Wednesday, January 31, 2007

Pelarian-Chapter 1

Bintang-bintang di langit mulai memudar. Langit malam yang hitam mulai digantikan oleh langit pagi yang biru cerah. Matahari yang bersembunyi di balik gunung yang berkabut putih tebal mulai menampakkan wajahnya yang cerah. Sekelompok awan putih mengintip malu-malu dari balik gunung yang tinggi menjulang langit. Langit timur pun mulai memerah pertanda malam mulai berganti pagi. Titik-titik air di permukaan daun tampak berkilauan seperti permata. Pohon-pohon di halaman Istana Urza meneteskan embunnya yang bersinar keemasan tertimpa sinar matahari. Di kejauhan terdengar suara serangga bersahut-sahutan. Perlahan-lahan suara serangga itu menghilang seiring dengan langit yang semakin terang.

Suasana di Istana masih sunyi senyap. Hanya suara kicau burung yang terdengar. Penghuni Istana seakan-akan masih terlelap dalam dunia mimpi mereka. Penjaga pintu gerbang berdiri sambil terkantuk-kantuk. Sesekali kepala mereka mengangguk-angguk. Ketika sinar matahari mulai menerangi bumi, mereka terbangun dan menantikan penjaga lainnya yang akan mengambil alih tugas mereka.

Matahari semakin menampakkan wajahnya dan dengan sinarnya yang terang, ia menyinari seluruh dunia. Bersamaan dengan itu kegiatan manusia pun dimulailah. Demikian pula kegiatan harian di Istana. Pelayan-pelayan mulai berlalu lalang dan saling mengucapkan selamat pagi. Namun suasana di Istana masih belum ramai. Semua orang seakan-akan menjaga kesunyian pagi itu. Satu-satunya yang ramai di Istana Urza adalah burung-burung yang terbang di sekitar Istana sambil menyanyikan lagu mereka dengan penuh suka cita.

Udara yang dingin terus merambati bumi.

Dalam keheningan yang menyelimuti Istana Urza itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan seseorang. Jeritan itu membuat semua orang terkejut dan mereka lebih terkejut ketika melihat seorang wanita tua berlari di sepanjang koridor menuju Ruang Duduk.

Wanita itu terus berlari sambil berteriak-teriak, “Paduka Raja! Gawat, Paduka!” Wanita itu demikian tergesa hingga hampir semua orang ditabraknya. Tetapi ia terus berlari sekencang-kencangnya.

Ketika ia tiba di Ruang Duduk, seorang prajurit bertanya, “Apa yang terjadi, Maryam. Mengapa engkau berlari-lari seperti orang dikejar setan?”

“Gawat, aku harus bertemu Paduka saat ini juga,” kata Maryam menghiraukan pertanyaan itu.

“Sebenarnya apa yang telah terjadi, Maryam. Mengapa engkau tergesa-gesa seperti itu? Paduka baru saja tiba di sini dan engkau hendak menganggunya,” kata prajurit itu.

Sekali lagi wanita itu mengacuhkan pertanyaan pria itu. “Aku harus bertemu Paduka Raja saat ini juga! Ini masalah yang sangat gawat.”

“Apakah terjadi sesuatu pada Puteri?”

“Menepilah dan biarkan aku menemui Paduka saat ini juga,” kata Maryam bersikeras.

Tiba-tiba pintu Ruang Duduk terbuka dan seorang pria yang telah tua namun raut wajahnya menunjukkan wibawa, muncul. Pria itu berdiri di ambang pintu sambil menatap kesal kepada kedua orang yang sedang berdebat itu.

“Mengapa kalian pagi-pagi seperti ini telah bertengkar sampai suara ribut kalian mengangguku?”

“Maafkan kami, Paduka. Maryam mengatakan ia ingin bertemu Anda karena suatu urusan yang sangat gawat,” lapor prajurit itu.

“Masalah apa, Maryam?” tanya Raja Phyllips.

“Masalah yang sangat gawat, Paduka,” kata Maryam berhati-hati, “Putri Alviorita menghilang.”

“APA!!!?” pekik Raja.

Mendengar seruan terkejut Raja itu, Maryam semakin berhati-hati dalam mengucapkan kata-katanya. “Saya tidak menemukan Tuan Puteri di kamarnya.”

“Apakah engkau telah mencarinya di halaman Istana?” sela Raja.

“Saya telah mencarinya ke seluruh penjuru Istana ini, Paduka. Tetapi saya tetap tidak dapat menemukan Tuan Puteri. Saya hanya menemukan secarik kertas ini tergeletak di meja belajar Tuan Puteri,” kata Maryam sambil menyerahkan surat yang sejak tadi dibawanya kepada Raja Phyllips.

Raja mengambil surat itu dan membuka lipatan kertasnya.

Kepada Ayahanda yang tercinta,

Maafkan Alviorita, Papa. Alviorita pergi diam-diam karena Alviorita tidak setuju dengan rencana Papa. Alviorita tidak ingin menikah dengan pria yang belum pernah Alviorita kenal bahkan belum pernah Alviorita lihat.

Alviorita

Raja Phyllips meremas kertas itu dan menatap tajam pada wanita tua yang menanti cemas. “Apakah engkau telah mencarinya?”

