April 13, 2007

Kelembutan dalam Baja-Chapter 2

Namun tak urung juga Raja Alfonso curiga pada Kakyu keesokan harinya.

“Ke mana saja engkau kemarin malam, Kakyu?” tanya Raja Alfonso antara jengkel dan curiga.

“Saya hanya berjalan-jalan, Paduka,” jawab Kakyu.

“Kenapa sampai malam? Ke mana saja engkau pergi?” rujuk Putri Eleanor.

“Di sekeliling hutan ini,” jawab Kakyu singkat.

“Akhir-akhir ini engkau memang aneh, Kakyu,” kata Raja Alfonso, “Jangan-jangan engkau berburu pada malam hari.”

“Itu tidak mungkin, Paduka.”

“Apa yang tidak mungkin bagimu, Kakyu?” kata Raja Alfonso, “Engkau dapat mengerjakan setiap tugas berat yang kuberikan padamu dengan baik. Dengan mudah dan cepat, engkau menembus strategi-strategi Jenderal terbaikku. Bagiku engkau benar-benar menakjubkan sampai-sampai aku khawatir engkau adalah penyihir.”

“Penyihir umumnya wanita, Paduka.”

“Kalau begitu buktikan padaku kalau engkau bukan wanita.”

Kakyu tersenyum. Ia tahu pasti apa yang diharapkan Raja Alfonso darinya, tapi ia berkata, “Saya tidak senang berburu, Paduka.”

Raja mengeluh. “Sudahlah, Kakyu, aku menyerah. Aku tidak akan membujukmu lagi. Aku berbicara sepuluh kata tapi engkau hanya berbicara sepatah kata. Engkau benar-benar membuatku merasa seperti orang yang banyak bicara.”

“Tidak, Paduka.”

Raja Alfonso yang telah lelah menghadapi jawaban singkat Kakyu hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum. Kemudian Raja memerintahkan pasukannya untuk berangkat.

Selama perburuan di hari ini, Kakyu memusatkan perhatiannya pada sekelilingnya. Kakyu yakin tak lama setelah mengintai, kelompok itu akan menyerang.

Sama seperti keyakinan Kakyu bahwa mereka tidak akan mengerahkan banyak orang untuk menyerang Raja.

Kemarin malam Kakyu telah memeriksa tenda tempat mereka menyimpan senjata dan melihat sendiri senjata yang mereka punyai tidak banyak.

Lagipula terlalu mudah dilihat bila mereka menyerang besar-besaran.

Melihat perkemahan kelompok itu yang tersembunyi baik di tengah hutan, Kakyu yakin kelompok itu tidak ingin diketahui keberadaannya oleh siapapun sebelum mereka cukup kuat.

Seperti ajaran Kenichi, Kakyu memusatkan mata hatinya pada sekelilingnya.

Tiba-tiba Kakyu merasa ada bahaya yang mengancam mereka. Tanpa melakukan banyak gerakan yang mencurigakan, Kakyu berusaha mencari asal perasaan itu.

“Bosan!” seru Putri Eleanor, “Sejak tadi kita tidak melihat seekor hewanpun. Biasanya kita sudah mendapatkan walau hanya satu ekor.”

Seruan Putri tidak mengejutkan Kakyu yang telah dilatih Kenichi dengan keras.

Putri Eleanor melihat Kakyu. Merasa sikap pemuda itu aneh, Putri bertanya, “Engkau menemukan hewan apa, Kakyu?”

“Hewan apa yang kauburu, Kakyu?” tanya Raja pula, “Sejak tadi sikapmu sangat aneh.”

Kakyu yang telah menentukan dengan tepat posisi musuh, segera mencabut anak panah peraknya dan membidikkannya.

Raja dan Putri Eleanor sama-sama terkejut melihat Kakyu tiba-tiba menggunakan senjata yang selama ini hanya dibawanya.

Mereka lebih terkejut lagi ketika sesaat kemudian terdengar letusan senjata di kejauhan diiringi terbangnya burung-burung yang juga terkejut.

Sementara prajurit lainnya sibuk mengelilingi Raja dan Putri sambil berteriak, “Lindungi Raja dan Putri”, Kakyu memacu kudanya ke tempat ia membidikkan panahnya.

