Wednesday, March 14, 2007

Anugerah Bidadari-Chapter 14

Semua orang di tempat itu terkejut.

“Rara adalah…,” kata Kana tak percaya.

“Rara adalah Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra,” Jemmy meneruskan dengan takjub.

“Dia…dia… Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra?” tanya Cirra tak percaya.

Erland terus menatap Altamyra lekat-lekat.

Altamyra tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. “Bagaimana keadaan keluargamu, Ludwick?”

“Mereka baik-baik saja, Paduka. Kami semua baik-baik saja.”

“Sampaikan salamku pada mereka.”

“Tentu, Paduka.”

Kana melihat pandangan Erland terpaku pada Altamyra. “Sebaiknya kita pergi,” katanya tiba-tiba, “Rara… eh… Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra harus beristirahat. Sekarang sudah waktunya dia tidur.”

Fred segera menangkap maksud Kana. “Ayo pergi,” usirnya, “Banyak yang harus kita tunjukkan pada para Menteri ini. Mereka tentu ingin tahu bagaimana kehidupan kita selama pemerintahan Raja Wolve.”

Para Menteri pun merasakan suasana di antara Erland dan Altamyra. Tanpa menunggu disuruh dua kali, mereka segera pergi.

Fred tahu Cirra takkan mau meninggalkan Erland berduaan dengan Altamyra. Ia segera menarik pergi wanita itu.

Erland mendekati Altamyra. “Apa yang kaulakukan di sini?” ia bertanya dengan suara dinginnya.

“Mengikuti nasehat dokter,” jawab Altamyra tenang, “Bagaimana pemerintahanmu?”

“Semua lancar seperti yang kaukatakan. Para Menteri menuruti semua kata-kataku.”

Erland terus menatap Altamyra lekat-lekat.

Jantung Altamyra berdebar-debar melihat cara Erland memandangnya. Matanya terlihat lega. Pria itu seperti telah kehilangan semua beban hidupnya.

Mereka membisu dan saling menatap.

Tiba-tiba Erland memeluk Altamyra kuat-kuat hingga gadis itu merasa dadanya sakit. “Engkau membuat dadaku sakit, Erland.”

“Engkau patut mendapatkannya setelah membuat seluruh Vandella khawatir terutama aku.”

“Kana akan marah bila lukaku terbuka kembali.”

Teringat luka di dada gadis itu, Erland melonggarkan pelukannya tetapi tidak melepaskan gadis itu. “Bagaimana lukamu?”

“Lukaku telah lama sembuh.”

Erland menatap Altamyra penuh curiga.

“Engkau tidak percaya?” tanya Altamyra, “Engkau ingin melihatnya?”

Tiba-tiba wajah Altamyra memerah menyadari apa yang diucapkannya. Ia akan seperti gadis murahan bila membuka tubuhnya walau untuk menunjukkan lukanya yang telah sembuh.

“Engkau tidak boleh melihatnya,” Altamyra memperbaiki ucapannya, “Engkau harus mempercayaiku.”

Erland tertawa geli melihat wajah yang memerah itu. “Mengapa tidak?” godanya.

“Karena itu tidak sopan,” Altamyra menjawab tegas.

“Tak kusangka kau masih mengerti adat, setan cilik.”

“Kau!?” suara Altamyra meninggi. “Apakah kau datang untuk mencari pertengkaran baru?”

Erland tersenyum nakal.

Altamyra menghela nafas. “Sudahlah. Aku tidak ingin merusak masa-masa tenangku.”

“Secara agama, aku adalah suamimu. Engkau ingat?”

Seketika Altamyra murung.

Erland mendekap Altamyra semakin dekat dengan tubuhnya. “Engkau membuatku sangat cemas. Tidak pernah aku secemas ini dalam hidupku.”

“Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak mengkhawatirkan aku.”

“Engkau terluka ketika engkau pergi, Altamyra,” Erland mengingatkan. “Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?”

“Dengan kereta,” jawab Altamyra singkat.

Erland melihat bayang-bayang sekelompok orang di samping rumah. Ia mengangkat Altamyra.

“Apa yang kaulakukan?” tanya Altamyra panik.

“Aku pernah mengatakan padamu tempat yang paling aman untuk berbicara adalah di kamarku,” bisik Erland di telinga gadis itu.

Altamyra melingkarkan tangannya di leher Erland tanpa berkata apa-apa.

Erland membaringkan Altamyra di tempat tidur lalu melihat sekeliling ruangan. “Engkau tidur di tempat ini?”

“Kana yang menyuruhku. Katanya, aku bisa semakin gawat kalau tidur di luar sana. Ia juga berkata engkau tidak akan marah karena istrimu tidur di sini.”

