Sunday, May 20, 2007

Ketika Aku Bertunangan dengan si Playboy

“Alina, Alina, lihat!” Liz menarik Alina, “Darrell sudah datang.”

Alina melirik tanpa rasa tertarik segerombolan gadis di pintu gerbang lalu kembali pada Liz, sahabat baiknya yang berteriak-teriak histeris seperti orang gila di jendela. Alina mendesah, “Apa bagusnya Darrell?” Ia membuka bukunya.

“Kau tidak mengerti!” Liz menggebrak meja. Matanya yang dipenuhi kemarahan berbinar-binar, “Darrell adalah seorang ksatria impian setiap gadis. Ia tampan, pandai, atletis, baik hati.”

“Juga playboy,” gumam Alina – mengambil bukunya yang terjatuh di lantai.

“Kau tidak mengerti!” lagi-lagi Liz terbakar amarah.

“Ya, ya…,” Alina membuka bukunya, “Ia adalah impian setiap gadis.”

“KARENA ITU!” Liz kembali menatap tajam Alina, “Kau tidak boleh berkata seperti itu tentang Darrell!”

“Semua pria sama saja,” Alina menulis sesuatu di bukunya.

Liz memperhatikan Alina lekat-lekat. “Ah…,” ia menjatuhkan diri di kursi depan Alina. “Karena itu kau tidak punya pacar.” Lagi-lagi ia menjadi serius. “Kau tahu apa artinya ini? Kau adalah seorang gadis. Kau harus punya rasa tertarik pada pria. Apa kau ingin menjadi biarawati?” Liz memulai lagi ceramah panjangnya.

Alina menatap langit biru dan mendesah. “Liz benar-benar membuatku lelah.”

Sepanjang hari ini Liz terus menceramahinya hingga mereka berpisah di pintu gerbang sekolah.

‘Ingat Hawa diciptakan dari tulang Adam. Karena itu kita tidak bisa dipisahkan dari kaum Adam,’ Alina teringat peringatan serius Liz.

“Pria…,” gumam Alina. Alina teringat senyum sedih ibunya. “Mungkin aku memang harus masuk sekolah biara.”

Alina membuka pagar rumahnya.

“Alina, kau sudah pulang.”

Alina tertegun melihat ibunya berdiri di depan pintu dengan senyum mengembang.

“Ke mana saja kau? Aku sudah menantimu dari setengah jam lalu,” Evi mengambil alih tas sekolah Alina.

“M-Mama, apa yang terjadi?”

“Papa sudah kembali,” Evi menggiring Alina ke dalam.

Tubuh Alina langsung membeku.

“Kau sudah pulang?”

Mata dingin Alina bertemu ayahnya.

“Mm…”

“Berganti bajulah. Kami menantimu untuk makan siang bersama.”

Alina tidak beranjak.

“Mama sudah menyiapkan makanan kesukaan Papa dan Alina,” Evi tersenyum bahagia, “Cepatlah. Jangan biarkan Papa kelaparan.”

Alina melihat senyum lebar Evi dan melangkah ke kamarnya.

Sesaat kemudian mereka sudah duduk bersama di meja makan.

Mata dingin Alina terus memperhatikan ayahnya. Sementara itu ibunya dengan gembira terus menuangkan sayuran untuk Bernard.

‘Mau apa ia kembali?’ Alina tidak suka melihat ayahnya yang menggoda ibunya.

“Ah, Alina, maafkan Mama,” Evi menyadari sikap dingin Alina. “Mama tidak bermaksud mengabaikanmu. Ini, makanlah. Ini adalah sayur kesukaanmu, bukan?” Evi meletakkan seiris wortel di piring Alina.

“Terima kasih, Mama,” Alina tersenyum lembut.

“Alina, aku perlu bicara denganmu,” Bernard menyeka bibirnya.

Alina waspada.

“Papa punya kabar gembira untukmu,” Evi tersenyum misteri.

“Sore ini kita akan pergi menemui tunanganmu.”

Alina membelalak. Ia tidak mungkin melakukan ini padanya. Ia sudah menghancurkan hidup ibunya dan sekarang ia akan menghancurkan masa depannya.

Bernard melihat Alina dengan serius.

“APA…”

“Bukankah ini hebat? Klien terbesar Papa berniat menjalin hubungan keluarga dengan kita,” senyum gembira Evi melenyapkan amarah Alina tanpa bekas. “Mama sudah melihat fotonya. Ia adalah pemuda yang tampan seperti Papa.”

“Ah, Mama…,” Bernard tersipu-sipu.

Tangan Alina terkepal erat-erat. Kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Papa sudah membelikan baju baru untuk Alina,” Evi memberitahu dengan mata bersinar-sinar, “Alina pasti tampak cantik dengan gaun itu. Mata Papa memang tidak perlu diragukan.”

“Ah, Mama. Papa hanya ingin melihat Alina tampil cantik seperti Mama.”

“Papa…,” wajah Evi memerah.

Tubuh Alina bergetar oleh kemurkaan. “Aku sudah kenyang,” ia pergi meninggalkan orang tuanya yang sibuk berkasih-kasihan.

“Apa maunya dia!?” Alina meninju bantalnya, “Seenaknya saja ia memutuskan pernikahan orang lain! Apa hak dia!? Dia hanya bisa membuat Mama…”

‘Bukankah ini hebat, Alina?’ terngiang lagi senyum bahagia ibunya.

Alina menunduk. Matanya menggelap.

Beberapa jam kemudian Alina duduk dengan tenang di sisi kedua orang tuanya. Selama keluarga tunangannya belum datang, ia hanya bisa duduk diam.

Tangan Alina terkepal erat di pangkuannya – menahan luapan emosi yang membakar hatinya. Kepalanya menolak melihat orang tuanya yang sibuk berkasih-kasihan di sisinya.

Alina sudah tidak sabar menanti kedatangan mereka. Ia ingin segera terbebas dari suasana yang membakar emosinya ini.

“Ah, mereka sudah datang,” Bernard melihat keluarga yang baru masuk restoran berkelas itu.

“Maaf sudah membuat kalian lama menanti. Kami terjebak kemacetan.”

“Tidak mengapa. Kami juga baru datang,” Bernard dengan akrab menjabat tangan calon besannya, “Perkenalkan ini adalah istriku, Evi, dan putriku, Alina.”

“Senang berkenalan dengan Anda,” Evi menjabat tangan pria tengah baya itu.

“Wah… wah…, benar-benar seorang putri yang manis,” puji Mandy – calon ibu mertua Alina. “Kau tidak akan kecewa, Darrell.” Mandy memalingkan kepala – mengosongkan arah pandangan Alina ke tunangannya.

Di belakang Mandy, putranya tampak sangat tidak gembria.

“Darrell… Clifford…?” Alina terperanjat. Dari semua pria yang ada di dunia ini, mengapa ayahnya harus memilih pemuda ini? Alina mengejek dirinya sendiri. Memangnya apa yang dapat diharapkannya dari ayahnya?

Darrell kaget. “Apakah kita pernah bertemu?”

“Kalian saling mengenal?” Evi bertanya tertarik.

“Tidak,” jawab Alina, “Kami hanya satu sekolah.”

“Baguslah,” Mandy mengatupkan tangannya, “Kami tidak perlu khawatir kalian tidak dapat berhubungan dengan baik.”

“Mengapa tidak kaukatakan dari awal?” tanya Luke, “Kau tidak perlu pura-pura membenci pertunangan ini.”

Alina menatap Darrell dengan dingin. Bibirnya tersenyum sinis. Daripada mengatakan membenci, lebih tepat mengatakan ia akan menggagalkan pertunangan gila ini.

“Aku… kami…,” Darrell panik.

“Kami bukan teman sekelas,” Alina menegaskan kemudian ia melanjutkan dengan tenang, “Kami berbeda tingkat. Darrell adalah senior saya. Ia sangat terkenal di sekolah. Ia sangat mahir dalam olahraga, nilai-nilai pelajarannya pun tidak perlu diragukan. Singkat kata, idola nomor satu.”

Darrell membelalak.

“Wah… wah…, Alina, kau bisa saja,” Mandy tersenyum, “Anak tidak berguna seperti dia bagaimana mungkin menjadi idola?”

“Ternyata kalian sudah saling mengenal. Sekarang kami bisa tenang,” Bernard berkata puas.

Alina melihat ayahnya dengan kesal. Kemudian ia melihat ibunya yang memandang ayahnya. Dari sinar matanya, Alina yakin ia mendengar ibunya memuji pilihan ayahnya.

“Mengapa kita tidak membiarkan mereka saling mengenal lebih dalam?” Evi berseri-seri.

“Biarkan anak-anak muda memperdalam hubungan mereka,” Mandy mengambil tangan Darrell dan menggandengkannya dengan tangan Alina.

Darrell tampak jelas ingin memprotes.

Alina memperhatikan wajah berseri-seri ibunya.

“Nikmati waktu kalian,” Mandy mendorong mereka menjauh.

Alina menurut ketika Darrell menariknya pergi.

Segera setelah mereka menghilang dari pandangan orang tua mereka, Darrell mengurung Alina di dinding. Matanya menatap Alina dengan garang. “Kuperingatkan kau, jangan bertahu siapa-siapa tentang pertunangan ini,” ia mengancam.

Alina balas menatap Darrell dengan dingin. “Jangan khawatir,” ia menepis tangan Darrell, “Aku masih ingin hidup tenang.” Seketika terbebas dari Darrell, Alina meninggalkan tempat sepi itu – kembali ke ruang tempat orang tua mereka bercakap-cakap.



Semburan air segar memandikan bunga-bunga yang baru mengembang.

Senyum Alina mengembang lebar. Tangannya memainkan ujung selang membentuk liukan-liukan seperti ular.

Darrell yang kebetulan melewati koridor antara dua gedung, menghentikan langkah kakinya. Ia tertegun melihat Alina yang dengan cerianya bermain air.

“Hmm… tak kuduga kau mempunyai wajah seperti ini.”

Senyum di wajah Alina langsung digantikan wajah dinginnya.

“Aku tahu kau pasti merasa sangat beruntung bisa bertunangan denganku,” kemarin Darrell berkata dengan sombongnya.

Tangan Alina langsung melayang oleh kemarahan. Dia pikir siapakah dia? Ia tidak lebih dari seorang playboy yang tidak pantas dibanggakan.

“Alina, apa yang kaulakukan?”

Tangan Alina langsung berhenti oleh suara ibunya.

“Kami sedang berdansa,” Darrell menyambut tangan kanan Alina yang berhenti tak jauh dari wajahnya. Tangannya yang lain melingkari pinggang Alina dan menariknya mendekat.

Alina tidak gembira menyadari ia teringat oleh kejadian kemarin yang menyebalkan itu.