“Saya telah mencari Tuan Puteri di mana-mana, Paduka. Tetapi saya tetap tidak dapat menemukan Tuan Puteri,” kata Maryam.

“Bagus!” kata Raja murka, “Putriku meninggalkan Istana dan engkau tidak mengetahui ke mana ia pergi.”

Kemarahan di suara Raja membuat Maryam merasa cemas. “Maafkan saya, Paduka. Memang saya seharusnya mengetahui ke mana Tuan Puteri pergi. Tadi pagi ketika saya ke kamar Tuan Puteri, Tuan Puteri telah menghilang.”

“Apakah ia tidak pernah mengatakan sesuatu tentang pernikahan kepadamu?”

“Tuan Puteri tidak pernah mengatakan apa-apa kepada saya mengenai itu, Paduka. Tuan Puteri juga tidak pernah mengatakan ia berniat pergi diam-diam.”

“Sekarang Alviorita telah pergi dan kita harus mencarinya. Aku tidak peduli apakah ia mau pulang atau tidak. Kita harus mencarinya,” kata Raja.

Maryam menatap surat di genggaman Raja Phyllips.

“Ia harus sudah berada di sini dalam dua hari.”

“Maafkan sikap lancang saya, Paduka. Tetapi bila Anda tidak keberatan, saya ingin mengetahui mengapa besok lusa Tuan Puteri harus berada di sini juga apa hubungan pernikahan dengan perginya Tuan Puteri Alviorita,” kata Maryam hati-hati.

Raja Phyllips mengacuhkan pertanyaan itu. Saat ini satu-satunya yang dipikirkannya hanyalah mencari putrinya dalam dua hari dan dalam dua hari itu putrinya harus ditemukan.

Sekali lagi Raja menatap surat dalam genggamannya. “Segera panggil Wolve,” katanya pada prajurit yang sejak tadi hanya diam terpaku mendengar kata-kata Raja Phyllips yang penuh kemarahan dan kecemasan.

Prajurit yang mendapat perintah itu bergegas pergi.

Maryam mengawasi wajah Raja yang menampakkan kemarahannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Selama ini hubungan Raja Phyllips dengan putri satu-satunya, Alviorita tidak begitu akrab. Setiap hari dilalui Alviorita seorang diri bersama Maryam. Sementara itu Raja Phyllips selalu disibukkan urusan kerajaan yang terus bertambah setiap menitnya. Kesibukkan Raja membuat Alviorita yang telah kehilangan ibunya saat ia masih kecil, semakin kehilangan kasih sayang. Satu-satunya kasih sayang yang didapatkannya hanyalah dari pengasuhnya, Maryam. Tetapi itu masih belum cukup. Alviorita memang telah menganggap Maryam sebagai ibunya tetapi ia tetap tidak dapat menggantikan kedudukan ibu kandungnya dengan Maryam. Keadaan yang terus berlangsung seperti ini membuat Alviorita menjadi seorang gadis yang sulit diatur.

Sebagai putri tidak ada yang dapat melawan kehendaknya. Satu-satunya yang dapat melawannya hanyalah Raja. Tetapi Raja sendiri jarang memperhatikan segala kegiatan putrinya. Raja Phyllips dan Alviorita juga jarang bertemu. Dan bila mereka bertemu suasana yang ada bukanlah suasana yang akrab tetapi suasana yang kaku dan tegang. Hal ini dikarenakan keduanya mempunyai keras kepala yang tidak mau segala kehendaknya ditentang. Selain itu mereka terlalu jarang bertemu dan jarang sekali berbicara. Kesibukan Raja membuat hubungannya dengan putrinya semakin hari semain renggang.

Maryam tidak tahu apa yang telah terjadi sehingga membuat Alviorita meninggalkan Istana. Tetapi ia dapat menduga Alviorita pergi karena suatu penyebab yang sangat serius.

Selama ini Alviorita tidak pernah terlihat bosan apalagi ingin meninggalkan Istana. Walaupun ia kesepian tetapi ia tidak pernah menunjukkan keinginannya untuk meninggalkan Istana dengan diam-diam. Seperti keluarga raja umumnya, bila Alviorita pergi, ia selalu dikawal prajurit. Tidak pernah Alviorita meninggalkan Istana seorang diri. Tetapi pagi ini Alviorita telah meninggalkan Istana tanpa ada yang mengetahuinya. Ia pergi sendiri. Dan tidak seorangpun yang tahu kapan ia pergi. Bahkan Maryam yang selalu bersama Alviorita.

Maryam hanya tahu satu hal yaitu Alviorita telah menghilang ketika beberapa saat yang lalu ia memasuki kamar Alviorita untuk membangunkan gadis itu. Ia telah mencari gadis itu ke mana-mana, ia tetap tidak dapat menemukan Alviorita. Seakan-akan Alviorita lenyap ditelan bumi.

Tidak ada yang dapat dilakukan Maryam selain menanti keputusan Raja Phyllips yang lain. Maryam sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Biasanya pagi-pagi sekali ia membangunkan Alviorita untuk mempersiapkannya menghadapi sederetan kegiatan padat yang seakan-akan tiada hentinya. Tetapi sekarang sang Putri telah menghilang.

