Wednesday, March 14, 2007

Gadis Hari Ketujuh-Chapter 1

Suasana terasa nyaman.

Angin menerbangkan daun-daun yang menguning. Satu per satu daun kuning melepaskan diri dari dahan yang kokoh dan pergi bersama angin kering yang panas. Tirai-tirai jendela yang terbuka bergerak turut dipermainkan angin.

Orang-orang berlalu lalang di halaman tanpa mempedulikan teriknya matahari siang musim gugur. Pohon-pohon besar menaungi bangunan istana putih yang megah.

Wanita-wanita cantik terlihat berkerumun sibuk berbicara. Kipas bulu mereka yang berwarna-warni menutupi wajah cantik mereka ketika mereka tertawa. Gaun mereka yang lebar bagai bunga yang berwarna-warni. Bunga indah yang terus menghiasi Istana Welyn sepanjang tahun.

Prajurit berdiri tegak di tempat mereka masing-masing. Kegagahan mereka menambah maraknya istana yang tak pernah sepi.

Pelayan-pelayan berlalu lalang. Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tak satu orangpun yang terlihat menganggur. Semua sibuk.

Berbagai macam suara terdengar di istana. Tawa para wanita cantik, bisik-bisik wanita penggosip, langkah kaki para pelayan yang sibuk. Semua ada di Welyn. Suara-suara itu membentuk suatu nyanyian kesibukan yang tiada pernah berhenti dari Istana Welyn. Nyanyian yang melantun pelan.

Di tengah-tengah kesyahduan nyanyian kesibukan itu tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi.

“TIDAK!!!!!”

Segala kegiatan Welyn terhenti sejenak. Mereka yang berada di luar segera menatap jendela lantai tiga tempat suara itu berasal.

Di dalam Maiden Room, Ratu membelalak kaget melihat putra satu-satunya.

“Tidak! Aku tidak mau!” ulang Pangeran tegas.

“Dengarkanlah dulu, Eduardo.”

“Apa yang harus kudengarkan?” sahut Pangeran.

“Aku yakin engkau akan menemukan gadis yang kaucari selama ini di antara mereka,” kata Ratu lembut, “Mereka semua gadis cantik yang menarik, tak mungkin engkau tidak mencintai seorang di antara mereka.”

Pangeran mendengus.

“Aku mengenal mereka semua. Belum pernah aku bertemu gadis-gadis secantik mereka dan secerdas mereka. Tak seorang priapun di dunia ini yang tidak tertarik pada mereka. Termasuk engkau.”

“Aku bersumpah aku tidak akan jatuh cinta pada seorangpun dari mereka.”

“Tidak akan menjadi masalah bagimu untuk bertemu mereka semua.”

“Ini ide tergila yang pernah kutemui. Dalam seminggu, aku harus menemani gadis yang membosankan. Satu hari satu gadis hingga genap tujuh gadis! Tidak, aku tidak akan melakukannya.”

“Apa sulitnya bagimu untuk bertemu mereka semua?” tanya Ratu, “Engkau sendiri yang telah bersumpah tidak akan jatuh cinta pada mereka. Untuk apa engkau takut menemui mereka? Engkau hanya perlu bertemu mereka masing-masing. Hanya itu yang kuinginkan darimu.”

“Mengapa ini semua terjadi padaku?”

“Ingatlah, engkau adalah Putra Mahkota Kerajaan Evangellynn. Hanya engkau satu-satunya pewaris tahta. Bila engkau tidak mempunyai keturunan, siapa yang akan menggantikanmu kelak? Aku juga telah lama ingin menggendong cucuku.”

“Aku tahu kedudukanku. Aku takkan lupa untuk mencari istri tetapi tidak sekarang.”

“Harus sekarang!” sahut Ratu, “Ingat, engkau sudah bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sudah…”

“Aku tahu,” potong Pangeran, “Tak perlu diteruskan. Aku sudah dewasa dan sudah saatnya untuk menikah.”

“Jadi, bagaimana keputusanmu?”