Sementara itu tak jauh dari sana, Liz tengah pusing mencari-cari Alina.

“Di mana Alina?” gerutunya, “Tak kusangka hanya karena gurauan itu ia marah.” Liz ingat pagi ini ia dengan gembira mengabarkan kedatangan Darrell pada Alina.
“Alina, Darrell sudah datang,” Liz memberitahu dengan gembira.

Alina melihat Darrell yang dikerumuni penggemar-penggemarnya di pintu gerbang.

“Ah, Alina, aku iri padamu,” Liz mengeluh, “Kau sungguh beruntung. Kau bisa melihat Darrell waktu pelajaran olah raga.”

“Apa bagusnya Darrell?” gerutu Alina, “Playboy, besar kepala, tidak tahu diri. Memangnya dia piker siapa yang mau menikah dengannya!” Alina kaget. Ia cepat-cepat menutup mulutnya.

“Alina,” Liz melihat Alina dengan pandangan menyelidik, “Jangan-jangan kau juga tertarik pada Darrell.”

“Siapa yang tertarik pada playboy kelas murahan itu!?” Alina menggebrak meja dengan murka.

Semua mata melihat Alina. Liz melongo melihat Alina.

Alina duduk. “Pelajaran sudah mau dimulai,” ia membuka bukunya.

Liz memperhatikan Alina yang tampak jelas masih marah. Tak lama kemudian bel berbunyi. Liz segera kembali ke tempat duduknya. Namun matanya terus memperhatikan Alina yang sedang membaca buku. Sepanjang jam pelajaran ia mencoba minta maaf pada Alina tapi gadis itu mengabaikannya. Bahkan begitu bel istirahat berbunyi, ia langsung pergi.

“Benar-benar tidak lucu,” gerutu Liz, “Masa digoda begitu saja sudah marah.”

“Aku tahu kau pura-pura membenciku, tapi sesungguhnya kau juga menyukaiku.”

Langkah kaki Liz terhenti. Ia terpana melihat Alina dan Darrell di taman sekolah tempat Alina biasanya pergi ketika ia dalam suasana hati buruk.

Tangan Alina beralih dari bunga-bunganya.

Darrell terperanjat.

Liz melongo.

Alina terus menyemprot Darrell dengan wajah dinginnya.

“Alina, apa yang kaulakukan?” Liz cepat-cepat mematikan air kran.

“Dia mencari air dingin,” Alina meletakkan selang.

“Bukannya kau selalu ingin mendekat playboy murahan itu?” Alina berbisik pada Liz. Lalu ia meninggalkan Liz yang memperhatikannya dengan bingung. Ketika melewati Darrell, Alina memperingati pemuda itu, “Jangan dekat-dekat denganku.”

Darrell turut memperhatikan kepergian gadis itu. “Benar-benar tidak lucu!”

“Alina memang tidak menyukai pria tetapi ia tidak pernah bersikap seperti ini,” gumam Liz sedih.

Darrell tidak menanggapi. Ia juga tidak mempercayai omongan itu. Alina tahu terlalu banyak hal tentang dirinya untuk dikatakan membencinya. Darrell percaya gadis itu langsung bersorak gembira ketika mengetahui pertunangan ini.

Alina salah kalau ia pikir ia pun menyukai pertunangan ini. Ia tidak akan mengikuti permainan ini kalau bukan karena ibunya mengancam akan mengurungnya dan memutuskan hubungannya dengan semua penggemar-penggemarnya.

Lebih muda mempercayai gadis itu cemburu pada penggemar-penggemarnya dibandingkan membencinya.

“Maafkan Alina. Dia memang tidak menyukai senior Clifford. Tapi biasanya ia tidak pernah bersikap sekasar ini.”

Rasanya lebih tepat dikatakan Alina marah pada sikap playboynya. Namun Alina jangan berharap ia akan berubah. Ia memang seorang playboy dan ia menikmatinya.

“Kalau Anda tidak keberatan,” Liz memberanikan diri, “Saya akan mengantar Anda ke poliklinik. Saya percaya dokter poliklinik mempunyai baju cadangan yang bisa dipinjam.”

Tampaknya gadis ini bisa ia dekati untuk mengorek informasi tentang Alina, pikir Darrell.

“Tentu. Aku juga ingin mengetahui banyak hal tentangmu,” kata Darrell.

Liz gembira mendengarnya. Tanpa ragu-ragu ia langsung memperkenalkan dirinya. Ia tidak mengabaikan kesempatan yang memang selalu dicari-carinya ini.

Darrell tidak tertarik mendengar omelan Liz namun apa yang bisa ia lakukan. Ia bukan tipe yang suka memotong pembicaraan seorang gadis. Baginya itu sama sekali tidak sopan dan tidak dapat ditolerir. Walaupun demikian ia tidak bisa berkonsentrasi penuh mendengarkan Liz. Ia terus mencari kesempatan mengorek informasi tentang Alina dengan sia-sia.

Ide baru muncul ketika ia melihat sebuah amplop di meja dokter poliklinik. Dengan tergesa-gesa, Darrell mengganti bajunya dan berlari ke ruang klub bola basket. Ia percaya ia akan segera menemukan bukti kebohongan Alina.

Darrell tersenyum penuh kemenangan ketika ia mengeluarkan surat-surat cinta koleksinya di meja ruang klub.

“Akan kubuktikan!” Darrell membuka satu persatu tumpukan surat-surat cinta di depannya. “Akan kubuktikan. Akan kubuktikan gadis itu pembohong besar!” Darrell membuka surat-surat cinta yang ditujukan untuknya dengan tidak sabar. Kalau memang ia tidak tertarik padanya, mengapa ia tahu banyak hal tentangnya?

“Ada apa, Darrell? Tidak biasanya kau membaca surat-surat cintamu,” kata Owen.

“Biasanya kau hanya mengoleksinya,” Jose muncul di belakang Owen.

“Aku mau membuktikan sesuatu,” kini sudah hampir setengah dari gunung surat cinta itu dibuka Darrell.

“Membuktikan apa…?” aura membakar muncul di belakang mereka.

Mereka terkejut.

“Darrell, apa kau mau kabur?” Cullen mencengkeram pundak Darrell. “Apa kau ingin aku membuang surat-surat cintamu?”

“Kau boleh membuangnya, tapi tidak ini,” Darrell melindungi tumpukan surat-surat cinta yang belum dibukanya.

Mereka kaget.

“Ini bukan waktunya main-main!!” seru Cullen marah, “Cepat lari keliling sekolah sepuluh kali!”

Ketiganya langsung lari terbirit-birit.

Suasana sekolah siang itu berlangsung seperti biasa. Setiap klub memulai kegiatan mereka di tempat mereka masing-masing. Siang itu klub bola basket berlari mengelilingi sekolah sebagai pemanasan.

Jose berhenti dengan tersenggal-senggal. “Aku tidak kuat lagi.” Owen turut berhenti.

“Jangan berhenti!” Owen memperingati, “Cullen akan membuatmu berlari sepuluh kali lagi kalau ia melihatmu.”

“Ia benar-benar tidak berhati,” keluh Jose.

“Cullen segera datang,” Darrell memberitahu tanpa berhenti.

Jose melihat Cullen yang terus berlari dengan penuh semangat. “Dia bukan manusia. Ini sudah putaran kelimannya dan ia masih bersemangat. Pantas saja Cullen merasa tersaingi olehnya.”

“Kurasa bukan itu alasannya,” komentar Owen, “Cullen sangat keras pada Darrell karena ia ingin Darrell menjadi penggantinya. Darrell adalah pemain berbakat hanya saja ia tidak pernah serius.”

‘Aku bermain basket tentu saja untuk menarik perhatian gadis-gadis,’ kata Darrell setiap kali dan dengan penuh semangat ia akan menambahkan, ‘Semakin bagus permainanku, semakin banyak gadis yang tertarik padaku.’

“Tidakkah kau merasa hari ini dia aneh?” tanya Owen, “Biasanya ia melarang seorang pun menyentuh koleksi surat-surat cintanya. Ia tidak pernah membukanya. Hari ini ia membaca semuanya bahkan membiarkan Cullen membakarnya.”

“Bukannya ia selalu aneh?”

“Sebelum berlari, ia berkata, ‘Aku tidak punya waktu untuk ini!’ Ketika membaca surat-surat cintanya, ia berkata, ‘Aku akan membuktikannya! Aku akan membuktikannya!’ menurutmu apa yang sedang dilakukannya?”

Jose tertawa. “Pasti ada gadis yang tidak terkait oleh pesonanya.”

“Apa yang kalian tertawakan?” Cullen muncul dibelakang mereka dengan aura kemarahannya.

Owen dan Jose kaget. Mereka langsung lari terbiri-birit.



“Alina! Alina! Sedikit lagi, Alina!”

Langkah kaki Darrell terhenti.

Alina tengah berenang gaya kupu-kupu.

“Alina! Alina!” gadis-gadis yang berdiri di tepi kolam berteriak histeris – memberi semangat pada Alina yang tengah berlomba dengan seorang gadis.

Owen heran melihat Darrell berdiri di pagar kawat yang mengelilingi kolam renang.

“Oh, sekarang waktunya klub renang wanita,” Jose muncul.” Tak kusangka kau juga tertarik pada hal-hal seperti ini. Katakan gadis mana yang paling seksi?” goda Jose pula.

Darrell tidak menanggapi. Matanya terus terpaku pada sosok Alina.

Para gadis menjerit senang ketika Alina mencapai tepi kolam renang.

“Sudah kuduga,” Cullen berkata puas, “Alina memang yang terbaik.”

Ketiganya langsung menoleh.

“Kau tahu siapa gadis itu?” Owen bertanya heran.

“Tentu saja,” Cullen berkata bangga, “Alina Birkhead, kelas I-C. Dia mengikuti klub renang sejak kecil dan memenangkan banyak perlombaan. Ia masuk sekolah ini dengan beasiswa atas prestasinya di bidang renang. Ia diharapkan bisa masuk tim renang nasional dan merupakan calon unggulan ketua klub renang wanita.”

“Oh….,” Jose berkomentar.

“Pantas saja akhir-akhir ini ia suka berlari mengelilingi sekolah,” Owen berbisik pada Jose.

“Benar. Benar,” Jose sependapat.

“Apa yang kalian bisikan?” Cullen bertanya geram.

“Tidak – tidak ada,” mereka mengelak.

Darrell kembali melihat Alina.

Alina sudah berdiri di tepi kolam renang. Ia menyambut pujian yang ditujukan padanya dengan senyum ceria.

“Ini benar-benar perlombaan yang menarik,” kata Stevie – ketua klub renang wanita dengan siapa Alina barusan berlomba.

“Kau membuat rekor baru,” puji Gary, ketua klub renang pria.

“Terima kasih,” Alina tersenyum.