Kakyu tersenyum puas melihat seorang pria yang lebih tua darinya meringis kesakitan karena panah perak yang menancap di pundak tangan kirinya.

Kakyu mengambil senapan pria itu yang tergeletak tak jauh dari pria itu.

“Sebaiknya engkau tidak mencoba berbuat apapun,” kata Kakyu memperingati, “Racun panahku dapat membunuhmu.”

Pria itu tampak semakin pucat mendengar kata-kata itu.

Kakyu mengamati sekelilingnya sebelum berkata, “Sekarang naiklah ke kudaku dan aku akan membawamu ke tempat buruanmu."

Melihat pria itu ragu-ragu, Kakyu berkata, “Sebaiknya engkau segera menuruti perkataanku sebelum racun itu menyebar ke dalam tubuhmu.”

Pria yang sudah kesakitan dan ketakutan itu hanya dapat menuruti perintah Kakyu.

Kakyu mengeluarkan tali yang kemarin dibelinya di Farreway dari saku bajunya. Dengannya, ia mengikat tangan dan tubuh pria itu. Kemudian ia menuntun kudanya ke sekelompok orang yang masih mengkhawatirkan keselamatan Raja dan putrinya.

Melihat Kakyu mendekat bersama seorang pria yang terluka, mereka tercengang.

Prajurit yang mengelilingi Raja dan Putri mulai bubar dan membantu Kakyu menangani pria itu.

“Mengapa engkau kejam seperti ini?” tanya Putri, “Ia pasti tidak akan mencelakai kita.”

Kakyu tahu mengapa Putri Eleanor berkata seperti itu.

Pria yang sekarang duduk ketakutan di depannya itu memang tidak tampak jahat.

Kakyu juga yakin pria itu bukan orang jahat apalagi setelah melihat ketakutan pria itu dalam menghadapi kematian. Kakyu yakin ada sesuatu yang menyebabkan pria itu hendak membunuh Raja dan itu berkaitan dengan kelompok yang semalam diintainya.

Namun Kakyu tetap diam.

Putri Eleanor jengkel melihat kediaman Kakyu. “Ia pasti sedang berburu seperti kita, Kakyu.”

Kakyu tetap diam.

“Kakyu!” seru Putri Eleanor kesal.

“Ia memang sedang berburu, Tuan Puteri,” kata Kakyu pada akhirnya, “Dan hewan buruannya adalah Anda.”

“Kakyu! Jangan menuduh orang seperti itu,” sergah Putri.

Kakyu melihat pria itu ingin mengatakan sesuatu. Dengan cepat ia mendahului pria itu, “Jangan bicara, Tuan. Lebih baik engkau menyimpan tenagamu sebab ini akan sakit sekali.”

“Kakyu!”

Kakyu diam saja mendengar seruan jengkel Putri. Saat ini Kakyu lebih memusatkan perhatiannya pada panah peraknya yang menancap di pundak pria itu.

Secepat Kakyu membidikkan panah itu, Kakyu menarik panah itu dari pundak pria malang itu.

Sebelum darah mengucur dari luka yang cukup dalam itu, Kakyu mengikat erat-erat pundak pria itu dan menutupi lukanya dengan kain hitam yang kemarin.

Putri Eleanor tercengang melihat Kakyu yang seperti telah tahu apa yang akan terjadi, hingga melupakan kejengkelannya.

Kakyu tersenyum pada pria itu tanpa berkata apa-apa. Kemudian ia bangkit menghadapi Putri Eleanor.

“Di sini tidak nampak seekor hewanpun, Tuan Puteri,” kata Kakyu menjelaskan, “Satu-satunya hewan buruannya adalah Anda.”

Raja yang sejak tadi diam saja tiba-tiba tertawa. “Engkau benar-benar luar biasa, Kakyu, engkau tidak senang memburu hewan, tapi engkau memburu orang.”

“Papa!”

“Sudahlah, Eleanor. Kakyu memang benar. Di sini tidak ada seekor hewanpun dan aku yakin Kakyu mempunyai alasan bahkan mungkin Kakyu tahu sesuatu.”