“Baiklah, aku menurut. Aku dapat meyakinkan diriku aku akan menghadapi hari-hari yang membosankan selama seminggu. Setelah itu, aku akan menyingkir jauh-jauh. Aku akan pergi untuk menyenangkan diri!”

“Setelah engkau menemui mereka, aku takkan melarangmu untuk melakukan segala yang engkau sukai,” Ratu tersenyum puas, “Mulai besok, engkau tidak boleh meninggalkan Istana. Besok pagi, Carmen, anak tertua keluarga Horthrouth, akan datang. Berikutnya adiknya hingga semua genap tujuh gadis.”

“Seminggu gadis yang membosankan.”

“Tujuh gadis cantik Evangellynn,” Ratu membenarkan, “Mereka akan menjadi seminggu gadis yang menarik bagimu.”

“Seminggu yang menjemukan. Seminggu gadis yang memuakkan,” kata Pangeran tegas. Kemudian Pangeran meninggalkan Maiden Room dengan suara bantingan pintu yang keras.

Ratu hanya menghela nafasnya.

Apa yang dapat ia lakukan untuk merubah ketetapan hati putranya?

Tanpa membuang waktu sedikitpun, Ratu bergegas memanggil prajurit untuk segera mengirim kabar kepada keluarga Horthrouth.


-----0-----



“Apa yang dikatakan prajurit itu, Papa?” tanya para gadis serempak.

Earl Horthrouth kewalahan menghadapi putri-putrinya yang mengerumuni dengan sinar mata penuh keingintahuan.

“Kalian duduklah diam,” kata Countess Dasida, “Biarkan ayah kalian duduk dan menceritakan apa yang dikatakan prajurit itu.”

“Baik, Mama,” sahut mereka bersama-sama. Mereka duduk di sofa panjang dan menatap serius Earl.

Earl memandang putrinya satu per satu. Mereka sudah tidak sabar menanti apa yang dikatakannya.

“Prajurit itu diutus Ratu untuk mengatakan bahwa Pangeran telah setuju untuk menemui kalian masing-masing.”

“Benarkah itu, Papa?” sahut mereka.

“Aku tidak berbohong.”

Gadis-gadis itu sibuk berbicara satu sama lain.

“Pangeran akan menemui kita,” kata Nelly.

“Apakah ia akan jatuh cinta pada seorang dari kita?” tanya Coudy.

“Siapakah di antara kita yang akan dicintainya?” Emilie turut bertanya.

“Oh, apakah yang harus kulakukan?” sahut Carmen, “Besok aku yang pertama kali akan menemui Pangeran. Aku harus mengenakan gaun apa? Apakah aku akan menarik perhatian Pangeran?”

“Kalian semua pasti menarik perhatian Pangeran,” Countess Dasida membesarkan hati mereka. “Kalian putri-putriku yang cantik. Kalian semua mendapat kesempatan untuk menjadi istri Pangeran.”

“Aku tidak sabar menanti besok, Mama,” kata Carmen.

“Kalian semua harus bersabar. Kalian akan mendapat giliran,” Earl menyambung, “Setiap hari aku akan mengantar seorang dari kalian semua ke Istana hingga hari ketujuh.”

“Aku harus mempersiapkan diriku sekarang, Mama. Besok aku harus tampil cantik,” rujuk Carmen.

“Tentu, Carmen. Kalian harus tampil cantik dan anggun di Istana sebab kalian akan bertemu dengan keluarga kerajaan.”

“Aku akan mengenakan gaun merah muda yang minggu lalu baru kubeli. Oh… aku harus menyiapkan segalanya sekarang.”

Carmen bergegas meninggalkan keluarganya.

“Kami akan membantumu!” gadis lainnya mengikuti.

Earl menatap Countess. “Mereka semua sangat antusias menanti saat bertemu Pangeran.”

“Sejak mengetahui Ratu ingin mempertemukan mereka semua dengan Pangeran, mereka dengan antusias menanti hari ini.”

“Aku senang melihat mereka seantusias ini. Belum pernah mereka sangat ingin bertemu dengan seorang pria muda.”