“Alina! Alina!” seorang gadis berlari mendekat, “Ibumu menelepon.”

Wajah Alina langsung berubah.

“Apakah terjadi sesuatu?” Stevie bertanya cemas, “Sebaiknya kau segera pulang.”

Darrell termangu melihat Alina.

Cullen yang sudah benar-benar geram akhirnya berseru, “Lima putaran lagi untuk kalian!”

“APA!!?”

Sesuai permintaan mereka, Cullen mengulang perintahnya, “Lima pu….”

Ketiganya langsung kabur.



“Mama!?” Alina membuka pintu, “Mama!?”

Evi keluar dari dalam. “Kau sudah pulang, Alina?”

“Apa yang terjadi?” Alina mendekati ibunya dan ia menyadari bekas air mata ibunya, wajah cemasnya seketika mendingin, “Ia sudah pergi, bukan?”

Mata Evi kembali basah. “Maafkan Mama, Alina. Mama akan segera menyiapkan makan malam.”

“Aku akan menyiapkannya,” Alina mencegah, “Sebaiknya Mama beristirahat.”

“Tapi, Alina…”

“Hari ini aku yang memasak,” ketegasan Alina membuat Evi terdiam.

Alina memperhatikan ibunya dengan sedih. Malam ini akan menjadi malam yang panjang sebelum ibunya tersenyum lagi.



Halaman sekolah perlahan-lahan diramaikan siswa-siswi.

Alina menutup locker sepatunya.

“Alina!” suara antusias Liz menyambutnya. Liz menjabat tangannya. “Terima kasih. Terima kasih. Kau memang sahabatku yang paling baik. Aku yakin hubunganku dengan Darrell sudah selangkah lebih maju! Kemarin kami bercakap-cakap. Kemarin aku juga menemani Darrell ke poliklinik untuk meminjam baju ganti.”

“Semoga hubungan kalian lancar,” Alina pergi tanpa rasa tertarik.

Sementara itu di lantai dua, yang dikhususkan untuk para siswa tingkat dua, terdengar seruan keras, “TIDAK ADA!”

“Tidak ada! Tidak ada!” Darrell membolak-balik surat-surat cinta di mejanya.

“Tidak biasanya kau membaca surat-surat cintamu di kelas,” komentar Owen.

“Tidak ada!” Darrell menegaskan pada dirinya sendiri.

“Apa yang tidak ada?” tanya Owen.

Darrell langsung menghambur keluar – membuat teman-teman sekelasnya heran.



“Alina!”

Suara itu langsung membangkitkan api kemarahan dalam diri Alina.

“Alina,” Darrell mencengkeram pundak Alina, “Mengapa kau,” tas Alina menghantam wajah Darrell.

Semua orang melongo. Liz membelalak. Owen dan Jose yang mengekor Darrell juga tidak kalah kagetnya.

“Maaf, tanganku terpelincir,” Alina berkata dengan wajah dinginnya.

Darrell marah. “Apa yang kaulakukan pada,” tatapan tajam Alina membuatnya terdiam.

“Pada siapa?” Liz bertanya tertarik.

“Orang yang tidak dikenal,” Alina melanjutkan dengan dingin.

Jiwa Darrell langsung melayang dari raganya karena shock.

Alina beranjak pergi.

“Siapa gadis itu?”

“Kau tidak apa-apa, Darrell?”

“Apa kau terluka?”

Gadis-gadis langsung mengerumuni Darrell yang masih tidak berjiwa.

“Kau benar,” Owen menepuk pundak Jose.



Siang itu ketika Alina berjalan di koridor bersama Liz, Liz bertanya,

“Mengapa kau bisa setenang ini? Apa kau tidak takut pada klub penggemar Darrell?”

“Mereka salah mencari sasaran,” Alina kesal, “Seharusnya mereka memperingati playboy itu untuk tidak menemuiku. Aku tidak sudi berhubungan dengan playboy itu.”

“Kalian punya hubungan apa?” Liz bertanya tertarik.

Alina berhenti.

Liz terkejut melihat para gadis pagi ini berdiri tak jauh di depan mereka. Ia langsung berdiri di belakang Alina yang sedikit pun tidak gentar.

“Kalian hanya punya tiga pilihan. Membiarkanku menghentikan playboy itu, menghentikan playboy itu sendiri,” Alina menatap mereka lekat-lekat, “Atau membiarkanku mengikuti permainan playboy itu.”

Alina meninggalkan mereka. “Aku tidak mau bertemu playboy itu,” ia terus berjalan tanpa menghiraukan reaksi mereka.

“Kau benar-benar luar baisa,” puji Liz dan ia kaget melihat raut wajah Alina yang dipenuhi amarah.

“Playboy itu…,” Alina geram, “Sebaiknya ia berhati-hati padaku.”

Liz bertanya-tanya. “Mengapa Darrell mencari Alina?”



Pintu ruang klub bola basket terbuka.

“Akan kubuktikan! Akan kubuat dia tergila-gila padaku!” Darrell melangkah masuk dengan kesal.

“Darrell…,” Cullen seperti biasa muncul dengan hawa gelapnya.

Darrell kaget.

“Apa yang kaulakukan pada Alina?” Cullen mencengkeram kemeja Darrell dan mengguncangnya dengan keras, “Semua orang membicarakannya. Apa yang kaulakukan pada Alina!? Beraninya kau mendekati Alina! Beraninya kau menganggu Alina!?”

“Rupanya begini,” Jose berkomentar.

Owen melihat Jose. “Pasti karena ini Cullen sangat keras pada Darrell.”

Cullen langsung menoleh. “Kalian berdua….”

Owen dan Jose langsung kabur.



Jose mendesah. “Mengapa dia terus mengekor kita?”

Latihan klub bola basket sudah selesai. Darrell, Jose, Owen yang rumahnya sejalan pulang bersama-sama. Cullen, tidak seperti biasanya, mengekor mereka semenjak kegiatan klub usai.

“Dia sendiri yang memutuskan,” Owen pun tampak lesu.

“Aku tidak akan membiarkanmu mendekati Alina lagi. Mulai hari ini aku akan mengawasimu!” Cullen berkata dengan penuh semangat.

“Untung dia tidak mengekorku,” Jose berkata lega sambil melihat Darrell dan Cullen yang berjalan bersama di depannya.

Darrell tampak begitu bosan mendngar Cullen yang terus berceramah tiada henti.
“Ah, Alina,” Owen melihat seorang gadis yang baru keluar dari toko.

Nama itu langsung menutup mulut Cullen. “Alina!” panggilnya.

Alina menoleh ke grup kecil itu.

“Kau beli apa?” Cullen mendekat dengan ceria.

“Siapa kau?” Alina bertanya dengan suara dinginnya, “Apakah aku mengenalmu?”

Cullen langsung melongo.

Owen dan Jose tertawa terpingkal-pingkal.

“Rupanya semua itu hanya khayalan Cullen,” Owen berkomentar.

“Aku sempat menduga keduanya adalah kekasih. Ternyata…,” Jose tidak dapat menahan tawa.

Saat itulah Alina menyadari keberadaan Darrell. Mata dinginnya menyapu wajah Darrell.

“Aku adalah Cullen Horton, kapten klub bola basket,” Cullen memperkenakan diri, “Aku minta maaf atas tindakan tidak sopan Darrell pagi ini.”

Alina tersenyum. “Jangan terlalu dipikirkan. Aku tidak terlalu mengambil hati tingkah playboy murahan itu.”

Sindiran Alina tepat menusuk hati Darrell.

“Apa kau keberatan bila aku menemanimu berbelanja?”

“Tidak perlu,” elak Alina, “Sekarang aku akan langsung pulang.”

“Aku akan mengantarmu,” Cullen menawarkan dan ia meraih tas belanja Alina. “Mari kubawakan.”

“Terima kasih.”

Darrell panas melihat keakraban dua orang itu.

Alina sempat melayangkan pandangan dinginnya pada Darrell sebelum ia berjalan bersama Cullen.

“Gadis itu…,” Darrell geram. “Dia sengaja. Tidak diragukan lagi! Dia sengaja!”

Owen dan Jose hanya terbengong melihat bara api Darrell.

“Akan kubuat dia tergila-gila padaku! Lihat saja,” sumpahnya.

“Tampaknya ini akan menarik,” komentar Owen.



Alina terperangah. “Mengapa kau di sini?”

“Aku sudah tahu,” Darrell tersenyum licik, “Kau pasti mengingkari janjimu.”

“Janji,” Alina bingung. Ia teringat telepon Darrell kemarin malam.

‘Ingat. Besok jam 10 siang di depan stasiun. Jangan lupa!’

Alina menutup pintu.

“Kau,” geram Darrell sambil menahan pintu, “Kau memang suka melawanku, bukan?”

“Aku hanya menghindari masalah,” Alina membalas dingin.

“Oh ya?” Darrell maju.

“Mau apa kau?”

“Alina, siapa itu?”

“Bukan siapa-siapa.”

“Ah, Darrell,” Evi muncul, “Tampaknya kalian berdua sudah akrab,” ia tersenyum melihat jarak di antara keduanya dengan tubuh Darrell setengah condong ke depan.

“Benar,” Darrell langsung memeluk Alina, “Kami akan pergi berkencan.”

Alina mendorong Darrell. “Apa-apaan,” emosinya langsung lenyap melihat senyum ibunya.

“Senangnya jadi anak muda,” Evi tersenyum penuh arti. Lalu ia berkata pada Alina dengan serius, “Alina, mengapa kau tidak segera bersiap-siap? Jangan buat Darrell menunggu.”

“Baik, Mama,” Alina langsung pergi.

Darrell kaget kepasrahan Alina.

Sesaat kemudian Evi melambaikan tangan pada sepasang remaja itu. “Hati-hati di jalan. Jangan pulang terlalu malam.”

Alina tidak menanggapi pesan itu. Ia hanya menunduk – membiarkan Darrell menggandeng tangannya dengan penuh keceriaan. Tapi begitu mereka berbelok, Alina melepaskan tangannya.

“Rupanya seperti ini,” gumam Darrell.

“APA!?” bentak Alina.

Darrell hanya tersenyum.

Alina membuat muka – menyembunyikan wajahnya yang bersemu. “Bis sudah datang,” ia melangkah.

“Sama sekali tidak manis,” gerutu Darrell sambil mengikuti Alina.



“Kau mau melihat film?”

“Terserah.”

“Kau mau shopping?”

“Terserah.”

“Kau mau ke taman?”

“Terserah.”

‘Gadis ini…,’ Darrell geram. Ia menawarkan banyak tawaran tapi gadis keras kepala ini hanya menjawab ‘terserah’. Sedikit pun tanpa antusias!

“Apa kau mau berhenti sebentar untuk makan atau minum sesuatu?”

“Terserah.”

Darrell benar-benar terbakar emosinya.