Raja menyadari Maryam menanti tugas yang akan diberikannya. “Mengapa engkau masih diam saja di sini? Pergilah dan cari Alviorita. Aku yakin ia belum jauh dari Istana.”

Maryam terkejut mendengar kata-kata itu. Ia menyadari apa yang dikatakan Raja benar. Tidak mungkin Alviorita telah berada jauh dari Istana. Alviorita tidak mungkin pergi pagi-pagi sekali karena ia paling takut gelap.

Entah mengapa Alviorita tidak berani berada dalam kegelapan. Walaupun keadaan suatu ruangan remang-remang, ia tidak mau memasukinya apalagi bila ruangan itu benar-benar gelap gulita.

Segera Maryam meninggalkan Raja Phyllips dan mulai mencari Alviorita di sekeliling Istana. Tetapi ia tidak akan pernah dapat menemukan gadis itu. Karena gadis itu sekarang tidak lagi berada di dekat Istana.

Alviorita terbaring dalam sebuah kamar yang luas.

Kepalanya terasa pening saat ia berusaha mengenali ruangan tempat ia berada. Alviorita menyadari ia berada di sebuah kamar yang tak dikenalnya.

Jelas ruangan tempatnya berada kini bukan ruangan di Istana. Perabotan-perabotan tua di ruangan itu berbeda dengan yang ada di Istana Urza. Bentuk ruangannya juga berbeda.

Ruangan ini bernuansa lembut dengan ukiran-ukirannya yang menggambarkan dedaunan yang rimbun. Sedangkan ruangan di Istana Urza bernuansa tegas dengan ukiran-ukiran binatang pada perabotannya.

Alviorita tidak tahu bagaimana ia bisa berada di tempat ini. Ia tidak tahu di mana ia kini berada. Alviorita hanya tahu mengapa ia bisa berada di luar Istana sendirian.

Kemarin sore, ayahnya memanggilnya ke Ruang Perpustakaan. Alviorita tidak tahu mengapa ayahnya tiba-tiba memanggilnya. Selama ini ayahnya tidak pernah mempedulikannya apalagi memperhatikannya. Yang diperhatikan Raja Phyllips hanya urusan kerajaan saja.

Meskipun ia malas menemui ayahnya tetapi ia tetap menemui Raja di Ruang Perpustakaan. Rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa malasnya.

Melihat ayahnya tengah menghadapi setumpuk kertas ketika ia tiba di Ruang Perpustakaan, Alviorita merasa jengkel.

“Papa memanggilku?” tanya Alviorita malas.

Raja memalingkan kepalanya dari tumpukan kertas di hadapannya. “Duduklah,” kata Raja sambil mengarahkan pena bulunya ke kursi di hadapannya.

Alviorita duduk di kursi yang ditunjuk ayahnya. Ia menanti kata-kata ayahnya.

“Sebelumnya aku ingin engkau mengerti. Masalah ini sangat serius,” kata Raja memulai percakapan.

“Aku akan mendengarkan dengan baik,” kata Alviorita meyakinkan ayahnya.

Raja tersenyum dan mengangguk. Namun ia tetap tidak mengatakan apa-apa. Ia menggerak-gerakkan pena bulunya dengan gelisah.

Melihat kegelisahan ayahnya, Alviorita hanya diam saja. Ia tetap diam menanti kalimat selanjutnya.

“Aku ingin engkau mempersiapkan dirimu menghadapi pesta pertunanganmu yang akan diadakan tiga hari lagi.”

Mendengar kalimat itu, Alviorita terlonjak dari kursinya. Ia menatap lekat-lekat wajah ayahnya yang tampak tenang menghadapi keterkejutannya.

“Apa yang Papa katakan?” tanyanya terkejut.

“Engkau harus mempersiapkan dirimu menghadapi pesta pertunanganmu yang akan diadakan tiga hari lagi,” ulang Raja Phyllips.

“Pertunangan?” ulang Alviorita.

Alviorita merasa kepalanya pening. Ia merasa semua ini bagaikan mimpi buruk saja. Dan bila benar ini semua adalah mimpi buruk, ia ingin segera terbangun dari tidurnya. Tetapi Raja menganggukkan kepalanya.

Alviorita tidak percaya dengan semua ini. Bagaimana ia tiba-tiba dapat mempunyai seorang tunangan kalau ia sendiri tidak pernah jatuh cinta pada lelaki.

“Papa bohong. Tidak mungkin aku mempunyai tunangan,” kata Alviorita gemetar.

Sekali lagi Raja menggeleng. “Aku tidak bohong. Engkau akan bertunangan tiga hari lagi dan persiapan pesta pertunanganmu itu sudah hampir selesai.”

Kata-kata yang diucapkan dengan penuh keyakinan itu membuat Alviorita semakin terpana.

“Tidak mungkin,” kata Alviorita tidak percaya.

“Ini benar. Engkau harus mempersiapkan dirimu.”

Kata-kata Raja Phyllips yang terdengar meyakinkan itu membuat Alviorita semakin merasa tak berdaya.