Erland menutup matanya. “Di sini tercium wangimu.”

“Wangi?”

Erland membaringkan diri di sisi Altamyra dan menarik tubuh gadis itu merapat.

“Erland…,” protes Altamyra terhenti oleh ciuman lembut Erland.

“Sudah sejak lama aku ingin seperti ini,” Erland tersenyum tanpa merasa bersalah, “Aku selalu ingin memelukmu sepanjang malam dan mencium wangi tubuhmu yang segar.”

Altamyra diam membisu.

“Di Kamar Tidur Utama selalu tercium wangimu. Tiap kali aku berbaring di ranjang, aku selalu teringat padamu. Aku selalu mencemaskanmu, Altamyra.”

“Aku telah mengatakan padamu untuk tidak mencemaskanmu,” Altamyra mengulangi.

“Siapa yang tidak cemas ketika engkau pergi tiba-tiba dengan keadaan seperti itu!? Engkau pergi tanpa memberitahu siapapun. Engkau menghilang bersama angin.”

“Tidak,” bantah Altamyra.

Erland menatap Altamyra lekat-lekat. Matanya bersinar tidak percaya.

“Aku memberitahu Ludwick kalau aku akan pergi untuk memulihkan kesehatanku.”

“Pantas saja,” gumam Erland. “Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?”

Altamyra kebingungan.

“Semua orang bingung dan cemas ketika engkau pergi, tetapi Ludwick tetap terlihat tenang. Ia sering menasehatiku untuk tidak mengkhawatirkan apa pun.” Erland menjelaskan.

“Ia sudah tahu tetapi ia diam saja,” geram Erland tiba-tiba. “Apakah ia tidak dapat melihat kecemasan rakyat? Kecemasanku!?”

“Ia tidak bersalah,” bela Altamyra, “Aku menyuruhnya untuk tutup mulut.”

“Seharusnya aku tahu kalian bersekongkol untuk menipuku,” Erland menenggelamkan wajahnya di rambut Altamyra, “Engkau membuatku hampir gila karena mencemaskan kesehatanmu.”

Erland membelai rambut Altamyra. Dari gerakannya, suaranya terlihat ia merasa lega dan bahagia karena dapat memeluk Altamyra kembali.

“Aku khawatir engkau tidak dapat bertahan dalam cuaca yang buruk ini. Hannah mengatakan engkau pernah bersumpah akan kembali ke Marshwillow tak lama setelah engkau pergi ke Vandella. Ia mengira engkau kembali ke sana tetapi ia tidak menemukanmu. Penduduk mengatakan tidak pernah melihatmu sejak engkau meninggalkan tempat itu.”

“Aku berencana untuk kembali ke Marshwillow.”

“Kau gila!” pekik Erland, “Apakah engkau tidak memikirkan kesehatanmu!? Saat itu engkau sekarat.”

“Aku tahu kejamnya laut di musim gugur. Aku tahu aku tidak dapat bertahan bila memaksa kembali ke Marshwillow. Karena itu aku memutuskan pergi ke Lasdorf. Aku berencana memulihkan kesehatanku di sini. Setelah itu aku akan pergi ke Marshwillow.”

“Apakah engkau tidak dapat berpikir lagi, gadis bodoh?” tanya Erland heran, “Apakah engkau tidak tahu bagaimana kondisimu saat itu? Engkau tidak sanggup untuk berjalan selangkahpun. Aku melihatmu digendong Kincaid.”

“Saat itu aku tidak sanggup, tetapi sekarang aku sanggup. Engkau ingin tahu?” Altamyra beranjak bangkit.

“Tidak,” Erland menarik tubuh Altamyra. “Saat ini aku ingin tahu bagaimana engkau bisa sampai ke sini dan tanpa seorangpun yang melihat kepergianmu. Engkau tidak tidur saat pelayan meninggalkanmu?”

“Tidak,” kata Altamyra, “Mereka memberiku obat tidur seperti pesan dokter. Obat tidur bisa membuatku tenang tetapi tidak selama yang diharapkan. Aku selalu terjaga di tengah malam. Malam itu aku segera berkemas dan meninggalkan Istana. Tidak seorangpun yang dapat melihatku karena aku pergi dengan mengenakan mantel hitam. Aku meninggalkan Istana melalui pintu belakang.”

“Pintu belakang?”

“Azzereath mempunyai pintu belakang. Pintu itu selalu tertutup dan hanya digunakan pada keadaan darurat. Pintu itu tidak pernah dijaga oleh prajurit.”