“Darrell?”

Darrell adalah orang pertama yang terperanjat. “Gawat. Tidak ada yang boleh melihat kita,” ia panik, “Alina…”

Alina sudah melangkah masuk ke dalam toko buku di sebelah mereka.

“Darrell!” panggil para gadis itu, “Apa yang kaulakukan di sini?”

“Apa kau sedang berkencan?”

“Aku melihat seorang gadis bersamamu.”

“Kau tidak sedang berkencan, bukan?” tanya yang lain.

Darrell panik melihat tiga gadis yang penuh ingin tahu itu.

“G-gadis mana?” matanya melirik Alina yang sibuk membalik-balik buku.

“Jangan mengelak. Jelas-jelas aku melihatmu berbicara dengan seorang gadis.”
“Oh, gadis itu,” Darrell langsung berpikir, “Ia hanya bertanya jalan.”

“Benarkah itu?” mereka menuntut.

Alina melihat Darrell yang bercakap-cakap dengan riang bersama gadis-gadis itu. Ia teringat suatu saat di masa kecilnya. Ayahnya sedang menggoda seorang pelayan ketika ibunya sedang memilih baju. Api kemarahannya langsung menyala. Ia pun meninggalkan toko itu.

Darrell kaget melihat Alina muncul dengan mata dinginnya. Ia semakin panik ketika gadis itu mendekat.

“Darrell, apakah kau mau pergi dengan kami?”

“Kami akan pergi ke KTV.”

Alina berbelok.

Darrell terpaku. Alina sama sekali tidak melihatnya! Gadis itu terus menjauh tanpa mempedulikannya!

“Darrell! Darrell!”

Darrell kaget.

“Apa yang kaulamunkan?”

Darrell memberikan senyumnya yang mempesona. “Aku membayangkan betapa beruntungnya aku bisa pergi bersama gadis-gadis cantik seperti kalian.”

“Ah, Darrell, kau bisa saja,” mereka tersipu-sipu.

Darrell melihat Alina berbelok ke taman. Ia yakin Alina akan menantinya di sana. Darrell tersenyum penuh percaya diri dan berkata, “Mari kita pergi.”



Alina memperhatikan anak-anak kecil yang memberi makan pada ikan di kolam. Pikirannya melayang pada Darrell yang bercakap-cakap dengan akrab dengan para gadis itu. Seseorang mengulurkan sekaleng minuman dingin di pipi Alina.

Tangan Alina langsung melayang.

Cullen melongo.

Alina melonjak kaget. “Ma-maafkan aku!”

Cullen memegang pipinya yang memerah. “Tidak apa-apa. Aku memang pantas mendapatkannya.”

“Maafkan aku,” Alina merasa bersalah.

“Mengapa kau melamun di sini?”

‘Pertanyaan bagus,’ pikir Alina. Amarahnya kembali membara.

“Apakah kau punya masalah keluarga?”

Alina tidak menjawab. “Kau punya waktu?” Tidak hanya playboy itu yang bisa pergi dengan orang lain. Ia tidak pernah berjanji akan pergi kencan. Ia juga tidak punya alasan untuk duduk diam di sini menanti playboy itu.



“Aku sudah pulang,” Alina melepas sepatu kemudian menemui ibunya di ruang duduk, “Mama, aku sudah membeli bahan makan malam kita.”

“Ah, Alina, kau sudah pulang?” Evi bertanya berseri-seri, “Bagaimana kencan kalian?”

Alina tertegun melihat senyum itu. Kemudian barulah ia sadar ibunya sedang memegang telepon.

‘Pria itu,’ Alina geram.

“Benar, Mandy, Alina sudah pulang,” Evi kembali berbicara di telepon. “Benar. Benar. Anak muda jaman sekarang memang beruntung.”

Alina terperangah. Tidak biasanya ibunya berbicara di telepon segembira ini dengan orang lain selain ayahnya. Alina pun meninggalkan ibunya menuju dapur.

Sementara itu Darrell mendengar nada bicara di HP-nya dan dengan geram menutup telepon. “Sialan!” geramnya. “Di mana gadis itu!? Sama sekali tidak manis! Masa begitu saja sudah marah!”

Darrell kembali mencari-cari Alina dengan cemas.



Alina mengaduk isi kualinya.

“Ya, ya,” ujar Evi, “Selamat malam,” ia menutup telepon.

Telepon berdering tepat setelah Evi meletakkan ganggang telepon.

“Ada apa, Mandy?” ia mengangkat telepon, “Oh, Darrell. Ada apa? Ya… ya… ia sudah kembali. Kau ingin bicara dengannya? Ya. Sebentar,” Evi meletakkan telepon.

“Alina,” Evi muncul di dapur.

“Makan malam segera siap, Mama,” Alina memberitahu.

“Darrell mencarimu.”

Nama itu membangkitkan amarah Alina.

“Mama akan menyelesaikan ini,” Evi mengambil alih. Dengan senyumnya yang berseri-seri, ia berkata, “Jangan biarkan Darrell menunggu.”

Alina pun melangkah keluar.

“Apa maumu!?” tanyanya ketika mengangkat telepon.

“APA-APAAN KAU INI!?” sembur Darrell, “Pergi begitu saja tanpa pamit! Apa kau tidak sadar apa yang sudah kaulakukan!? Aku hampir mati mencarimu!”

“Siapa,” Alina bertanya dingin, “Siapa yang tidak ingin terlihat?” Di ujung telepon yang lain, Darrell membeku, “Siapa yang mengabaikan kencannya dan pergi bersama gadis lain?”

“Kau…,” Darrell tertegun, “Kau cemburu?”

Gunung api dalam es Alina langsung meletus, “Siapa yang cemburu!?” ia membanting telepon.

“Kalian bertengkar?” tanya Evi.

Alina tidak menjawab. Tangannya mencabut kabel telepon sebelum berbalik pada ibunya. “Sudah waktunya makan,” ia mengajak ibunya. Tanpa sedikitpun memperhatikan ibunya, ia memindahkan masakannya dari kompor ke meja makan.

“Alina, kau tidak boleh begini. Bertengkar itu tidak baik. Kau harus bisa memahami Darrell. Mama yakin Darrell tidak berniat membuatmu marah.”

“Mama,” Alina meletakkan piring, “Bisakah kita tidak membicarakan hal ini?”

Evi menutup mulutnya mendengar suara dingin itu.



Cullen melangkah masuk kelasnya dengan senyum lebar. Sudah dua kali ia pergi berduaan dengan Alina. Walaupun kemarin Alina hanya memintanya menemani pergi berbelanja, itu sudah cukup bagi Cullen untuk memulai pendekatannya.

Ia sudah jatuh cinta pada Alina ketika pertama melihatnya dalam suatu lomba renang. Semenjak itu ia tidak pernah berhenti memperhatikannya. Ia telah berusaha mendekati Alina namun gadis itu sulit didekati.

Stevie, teman sekelasnya yang juga ketua klub renang wanita, tidak banyak membantunya. Alina adalah seorang gadis pendiam. Ia tidak pernah membuka dirinya pada orang lain. Namun dari Stevie diketahuinya Alina tidak pernah berpacaran dan tidak sedang menyukai seorang pria mana pun. Cullen percaya sekarang selangkah lebih maju dari pemuda mana pun.

Stevie melihat kedatangan Cullen. Ia segera mendekati pemuda yang sedang bergembira itu.

“Aku melihatnya,” Stevie berkata misteri. Ia semakin mendekatkan wajah ke Cullen. “Aku melihatmu bersama Alina.”

“Eh?” Cullen tidak mengerti.

“Jangan berpura-pura lagi,” desak Stevie, “Tidak kusangka engkau telah menjalin hubungan dengan Alina. Lalu, lalu bagaimana kelanjutan hubungan kalian?”

“Hmm… Itu…,” Cullen tersipu-sipu.



“Berita besar!” Jose membuka pintu ruang klub basket. Mereka yang ada di dalam langsung melihatnya. “Cullen keluar bersama Alina.”

“APA!??” seru kaget Darrell terdengar paling keras. Ketika semua mata melihatnya dengan heran, ia baru menyadari tindakannya.

“Darrell, apa kau punya pendapat?” Cullen muncul di belakang Jose dengan hawa gelapnya.

“Ini tidak ada hubungannya denganku,” Darrell mengalihkan pandangan.

“Aku tahu,” Cullen mendekat, “Kau pasti cemburu padaku. Alina memilihku,” ia sengaja menggoda Darrell, “Kau pasti cemburu.”

“Jadi gosip itu benar?” tanya Owen.

“Tentu saja,” Cullen membusungkan dada, “Kemarin aku bertemu Alina di taman dan ia mengajakku menemaninya berbelanja.”

Tangan Darrell terkepal erat. “Gadis itu….”

“Lupakan saja,” ujar Cullen, “Alina tidak tertarik padamu. Aku sudah mendengarnya. Ia pernah menamparmu.”

Darrell teringat teleponnya kemarin malam yang tidak tersambung-sambung setelah percakapan singkatnya dengan Alina.

“Ia memilihku,” Cullen mengulangi dengan puas.

Darrell geram. Ia melangkah keluar.

“Tunggu!” Cullen menahan, “Mau ke mana kau!? Apa kau mau mencari Alina!? Siapa yang berpikir aku akan membiarkanmu menganggu Alina!?”

Telepon genggam Darrell berbunyi.

“Darrell, teleponmu,” Jose memberikan telepon yang tergeletak di meja itu pada Darrell.

Darrell langsung mengangkat telepon. “Oh, Tante. Ada apa?”

Semua memperhatikan Darrell.

“Ya. Ya, tidak masalah. Tentu.” Senyum mengembang di wajah Darrell. “Jangan khawatir. Saya tidak akan lupa.”

“Kali ini sasarannya seorang tante,” bisik Owen pada Jose.

“Terima kasih. Selamat siang,” Darrell pun menutup pembicaraan. Lalu ia tertawa puas. “Jangan salah sangka,” ia melihat Cullen. “Kau belum pasti menang dariku.”

“Jangan kau ganggu Alina!”

“Kurasa bukan,” timpal Jose.

“Omong-omong, apakah Alina tidak punya pacar?” tanya Owen.

Baik Darrell maupun Cullen terperanjat oleh pertanyaan tidak terduga itu.

Jose melihat Owen. “Mungkin saja. Bukannya ia cukup manis.”

“TIDAK MUNGKIN!!”

Mereka kaget oleh jawaban bersamaan Darrell dan Cullen.

“Itu tidak mungkin!” seru Cullen, “Kata Stevie, Alina tidak pernah berpacaran. Ia memang terkenal di klub renang tapi ia masih belum pernah berpacaran.”

“Gadis seperti itu tidak mungkin ada yang menaksir.”

Cullen langsung menatap tajam pada Darrell. “Beraninya kau…” geramnya.