Alviorita masih sukar mempercayai apa yang didengarnya. Semula ia menduga ayahnya memanggilnya ke Ruang Perpustakaan hanya untuk membicarakan masalah kerajaan, seperti biasanya. Bukan hal yang aneh lagi bagi Alviorita sebagai Putri Mahkota, bila ia harus banyak belajar dari ayahnya agar dapat menjadi Ratu yang baik bagi rakyatnya. Tetapi apa yang dikatakan ayahnya ini benar-benar di luar dugaannya.

Sedikitpun tidak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa ayahnya telah mempersiapkan seorang tunangan untuknya.

Sekarang melihat keseriusan dalam wajah ayahnya maupun kata-katanya yang meyakinkan itu, Alviorita mau tidak mau harus mempercayai hal yang menggemparkan hatinya ini.

“Tidak mungkin,” ulang Alviorita, “Aku tidak mungkin mempunyai tunangan.”

“Itu benar. Sejak kecil engkau sudah mempunyai tunangan.”

Alviorita menggelengkan kepalanya. Ia semakin sukar mempercayai apa yang didengarnya. Bagaimana ia dapat mempunyai tunangan sejak kecil sedangkan ia masih ingat ia tidak pernah akrab dengan orang lain di luar Istana.

“Ini pasti hanya mimpi. Mimpi terburuk yang pernah aku alami.”

Raja menggelengkan kepalanya dengan mantap. “Bukan. Ini memang nyata. Tiga hari lagi engkau akan menghadapi pesta pertunanganmu.”

Alviorita merasa semua ini seperti pertunangan yang konyol. Bagaimana mungkin ia dapat menikah dengan pria yang belum pernah dijumpainya. Semua ini terasa menggelikan tetapi dalam keadaan seperti ini, pertunangan ini terasa seperti mimpi buruk yang paling buruk yang pernah dialami Alviorita.

“Aku tidak mau. Dan aku tidak akan pernah setuju dengan ini semua. Bagaimana aku dapat bertunangan tanpa aku mengetahui siapa tunanganku itu,” kata Alviorita keras kepala.

“Engkau pernah berjumpa dengannya,” kata Raja tenang.

Alviorita terdiam. Ia berusaha mengingat setiap pria yang ia temui dalam hidupnya. Selama hampir delapan belas tahun ia hidup, ia jarang sekali bertemu dengan pria yang masih muda. Setiap pria yang ia jumpai adalah orang yang jauh lebih tua darinya yang hanya mempunyai urusan kerajaan yang membosankannya. Kalaupun ada pemuda yang dijumpainya, Alviorita sama sekali tidak pernah tertarik pada mereka. Ia merasa pemuda-pemuda itu membosankan. Mereka hanya menunjukkan kepadaian mereka dalam memuji kepadanya. Semua pria yang ia jumpai hanyalah pria-pria yang membosankan dengan urusannya yang membosankan pula.

“Tidak mungkin Papa memilih seorang dari pria-pria yang membosankan itu untukku,” kata Alviorita takut mendengar jawaban ayahnya.

Raja menggelengkan kepalanya. Tetapi itu tidak membuat Alviorita merasa lega.

“Papa tidak memilih pria-pria yang jauh lebih tua dariku dan membosankan itu?” tanya Alviorita tidak percaya.

“Tunanganmu itu pemuda yang sangat menarik. Papa yakin engkau pasti akan menyukainya.” Raja Phyllips menambah kesan bangganya pada pria pilihannya dengan senyuman bangga.

“TIDAK!”

Raja Phyllips terkejut mendengar suara Alviorita yang lantang itu.

“Aku tidak mau bertunangan dengan siapa pun!” kata Alviorita tegas.

Raja semakin terkejut mendengarnya. Tanpa sadar ia juga ikut berdiri. “Engkau harus melakukannya.”

Alviorita menggelengkan kepalanya. Ia menatap tajam mata ayahnya yang mulai menampakkan kejengkelannya. Alviorita tahu ia telah membuat ayahnya marah dengan penolakkannya tetapi ia tetap tidak peduli.

“Aku tidak akan pernah mau bertunangan apalagi menikah dengan pria yang tidak pernah kulihat,” kata Alviorita menyakinkan ayahnya dengan nada suaranya yang penuh keyakinan dan ketegasan.

“Engkau harus melakukannya,” kata Raja mulai marah.

“Dan aku tidak akan pernah mau melakukannya,” kata Alviorita dingin.

“Dengar baik-baik. Engkau tidak akan menikah dengan pria yang belum pernah engkau temui. Engkau pernah bertemu dengannya,” kata Raja sambil berusaha menahan amarahnya.

“Lalu mengapa aku tidak pernah ingat?” tanya Alviorita tanpa mengurangi nada dingin dalam suaranya.

“Saat itu engkau masih kecil. Engkau masih sangat kecil.”

Walaupun Alviorita tahu ayahnya semakin tidak dapat menguasai kemarahannya tetapi ia tetap bersikap dingin dan menentang.

“Mengapa aku harus menikah dengan pria yang kujumpai saat aku masih kecil bahkan mungkin saat aku baru saja lahir?”

Raja Phyllips benar-benar tidak dapat menguasai lagi kemarahan yang memenuhi dadanya. Semula ia mengira akan mudah mengatakan hal ini kepada putrinya tetapi ternyata untuk mengatakan hal ini sangat sulit sekali.