“Sekarang aku mengerti bagaimana engkau bisa pergi tanpa meninggalkan jejak.”

Altamyra melanjutkan ceritanya, “Setelah itu aku menuju Perenolde. Di sana aku menyewa kereta kuda.”

“Engkau sungguh tidak bisa dimaafkan, Altamyra. Engkau tahu tubuhmu lemah tetapi engkau memaksakan diri untuk berjalan ke Perenolde,” gumam Erland, “Aku bersyukur jarak Azzereath dan Perenolde tidak jauh.”

“Engkau tidak perlu khawatir. Aku berjalan pelan-pelan sehingga aku tidak terlalu menyakiti dadaku.”

Tiba-tiba Erland teringat sesuatu. “Kereta kuda hanya bisa mengantarmu ke Thamasha. Bagaimana engkau ke tempat ini? Engkau…”

“Kau terlalu mengkhawatirkan aku,” Altamyra menjelaskan dengan lembut, “Aku meminta kusir mengantarku hingga di tepi hutan. Di sana, pasukanmu melihatku. Mereka melihat keadaanku dan segera membawaku ke sini.”

Altamyra tidak akan lupa bagaimana pasukan Erland cepat-cepat mendatanginya ketika ia turun dari kereta dengan dipapah kusir kereta. Mereka tampak sangat cemas melihat tubuhnya yang limbung dan hampir jatuh. Tanpa banyak bertanya, seorang dari mereka menggendongnya membawanya ke Lasdorf. Sedangkan yang lain segera kembali untuk menyiapkan tempat tidur.

Semua wanita segera menyambut kedatangannya. Semua orang mencemaskan keadaannya yang sangat lemah.

Nafasnya tersenggal-senggal. Wajahnya putih pucat dan tubuhnya demam.

“Cepat bawa dia ke kamar Pangeran!” seru Kana.

Beberapa wanita segera melepaskan mantelnya dan menyelimutinya dengan selimut tebal yang hangat.

Beberapa wanita yang lain sibuk mengompres dahinya.

Altamyra terlalu lemah untuk membuka matanya. Ia memandang wajah-wajah cemas itu melalui celah kedua matanya.

Tiba-tiba Altamyra merasa tubuhnya diangkat dan suatu cairan yang pahit dimasukkan ke mulutnya. Altamyra tidak melawan, ia meminumnya walau ia tidak menyukai rasanya yang sangat pahit.

Wanita itu membaringkannya kembali setelahnya. “Tidurlah. Besok engkau pasti merasa lebih baik.”

Melalui celah matanya, Altamyra memandang wajah Kana lalu jatuh tertidur.

“Aku sangat berterima kasih pada Kana,” kata Altamyra, “Aku tidak tahu ia pandai meramu obat. Berkat obat-obatannya, lukaku sembuh dan kesehatanku membaik.”

“Sejak dulu Kana memang pandai meramu obat. Ia menjadi tabib di sini,” Erland menjelaskan.

“Ia telah menyelamatkanku. Aku tidak akan bisa melupakan tindakannya.”

“Bagaimanapun juga, aku tetap mencemaskanmu.”

“Engkau mencemaskanku dari Cirra?” selidik Altamyra. “Engkau tidak perlu mengkhawatirkan wanita itu. Sejak aku tiba di sini, Kana memperlakukanku dengan istimewa. Ia selalu menjagaku dari terutama Cirra. Setiap kali Cirra mendekatiku, ia segera mengusir wanita itu. Setiap saat ia selalu berada di sisiku untuk mencegah aku melakukan hal-hal yang dapat membuat lukaku semakin parah.”

Altamyra tersenyum geli teringat sikap Kana yang melebihi Hannah. “Ia hanya mengijinkan aku menyulam. Sepanjang musim dingin, ia mengurungku di kamar. Ia menghidupkan perapian dan memberiku baju yang sangat tebal. Ia menyelimutiku dengan selimut yang tebal pula. Setiap saat orang banyak berkumpul di kamarku dan membuat aku merasa kepanasan.”

“Ia berusaha membuatmu selalu merasa hangat.”

“Aku tahu,” kata Altamyra, “Setelah musim dingin selesai, tiap pagi ia membawaku ke bawah. Ia mengatakan udara pagi yang segar baik untuk paru-paruku. Ia sangat menjagaku. Berkat dia, lukaku benar-benar sembuh. Paru-paruku telah sembuh. Sekarang aku dalam masa pemulihan.”

“Siapa yang menggendongmu?”

Altamyra tidak mengerti pertanyaan Erland.

“Saat itu engkau tidak sanggup berjalan,” Erland mengingatkan.