“Siapa yang tidak tertarik untuk bertemu dengan pria muda yang tampan, gagah dan akan menjadi seorang Raja?” tanya Countess. “Mereka belum pernah dipertemukan dengan pria yang lebih menarik daripada Pangeran. Selama ini tidak seorang pria pun yang dapat menarik perhatian mereka.”

“Mereka terlalu pemilih,” komentar Earl.

“Mereka hanya ingin memiliki suami yang sempurna menurut mereka. Engkau maupun aku tidak boleh mencegah keinginan mereka. Suatu saat nanti mereka akan menemukan pria yang ditakdirkan untuk mereka.”

“Kurasa selama seminggu ini, kita semua akan direpotkan putri-putri kita,” Earl tersenyum geli membayangkan apa yang akan terjadi selama seminggu ke depan.

Belum sampai satu hari Earl membayangkannya, semua yang dibayangkannya terjadi. Sepanjang hari itu para gadis ramai membicarakan pertemuan dengan Pangeran.

Setiap gadis mengatakan apa yang akan dikenakannya untuk menemui Pangeran. Mulai dari hiasan rambut hingga sepatu, mereka sebutkan. Mereka tidak sabar lagi menanti saat tiba giliran mereka. Hingga makan malam, pembicaraan para gadis itu tetap tidak berubah.

Earl dan Countess hanya tersenyum melihatnya. Pembicaraan para gadis itu seperti tidak akan pernah berakhir. Satu belum selesai, yang lain segera menyahut dan memberi komentar.

Mereka sibuk membayangkan apa yang akan dikatakan Pangeran pada mereka. Mereka menceritakan keinginan mereka bila bertemu Pangeran.

Masing-masing dari mereka akan memperoleh satu hari penuh berdua bersama Pangeran. Tidak seorangpun boleh menganggu mereka selama itu.

Ratu dengan para prajuritnya akan mencegah seorangpun yang ingin mengusik mereka. Ratu menginginkan selama sehari penuh Pangeran berdua dengan seorang di antara tujuh Pelangi Evangellynn yang terkenal akan kecantikan dan kecerdasannya itu.

Selama seminggu Pangeran akan dijauhkan dari sahabat-sahabatnya dan segala kesibukannya. Selama seminggu, Pangeran harus mengenal setiap Pelangi Evangellynn. Selama itu pula Pangeran harus menuruti segala keinginan para gadis.

Pangeran membayangkan hari-hari itu dengan penuh kengerian dan kemuakkan tetapi para gadis Horthrouth membayangkannya dengan penuh antusias.

Keputusan Ratu, membuat Pangeran tidak dapat tidur sepanjang malam. Dalam hatinya terus muncul perasaan muak dan enggan. Pangeran ingin pergi jauh menghindari semua gadis-gadis itu. Apapun sebutan mereka, Pangeran tidak tertarik.

Pagi hari seusai makan pagi, Pangeran harus menanti kedatangan gadis pertama Pelangi Evangellynn.

Pangeran berdiri di depan pintu masuk sambil terus menggerutu dalam hatinya. Ia tidak mengerti mengapa Ratu tega melakukan hal ini padanya. Ratu menyuruh Pangeran menyambut kedatangan tiap gadis dengan cara seperti ini.

Ketujuh gadis itu benar-benar harus diperlakukan dengan istimewa oleh Pangeran. Pangeran tidak boleh membantah semua keinginan mereka. Pangeran harus mengikuti semua keinginan mereka.

Membayangkan kedatangan para gadis itu sudah membuat Pangeran ingin pergi apalagi ditambah harus mengikuti keinginan para gadis yang macam-macam.

Tak berapa lama kemudian, kereta keluarga Horthrouth tiba di depan Pangeran.

Dengan enggan, Pangeran mendekati kereta itu dan membantu gadis di dalam turun dari keretanya.

Carmen tersipu-sipu mendapat sambutan langsung dari Pangeran. Pangeran meraih tangannya dan menciumnya dengan segala hormat.