“Dengar baik-baik, Alviorita. Engkau harus menerima semua ini karena ini semua adalah keinginan Mamamu,” kata Raja Phyllips geram.

Mendengar nama ibunya disebut ayahnya dalam hal ini, Alviorita semakin merasa jengkel. “Mama tidak akan pernah melakukan hal ini kepadaku. Mama pasti juga tidak setuju Papa menyodorkan seorang tunangan yang tidak pernah aku jumpai.”

Suara Alviorita yang dingin tetapi penuh dengan rasa tidak percaya itu membuat Raja Phyllips semakin jengkel.

“Entah berapa kali aku harus mengulanginya. Engkau pernah berjumpa dengan tunanganmu itu dan ini adalah keinginan Mamamu. Mamamu sendiri yang merencanakan pertunangan ini.”

“Mama pasti tidak melakukan itu,” kata Alviorita sambil menggelengkan kepalanya.

Raja tersenyum jengkel. “Engkau salah. Mamamu yang merencanakannya dan ia pula membuat pertunangan ini.”

“Mengapa Mama melakukannya?” Suara Alviorita bergetar karena berusaha menahan perasaannya.

Raja mengangkat bahunya. “Kata Mamamu, engkau terlihat akrab sekali dengan Nathan dan kalian berdua sangat serasi.”

“Nathan?” tanya Alviorita tak percaya.

“Itu nama tunanganmu.”

Suara Raja yang penuh keyakinan itu membuat Alviorita merasa seperti mendapat petir yang lain. Rasanya Raja tidak akan pernah berhenti memberinya kejutan yang membuat Alviorita merasa seperti boneka tak berdaya yang hanya dapat menerima keputusan yang dibuat sang majikan.

Alviorita tahu pria itu. Nathan, putra tertua Duke of Kryntz, bangsawan tertua di Kerajaan Lyvion di samping keluarga raja.

Sudah bukan rahasia lagi hubungan kedua keluarga bangsawan yang paling berpengaruh di Kerajaan ini. Sejak dulu kedua keluarga bangsawan ini menjalin hubungan persahabatan yang erat. Tetapi selama ini tidak pernah terdengar kedua keluarga ini akan menjalin hubungan keluarga.Kini kedua keluarga itu akan menjalin hubungan keluarga. Dan yang menjadi korbannya adalah sang Putri Mahkota, Alviorita!

Alviorita sukar mempercayai kenyataan ini. Bagaimana mungkin ia akan menikah dengan pria yang paling membosankan yang pernah didengarnya.

Alviorita memang belum pernah bertemu dengan Nathan sendiri tetapi dari yang didengarnya, ia tahu Nathan adalah seorang pemuda yang tampan dan menarik bagi semua wanita. Tetapi baginya pria itu adalah pria yang paling membosankan yang diketahuinya. Pemuda itu hanya memperhatikan pekerjaan. Semua orang memuji keseriusannya dalam bekerja serta kepandaiannya menangani segala macam urusan yang sulit. Dan Alviorita membenci hal itu sama seperti ia benci harus melakukan segala macam urusan kerajaan yang semakin hari terasa semakin membosankan baginya.

Andaikata Alviorita boleh memilih, pasti ia akan memilih melepaskan gelarnya sebagai Putri Mahkota dan menjadi seorang gadis yang hidup bebas di luar Istana Urza. Tetapi semua orang juga sang Takdir membuat Alviorita tidak dapat melakukan yang lain selain menerima semua itu.

Tuntutan semua orang kepada dirinya bukan hanya itu saja. Semua orang masih mengharapkan ia tampil dengan penuh keanggunan dan senyum yang manis.

Setiap kali Alviorita melakukan itu, ia merasa seperti boneka yang bergerak sesuai keinginan tuannya yang dalam hal ini Raja Phyllips dan seluruh penduduk Kerajaan Lyvion. Dan Alviorita semakin membenci itu semua.

Keseriusan ayahnya dalam melakukan tugasnya sebagai Raja membuat Alviorita tidak pernah menyukai pria yang serius dalam pekerjaannya. Raja setiap hari hanya sibuk menekuni pekerjaannya dan melupakan putrinya sendiri. Hal itu telah cukup membuat Alviorita merasa sedih dan kini ia diharuskan menikah dengan pria yang sama seperti ayahnya.

“Bagaimana mungkin Papa mengatakan aku pernah bertemu dengan pria itu bahkan aku akrab dengannya sedangkan aku sendiri tidak pernah ingat kalau aku pernah bertemu dengannya?” Rasa terkejut yang masih menguasai hatinya membuat suara Alviorita terdengar bergetar.

“Engkau telah bertemu dengannya ketika engkau masih kecil,” kata Raja Phyllips lembut.

“Aku tidak mau menikah dengannya,” kata Alviorita keras kepala.

Kelembutan dalam raut wajah Raja menghilang mendengar kata-kata itu. “Engkau harus melakukannya,” kata Raja geram.

“Aku tidak akan pernah mau menikah dengan pria membosankan seperti itu. Tidak akan,” kata Alviorita selantang keinginan hatinya untuk menolak itu semua.