“Tidak,” bantah Altamyra, “Aku sanggup berjalan tetapi aku tidak dapat berjalan jauh. Baru beberapa langkah, nafasku telah tersenggal-senggal.”

“Siapa yang menggendongmu!?” Erland mengulangi pertanyaannya dengan memaksa.

Erland tidak mau Altamyra dekat dengan pria lain. Ketika melihat Kincaid menggendong Altamyra, ia tidak cemburu. Kincaid terlalu tua untuk Altamyra, tetapi di sini?

“Giorgio yang menggendongku. Kana menyuruhnya selalu membantuku untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain. Selain Giorgio, Kana tidak mengijinkan pria lain mendekatiku. Bagi Kana, aku adalah istrimu dan ia menjagaku dari pria lain yang berusaha merebutku darimu.”

Erland lega mendengarnya. Ia merasa beruntung telah memilih Kana sebagai penggiring wanita Altamyra.

“Kana mengatakan sekarang waktunya engkau tidur,” Erland tiba-tiba bangkit.

“Setiap hari pada saat ini, Kana memberiku obat dan menyuruhku tidur.”

“Di mana obatnya?”

Altamyra tidak mengerti permintaan pria itu, tetapi ia tetap menjawab pertanyaan itu. “Kana meletakkannya di meja kerjamu.”

Erland menuju meja itu kemudian kembali ke sisi Altamyra dengan obat di tangannya. Erland membantu Altamyra duduk lalu menyuapkan obat itu. Erland membaringkan Altamyra sebelum meletakkan gelas di meja kerja.

Altamyra kebingungan melihat sikap Erland.

Erland berbaring di sisi Altamyra dan memeluk gadis itu.

Altamyra terkejut. “Erland!”

Lagi-lagi Erland menghentikan protes Altamyra dengan ciuman lembutnya. “Tidurlah,” katanya setengah berbisik.

Obat yang dibuat Kana untuk Altamyra, selalu membuat gadis itu mengantuk. Dalam waktu singkat ia telah jatuh tertidur.

Altamyra bahagia. Tangan-tangan kekar Erland terasa terus melingkari tubuhnya. Dada pria itu terasa hangat dan membuatnya terasa sangat tenang. Altamyra yakin ia bisa tidur lama dalam pelukan pria itu.

Ketika Giorgio memberitahu Erland akan datang, Altamyra tahu pria itu akan terkejut melihatnya. Tetapi, ia tidak menduga Erland akan memeluknya seperti ini.

Sejak meninggalkan Istana, Altamyra tidak berharap dapat bertemu Erland lagi. Ia yakin Erland akan menemukan wanita lain yang akan dicintainya sepanjang hidupnya. Di Istana banyak berkeliaran wanita-wanita cantik. Tamu-tamu wanita yang cantik juga banyak.

Hidup Erland di Azzereath dikelilingi oleh kemewahan dan wanita-wanita cantik. Pria itu akan cepat melupakannya dan pernikahan mereka yang aneh. Hingga kini Altamyra sering bingung apakah ia sudah menjadi istri Erland atau belum. Altamyra tahu ia mencintai pria itu dan akan terus mencintai pria itu sepanjang hidupnya.

Setelah semua ini selesai, Altamyra ingin kembali ke Marshwillow. Ia akan hidup di dekat ibunya dengan cintanya kepada Erland dan rakyat Vandella. Dari jauh ia akan terus memperhatikan mereka.

Tiba-tiba Altamyra merasa tubuhnya seperti diguncang-guncang. Ia membuka matanya.

Erland menunduk. “Engkau sudah bangun?”

Altamyra melihat ruangan sempit itu dengan kebingungan. Beberapa saat kemudian ia terpekik kaget. “ERLAND!!”

Erland tersenyum tak bersalah.

“Engkau akan membawaku ke mana?”

“Aku akan membawamu kembali ke Istana.”

“Aku tidak ingin kembali,” kata Altamyra tegas.

“Aku tahu engkau ingin ke Marshwillow,” kata Erland dingin, “Setelah engkau menipuku, apakah aku akan membiarkanmu pergi lagi? Kaupikir aku tidak tahu engkau sengaja bersembunyi di Lasdorf selama beberapa bulan agar tidak seorangpun yakin engkau kembali ke Marshwillow. Setelah aku memeriksa tempat itu, engkau akan segera ke sana dan hidup dengan tenang.”

“Aku tidak menipumu, Erland. Aku melakukan apa yang harus kulakukan.”

“Apa!?” tukas Erland ketus.

“Menjauhimu.”

“Mengapa?” suara Erland berubah menjadi lembut.