Raja menatap lekat-lekat wajah Kakyu, “Aku benar, bukan? Tidak mungkin engkau setiap hari membawa tali dan kain hitam.”

“Anda benar, Paduka,” kata Kakyu, “Sebelum saya mengatakan yang saya ketahui, saya harap Anda mendengar nasehat saya.”

“Katakanlah, Kakyu, engkau telah menyelamatkan nyawaku dan putriku, aku yakin engkau juga akan memberi nasehat demi kebaikanku.”

“Kita kembali ke Istana Vezuza hari ini juga.”

“Apa!?” seru Putri Eleanor terkejut.

Raja tersenyum. “Baiklah, Kakyu. Aku setuju denganmu.”

Walaupun tahu putrinya kecewa karena perburuan yang semula direncanakan selama sebulan hanya berlangsung selama dua minggu kurang, Raja tetap memerintahkan mereka berkemas-kemas hari itu juga.

Sebelum Kakyu mengatakan apapun pada Raja Alfonso, Kakyu memastikan dulu kecurigaannya.

Ketika semua orang sibuk berkemas, Kakyu berbicara dengan pria itu.

“Siapakah nama Anda?” tanya Kakyu membuka percakapan.

“Halberd, Tuan,” jawab pria itu dengan ketakutan yang nampak jelas baik melalui wajah maupun suaranya.

Kakyu tersenyum. “Jangan takut, saya hanya ingin berbicara dengan Anda.”

“Ten… tentu, Tuan.”

“Panggil saya Kakyu.”

“Ten… tentu, Tu… an.”

Kakyu tersenyum melihat ketakutan pria itu. “Jangan takut. Saya benar-benar hanya ingin berbicara dengan Anda. Saya tahu Anda bukan orang jahat.”

Halberd tertunduk diam.

“Katakanlah kepada saya, orang yang menyuruh Anda membunuh Raja.”

Halberd masih diam.

“Kalau Anda tidak mengatakannya, saya tidak dapat menjamin Anda akan selamat. Setelah tiba di Istana Vezuza, mungkin Anda akan dihukum mati oleh Raja. Tapi mungkin saja Anda sudah mati sebelum itu oleh racun panah saya.”

“Ja… jangan, Tuan. Saya tidak ingin mati.”

“Bila Anda ingin selamat, katakanlah kepada saya apa yang membuat Anda melakukan ini semua,” kata Kakyu lembut.

Halberd menatap lekat-lekat wajah Kakyu seakan-akan ingin mencari kebenaran di sana.

“Anda janji, Tuan?”

“Tentu saja.”

Sorenya rencana mereka semula berubah.

Raja yang telah menyerahkan segalanya pada Kakyu, hanya menyetujui semua keinginan pemuda itu sambil menghibur kekecewaan putrinya.

Sore itu tenda yang seharusnya sudah dibongkar, tetap berdiri di tepi Hutan Naullie. Mereka tetap melakukan kegiatan mereka seperti hari-hari sebelumnya.

Semua itu dilakukan Kakyu untuk mencegah kelompok tak dikenal di tengah hutan itu curiga sementara ia dan beberapa pasukan Istana lainnya menyelamatkan keluarga Halberd.

Dari Halberd, Kakyu mengatahui kelompok yang diintainya kemarin malam berencana untuk membunuh Raja beserta keluarganya.

Kata Halberd, kelompok pemberontak itu memaksanya membunuh Raja dan putrinya saat mereka berburu atau keluarganya akan mati.

Kakyu telah berjanji akan menyelamatkan keluarga Halberd dan kini ia sedang berusaha mewujudkannya bersama lima orang prajurit Istana lainnya yang merupakan pilihan Raja.

Karena mereka akan melakukannya di malam hari, maka seperti kemarin, Kakyu mengenakan pakaian serba hitam.

Semua orang terkejut melihat Kakyu muncul dari tendanya dengan pakaian serba hitam seperti pencuri.

Tanpa mengatakan apa-apa, Kakyu menyuruh kelima orang pilihan Raja itu untuk mengenakan pakaian serba hitam sepertinya.