“Ia bukan pria yang seperti itu,” kata Raja, “Engkau harus menerima ini semua sebab segala persiapan pesta pertunanganmu ini hampir selesai.”

Alviorita benar-benar kesal mendengar nada kemarahan bercampur kemenangan itu. Ia ingin sekali melakukan sesuatu yang membuat ayahnya merubah keputusannya itu. Tetapi melihat wajah ayahnya yang penuh kemarahan itu, Alviorita merasa tak berdaya. Ia tahu ia tidak dapat berbuat apa-apa selain menerimanya. Kenyataan yang harus dihadapinya ini membuat Alviorita merasa sedih bercampur marah.

“Aku tidak mau!” seru Alviorita sambil berlari meninggalkan Ruang Perpustakaan.

Alviorita berlari ke kamarnya dan segera menjatuhkan diri di tempat tidurnya. Rasa jengkel bercampur terkejut dan sedih membuat Alviorita menangis terisak-isak.

“Semua ini benar-benar mimpi buruk,” kata Alviorita pada dirinya sendiri, “Dan aku harus meninggalkan mimpi buruk ini.”

Tengah Alviorita berpikir bagaimana cara ia menggagalkan pesta pertunangan ini, ia teringat kata-kata ayahnya.

“Ini semua adalah keinginan Mamamu.”

Alviorita kebingungan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak ingin menikah dengan Nathan yang tak pernah dijumpainya dan pria yang paling membosankan. Tetapi bila apa yang dikatakan ayahnya itu benar maka itu berarti Alviorita telah mengecewakan ibu yang paling disayanginya. Bila ibunya masih hidup, tentu ia tidak senang pada sikap Alviorita yang jelas-jelas menunjukkan penentangan ini.

Ingatan yang lain memasuki pikiran Alviorita dan membuat gadis yang sedang kebingungan itu semakin bingung.

Entah mengapa tiba-tiba saja Alviorita teringat pada kejadian dua belas tahun yang lalu yang membuat ia berubah.

Saat itu ia tengah memperhatikan seorang pelayan muda yang sibuk membersihkan jendela.

“Apakah engkau sungguh-sungguh tidak mau menemaniku bermain?” tanya Alviorita lagi.

Pelayan itu memalingkan kepalanya. “Maafkan saya, Tuan Puteri. Saya harus melakukan tugas saya,” kata pelayan itu.

“Tetapi mengapa engkau harus melakukannya? Masih ada orang lain yang dapat melakukannya,” kata Alviorita.

“Saya harus melakukannya, Tuan Puteri. Ini adalah tugas saya dan saya harus melakukannya sebaik-baiknya,” kata pelayan itu.

“Tidak ada yang salah bila engkau menemaniku bermain,” bujuk Alviorita.

“Maafkan saya, Tuan Puteri. Saya benar-benar tidak dapat menemani Anda.”

“Mengapa engkau serius sekali melakukan semua itu? Apakah engkau tidak ingin bermain?”

Pelayan itu memandang sedih pada kain di tangannya. “Sebenarnya saya juga ingin sekali bermain.”

“Kalau begitu mari kita bermain,” sela Alviorita.

Pelayan itu mengacuhkan ajakan Alviorita. Ia kembali menekuni pekerjaannya.

Melihat hal itu, Alviorita merasa jengkel. “Mengapa engkau seperti semua orang? Semua orang hanya sibuk bekerja, bekerja, dan bekerja.”

Pelayan itu pun jengkel mendengar kata-kata tajam Alviorita. “Apakah Anda tahu semua ini bukan keinginan saya? Anda tidak akan pernah dapat mengerti. Anda seorang Putri yang hidup serba mewah sedangkan kami, rakyat kecil ini?”

Alviorita terkejut mendengar kata-kata pelayan itu.

“Anda tidak akan dapat merasakan bagaimana sulitnya kami mencari uang hanya untuk menghidupi diri kami. Anda tidak akan pernah dapat merasakan bagaimana senangnya kami bila kami dapat mencukupi kebutuhan kami.”

Kata-kata tajam itu membuat Alviorita kembali berpikir.

Selama ini Alviorita selalu menolak bila ia harus melakukan segala macam urusan kerajaan. Ia selalu menolak mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan guru privatnya. Ia tidak suka bila harus mengikuti ayahnya dan mempelajari bagaimana menjadi Ratu yang baik. Setiap kali Alviorita melarikan diri dari semua kegiatan yang membosankannya itu. Setiap saat ia hanya bermain-main di halaman Istana yang luas. Bila ayahnya ada, Alviorita mau tidak mau mengikuti semua kegiatan yang membosankan itu tetapi bila sang Pengawas telah pergi, maka sang Putri bebas melakukan apa saja yang diinginkannya.

Kata-kata tajam pelayan itu membuat Alviorita sadar selama ini ia telah berbuat salah. Seharusnya ia melakukan semua tugas-tugas yang menjadi kewajibannya sebagai Putri Mahkota. Sebagai satu-satunya penerus keluarga raja, ia harus belajar menjadi seorang Ratu yang baik. Ia harus memikirkan rakyatnya bukan hanya bermain. Alviorita sadar apa yang dikatakan pelayan yang lebih tua beberapa tahun darinya itu benar. Sebagai seorang Putri ia memang tidak kekurangan apapun tetapi rakyat di luar Istana tidak sepertinya. Tidak semua orang bisa hidup dalam kemewahan. Satu-satunya yang dapat dilakukan Alviorita bagi rakyatnya adalah belajar memperlakukan rakyatnya dengan baik dan itu harus dimulai dengan memikirkan hal-hal yang kecil.