“Karena aku tahu engkau membenciku. Engkau tidak dapat melihatku tanpa kebencian walau hanya sedetik. Engkau tidak tahan melihatku.”

Erland terus menatap Altamyra.

“Matamu saat kita bertemu menunjukkan kebencianmu padaku. Saat melihatnya, aku tahu engkau tidak dapat memaafkanku. Engkau membenciku dari lubuk hatimu yang terdalam,” kata Altamyra dengan sedih. “Engkau adalah burung rajawali yang selalu terbang bebas. Aku tidak ingin mengikatmu dengan kebencianmu kepadaku. Aku tahu bila aku pergi, engkau lebih mudah melupakan aku.”

“Mengapa engkau tega meninggalkan rakyat Vandella dalam kecemasan? Apakah engkau tidak melihat kecemasan kami?”

Sering Altamyra mendengar pertanyaan itu. Setiap hari, setiap saat Giorgio memberinya pertanyaan yang sama. Altamyra selalu memberi jawaban yang sama,

“Aku melihatnya. Aku mengetahuinya dan aku merasakan kecemasan kalian. Tetapi, aku tidak bisa kembali pada kalian. Tugasku membenahi semua pemerintahan ayahku telah selesai. Aku telah menemukan orang yang tepat untuk memerintah Vandella. Aku tidak dapat melupakan kalian tetapi aku tidak dapat berada di sisi kalian selamanya. Aku tidak mempunyai masa depan tetapi kalian mempunyai masa depan yang panjang yang harus terus kuperjuangkan.”

“Orang yang tepat?”

“Ya, engkaulah orang yang tepat untuk memerintah Vandella. Aku telah mengujimu dan engkau telah melewatinya.”

Erland keheranan. “Aku tidak pernah merasa diuji.”

“Engkau tidak menyadarinya. Aku terus menghinamu bukan tanpa alasan. Saat itu aku marah tetapi aku juga sedang mengujimu. Aku senang engkau mendengarkan semua kata-kataku dan merubah dirimu. Saat itu aku tahu engkau akan menjadi raja yang baik untuk Vandella.”

“Engkau luar biasa,” seru Erland kagum, “Engkau adalah gadis yang selalu membuatku terpesona.”

Altamyra memejamkan matanya.

“Aku akan membawamu ke Azzereath sebagai istriku dan tidak akan ada pria yang merebutmu dariku, gadisku yang mempesona.”

Tubuh Altamyra membeku. “Apa tujuanmu kali ini?”

“Tujuan?” Erland keheranan.

“Dulu engkau memaksaku menikah denganmu karena engkau ingin menggalang kekuatan. Saat itu aku setuju setelah kupikir pernikahanku denganmu akan membawa kedamaian bagi Vandella. Sekarang aku bukan Ratu Vandella lagi. Engkau juga telah menjadi Raja Vandella. Aku mencintaimu melebihi apapun di dunia ini tetapi engkau memanfaatkan aku.”

Erland menatap Altamyra lekat-lekat. Ia tidak percaya akan apa yang didengarnya.

“Engkau membenciku. Jangan menikahiku atas dasar kebencian itu,” mata Altamyra berkaca-kaca, “Kembalikanlah aku ke Lasdorf dan biarkan aku hidup tenang.”

“Aku lebih membenci diriku sendiri setelah engkau pergi,” Erland mencium mata yang basah itu dan membelai rambut Altamyra dengan penuh kasih sayang, “Aku mencintaimu melebihi apa pun di dunia ini.”

“Kupikir engkau mencintai Cirra.”

“Gadis bodoh,” kata Erland lembut, “Bagaimana aku bisa mencintai wanita lain bila seluruh cintaku telah tercurah untukmu.”

“Engkau dan Cirra dibesarkan bersama-sama di tempat ini. Sejak kecil kalian adalah teman.”

“Tetapi Cirra tidak semenarik dirimu. Tidak ada yang lebih menarik daripada engkau di dunia ini. Engkau adalah bintang yang selalu bersinar di hatiku. Lebih cantik dari siapa pun.”

“Engkau adalah burung rajawali agungku yang gagah perkasa.”

“Aku takkan terbang tanpamu. Aku ingin engkau selalu berada di sisiku. Aku telah menemukanmu dan aku tidak akan melepaskanmu lagi. Aku akan selalu memelukmu agar engkau tidak bisa meninggalkanku lagi. Semeter pun aku tidak akan membiarkan.”

Tiba-tiba Altamyra tertawa geli. “Jangan terlalu yakin, Erland. Aku yakin engkau tidak akan membiarkan aku ikut denganmu bila engkau sedang rapat.”