“Selamat datang, Lady Carmen,” kata Pangeran memberi salam, “Silakan mengikuti saya. Ratu telah menanti Anda sejak tadi.”

Sengaja Pangeran melanggar ajaran Ratu. Ratu memerintahkannya untuk berkata, “Saya senang bertemu dengan gadis secantik Anda. Saya telah menantikan kedatangan Anda sejak tadi.”

Semalaman Ratu mengajari Pangeran untuk menghafal kata-kata itu. Pagi ini Pangeran ingat apa yang harus diucapkannya berdasarkan ajaran Ratu tetapi ia tidak mengucapkannya. Pangeran tidak tertarik untuk menanti para gadis itu dan ia tidak mau berbohong pada dirinya sendiri.

Dari semua orang di Istana, yang paling mengharapkan kedatangan para gadis itu adalah Ratu. Semua orang tahu itu. Dan, yang paling tidak menginginkan kedatangan mereka tentu saja sang Pangeran.

Dengan enggan Pangeran mengantar Carmen ke Ruang Tahta di mana Ratu dan Raja telah menanti.

“Hamba, putri pertama Earl of Horthrouth, Carmen, menghadap Paduka Raja dan Paduka Ratu Evangellynn.”

“Berdirilah, Carmen,” kata Raja.

Carmen mengangkat punggungnya. Ia berdiri dengan anggun di depan Raja dan Ratu.

Ratu tersenyum dalam hati melihat Carmen. Tidak salah gadis itu banyak dipuja lelaki.

Matanya yang hijau seperti daun yang telah matang. Rambutnya yang emas kecoklatan berombak dengan indah. Wajahnya yang putih memancarkan kelembutan. Matanya memancarkan kecerdasan. Rambutnya yang digelung rapi membuatnya tampak dewasa. Bibirnya yang memerah tersenyum ramah.

“Siapa yang tidak tertarik pada gadis secantik dia?” tanya Ratu pada dirinya sendiri.

“Aku senang engkau bersedia datang,” kata Raja, “Silakan engkau menghabiskan waktumu di Istana. Anggap istana adalah rumahmu sendiri.”

“Hamba akan berusaha, Paduka Raja. Istana jauh lebih besar dari rumah kami. Akan sulit menyamakannya dengan gubuk kami.”

Ratu tersenyum. “Ajaran orang tuamu selalu melekat pada dirimu. Aku takkan bisa melupakan bagaimana mereka mengajarkan setiap putrinya untuk bersikap rendah hati. Aku tak heran kalian tidak sombong walau kalian sangat cantik.”

“Anda terlalu memuji kami, Paduka Ratu,” Carmen tersipu.

“Bersenang-senanglah kalian,” kata Raja.

“Ajaklah dia berkeliling Istana,” Ratu memberikan saran.

Pangeran menatap Ratu dengan enggan. Ia menangkap perintah dalam saran itu dan ia tidak tertarik untuk melakukannya tetapi ia berkata, “Baik, Ibunda.”

Sesaat kemudian Pangeran sudah membawa Carmen ke taman.

Seperti yang dikatakan Ratu, tidak seorangpun yang mengganggu mereka sepanjang hari itu. Ketika meninggalkan Ruang Tahta, Pangeran merasa harinya yang membosankan telah dimulai dan ia tidak salah.

Sepanjang pagi itu Carmen banyak berbicara dan Pangeran banyak mendengarkan. Entah apa yang dibicarakan wanita itu, Pangeran tidak mendengarkannya. Pangeran juga tidak berusaha menutupi rasa tidak sukanya.

Sepanjang hidupnya Carmen selalu disukai orang lain. Tidak seorangpun yang mengacuhkannya. Carmen tidak mengerti Pangeran tidak menyukainya dan ia tetap berusaha mengajak bicara Pangeran.

“Bunga-bunga Istana tidak pernah terlihat layu. Setiap saat pasti ada yang segera membuatnya kembali segar,” puji Carmen, “Sejak dulu saya ingin mempunyai taman yang tidak pernah layu.”

“Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang sempurna,” ujar Pangeran tanpa berpikir.