Setelah peristiwa itu Alviorita mau melakukan semua kegiatan rutinnya sebagai Putri Mahkota. Walaupun Alviorita masih merasa semua kegiatan itu membosankan tetapi ia tetap berusaha melakukannya dengan baik.

Keinginan Alviorita untuk membebaskan diri dari pertunangan yang tidak disukainya ini membuat Alviorita berada dalam kebimbangan. Alviorita tidak ingin membuat ibunya kecewa tetapi ia juga tidak ingin menikah dengan pria yang paling membosankan itu. Raja Phyllips tidak mungkin berbohong kepadanya.

Tetapi…

Dalam masalah ini, hal itu mungkin saja. Raja mungkin membohongi Alviorita dengan mengatakan pertunangan ini adalah keinginan ibunya.

Alviorita percaya ibunya tidak akan mungkin membiarkan ia menikah dengan pria yang tidak dikenalnya.

Teringat kembali pada kata-kata tajam pelayan itu, Alviorita memutuskan untuk meninggalkan Istana dan melihat sendiri bagaimana kehidupan rakyat Kerajaan Lyvion yang sebenarnya serta merasakan bagaimana hidup di luar kemewahan yang selama ini mengelilinginya.

“Aku akan meninggalkan Istana,” kata Alviorita tegas.

Keputusan itu telah diambil Alviorita itu membuat gadis itu membuat keputusan-keputusan yang lain.

Gadis itu memutuskan untuk tidur lebih awal dan bangun pagi-pagi kemudian meninggalkan Istana diam-diam.

Alviorita tahu ayahnya tidak akan curiga bila ia tidak muncul dalam makan malam.

Raja Phyllips memang tidak curiga sama sekali ketika pada malam harinya putrinya tidak muncul untuk makan malam. Ia menduga putrinya masih merasa jengkel kepadanya.

Sesuai dengan rencananya, Alviorita mempersiapkan barang yang akan dibawanya sesaat setelah Maryam meninggalkan kamarnya. Alviorita membawa dua buah gaun putih yang dianggapnya tidak terlalu mencolok dan tidak terkesan seperti gaun yang mewah. Dalam bingkisan kecil yang akan dibawanya itu, Alviorita juga membawa leontin perak milik ibunya. Kemudian Alviorita menulis pada secarik kertas. Kertas itu dilipatnya dengan rapi dan diletakkannya di meja belajarnya. Setelah merasa segalanya telah siap, Alviorita segera pergi tidur agar dapat bangun pagi-pagi sebelum semua orang memulai kesibukannya. Dengan membawa bingkisan kecil itu, diam-diam Alviorita meninggalkan kamarnya. Tidak seorangpun yang melihat kepergiannya. Bahkan penjaga pintu gerbang juga tidak mengetahui kepergian Alviorita.

Kedua penjaga gerbang itu tertidur ketika Alviorita mendekat.

Semula Alviorita khawatir kedua penjaga gerbang itu akan mengetahui kepergiannya tetapi ketika ia melihat kedua penjaga itu tertidur nyenyak sambil memegang erat-erat tombak mereka, ia merasa lega.Dengan perlahan-lahan Alviorita membuka pintu gerbang dan menutupnya kembali agar tak seorangpun curiga. Alviorita berjalan setengah berlari di jalan setapak menuju kota Vximour. Ia takut berjalan di kegelapan malam.

Bintang-bintang di langit bersinar cemerlang. Dan tidak ada tanda-tanda matahari akan segera menampakkan dirinya. Udara terasa dingin menusuk kulit. Angin yang bertiup menambah dinginnya pagi itu. Suasana sangat sunyi. Tidak ada kehidupan yang tampak. Hanya sesekali terdengar bunyi serangga di kejauhan. Burung-burung malam masih berkeliaran mencari makan dari satu pohon ke pohon yang lain. Suara burung hantu yang menakutkan membuat Alviorita semakin merasa takut berada di kegelapan pagi itu.

Alviorita merasa beratus-ratus mata menatapnya. Mata-mata itu menatap ingin tahu dan curiga pada dirinya. Suara burung hantu itu menyalahkan tindakannya yang menentang keinginan ayahnya.

Alviorita menatap langit yang masih gelap. Ia melihat bintang-bintang itu dan ia merasa takut. Ia merasa seperti ditarik ke dalam bintang-bintang itu.

Semakin lama Alviorita melihat bintang-bintang yang bercahaya di langit hitam, ia semakin merasa seperti tersedot dalam suasananya yang sunyi dan menakutkan. Ia merasa kecil dan hampa serta tak berdaya di alam yang sepi dan luas ini. Alviorita merasa seperti debu kecil yang tak berarti di antara bintang-bintang yang bersinar di langit. Merasa dirinya terbang sendirian di angkasa yang luas, yang hampa dan sepi serta penuh misteri, membuat Alviorita semakin ketakutan.