“Engkau benar. Aku tidak akan membiarkan engkau menyibukkan diri dengan urusan pemerintahan dan aku akan selalu mengawasimu agar tidak meninggalkan Azzereath tanpa aku.”

“Aku akan sangat bosan.”

“Aku akan memberimu pekerjaan yang akan membuatmu senang.”

“Apa itu?” tanya Altamyra tertarik.

Erland mendekatkan bibirnya ke telinga Altamyra dan membisikkan sesuatu.

Wajah Altamyra memerah.

Erland tertawa. “Aku telah berkata aku akan membawamu kembali ke Azzereath sebagai istriku. Aku akan mengadakan pesta besar dan mengundang setiap orang agar mereka tahu bidadari ini adalah milikku, rajawali yang gagah perkasa.”

“Engkau keterlaluan!”

“Aku akan memberimu banyak tugas yang harus kaujaga dan kaurawat tiap hari.”

“Aku pasti akan selalu memperhatikan mereka. Aku pasti akan melupakanmu,” goda Altamyra.

Erland tiba-tiba bersikap serius. “Kalau engkau lebih memperhatikan anak kita lebih daripada aku, aku akan sangat cemburu,” katanya tajam.

Altamyra tersenyum nakal. “Aku takkan meninggalkan burung rajawaliku yang gagah perkasa. Aku akan menjadi bintangmu yang selalu bersinar di hatimu,” katanya berjanji.

Beberapa meter di belakang kereta kuda Erland dan Altamyra, Noah berkata,

“Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka? Beberapa saat lalu mereka seperti bertengkar sekarang mereka tertawa.”

Merasa ditatap, Ludwick berkata, “Aku tidak tahu. Selama Ratu berada di Azzereath, aku sering bersamanya tetapi ia tidak pernah mengatakan apapun tentang Raja Erland hingga rapat itu.”

“Apapun yang terjadi di antara mereka, aku merasa mereka cocok,” sahut Danilo.

“Dari dulu mereka memang cocok. Banyak yang mengharapkan Ratu menikah dengan Raja Erland, tetapi Ratu memberikan tahta pada Raja dan ia pergi.”

“Menurutmu, mengapa Raja memaksa membawa Ratu sebelum Ratu bangun?”

“Aku tidak punya ide tentang itu.”

“Apakah menurutmu Raja mencintai Ratu?”

“Tidak mungkin.”

“Mungkin saja, Noah. Jangan lupa Ratu pernah tinggal di Lasdorf selama dua bulan. Ratu adalah gadis yang menarik, tak mungkin Raja tidak jatuh cinta padanya. Andai aku masih muda, aku juga akan jatuh cinta pada Ratu.”

“Aku kagum pada Ratu. Menurutku, penduduk Lasdorf mengalami kemajuan seperti yang dikatakan Tuan Fred, karena Ratu. Aku yakin Ratu yang mengatur semua pembangunan pondok-pondok itu.”

“Aku juga berpikir seperti itu,” Ludwick setuju, “Tidak ada yang dapat membuat perubahan besar secepat itu selain Paduka Ratu Altamyra.”

“Semua orang pasti terkejut dengan kembalinya Ratu.”

“Pasti, Noah,” kata Ludwick dan Danilo bersamaan.


-----0-----



“Jangan berisik!” desis Erland.

Altamyra merajuk. “Aku ingin duduk sendiri. Aku tidak ingin terus dipangku.”

“Engkau tidak suka duduk di pangkuanku?” selidik Erland.

“Aku tidak ingin membuat engkau lelah.”

“Walaupun lelah, aku suka memangkumu terus. Kalau engkau tidak kupangku, aku khawatir engkau kabur.”

“Hatiku telah bersamamu, bagaimana aku bisa pergi meninggalkanmu?”

Erland tersenyum. “Kalau engkau, aku yakin bisa, setan cilik.”

Altamyra memasang muka masam.

Erland ingin tertawa tetapi ia menahannya. Ia berencana membuat semua orang di Azzereath terkejut dengan kemunculan Altamyra.

Setelah membawa pulang Altamyra, Erland sengaja tidak memberi kabar apapun pada orang-orang di Istana maupun pada rakyat Vandella. Erland melarang seorangpun mengatakan Altamyra telah ditemukan.

“Ia suka memberi kejutan. Aku ingin kemunculannya ini mengejutkan seperti menghilangnya,” kata Erland pada setiap orang yang ikut bersamanya.

Kereta memasuki halaman Istana semakin dalam.

Seluruh penghuni Istana telah berdiri di depan pintu masuk untuk menyambut kedatangan Erland.

Erland turun kemudian mengulurkan tangan ke dalam kereta. “Kemarilah, sayang.”