“Anda benar,” Carmen sedih, “Tidak ada satupun yang sempurna.”

Pangeran tidak tertarik mendengar kesedihan Carmen. “Ke mana kita akan pergi? Aku yakin engkau bosan berada di sini sepanjang hari.”

“Bersama Anda sepanjang hari, tidak membuat saya bosan. Saya senang bisa menemani Anda, Pangeran.”

Pangeran menjauh ketika Carmen duduk di sampingnya. “Mungkin aku harus berterima kasih karena engkau mau berada di sini memenuhi panggilan ibuku. Sebenarnya apa yang membuatmu mau datang ke sini?”

“Pangeran…,” rujuk Carmen, “Anda jangan berbicara seperti itu. Saya datang ke Istana karena saya merasa sudah menjadi kewajiban saya untuk melayani raja saya.”

“Ke mana engkau ingin pergi?” ulang Pangeran kesal.

“Ke manapun Anda membawa saya, saya senang,” jawab Carmen dengan nada yang membuat Pangeran semakin kesal.

Pangeran sudah tidak tahan lagi ketika akhirnya terdengar bel makan siang.

Ratu telah mengatur makan siang Pangeran selama seminggu ini. Mulai dari pagi hingga makan malam, Pangeran dan gadis Pelangi itu makan bersama di Chamber Light.

Pangeran sudah kesal oleh kebersamaannya dengan Carmen dan bertambah kesal ketika teringat acara makan siang. Seminggu ini akan menjadi sangat berat baginya dan sangat menjemukan. Tetapi setelah semua ini selesai, Pangeran bersumpah akan bersenang-senang.

Tanpa semangat, Pangeran melangkah ke Chamber Light. Ingin sekali Pangeran memulangkan Carmen tetapi bila itu dilakukannya akibatnya akan sangat fatal baginya. Ratu akan murka dan akan memaksanya menikah dengan gadis pilihannya. Ratu pasti akan menggunakan segala cara agar ia mau menurut.

Seperti seorang tawanan, Pangeran menarik kursi untuk Carmen kemudian duduk di depan gadis itu.

Wajah Carmen berseri-seri. Senyum cantik menghiasi wajahnya. Mata hijaunya membelalak penuh kekaguman.

Tak ada pria lain yang dikagumi Carmen selain Pangeran. Pangeran sangat tampan dan gagah. Tubuhnya tegap tinggi. Raut wajahnya yang kokoh menunjukkan wibawanya. Sinar matanya tajam dan memukau. Sikapnya agung. Pangeran benar-benar ksatria yang tiada duanya bagi Carmen.

Bila Carmen menceritakan pengalamannya hari ini pada adik-adiknya, Carmen yakin mereka akan iri padanya. Tetapi mereka juga akan merasakannya sendiri esok. Carmen senang menjadi yang pertama bertemu Pangeran.

Saat yang paling menyenangkan Carmen adalah saat makan malam bersama Pangeran.

Suasana sangat romantis. Tiada cahaya di Chamber Light selain cahaya sepasang lilin putih kecil di antara mereka. Bunga-bunga putih segar menghiasi meja yang tertutup kain putih.

Keharuman bunga-bunga di meja memenuhi ruangan. Harumnya terasa menyegarkan jiwa. Carmen merasa seperti dibuai dalam keindahan malam. Tiada malam yang lebih indah dari malam ini bagi Carmen.

Pelayan-pelayan bermunculan dan tanpa henti melayani mereka.

“Oh… betapa menyenangkannya.”

“Saya senang Anda menyukai suasana makan malam ini.”

“Apapun yang Anda siapkan untuk saya, saya suka.”

“Apakah sekali saja engkau tidak bisa berhenti bersikap seperti itu?”

“Maksud Anda, Pangeran?” tanya Carmen kebingungan.

Pangeran memalingkan wajah. “Lupakan.”

“Pangeran…,” kata Carmen dengan manjanya, “Kalau ada yang tidak berkenan di hati Anda, katakanlah pada saya.”

“Lupakan apa yang baru saja kukatakan,” Pangeran memerintahkan.