Kepada prajurit yang terpaksa membeli pakaian itu di Farreway, Kakyu berpesan agar prajurit itu mengatakan hal yang sama seperti dirinya bila pemilik toko bertanya. Kepadanya pula Kakyu menitipkan sehelai kain hitam untuk menggantikan kain penutup wajahnya yang digunakannya untuk membalut luka Halberd.

Seperti sehari sebelumnya, Kakyu memulai aksinya setelah langit menghitam.

Penampilan Kakyupun seperti kemarin malam. Bedanya kali ini ia membawa busur dan anak panahnya.

Semua terpana melihat penampilan Kakyu yang seperti mata-mata bersenjatakan busur dan anak panah itu dan kelima pasukan lainnya yang juga seperti mata-mata tapi tanpa penutup kepala dan bersenjatakan pedang.

Kakyu memang melarang yang lain membawa senapan.

Satu suara letusan senjata api dapat membuat keluarga Halberd semakin berada dalam bahaya.

Kakyu yakin kelompok pemberontak itu tidak akan membiarkan keluarga Halberd di Farreway bebas begitu saja.

Berapa orang yang menjaga tempat itu, Kakyu tidak tahu pasti. Tapi Kakyu yakin ia dan kelima prajurit terbaik pilihan Raja dapat menyelamatkan keluarga malang itu.

“Kakyu, engkau tampak seperti mata-mata yang hebat,” kata Putri Eleanor kagum.

“Terima kasih, Tuan Puteri.”

Raa tertawa melihat Kakyu. “Engkau tidak mau memburu binatang tapi sekarang engkau akan memburu manusia.”

Kakyu diam saja. Raja benar saat ini ia akan memburu orang bukan hewan. Tepatnya anggota kelompok pemberontak itu.

“Segeralah pergi berburu, Kakyu. Aku ingin tahu berapa 'hewan' yang akan kaudapatkan.”

Tanpa perlu disuruh dua kali, Kakyu dan kelompoknya segera pergi. Langsung menuju sasaran.

Kelima pasukan pilihan Raja yang jauh lebih tua dan berpengalaman dari Kakyu, tidak ada yang membantah maupun tersinggung ketika Kakyu memberikan perintah-perintahnya.

Seperti Raja Alfonso, mereka mempercayai kemampuan Kakyu.

Kakyu yang menugasi dirinya melumpuhkan penjaga di luar rumah Halberd dengan panahnya, segera menangkap letak orang itu dan membidikkan panahnya.

Kecepatan gerak Kakyu membuat prajurit lainnya yang ditugasi Kakyu untuk segera mengikat orang yang dipanah Kakyu, terpana beberapa saat.

Untung Jewry cepat mengikuti Kakyu yang telah berlari mendekati ‘hewan’ buruannya. Yang lain segera mengikuti mereka.

Ketika yang lain mengikat pria malang yang terluka pundaknya, Kakyu mengintip ke dalam rumah melalui jendela kaca.

Seperti penjaga di luar, di dalam rumah hanya ada satu orang yang menjaga dengan senapan panjang di tangannya.

Sebelum menentukan langkah selanjutnya, Kakyu mengamati keadaan rumah itu terlebih dahulu.

Kakyu segera kembali ke sekelompok orang yang telah menantinya.

“Di dalam hanya ada satu penjaga,” kata Kakyu, “Tapi aku tidak ingin kita menerobos langsug ke dalam.”

“Kami mengerti,” kata Fahd.

Kakyu menatap pria yang telah terikat dengan panah yang masih menancap di pundak kanannya.

“Cukup dua orang yang ikut bersamaku,” kata Kakyu, “Yang lainnya menjaga pria ini.”

“Aku ikut,” kata Raugh tiba-tiba.

Kakyu yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengawal putri Eleanor sejak ia masuk Istana, tidak tahu manakah yang terbaik dari kelima pengawal pribadi Raja ini.

“Phil, Paduka mengatakan engkau dapat membantuku,,” kata Kakyu pada prajurit yang paling diandalkan Raja tadi siang saat ia meminta Raja memilihkan lima orang yang akan membantunya.

Phil mengangguk tanda mengerti. “Keinginanmu terkabul, Raugh. Engkau dan aku ikut Kakyu. Yang lain jaga baik-baik pria ini.”