“Hoi, kapten. Apa menu kita hari ini?” anggota klub bola basket yang lain bertanya.



Alina sedang membaca koran di ruang duduk ketika bel berbunyi.

“Alina, tolong kau buka pintu. Mama sibuk.”

Alina meletakkan koran dan beranjak membuka pintu.

“Selamat malam,” Darrell tersenyum lebar.

Alina kaget. “Mengapa kau di sini?” desisnya geram.

“Kau tidak punya alasan mengusirku,” Darrell menahan pintu sebelum Alina menutupnya, “Mamamu mengundangku makan malam di sini.”

“Omong kosong!” bantah Alina, “Siapa yang percaya padamu!?”

“Alina, bisakah kau ajak Darrell masuk?” terdengar suara ibu Alina dari dalam, “Makan malam sudah hampir siap.”

“Lihat itu,” Darrell tersenyum puas.

Alina geram tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan Darrell masuk.

“Darrell, duduklah,” sambut Evi ramah, “Makan malam segera siap.” Lalu ia menoleh pada Alina. “Mengapa tidak kau temani, Darrell?”

“Aku akan membantu Mama.”

“Tidak. Tidak perlu. Kau cukup menemani Darrell. Mama sudah hampir selesai.”

Darrell tampak puas.

Alina melihat tidak ada celah untuknya menghindar. Ia pun mengajak Darrell ke ruang duduk. Tanpa sedikit pun melihat Darrell, Alina meneruskan korannya.

“Aku sudah mendengarnya,” Darrell membuka percakapan.

Alina tidak sedikitpun memberi perhatian.

“Kau pergi dengan Cullen. Lebih menarik, bukan? Pergi dengan Cullen lebih menarik daripada denganku, bukan?” Darrell tidak menutupi kekesalannya, “Beginikah sikapmu pada tunanganmu? Tidak tahukah kau, aku mencarimu setengah mati.”

Alina mengabaikan keberadaan Darrell.

Darrell kesal. “Apakah sikapmu selalu seperti ini pada tamumu?”

“Satu,” jawab Alina tanpa mengangkat matanya dari koran. “Siapa yang pertama kali pergi? Dua, bukan urusanmu dengan siapa pun aku pergi. Tiga, kau bukan tamumu.”

“Tidak sopan!” komentar Darrell, “Setiap tamu rumah ini adalah tamumu juga. Dan ingat, aku adalah tunanganmu!”

Alina mengabaikan Darrell.

Darrell mengambil koran di tangan Alina.

“Hei!” Alina marah, “Apa yang kaulakukan!?” ia merebut kembali koran.

“Rupanya kalian sudah berbaikan,” Evi muncul sambil tersenyum.

“Mama terlalu mengada-ada,” api kemarahan Alina langsung lenyap. “Kami tidak pernah bertengkar. Kami tidak punya alasan untuk bertengkar.”

“Baguslah,” Evi senang, “Aku khawatir kalian sedang bertengkar.”

“Tidak. Tidak,” Alina mengelak. “Apakah makan malam sudah siap? Kita tidak boleh membiarkan dia kelaparan, bukan?” mata dingin Alina melirik tajam Darrell, “Cepat menyingkir,” desisnya lalu beranjak bangkit.

Darrell terbengong-bengong melihat perubahan sikap Alina.

“Ayo makan, Darrell,” ajak Evi.

Darrell melihat Alina sudah duduk di meja makan untuk empat orang itu. Tangannya sudah sibuk menuangkan nasi di tiga piring kosong di atas meja. Darrell sengaja duduk di sisi Alina yang tampak sama sekali tidak senang.

Malam itu Darrell benar-benar dibuat terkejut sekaligus puas oleh perubahan sikap Alina padanya. Alina sama sekali tidak mengeluarkan nada suara dinginnya. Sebaliknya, ia bersikap sangat manis. Senyumnya yang hampir tidak pernah dilihat Darrell selalu mengembang lebar.

Dering telepon mengusik keceriaan suasana makan malam.

“Aku akan mengangkatnya,” Evi berdiri, “Kalian lanjutkan makan kalian.”

Segera setelah kepergian Evi, sikap Alina kembali menjadi dingin. Senyum cerianya lenyap tanpa bekas. Tanpa sedikit pun menghiraukan Darrell, Alina segera menghabiskan makan malamnya.

“Untuk apa kau tergesa-gesa?” Darrell heran, “Toh tidak ada yang mendesakmu.”

Sebagai jawabannya, Alina melemparkan pandangan dinginnya.

Darrell terkejut.

Alina meletakkan sendoknya di atas piring dan beranjak bangkit.

“Alina, kau sudah kenyang?” Evi bertanya heran.

“Ya, Mama,” Alina tersenyum. “Aku akan membersihkan dapur,” ia mengambil piringnya.

Darrell termangu melihat Alina kembali ceria.

“Kau sungguh tidak sopan, Alina,” komentar Evi, “Darrell belum selesai dan kau sudah ingin pergi. Sikapmu ini seperti ingin mengusir Darrell.”

“Mama mengada-ada saja,” elak Alina, “Mana mungkin aku ingin mengusirnya.”

Darrell tidak mempercayai kalimat itu. Sesaat lalu ia jelas-jelas melihat mata dingin Alina meliriknya tajam.

“Mama bisa membereskan semuanya setelah kita selesai.”

Alina pun menurut. Ia kembali duduk di sisi Darrell.

Darrell tersenyum puas. Ia tahu kelemahan Alina. “Alina, Sabtu ini kau ada waktu?” tanya Darrell.

“Tidak ada,” Alina langsung menjawab tanpa berpikir. Tiba-tiba Alina menyadari posisinya. “Sayang sekali aku ada kegiatan klub,” ia menambahkan dengan penuh penyesalan.

“Tidak mungkin kegiatan klubmu terus berlanjut sepanjang hari,” Evi turut bergabung dalam percakapan mereka. “Kalian bisa pergi seusai kegiatan klub renangmu.”

“Setelah kegiatan klub, aku akan menjemputmu,” Darrell langsung menyahut dengan antusias.

“Aku tidak tahu kapan kegiatan klub renang akan selesai.”

Darrell sadar itu hanya alasan Alina saja. “Kalau begitu hari Minggu kita pergi berkencan lagi,” ia pun sengaja menambahkan, “Aku tahu klub renang kalian tidak pernah ada kegiatan di hari Minggu.”

“Benar,” Evi sependapat, “Kalau hari Sabtu tidak bisa, kalian masih bisa pergi di hari Minggu.”

Darrell melihat tangan Alina terkepal erat di atas pangkuannya.

“Tentu,” Alina tersenyum.

Dalam hatinya Darrell tersenyum puas. Alina tidak punya alasan untuk menghindari ajakannya. Alina tidak bisa lari darinya. Hari Minggu ini ia akan membuat Alina tidak bisa lagi berkata ‘terserah’ padanya! Ia akan membuat Alina tergila-gila padanya! Alina pun jangan berharap ia akan mundur dari rencananya ini sendiri.



Alina menenteng sebuah kantong kertas. ‘Dasar!’ gerutunya dalam hati, ‘Ia pasti sengaja! Mama juga begitu! Untuk apa mencuci baju olahraga playboy murahan itu!?’

“Gawat!” Alina teringat kata ibunya kemarin malam ketika melihat kantong itu di ruang duduk, “Darrell pasti mencari-carinya.”

“Besok aku akan memberikannya padaku,” Alina mengambil kantong itu dari atas kursi. Ia tidak mau Darrell datang lagi ke rumah.

“Mama akan mencucinya dulu,” Evi segera mengambil alih kantong itu, “Darrell mungkin besok memerlukannya.”

‘Tidak mungkin ia tidak ingat!’ Alina yakin.

Kaki Alina berhenti melangkah tepat di depan pintu ruang klub basket. Matanya melihat nama ruangan itu di atas daun pintu. ‘Jangan harap aku akan datang lagi,’ sumpahnya. Lalu ia mengulurkan tangan membuka pintu.

“Kau benar-benar sudah berubah.”

“Siapa yang berubah?” Darrell tampak tidak senang.

“Kau tidak pernah membuka surat-surat cintamu sebelumnya,” Owen sependapat “Jangan katakan kau bersaing dengan Cullen untuk merebutkan gadis yang bernama Alina itu.”

Alina terperanjat. Ia segera bersembunyi di balik pintu.

“Siapa yang mau bersaing dengannya!?” suara Darrell meninggi, “Aku hanya ingin membuat gadis keras kepala itu jatuh cinta padaku. Aku akan membuatnya menulis surat cinta padaku!”

“Apakah ini masih dikatakan kau tidak sedang bersaing dengan Cullen?” Jose menyerah pada kekeraskepalaan Darrell.

“Untuk apa bersaing dengannya? Hasilnya toh sudah jelas. Cullen tidak akan menang dariku.”

Alina berbalik meninggalkan ruangan itu. Kalau memang tujuan Darrell adalah membuatnya menulis surat cinta untuknya, menyingkirkan Darrell bukanlah hal yang sulit.



“Darrell,” Cullen geram, “Apa yang kaulakukan pada Alina?”

Darrell tidak mengerti asal usul kemarahan Cullen. “Aku belum bertemu dengannya hari ini.”

“Mengapa baju olahragamu ada di Alina!!??” Cullen mengulurkan kantong kertas, “Jelaskan ada apa dengan ini!!”

Ia baru saja pergi mencari Alina di kelasnya. Ia belum sempat mengutarakan keinginannya untuk mengajak Alina pergi akhir minggu ini ketika gadis itu meminta pertolongannya memberikan tas kertas itu pada Darrell. Sekarang ia benar-benar marah pada Darrell. Darrell tidak kekurangan gadis. Mengapa ia harus mengincar Alina? Alina terlalu lugu untuk dipermainkan olehnya!

“Oh,” Darrell terkejut, “Rupanya baju olahragaku tertinggal di rumah Alina. Pantas saja aku tidak menemukannya di sini. Aku kira tertinggal di rumah.”

“Rumah Alina!??” Cullen terperanjat, “Apa yang kaulakukan di rumah Alina!!???”

Darrell juga terkejut.

“Tampaknya Cullen memang tidak bisa menang dari Darrell,” Owen berkata pada Jose.

“Hm… hmmm,” Jose mengangguk sependapat.

“Apa kata kalian!?” Cullen marah mendengarnya, “Hari ini lari dua puluh putaran untuk kalian!!!”

Keduanya langsung terperanjat.

“Dan kau, Darrell, jangan berharap aku akan melepaskanmu! Lari lima puluh putaran!”

“Hari ini mood Cullen tidak baik,” bisik Jose, “Sebaiknya kita jangan menganggunya.”

“Apa kau pikir aku tidak mendengarnya?” Cullen langsung menoleh pada keduanya.