Hal ini membuat Alviorita memalingkan kepala pada Istana yang terlihat terang di kejauhan.

Istana Urza berdiri dengan kokoh, melindungi penghuninya. Cahaya terang yang muncul dari dalam Istana sempat membuat Alviorita merasa ingin kembali ke Istana yang telah memberinya perlindungan selama hampir delapan belas tahun.

Alviorita tahu bila ia kembali ke Istana, maka ia harus menerima pesta pertunangan yang akan diadakan besok lusa.

Membayangkan bertunangan dengan pria yang paling membosankan, Alviorita meyakinkan hatinya untuk terus melangkah menjauhi Istana.

Kembali Alviorita menatap jalan panjang di hadapannya.

Jalan inilah yang saat ini ditempuh Alviorita. Alviorita telah melepaskan jalan yang penuh dengan kemewahan dan kini ia akan berada di jalan yang tidak dapat ditebak. Di jalan ini Alviorita tidak akan tahu apa yang akan dialaminya keesokan hari. Sedangkan di jalan satunya Alviorita tahu ia akan menghadapi apa.

Alviorita kembali melanjutkan perjalanannya. Tetapi hati kecilnya yang merasa enggan meninggalkan Istana Urza yang telah disayanginya membuat Alviorita memalingkan kepalanya ke Istana itu berulang kali.

Setiap kali Alviorita menatap Istana yang semakin menjauh itu, Alviorita semakin merasa enggan meninggalkan Istana. Alviorita menatap sedih Istana Urza sebelum ia membulatkan hatinya untuk tidak memalingkan kepalanya ke Istana. Setelah menyakinkan dirinya sendiri untuk tidak melihat Istana lagi, Alviorita melanjutkan perjalanannya.

Tetapi hal itu masih sulit juga dilakukannya. Alviorita berjalan sambil menatap Istana yang semakin menjauh itu. Ia tahu bila ia mau ia masih dapat kembali ke Istana itu. Ia masih belum terlambat untuk kembali ke Istana yang penuh perlindungan itu.

Alviorita memalingkan kepalanya dan saat itulah ia melihat sebuah kereta tiba-tiba muncul dengan sangat cepat di tikungan tempat ia berdiri.

Selanjutnya apa yang terjadi Alviorita tidak dapat mengingatnya. Alviorita tidak tahu apa yang telah terjadi sehingga ia berada di ruangan yang penuh sinar matahari ini.

Alviorita ingin menuju jendela untuk melihat apakah hari telah siang tetapi rasa pening yang masih terasa di kepalanya membuatnya kembali membaringkan kepalanya di atas bantal yang empuk.

Alviorita menatap langit-langit kamar yang terbuat dari batu itu seperti dinding-dinding sekeliling kamar tempat ia berada.

Melihat dinding batu yang mengelilinginya serta perabotannya yang tua, Alviorita menduga sekarang ia berada di sebuah Castle tua. Tetapi Castle siapakah ia tidak tahu. Jelas ini bukan Castle milik keluarga raja karena semua keluarga raja baik dekat maupun jauh menggunakan binatang sebagai lambang mereka. Sedangkan keluarga pemilik Castle ini jelas-jelas menggunakan tumbuhan sebagai lambang keluarga mereka.

Di Kerajaan Lyvion memang ada banyak Castle tetapi ia tidak dapat mengetahui Castle yang manakah tempat ia berada saat ini.

Tengah Alviorita sibuk berpikir, seseorang membuka pintu.

“Anda sudah sadar, rupanya.”

Mendengar suara seseorang yang lega bercampur senang itu, Alviorita menghentikan pikirannya dan menatap ke pintu.

Seorang wanita berpakaian serba hitam dengan apronnya yang putih bersih, tersenyum padanya.

Alviorita terus memandang lekat-lekat wajah wanita itu ketika ia mendekat. Alviorita tidak mengenal wanita itu. Ini pertama kalinya ia berjumpa dengan wanita itu tetapi ia merasa pernah melihat wajah wanita yang setengah baya itu. Ia pernah melihat wanita itu tetapi di mana dan kapan, ia tidak tahu.

“Siapakah Anda?” tanya Alviorita.

“Anda jangan banyak berbicara dulu. Anda baru saja sadar,” kata wanita itu.

Alviorita memandang ruangan tempat ia berada. “Ini di mana? Mengapa saya bisa berada di sini?”

“Anda baru saja tertabrak kereta kuda keluarga ini dan saat ini Anda berada di Castle mereka.”

“Apa nama Castle ini?”

“Castle ini milik keluarga Kryntz yang bernama Castle Q`arde.”

Jawaban wanita itu membuat Alviorita merasa sangat terkejut. Entah mengapa semua ini bisa terjadi. Seakan-akan telah diatur oleh seseorang. Bagaimana mungkin ia dapat berada di Castle milik tunangannya sedangkan ia sendiri tidak ingin menghadiri pesta pertunangan itu. Takdir telah membuat Alviorita yang ingin melarikan diri dari pertunangannya, kini justru berada di Castle tunangannya.



*****Lanjut ke chapter 2

No comments:

Post a Comment