Sebelum pergi lagi, Kakyu berkata perlahan pada pria itu hingga tak terdengar olah yang lainnya, “Kalau saya adalah Anda, saya tidak akan bergerak sehingga racun panah itu tidak menyebar.”

Kepada Phil dan Raugh, Kakyu menjelaskan singkat rencananya kemudian ia memulai tugasnya sendiri.

Sewaktu Phil dan Raugh menanti waktu yang ditentukan di depan pintu masuk, Kakyu, dengan ajaran Kenichi, memanjat ke atap rumah.

Dengan tali yang digunakannya untuk memanjat itulah, Kakyu perlahan-lahan meluncur ke dalam cerobong asap.

Pakaian serba hitam Kakyu menyembunyikan tubuhya di perapian yang gelap itu.

Sambil menanti Phil dan Raugh mendobrak masuk, Kakyu menghitung jumlah anggota keluarga Halberd yang berada di ruangan itu.

Merasa waktu yang diberikan pada Kakyu cukup lama, Phil dan Raugh mendobrak pintu. Dan dengan senjata terhunus, mereka berkata, “Jangan bergerak.”

Perhitungan Kakyu tepat. Pria anggota kawanan pemberontak itu segera menodongkan senapannya pada seorang anggota keluarga Halberd yang berada di dekatnya.

Putra tertua Halberd, ketakutan melihat senapan itu ditodongkan ke kepala adiknya.

Seisi rumah menjerit kaget ketika sesaat kemudian pria itu jatuh beserta senapannya dan di belakang pundaknya tampak sebuah panah menancap kokoh.

Phil tersenyum melihat sinar perak busur Kakyu di perapian di seberangnya.

Berlainan dengan keluarga Halberd yang menganggap Kakyu yang keluar perlahan-lahan dari perapian dengan busurnya, sebagai pencuri.

Phil dan Raugh segera mengikat pria kedua yang dijatuhkan Kakyu sementara Kakyu memungut senapannya.

“Jangan takut, Nyonya,” kata Kakyu, “Suami Anda yang meminta kami untuk menyelamatkan Anda.”

Wanita itu hanya mengangguk ketakutan sambil memeluk kedua putranya.

“Boleh saya meminjam kereta Anda?”

“Ten… tentu,” jawab wanita itu terbata-bata.

“Terima kasih, Nyonya.”

Kakyu segera membawa kereta Halberd yang berada di belakang rumah, ke depan pintu.

Kepada Fick yang menjaga di luar, diperintahkannya untuk menaikkan pria itu ke kereta. Kemudian kepada Phil diperintahkannya hal yang sama.

“Nyonya, naiklah ke kereta,” kata Kakyu.

“Di mana suami saya?” tanya wanita itu memberanikan diri.

“Ia aman bersama kami,” jawab Kakyu, “Sekarang Anda sebaiknya ikut bersama kami.”

“Mari saya bantu, Nyonya,” kata Fick sambil mengulurkan tangannya kepada istri Halberd yang masih berdiri ketakutan di samping kereta.

“Kakyu, tampaknya ia takut pada penampilanmu yang seperti pencuri itu,” kata Fick, “Sebaiknya engkau lepaskan topengmu. Sekarang tempat ini sudah aman.”

“Tidak, Fick, tempat ini belum aman,” kata Kakyu, “Mereka bisa datang sewaktu-waktu.”

Mendengar kata-kata itu, wanita itu semakin ketakutan. Ia cepat-cepat menaikkan kedua putranya ke kereta kemudian ia sendiri naik.

Kakyu tersenyum di balik topengnya melihat wanita itu meringkuk ketakutan di pojok kereta yang cukup besar itu sambil memeluk putra-putranya.

“Kalian juga cepat naik,” perintah Kakyu pada Fick dan Fahd yang masih berdiri di sampingnya.

Kakyu membiarkan rumah Halberd tetap terang.

Setelah menutup kembali pintu rumah kecil itu, Kakyu naik ke kereta.

Kakyu duduk sendiri di depan. Kakyu pula yang menjalankan kereta itu.

“Untung kereta ini besar sehingga kita tidak perlu berdesak-desakkan,” kata Jewry.

“Benar,” sahut Fick, “Tapi panah ini menganggu saja.”

“Tarik saja.”