“Kami akan segera pergi,” Jose dan Owen lari berbirit-birit.

“Dasar Cullen,” gerutu Owen, “Memangnya kita ini anggota klub atletik? Hampir tiap hari kita berlari mengelilingi sekolah.”

“Hei! Berhenti kalian!” Cullen berseru kesal. Lalu ia berbalik pada Darrell yang diam tertegun melihat baju olah raganya yang sudah bersih. “Kalau kau tidak segera pergi dalam satu menit, jangan harap hari ini aku akan melepaskanmu.”

Seperti kedua sahabatnya, Darrell pun mulai menyadari mengapa akhir-akhir ini Cullen suka berlari mengelilingi sekolah sebagai pemanasan latihan mereka. Walaupun begitu, Darrell yakin Cullen akan kalah. Bagaimana pun juga, ia adalah tunangan Alina. Darrell mempunyai kepercayaan diri yang tinggi pada pesonanya.

Darrell segera berganti baju. Ia tidak menyadari sebuah amplop hitam terjatuh dari dalam tas kertas itu. Ia masih tidak menyadari keberadaan amplop itu ketika ia meninggalkan ruang klub untuk melakukan menu latihan mereka hari ini.



“Akhirnya latihan hari ini selesai,” Jose memasuki ruang klub basket dengan tertatih-tatih.

“Aku sudah tidak kuat lagi,” Owen menjatuhkan diri di lantai.

“Hei! Jangan menghalangi jalan!” anggota klub basket yang lain memprotes.

Owen melihat sebuah amplop hitam tak jauh dari locker mereka. “Apa ini?” katanya memungut amplop itu.

Kepada Tuan Clifford, tulis sang pengirim di amplop itu.

“Apa yang kaulakukan!?” Cullen bersila pinggang, “Kau menghalangi jalan!”

Owen menoleh. Ia melihat kedatangan Darrell melalui pundak Cullen. “Darrell, ada surat untukmu,” ia pun berdiri untuk memberikan surat itu.

“Untukku?” Darrell bertanya heran, “Dari siapakah?” ia tidak melihat nama sang pengirim di amplop hitam itu.

“Tampaknya seseorang punya dendam padamu,” ejek Cullen.

Darrell mengacuhkan komentar itu. Matanya membelalak membaca isi surat itu.

“Sepertinya memang begitu,” Owen sependapat.

“Aku tidak akan kalah darimu, Cullen,” Darrell tersenyum puas, “Alina mengirim surat padaku.”

“Benarkah!?” Jose dan Owen terperanjat.

“Mana, aku lihat!” Cullen merebut surat itu. Jose dan Owen juga ikut membaca surat itu di belakangnya.

Jaga jarak! Aku tidak ingin berhubungan denganmu! Ingat kata-katamu sendiri. Jangan sampai aku mengulanginya untukmu.

Alina

“Lihatlah. Alina tidak pernah mengirim surat padamu, bukan,” ganti Darrell yang mengejek Cullen.

“Aku rasa Darrell pasti sudah rusak,” komentar Jose. “Ini sama sekali bukan surat cinta.”

Begitulah pikiran yang lain namun tidak bagi Cullen. Pemuda itu marah. “Jangan bersenang hati dulu. Kau tidak pernah mendapatkan coklat Valentine Alina. Alina tidak pernah memberi coklat pada pria mana pun. Aku memastikan dia akan memberi coklat padaku dalam Valentine mendatang.”

“Jangan terlalu berbangga diri. Aku sudah mendapatkan surat Alina.”

“Alina mengajakku pergi.”

“Alina mengundangku ke rumahnya.”

Cullen tidak terima. “Aku lebih mengetahui Alina daripada kau!”

“Aku mengenal orang tua Alina!”

Semua hanya bisa diam melihat pertengkaran antara Darrell dan Cullen memperebutkan seorang gadis bernama Alina itu.

“Ah… bosan. Aku mau pulang,” Jose menuju lockernya. “Pertengkaran mereka tidak akan ada habisnya.”

“Tidak biasanya Darrell bertengkar gara-gara seorang wanita.”

Darrell kaget mendengar komentar itu.

“Jangan-jangan Darrell benar-benar jatuh cinta pada gadis yang bernama Alina itu.”

“Tidak! Tidak!” Darrell cepat-cepat mengelak.

“Siapakah gadis itu?”

Telinga Cullen langsung bereaksi atas pertanyaan itu. “Kau tidak tahu,” katanya membeber semua yang diketahuinya tentang Alina, “Dia adalah andalan utama klub renang wanita. Dia bakal dicalonkan menjadi atlet nasional.”

“Dia tidak akan berhenti,” kata Owen.

Jose sudah selesai berganti baju. “Aku akan pergi mencari Alina,” katanya.

“Ide bagus!” yang lain sepakat.

“Aku akan menjemput Alina,” Cullen segera mengikuti mereka.

Darrell pun tidak mau ketinggalan.

“Hari ini Alina ijin,” kata Stevie kemudian ia melihat rombongan klub basket itu, “Mengapa kalian mencari Alina?” dan ia menyadari keberadaan sang idola nomor satu sekolah mereka, “Darrell, kau juga mencari Alina?”

“Apa? Darrell mencari Alina?” gadis-gadis langsung bertanya histeris.

“Darrell, kau tidak tertarik pada Alina, bukan?”

“Mengapa engkau mencari Alina?”

“Apa kau punya hubungan khusus dengan Alina?”

“Apa keperluanmu dengan Alina?”

Gadis-gadis itu langsung mengelilingi Darrell – membuat pemuda itu kewalahan.

“Tetapi, Darrell, walaupun kau tertarik Alina, hal itu percuma saja.”

“Benar-benar. Sebaiknya engkau segera berhenti sebelum engkau kecewa.”

“Benar,” kata Stevie pula, “Aku lihat engkau juga tidak mempunyai banyak harapan, Cullen.”

“Stevie… kau…,” Cullen tidak mempercayai pendengarannya, “Bukannya kau mendukungku?”

“Benar, aku mendukungmu tetapi aku tidak yakin engkau akan berhasil,” jawab Stevie, “Gadis itu bukan seorang gadis yang bisa dengan mudah kaudapatkan.”

“Benar. Alina pernah menolak Gary. Entah apa yang dipikiran gadis itu padahal ketua klub renang pria adalah idola kami, para anggota klub renang wanita.”

Darrell membelalak.

“Alina benar-benar payah. Gary tidak kekurangan apa pun. Ia tampan, atletis dan juga pandai,” lalu gadis itu menatap Darrell, “Tentu saja kau lebih tampan darinya, Darrell.”

“Anak itu tidak pernah tertarik pada pria,” Stevie memberikan kesimpulannya.

“Darrell, engkau tidak tertarik pada Alina karena itu bukan?”

“Kata orang-orang, seorang playboy lebih mudah jatuh cinta pada gadis yang tidak tertarik padanya.”

“Tidak. Itu tidak mungkin,” Darrell menyangkal, “Jangan mengada-ada.”

“Darrell, engkau adalah milik kami. Kau tidak boleh jatuh cinta pada Alina,” mereka mendesak.

Darrell tidak mendengarkan mereka. Pikirannya sekarang dipenuhi oleh rencananya untuk mendapatkan Alina. Mendapatkan Alina tampaknya tidaklah semudah yang ia pikirkan. Cullen bukanlah seseorang yang patut ia khawatirkan tetapi Gary, sang ketua klub renang pria adalah hal lain.

Gary bukanlah saingan yang dapat diremehkan. Dia memegang juara pertama sejak tingkat pertama. Ia juga adalah unggulan klub renang pria. Seperti yang didengar Darrell, Gary adalah idola utama sekolah sebelum ia datang. Selain itu, dan yang terpenting, sebagai anggota klub renang, Gary mempunyai banyak kesempatan untuk mendekati Alina.

Tidak! Darrell tidak bisa hanya berdiam diri. Ia harus segera mencari cara untuk membuat gadis itu tunduk padanya.

Malam itu setibanya di rumah, Darrell menelepon rumah Alina.

“Kediaman Birkhead,” suara di seberang menerima telepon.

“Alina,” Darrell mengenali suara dingin itu, “Aku perlu.” Telepon ditutup.

Emosi Darrell langsung terbakar. Ia menekan kembali nomor telepon rumah Alina. Emosinya membara kian panas ketika telepon terus berbunyi tanpa ada yang mengangkat. Darrell percaya ini pasti perbuatan Alina lagi.

Alina boleh menolak menerima teleponnya, namun ia tidak bisa menghindarnya di sekolah. Alina boleh menghindarinya di sekolah, namun ia tidak bisa menghindar dari kencan mereka akhir minggu ini. Alina tidak ingin mengecewakan ibunya, bukan?

“Darrell, jangan terus menelepon gadis-gadis,” tegur ibunya, “Kalau Alina tahu, ia pasti tidak senang. Jangan membuatnya marah lagi. Bagaimana pun juga ia adalah tunanganmu.”

Darrell tersenyum sinis. Ia akan menunjukkan pada ibunya siapa yang sedang mempermainkan tunangannya saat ini. Lihat saja. Cepat atau lambat, ia pasti akan membongkar topeng gadis itu.



“Alina!”

Alina langsung melayangkan tasnya.

Darrell menangkap tangan Alina dan dengan senyum puas, ia berkata, “Aku sudah belajar dari pengalaman.”

“Oh ya?” tangan kiri Alina yang masih bebas langsung melayang ke wajah Darrell.

Suaranya yang keras langsung menarik perhatian setiap orang.

Alina meninggalkan Darrell yang berdiri terpaku. Dengan langkah-langkah kakinya yang tenang, ia terus menuju kelasnya. Ia sama sekali tidak memperhatikan bisikan-bisikan ketika ia melewati lorong.

Alina menarik kursinya.

“Alina!” Liz langsung mengebrak meja Alina, “Apa yang kaulakukan!? Apa yang tidak takut penggemar Darrell mencarimu lagi? Minggu lalu mereka menerima penjelasanmu. Sekarang apa lagi yang akan kaukatakan? Mereka tidak mungkin menerima penjelasan yang sama.”

Pintu kelas terbuka.

“Di mana Alina!?” beberapa gadis muncul. Masing-masing menampakkan kemarahan mereka.

Liz langsung ketakutan.

Alina mengeluarkan buku dari dalam tas.

“Alina…,” Liz cemas melihat ketenangan Alina.

Mereka langsung mengerumuni Alina. “Apa yang kaulakukan pada Darrell!?”

“Apa lagi yang akan kaukatakan sekarang?”

Seisi kelas memperhatikan kerumunan di sebelah jendela itu.

“Alina!” sekali lagi pintu kelas terbuka dengan kasar. “Apa kau tidak apa-apa? Apa yang dilakukan Darrell padamu!?” Cullen muncul dengan wajah paniknya.