Carmen tertunduk diam.

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu takut.”

“Anda tidak membuat saya takut.”

Pangeran tidak berkeinginan untuk menanggapi. Pangeran ingin segera tiba saatnya mengantarkan Carmen ke depan pintu dan melepaskan gadis itu untuk selama-lamanya.

Setelah hari ini, Pangeran tidak berharap bertemu kembali dengan Carmen. Cukup sekali mereka bertemu dan cukup sekali Pangeran dibuat bosan olehnya.

Walaupun bosan, Pangeran harus bersikap sopan terhadapnya. Pangeran merasa semakin tersiksa karenanya. Ia ingin segera melepaskan diri dari Carmen.

Tidak heran ketika pelayan membawa hidangan terakhir, Pangeran sudah bersiap-siap untuk melesat ke bawah. Pangeran harus menahan dirinya kuat-kuat agar tidak segera menarik Carmen ke bawah dan memasukkan gadis itu ke dalam kereta kuda yang akan segera membawanya pulang.

“Hari telah malam,” Pangeran memulai pembicaraan, “Aku akan merasa sangat bersalah pada orang tuamu bila memulangkan engkau terlalu larut.”

“Mereka akan mengerti bila saya pulang larut.”

Pangeran menggelengkan kepalanya. “Tidak pantas seorang gadis pulang larut. Sebaiknya aku segera mengutus orang untuk mengantarmu pulang.”

Carmen menurut. Ia sudah tidak sabar untuk menceritakan pengalamannya ini pada adik-adiknya.

Pangeran mengantar Carmen hingga ke depan kereta. Sebelum gadis itu naik, Pangeran meraih tangannya dan berkata, “Selamat malam, Lady Carmen. Semoga Anda selamat dalam perjalanan.”

“Selamat malam, Pangeran,” balas Carmen.

Carmen masuk ke dalam kereta kemudian kereta meninggalkan Istana.

“Akhirnya…,” kata Pangeran puas ketika melihat kereta itu semakin menjauh. Pangeran ingin bergembira untuk melepaskan kebosanannya. Ia merasa sangat gembira dan puas. Gadis yang menyebalkan itu akhirnya pergi dari Istana dan…

Pangeran mengumpat kesal.

Esok, lusa dan selama enam hari mendatang masih ada gadis-gadis menyebalkan yang lain. Artinya, Pangeran belum bisa bersenang-senang.

Dengan hati dongkol dan tanpa minat, Pangeran menuju kamarnya.

Pangeran melucuti pakaian resminya dan mengenakan baju tidur. Matanya memandang keluar jendela ketika ia melepaskan jasnya.

Timbul keinginan untuk kabur dari Istana. Bila ia kabur, tidak akan ada yang tahu.

Hari sudah malam. Hampir semua orang sudah pergi ke kamarnya. Para prajurit tidak akan menahannya. Tidak seorangpun di Istana ini yang berhak menahannya selain kedua orang tuanya. Tetapi mereka takkan curiga. Mereka pasti mengira saat ini ia sedang bersama Carmen atau sedang tidur dengan puas setelah bertemu Carmen.

Lorong-lorong sepi. Cahaya lilin memenuhi lorong panjang Istana yang berliku-liku. Para pelayan sudah kembali ke kamar masing-masing. Mereka harus bangun pagi esok hari. Mereka yang biasanya berkeliaran di Istana, sudah pulang.

Pangeran memikirkan masak-masak rencana itu.

Bila ia kabur, ia akan terlihat seperti seorang pengecut yang tiada taranya di dunia ini. Hanya karena tujuh gadis yang membosankan, ia kabur.

“Tidak!” kata Pangeran tegas. “Aku harus bertahan selama seminggu yang menjengkelkan ini dan setelah itu aku bebas berbuat apapun. Tidak akan ada yang mencegahku.”

Pangeran naik ke tempat tidur dan segera menutup matanya. Ia ingin seminggu yang membosankan ini segera terlewati dan waktunya untuk bersenang-senang tiba.

No comments:

Post a Comment