“Jangan kaulakukan, Fahd,” Kakyu memperingati.

“Baik, Kakyu.”

“Biar aku menggantikanmu, Kakyu,” kata Phil, “Engkau pasti lelah.”

“Tidak, Phil. Aku harus mengarahkan kuda ini ke jalan yang tepat yang tidak membuat mereka curiga.”

“Baiklah, Kakyu. Terserah engkau.”

Kakyu tidak berkata apa-apa sesudahnya.

Dugaan Kakyu benar. Kelompok yang menyembunyikan dirinya di tengah Hutan Naullie yang lebat itu memang bukan orang baik. Mereka adalah sekelompok pemberontak.

Dari mana datangnya kelompok itu, Kakyu tidak tahu. Tapi yang pasti harus ada yang menjaga Hutan Naullie sejak saat ini.

Kakyu tahu ia bisa saja memberitahu tempat pemberontak itu dan menghancurkannya sebelum pemberontak pecah. Tapi siapa yang akan percaya pada pemuda seperti dirinya.

Walaupun Raja mengagumi Kakyu, Raja masih meragukan kemampuannya di usianya yang masih muda ini. Terbukti dengan banyaknya tugas berat yang diberikan Raja Alfonso padanya.

Kakyu menyadari hal ini.

Kakyu yakin dengan tidak kembalinya dua kawan mereka, pemberontak itu akan curiga. Itu berarti keselamatan Raja Alfonso dan Putri Eleanor semakin terancam.

Kakyu tahu apa yang harus dilakukannya.

“Kita telah tiba, Nyonya,” kata Raugh.

Kakyu melompat turun dari kereta diiringi pasukan lainnya.

Raugh dan Fick kembali membantu keluarga Halberd turun dari kereta.

Raja yang baru keluar dari tendanya, tersenyum melihat dua pria yang terikat di kereta pengangkut jerami itu.

“Engkau mendapat dua ekor ditambah sebuah kereta,” Raja menghitung.

“Kami terpaksa meminjamnya untuk membawa rombongan ini ke sini karena tadi kami tidak membawa seekor kudapun,” kata Phil melaporkan.

“Bagaimana perasaan kalian dapat bekerja bersama Kakyu?”

“Pemuda ini memang mengagumkan, Paduka,” kata Jewry sambil menepuk pundak Kakyu.

“Ialah yang melumpuhkan kedua penjahat itu,” tambah Phil.

“Ya, aku melihat panahnya menancap di pundak kedua orang itu.”

“Kakyu hebat sekali, Paduka. Dua kali ia tepat mengenai pundak sasarannya sehingga mereka menjatuhkan senjatanya tanpa sempat menarik picunya,” kata Raugh.

“Dan mereka tidak akan dapat memegang senjata mereka lagi,” tambah Jewry.

“Tampaknya kalian benar-benar dibuat kagum olehnya,” kata Raja Alfonso, “Aku iri pada kalian. Seharusnya tadi aku juga ikut kalian.”

“Paduka, saya ingin menangani kedua pria ini, bila Anda tidak keberatan,” sela Kakyu.

“Lakukan saja, Kakyu. Aku tahu engkau sedang memburu sesuatu.”

“Terima kasih, Paduka.”

Dengan ijin Raja Alfonso, Kakyu membawa keluarga Halberd pada Halberd beserta dua pria hasil ‘berburu’nya.

Kedua putra Halberd segera berlari memeluk ayahnya sementara itu istri Halberd terkejut melihat suaminya terikat dalam keadaan terluka.

“Berbicaralah dengan Halberd, Nyonya. Saya tidak akan menganggu,” kata Kakyu sambil menuntun dua pria lainnya yang juga terikat seperti Halberd, ke sudut sudut tenda lainnya.

Kakyu mendudukkan kedua pria itu di lantai. Baru setelah itu ia melepaskan topeng kain ala ninjanya.

Kedua pria yang telah diberitahu mengenai panah beracun itu, diam saja ketika Kakyu menarik panah itu dan membalut luka mereka dengan kain hitamnya.

“Sebaiknya kalian berterus terang padaku bila kalian ingin selamat.”

Kakyu melayangkan pandangannya ke pintu tenda yang dijaga dua prajurit kemudian beralih kepada dua pria di depannya.