Alina melihat mereka. “Sudah waktunya kalian kembali ke kelas.” Tepat setelah itu bel berbunyi.

Kerumunan kecil itu langsung bubar dengan terbirit-birit.

Liz pun kembali ke tempat duduknya di sebelah Alina. ia tidak dapat berkomentar melihat Alina yang sama sekali tidak terusik oleh kejadian barusan. Ia kagum pada ketenangan Alina.

Syukur bagi Alina, hari ini penggemar-penggemar Darrell tidak mencarinya lagi. Rupanya mereka merasa dibandingkan mencarinya, lebih baik melindungi Darrell. Dan itulah yang mereka lakukan sepanjang hari ini.

Alina sangat berterima kasih karenanya. Karena mereka terus mengelilingi Darrell, pemuda itu tidak punya kesempatan untuk merepotkannya. Hingga akhir latihan rutin klub renang, ia sama sekali tidak bertemu Darrell.

“Apa kau yakin?” tanya Stevie.

“Jangan khawatir,” Alina meyakinkan, “Aku masih ingin berenang.”

“Alina, kau memang suka berenang,” komentar seorang gadis.

Alina hanya tersenyum.

“Jangan lupa mengunci pintu,” Stevie mengingatkan.

Satu per satu anggota klub renang wanita mengucapkan selamat tinggal pada Alina. Alina hanya melambaikan tangan pada mereka dari dalam kolam renang. Segera setelah gadis terakhir masuk ke dalam ruang ganti, Alina membalikkan badan – memperhatikan kolam renang kosong di hadapannya.

“Berenang…,” gumam Alina sambil melepas topi renangnya dan ia mengapungkan diri di permukaan air. Matanya menatap langit biru. Pikirannya melayang jauh.

“Jangan pergi,” Evi merangkul kaki Bernard erat, “Kumohon jangan pergi.”

“Minggir!” Bernard melepaskan Evi dengan kasar. “Aku sudah bosan tinggal di sini.”

“Aku tidak akan bertanya dengan siapa kau pergi. Aku tidak akan melarangmu mendekati wanita lain. Kumohon jangan pergi.”

“Aku tidak akan pulang lagi,” Bernard menegaskan dan melangkah keluar pintu pada wanita cantik yang tengah menantinya.

“Bernard!” panggil Evi.

“Tiap bulan aku akan mengirim biaya hidup kalian,” hanya itu yang ditinggalkan Bernard.

Alina yang saat itu masih kecil hanya bisa terpaku di balik celah pintu.

Semenjak itu mereka hanya tinggal berdua. Dan ketika ibunya menidurkannya pada malam-malam yang sepi, sering Alina bertanya “Mama, mengapa Papa tidak pulang?”

“Papa sibuk,” jawab Evi tapi Alina melihat air mata ibunya.

Di suatu saat ketika Alina merapikan gudang, ia melihat sebuah kotak penuh gambar hati. Di dalamnya, ia menemukan banyak surat cinta yang ditujukan pada ayahnya termasuk foto-foto masa muda ayahnya sedang bermesraan dengan gadis-gadis yang berbeda.

“Kau tertarik padaku, bukan?” Darrell bertanya penuh percaya diri.

Alina langsung menyelam ke dalam air – membasuh ingatan itu dari kepalanya. ‘Siapa yang tertarik pada playboy murahan itu!?’ gerutunya.

Alina termenung. Mungkin ia harus berterima kasih pada Darrell. Walau Alina tidak sudi mengakuinya, kenyataannya adalah berkat Darrell ibunya dapat tersenyum kembali. Sering Alina memergokinya berbicara dengan riang di telepon bersama ibu Darrell. Rasanya sudah lama ia tidak melihat ibunya penuh gairah seperti ini.

Saat itu playboy murahan tersebut melalui pagar kawat sekeliling kolam renang. Ia menyadari keberadaan seseorang di dalam kolam renang dan ia memperhatikan sosok Alina yang tengah menyelam dengan lincahnya.

Alina tiba-tiba berhenti. Ia merentangkan tangan dan tubuhnya mengapung di permukaan air.

Darrell kaget.

“Alina!” ia panik.

Alina sendiri tengah menikmati aliran air di wajahnya. ‘Kalau saja ini laut…,’ Alina membayangkan pemandangan dasar laut.

Darrell langsung melompat ke dalam air.

Bayangan Alina langsung menghilang.

“Alina, bertahanlah,” Darrell berenang mendekat.

Alina berdiri dengan kaget. Tangannya langsung melayang ke wajah Darrell yang berada dalam jangkauannya.

Darrell terperangah.

“Apa-apaan kau ini!? Apa kau belum puas menamparku pagi ini!?” Darrell murka, “Aku juga tidak sudi melompat dalam air kalau bukan,” Darrell terdiam.

Saat itu Alina menyadari Darrell masih mengenakan seragam sekolah. Ia langsung membalikkan badan. Rambut Alina menahan langkah kaki Alina. Alina kaget melihat rambutnya terkait di kancing seragam Darrell.

Darrell maju mendekat.

Alina mundur. Tangannya melayang.

Darrell menangkapnya. Kemudian ia menangkap tangan Alina yang lain. “Aku sudah belajar dari pengalaman,” ia tersenyum puas, “Sehari cukup dua kali kau tampar.”

“A-Apa yang kaulakukan!?” Alina memberontak ketika Darrell membungkuk.

“Diam!” bentak Darrell, “Apa kau tidak bisa membiarkanku melepas rambutmu!?”

Alina terdiam. Wajahnya bersemu dan dadanya berdegup kencang oleh kedekatan mereka.

“Memangnya apa yang kaupikirkan!? Kau ingin bunuh diri!?”

“Aku ingin melihat pemandangan.”

“Memangnya kau pikir ini laut!?”

Alina memalingkan wajahnya. “Aku tidak pernah ke laut.”

Darrell langsung tersenyum licik. “Sudah diputuskan.”

Alina bertanya-tanya.



Alina terperangah melihat hamparan laut di depannya.

“Bagaimana? Apakah kau puas?” Darrell bertanya puas.

Pagi ini ia sama sekali tidak senang ketika Darrell muncul seperti yang dijanjikannya minggu lalu. Ia tidak akan berada di sini andai ibunya tidak mendorongnya pergi dengan penuh semangat. Alina sama sekali tidak berminat untuk bertanya ketika Darrell menyuruhnya mempersiapkan baju renang. Sekarang mengertilah ia…

“Biasa,” jawab Alina dingin.

“Gadis ini…,” Darrell geram. Mengapa gadis ini begitu keras kepala? Darrell yakin ia gembira. Bukannya ia sendiri yang mengatakan ia ingin ke laut yang tidak pernah didatanginya??

“Pergilah berganti baju.” Darrell tidak mau berputus asa. Ia akan membuat Alina senang. Ia akan melakukan apa saja untuk membuat Alina tunduk padanya.

Alina pergi ke tempat berganti baju yang tersedia di tepian pantai tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.

Ketika Alina kembali ke tempat mereka di pantai, Darrell sudah menantinya dengan tidak sabar.

“Cepatlah!” Darrell menarik tangan Alina.

Alina terlalu kaget untuk menarik tangannya dari genggaman Darrell. Ia terlalu sibuk mengikuti langkah-langkah Darrell untuk mencari cara menjauhkan diri dari Darrell.

“Kita bisa berangkat sekarang,” Darrell menaiki sebuah canoe yang bersandar di dok sepanjang pantai menuju laut. Lalu kepada Alina, ia berkata, “Ayo, Alina. Kupegang tanganmu.”

“Tidak perlu,” Alina menyentakkan tangannya. Kemudian ia menapakkan kaki ke dalam perahu.

Perahu kecil itu langsung bergoyang keras ketika Alina menapakkan kedua kakinya. Tubuhnya yang tidak siap, jatuh limbung.

“Sudah kukatakan,” Darrell menangkap tubuh Alina. “Lain kali turuti aku,” Darrell menyalahkan.

Alina pucat pasi. Ia benar-benar tidak menyangka perahu akan berguncang sekeras itu hanya karena ia menapakkan kaki. Ia memperhatikan riakan air di sekeliling perahu, berharap perahu tidak akan terbalik karenanya.

“Sekarang sudah stabil,” suara Darrell mengagetkan Alina. Ketika itu pula Alina sadar saat ini Darrell sedang memeluknya.

“Lepaskan aku!” Alina mendorong Darrell kuat-kuat dan perahu kembali berguncang keras.

“DIAMLAH!” seru Darrell menarik Alina mendekat lagi.

Alina kaget. Ini kedua kalinya Darrell berkata sekeras itu kepadanya.

“Kau ini…,” Darrell tidak dapat menahan diri lagi, “Aku tahu kau benci padaku tapi tidak bisakah kau memikirkan keselamatanmu sendiri!? Apa kau sadar sekarang kita di mana? Bagaimana kalau perahu terbalik karenamu!?”

Alina menunduk tanpa suara.

Tiba-tiba Darrell merasa bersalah. “Sial,” gerutunya. Ini bukan rencananya. Ia ingin membuat Alina tunduk padanya. Bukan membencinya.

Alina melepaskan diri dari Darrell dan dengan berhati-hati ia duduk.

Darrell pun duduk di depan Alina. Ia mengambil dayungnya dan mulai mendayung ke tengah laut.

Alina memperhatikan pantai yang kian menjauh.

Bukan suasana seperti ini yang dicari Darrell! Namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk membuka pembicaraan dengan Alina.

Pandangan Alina beralih pada dayung yang bermain dengan permukaan air. Matanya terus beralih pada tangan Darrell. Alina memperhatikan Darrell membentuk setengah lingkaran ke atas sambil mendorong perahu mundur dan setengah lingkaran ke bawah ketika mengangkat dayung dari dalam laut untuk di tempatkanya selangkah ke depan. Tangannya terus bergerak maju mundur dalam irama yang teratur diseimbangi oleh tubuhnya. Darrell tampak begitu terlatih dalam menguasai pergerakan perahu kecil ini.

Mata Alina bertemu mata Darrell.

Alina terperanjat. Ia membuang muda dengan panik.

Darrell tersenyum. “Kau mau mencoba?”

Alina kembali mengalihkan kepalanya ke arah Darrell.

Darrell sudah berhenti mendayung. Ia berdiri sebelum Alina menjawab.

Alina panik. Ia takut perahu akan kembali berguncang.

“Jangan khawatir,” Darrell sudah memegang tangan Alina, “Kemarilah.”

Alina melihat Darrell dengan wajah pucat pasinya.

“Tidak apa-apa,” Darrell menarik Alina mendekat dengan hati-hati, “Aku tahu apa yang kulakukan.” Ia membuat Alina duduk di tempatnya semula kemudian berlutut di belakang Alina. “Pegang dayungnya seperti ini,” tangan-tangan Darrell membimbing tangan Alina.