Semua memandang ingin tahu. Siapakah gadis yang dibawa kembali oleh Raja mereka?

Hannah murung. Ia ingin melihat Altamyra menikah dengan Erland tetapi rupanya pria itu telah menemukan wanita lain. Menurutnya, Erland akan menjadi pria yang baik untuk Altamyra. Erland akan dapat membahagiakan Altamyra.

Sepasang tangan putih terulur dari dalam kereta. Hannah terbelalak melihat rambut keemasan yang menutupi wajah gadis itu. Rambut kuning seemas dan secerah itu hanya dimiliki seorang gadis. Gadis itu adalah…

Gadis itu memandangnya dan tersenyum manis.

“Yang Mulia Paduka Ratu Altamyra!” pekik semua orang.

Altamyra tersenyum dan menjatuhkan diri di pelukan Erland.

Erland membawa Altamyra menjauhi kereta kuda.

“Kami senang sekali dapat melihat Anda, Paduka.”

“Aku bukan Ratu kalian lagi,” kata Altamyra mengingatkan.

“Bagi mereka, engkau adalah Ratu mereka dan terus akan menjadi Ratu mereka,” kata Erland dan ia berbisik dengan suara lembut, “Bagiku, engkau adalah Ratu yang selalu bersinar di hatiku.”

Altamyra tersenyum pada pria itu. Lalu ia meninggalkan pria itu dan mendekati orang-orang itu sambil membentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

“Mengapa engkau tidak menyambutku seperti biasanya, Hannah? Mengapa kalian tidak menyambut kedatanganku?”

Hannah berlari memeluk Altamyra. “Anda membuat saya khawatir, Paduka.”

Altamyra melihat Erland menatapnya lekat-lekat. Matanya seperti mengingatkannya pada kesalahannya. Altamyra memberikan senyum tak bersalah pada pria itu.

“Anda pergi ke mana saja, Paduka? Saya mencari Anda di Marshwillow tetapi Anda tidak ada di sana. Sebenarnya Anda ke mana?”

“Aku tidak ke mana-mana, Hannah.”

“Di mana Anda menemukan Ratu, Paduka?”

“Aku menemukannya di Lasdorf. Ia sangat pintar. Bersembunyi di tempat yang tidak mungkin kupikirkan. Lalu setelah kita telah memeriksa Marshwillow, ia akan pergi ke sana.”

“Aku tidak begitu!” bantah Altamyra, “Aku ke Lasdorf karena aku ingin memulihkan kesehatanku. Aku yakin udara di sana dapat mempercepat kesembuhan paru-paruku.”

“Mengakulah,” desak Erland, “Engkau ke sana karena ingin bersembunyi.”

Altamyra melepaskan Hannah dan mendekati Erland. Matanya menatap tajam pria itu. “Kalau aku ingin bersembunyi, aku pasti telah berada di sana saat ini. Aku takkan berdiam diri di Lasdorf ketika tahu engkau akan datang,” katanya tajam.

“Engkau sudah tahu?” tanya Erland keheranan.

“Giorgio memberitahuku,” jawab Altamyra, “Ia selalu memberi kabar padaku atas apa yang terjadi di Vandella termasuk di sini.”

“Jadi, engkau tahu kami mencemaskanmu?” Erland berkata sinis.

“Sudah kukatakan aku mengetahuinya, engkau tidak mendengarkan dengan baik.”

“Aku harus menghukummu atas itu,” Erland berjanji.

“Tidak akan bisa!” sahut Altamyra.

Erland tersenyum kejam tetapi Altamyra tidak takut melihatnya.

Hannah merasa bersalah telah menimbulkan pertengkaran di antara dua orang itu. “Maafkan saya, saya tidak bermaksud membuat Anda bertengkar.”

Fred tertawa geli. “Kau tidak bersalah, Hannah. Mereka sering bertengkar. Ketika mereka tinggal di Lasdorf, setiap saat mereka bertengkar. Tanyalah mereka yang tinggal di Lasdorf kalau engkau tidak percaya.”

“Kalau begitu sebaiknya saya menjauhkan Paduka Ratu dari Paduka Raja,” kata Hannah. Hannah menarik Altamyra menjauh. “Saya tidak ingin Paduka Ratu disakiti Paduka Raja.”

Fred tertawa semakin keras melihat wajah masam Erland.

“Apakah Anda baik-baik saja selama perjalanan pulang?”

“Jangan cemas, Hannah. Kana telah memberiku bekal obat-obatan yang banyak. Ia pandai meramu obat. Ia juga yang merawatku selama aku tinggal di Lasdorf.”