“Kawan kalian mungkin dapat meloloskan kalian dari tenda ini tapi kalian tidak akan dapat meloloskan diri dari racun panahku.”

Kakyu diam memperhatikan kedua pria itu sebelum melanjutkan. “Racun ini bukan sembarang racun,” kata Kakyu sambil memperhatikan mata panah yang berlumuran darah itu, “Racun ini racun khusus yang obat penawarnya hanya dimiliki olehku.”

“Kalau kalian tidak mau berkata jujur, aku yakin kalian mati menderita oleh racunku,” tambah Kakyu – berbahaya.

Tatapan tajam Kakyu yang sebahaya ucapannya berhasil membuat kedua pria itu bercerita panjang lebar tentang kelompok mereka.

Tapi mereka tetap mengatakan tidak mengetahui tempat persembunyian pemberontak itu walau Kakyu telah berkata,

“Pengakuan kalian di sini lebih ringan daripada di Istana Vezuza. Raja dan para Jenderal lainnya tidak akan segan-segan menghukum kalian bila kalian berbohong.”

Tak seorangpun dari mereka yang tahu kalau Kakyu sudah mengetahui tempat persembunyian mereka.

Setelah puas dengan keterangan yang didapatnya, Kakyu tersenyum dan berkata, “Maafkan saya saya yang telah membohongi Anda, Tuan-tuan. Panah ini sama sekali tidak beracun.”

Seperti halnya Halberd tadi siang, kedua pria itu terkejut dengan pengakuan Kakyu.

Kakyu sengaja berbohong baik kepada Halberd maupun kedua pria itu demi mendapatkan keterangan yang diinginkannya.

Walaupun panah yang digunakannya malam ini adalah panah kayu, keduanya sama-sama tidak beracun.

Bila tadi siang Kakyu tidak menggunakan panah kayunya, itu karena panah perak yang sedang melesat takkan mudah dilihat di bawah sinar matahari. Sebaliknya panah kayu yang melesat takkan mudah dilihat di malam hari.

Kakyu meninggalkan kedua pria yang sedang menyesali diri itu.

“Anda tidak boleh tinggal di sini, Nyonya.”

“Mengapa Anda tidak melepaskan suami saya? Ia tidak bersalah,” kata wanita itu.

“Saya tidak dapat melepas orang yang hendak membunuh Raja sebelum pengadilan atau Raja sendiri yang membebaskannya.”

“Apakah Ayah akan dihukum mati?” tanya putra tertua Halberd.

“Tidak,” jawab Kakyu, “Raja Alfonso seorang yang pemurah. Ia tidak akan menjatuhkan hukuman berat kepada Halberd apalagi setelah mengetahui Halberd melakukannya karena diancam.”

“Saya ingin tinggal di sini,” wanita itu bersikeras.

“Anda tidak boleh melakukannya, Nyonya.”

“Imma, sebaiknya engkau ikuti saja kata-kata Tuan ini,” Halberd ikut membujuk, “Ia tidak akan mencelakaiku. Ia sangat baik padaku.”

“Tapi, Halberd, lukamu itu…”

“Lukaku tidak apa-apa, Imma. Tuan ini telah mengobatinya.”

“Bila Anda tidak memikirkan diri Anda, Nyonya, setidak-tidaknya pikirkan kedua putra Anda yang masih kecil ini,” kata Kakyu, “Anda tentu tidak ingin mereka tidur di tempat yang tidak nyaman ini.”

Imma memandang kedua putranya sebelum mengikuti Kakyu.

Karena tidak ada tenda kosong lagi, Kakyu membawa mereka ke tendanya sendiri.

“Tunggu sebentar di sini,” kata Kakyu, “Saya akan merapikan tenda ini.”

Seperti yang diucapkannya, Kakyu segera keluar.

Kakyu tersenyum pada Imma yang terkejut melihat pakaian hitamnya telah berganti menjadi seragam putih kebiru-biruan dengan sebilah pedang panjang di pinggang kirinya dan busur beserta anak panah di tangannya.

“Berisitirahatlah di dalam, Nyonya,” kata Kakyu, “Besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat ke Chiatchamo.”