“Anda harus menceritakan pada saya semua yang telah terjadi.”

“Tentu.”

Sepanjang hari itu, Altamyra harus menghadapi berbagai macam pertanyaan dari semua orang. Tanpa henti dan tanpa kenal lelah, ia menceritakan apa yang dilakukannya setelah pergi dari Istana Azzereath.

Semua orang ingin mengetahui cerita Altamyra. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian.

Altamyra merasa lelah terus bercerita tetapi ia tetap melakukannya. Altamyra tahu ia telah membuat mereka semua cemas dan sudah seharusnya ia menceritakan semuanya agar mereka tidak cemas lagi.

Terlihat kelegaan yang luar biasa di mata mereka saat mereka memandang Altamyra.

Erland merasa keberadaan Altamyra menghidupkan kembali suasana Azzereath. Erland tahu gadis bintangnya selalu menebarkan sinarnya yang memukau dan membuat orang tertarik.

“Malam ini engkau sangat cantik, Altamyra.”

Altamyra tersenyum. “Terima kasih.”

Untuk makan malam ini, ia mengenakan gaun sutranya yang paling indah. Ujung gaunnya yang berwarna merah muda dihiasi renda-renda putih dan modelnya sangat manis. Warnanya yang cerah membuatnya tampak semakin segar.

Erland duduk di sisi Altamyra. “Mereka tampak sangat senang melihatmu.”

“Aku melihatnya.”

Tiba-tiba Erland menarik Altamyra ke dalam pelukannya. “Aku juga sangat senang dapat memelukmu seperti ini.”

Altamyra tidak melawan. Ia memejamkan matanya. “Aku merasa lelah.”

“Sepanjang hari ini engkau bercerita tanpa henti,” Erland mengingatkan, “Andai aku tidak membawamu pergi, saat ini engkau masih berada di Ruang Duduk.”

Altamyra tersenyum geli teringat wajah geram Erland ketika pria itu memasuki Ruang Duduk. Tanpa banyak berbicara, Erland membopongnya dan membawanya ke Kamar Tidur Utama di mana telah pelayan-pelayan telah menanti kedatangannya.

“Mengapa engkau menyuruhku tidur di Kamar Tidur Utama?” tanya Altamyra, “Kamar itu adalah kamar Raja Vandella. Sekarang engkaulah Raja Vandella, bukan aku.”

“Hingga hari ini rakyat menganggapmu sebagai Ratu mereka.”

Altamyra mengangkat kepalanya menatap wajah Erland. “Mereka juga menghormatimu sebagai Raja mereka.”

“Tetapi aku merasa mereka lebih mencintaimu daripada aku.”

“Jangan berbicara seperti itu, Erland,” hibur Altamyra, “Mereka mencintaimu.”

“Mereka juga mencintaimu. Tetapi cinta mereka tidak sebesar cintaku padamu,” bisik Erland, “Tidak ada yang boleh mencintaimu melebihi cintaku padamu. Tidak boleh ada yang kaucintai melebihi cintamu padaku.”

Erland mencium Altamyra.

“Aku memberikan seluruh cintaku padamu, Erland, rajawaliku yang gagah perkasa.”

Erland kembali mencium Altamyra. Kali ini ia mencium gadis itu dengan penuh nafsu.

Altamyra merasa tubuhnya panas. Darahnya seperti mendidih. Tubuhnya terasa ringan seperti terbang ke tempat yang sangat tinggi. Tangan-tangan kekar yang melingkar tubuhnya, membuatnya merasa terlindungi.

Tiba-tiba Erland menghentikan ciumannya yang membara.

Altamyra menatap Erland dengan penuh rasa heran.

Erland tersenyum. Tangannya yang satu menelusuri wajah Altamyra dan tangannya yang lain memeluk pinggang Altamyra erat-erat. “Aku ingin terus mencium dan memelukmu tetapi aku harus bersabar hingga engkau menjadi istriku,” katanya.

“Bukankah aku telah menjadi istrimu?”

“Di Lasdorf, kita telah diresmikan menjadi suami istri oleh Pastor. Aku ingin dunia tahu engkau adalah istriku. Aku ingin melakukan apa yang dulu seharusnya kulakukan. Aku akan mengadakan pesta besar dan mengundang banyak orang. Semakin banyak orang yang datang, semakin banyak yang tahu engkau adalah milikku.”

Altamyra mengulangi janji yang pernah diucapkannya pada Erland, “Aku takkan meninggalkan burung rajawali agungku yang gagah perkasa. Aku akan menjadi bintangmu yang selalu bersinar di hatimu. Selamanya.”

No comments:

Post a Comment