Imma mengangguk kemudian membawa kedua putranya masuk.

Kakyu segera menuju tenda tempat Halberd dan kedua pria itu diikat.

“Berjaga-jagalah,” kata Kakyu pada prajurit yang menjaga tenda, “Kawan mereka bisa muncul sewaktu-waktu.”

“Kami mengerti.”

Kakyu tersenyum puas kemudian menuju tenda terbesar tempat Raja Alfonso berada.

Kakyu terkejut melihat Raja Alfonso masih bercakap-cakap dengan kelima orang yang melakukan penyelamatan keluarga Halberd bersama-sama dengannya itu.

“Kami baru saja hendak mencarimu, Kakyu,” kata Raja.

“Sebaiknya Anda berisitirahat sekarang juga, Paduka,” saran Kakyu.

“Mengapa?” tanya Raja Alfonso keheranan.

“Besok sebelum langit terang, kita harus meninggalkan tempat ini.”

“Apa tidak terlalu pagi, Kakyu?” tanya Raugh.

“Itulah saat yang kita cari. Kita harus meninggalkan tempat ini.”

“Apa tidak terlalu pagi, Kakyu?” tanya Raugh.

“Kita harus sudah meninggalkan hutan ini sebelum mereka mencium kejanggalan yang ada.”

“Mereka siapa, Kakyu?” tanya Phil, “Sejak tadi engkau menyebut ‘mereka’ tanpa memberi penjelasan apapun.”

“Kali ini engkau harus mengatakan semua yang kauketahui padaku, Kakyu,” tegas Raja Alfonso.

“Di suatu tempat di hutan ini ada sekelompok orang yang mengincar nyawa Anda, Paduka,” Kakyu menjelaskan singkat.

Mereka terkejut.

“Di hutan ini?” tanya Phil tak percaya.

Kakyu mengangguk.

“Engkau memang menakjubkan, Kakyu. Tak salah bila putriku menyukaimu,” kata Raja, “Engkau telah mengetahui letak musuh sebelum kami yang telah berpengalaman ini.”

“Saya mengetahuinya dari Halberd,” kata Kakyu merendahkan diri.

“Tapi sebelumnya engkau telah mengetahuinya, bukan?”

Kakyu tidak ingin berbohong kepada Raja juga tidak ingin mengaku. Ia memandang tenang wajah curiga Raja Alfonso.

“Pasti ini ada hubungannya dengan kepergianmu kemarin sore yang mencurigakan.”

Sekali lagi Kakyu tidak mengaku juga tidak berbohong pada Raja Alfonso. Dengan tenang ia berkata, “Sebaiknya Anda segera berisitirahat, Paduka.”

“Baiklah, Kakyu,” kata Raja Alfonso mengalah, “Hingga kapanpun akan tetap sulit menyuruhmu berbicara panjang lebar.”

“Sebaiknya kalian juga beristirahat,” kata Kakyu pada kelima pengawal pribadi Raja Alfonso.

Mereka berenam segera mengundurkan diri dari tenda Raja.

“Apa yang sekarang akan kaulakukan, Kakyu?” tanya Phil.

“Aku akan berjaga-jaga,” kata Kakyu singkat.

“Aku akan menemanimu,” kata Raugh.

“Tidak,” kata Kakyu tegas, “Kalian harus beristirahat.”

“Engkaulah yang harus berisitrahat, anak muda,” kata Jewry sambil menepuk pundak Kakyu.

“Besok kalian harus dapat menjaga keselamatan Raja. Malam ini nyawa Paduka masih aman, tapi tidak besok.”

Phil memikirkan kata-kata Kakyu itu kemudian berkata, “Ia benar. Malam ini kita harus menyerahkan keselamatan Raja padanya. Dan di hari berat esok, kitalah yang akan menggantikannya.”

“Baiklah,” kata Jewry, “Selamat malam, Kakyu.”

“Selamat malam,” balas Kakyu.

Kakyu mengiringi kepergian mereka dengan pandangan matanya.

Setelah kelima orang itu memasuki tenda masing-masing, Kakyu mulai berkeliling di sekitar perkemahan mereka sambil menantikan datangnya pagi.

No comments:

Post a Comment