Alina bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Aku akan mengajarimu,” Alina mendengar suara Darrell begitu dekat dengan telinganya.

“Ingat kau harus mengarahkannya seperti ini,” Darrell menuntun tangan Alina memutar dayung hingga pangkalnya yang lebar mengarah ke depan – membentuk sudut 90 derajat dengan permukaan laut. “Kalau kau menaruh permukaannya yang lebar sejajar dengan permukaan laut, kau perlu tenaga yang lebih besar untuk mengangkatnya dari dalam air,” Darrell menjelaskan dengan telaten. “Jangan khawatir,” Darrell merasakan ketegangan Alina, “Aku akan membimbingmu.”

Alina panik ketika tangan Darrell menggenggam tangannya yang memegang ujung dayung. “Arahkan dayung ke depan,” tangan Darrell membawa tangan Alina mundur dengan membentuk setengah lingkaran ke bawah. “Jangan terlalu tegang,” kata Darrell, “Gerakan tubuhmu seirama dengan tanganmu.”

Alina ingat tubuh Darrell ikut mundur ketika tangannya mengarahkan dayung ke depan.

“Benar seperti ini,” puji Darrell ketika Alina memundurkan tubuhnya perlahan.

“Kemudian masukkan dayung ke dalam air,” Darrell mendekatkan diri, “Dan dorong!” ia membimbing Alina mendorong dayung ke belakang sehingga perahu mereka maju selangkah.

Hati Alina dipenuhi oleh ketakjuban ketika perahu maju. Ia tersenyum lebar – mengikuti bimbingan tangan Darrell.

Darrell pun turut tersenyum menyadari kegembiraan Alina. Ia melepaskan tangannya.

Alina terkejut. Ia menoleh melihat Darrell.

Wajah Darrell begitu dekat dengannya.

Melihat dadanya yang terlanjang, wajah Alina memerah. Ia teringat beberapa saat lalu dada itu menempel erat di punggungnya yang setengah terbuka oleh karena model baju renang khusus atlet renang wanitanya.

“Kita sudah cukup jauh dari pantai,” Darrell berdiri.

Alina pun sadar mereka mengarahkan perahu kecil mereka ke tengah laut.

Darrell mengeluarkan dua pasang peralatan selam dari dalam kantong. “Kau ingin menyelam bukan?” ia menyengir penuh kepercayaan diri sambil mengulurkan sepasang kepada Alina.

“Biasa,” Alina menjawab dingin sambil menerima alat itu.

Darrell kesal melihat gadis itu memasang tentakelnya dengan santai. Matanya tidak mungkin salah mengenali senyum gembiranya beberapa saat lalu.

Alina menjatuhkan diri ke dalam laut.

“Hei!” potes Darrell ketika perahu bergoyang hebat oleh karena tindakan Alina yang tiba-tiba itu. Darrell melihat Alina sudah menyelam jauh ke dalam laut. “Dasar!” gerutunya dan Darrell pun ikut menjauhkan diri ke dalam laut.



“Aku kenyang,” Darrell bersandar di kursi. “Hari ini memang benar-benar melelahkan.”

Sepanjang hari ini mereka menghabiskan waktu di pantai. Mereka melakukan banyak hal mulai dari berenang hingga bermain air di tepi pantai. Ketika matahari semakin condong ke baratlah Darrell baru kebingungan. Ia langsung menelepon ibu Alina ketika Alina berganti baju. Untung baginya, baik ibunya maupun ibu Alina dapat memahami. Bahkan ibunya menyuruhnya membawa Alina makan malam di luar.

“Habiskan makananmu perlahan-lahan. Kita tidak sedang mengejar waktu.”

Darrell memperhatikan Alina menghabiskan makanannya tanpa suara. Sepanjang hari ini gadis ini hampir tidak bersuara. Ia hanya menjawab singkat pada setiap pertanyaan yang diajukannya. Hanya sesekali ia menunjukkan kegembiraannya dengan tersenyum lebar.

“Apakah hari ini kau gembira?” tanya Darrell.

“Biasa.”

Darrell geram. Jawaban itu tidak pernah berubah sepanjang hari ini. Gadis itu tersenyum lebar berulang kali dan berulang kali pula ia mengucapkannya. Apa tidak ada yang benar-benar membuat gadis ini gembira?

Alina tersenyum manis.

Darrell terperangah. Alina tampak begitu manis mempesona dengan senyumnya yang menawan.

“Aku sudah selesai,” Alina meletakkan sendoknya.

Darrell kaget. “B-baiklah.” Lalu ia segera menguasai diri, “Apakah kau ingin pergi ke tempat lain?”

“Terserah.”

Itu semua pasti hanya bayangan! Alina tidak mungkin bisa tersenyum semanis itu padanya. Alina tidak mungkin membuatnya terpesona!

“Kita akan berjalan-jalan di sekitar kota untuk menurunkan isi perut,” Darrell memutuskan untuk meneruskan usahanya menaklukan Alina yang sempat terlupakan siang ini.

Alina berdiri.

“Berikan padaku,” Darrell mengambil tas kantong Alina yang berisi baju renangnya.

“Aku akan membawanya sendiri,” protes Alina.

Darrell sudah memasukkan tas Alina ke dalam tas punggungnya. “Ayo kita pergi,” Darrell menggandeng tangan Alina.

Alina kaget. Tapi kali ini ia tidak bisa melepaskan diri karena Darrell menggenggam tangannya erat-erat. Alina pun mengikuti Darrell dengan kepala menunduk malu.

Saat itulah beberapa gadis melihat mereka.

“Bukankah itu Darrell?” tanya seorang di antara mereka.

“Ia berkencan dengan seseorang,” gadis yang lain melihat seorang gadis di sisi Darrell.

Alina mengangkat tersenyum pada Darrell.

“Alina?” gadis yang lain menyadari.

Mereka tertegun melihat keduanya berjalan bersama dengan akrab seperti sepasang kekasih.



Alina melihat fans Darrell berkumpul di depan pintu kelasnya. Entah apa mau mereka. Sudah berhari-hari lamanya mereka melindungi Darrell. Mengapa sekarang mereka berkumpul di sini? Apa mereka tidak khawatir Darrell akan mencarinya lagi?

“Muncul juga kau, serigala licik,” seorang dari mereka menyambut Alina.

Alina melihatnya dan terus melangkah ke dalam kelas.

“Apa kau buta!?” seorang dari mereka menarik tangan Alina dengan kasar.

Liz yang sudah berada di dalam kelas, melihat kerumunan di depan pintu kelas dengan cemas. Namun apa yang bisa diperbuatnya? Ia takut pada gadis-gadis yang mengganas oleh gosip yang beredar pagi ini.

“Ikut kami!” tarikan kasar mereka membut Alina hampir terjatuh.

“Alina!” seseorang berseru. “Alina, benarkah itu!?” Cullen berlari mendekat. “Katakan itu tidak benar!” ia mencengkeram pundak Alina dan mengguncang tubuhnya dengan keras.

“Minggir kau,” mereka mengusir Cullen, “Kami ada perlu dengannya.”

“Aku juga ada perlu dengannya!” seru Cullen.

“Kami datang duluan!”

“Lalu mengapa!?”

Alina memanfaatkan kesempatan itu untuk memasuki kelas.

“Alina…,” tangan Liz bergetar ketika ia menyambut Alina. “Keadaan sudah begini, mengapa kau masih bisa setenang ini?”

Alina meletakkan tas di mejanya dan duduk.

“Alina!?” Liz kesal melihat ketenangan Alina, “Masalah ini benar-benar serius! Ada yang melihatmu berkencan dengan Darrell!”

Alina kaget. Ia melihat para gadis di kelasnya melihat ke arahnya. Tiba-tiba saja ia menyadari bisikan-bisikan sepanjang perjalanannya menuju kelas. Ia mulai merasakan pandangan-pandangan ingin tahu ketika ia melangkahkan kaki. Ia tahu mengapa fans-fans Darrell mencarinya lagi.

“Alina, itu tidak benar, bukan?” gadis-gadis mengerumuninya.

“Apa hubunganmu dengan Darrell?”

“Apa Darrell menyukaimu?”

“Apakah Darrell yang mengajakmu?”

Mereka terus menyerbu Alina dengan pertanyaan mereka yang tiada habisnya.

Sementara itu di lantai atas, Owen dan Jose menyambut kedatangan Darrell dengan senyum penuh arti.

“Tidak kusangka engkau benar-benar serius,” ujar Owen.

“Kau sudah selangkah lebih maju dari Cullen,” kata Jose pula.

“Apa yang kalian katakan?” Darrell tidak mengerti.

“Sudahlah, jangan pura-pura lagi. Kami sudah mendengarnya.” Owen membuat Darrell semakin bingung.

“Kemarin kau berkencan dengan Alina, bukan?” tanya Owen.

Darrell kaget.

“Ada yang melihat kalian bergandengan tangan keluar dari restoran.”

Darrell melihat Jose dengan tidak percaya.

“Lalu bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Alina?” tanya Owen tertarik.

“Alina!” Darrell sadar dari kekagetannya. Ia harus menemui Alina sebelum seorang pun mendahuluinya. Ia harus! “Aku harus menemui Alina!” Darrell berlari keluar.

“Kita akan melihat pertunjukan bagus,” Owen dan Jose memutuskan untuk mengikuti Darrell.

Darrell tahu ia sudah terlambat ketika melihat kerumunan di dekat jendela. Ia melihat kerumunan itu sambil berharap Alina baik-baik saja.

“APA HUBUNGANMU DENGAN DARRELL?” mereka bertanya bersamaan.

Alina mulai kesal diberondong pertanyaan-pertanyaan tidak masuk akal ini. “Sudah kukatakan, KAMI TIDAk PUNYA HUBUNGAN APA-APA!!”

Darrell merasa ditampar.

Owen dan Jose yang baru tiba, terdiam melihat wajah shock Darrell.

“Itukah artinya hubungan kita bagimu?”

Semua menoleh ke pintu.

“Engkau memang keras kepala, bukan?”

Mereka menepi untuk memberi jalan pada Darrell.

Alina kaget melihat Darrell. Ia tidak menyangka Darrell juga akan muncul.

“Kemarin kau senang tapi kau tidak mau mengakuinya. Kemarin kau puas tapi kau tetap bersikap dingin. Apa lagi yang mau kauingkari!?”

Semua terdiam melihat kemarahan Darrell.

Alina tidak merasa bersalah. Bukankah Darrell juga tidak pernah bersungguh-sungguh.

“kau adalah tunanganku!”

Alina membelalak kaget.

Darrell juga kaget menyadari pengakuannya sendiri.

Semua orang di tempat itu mengaga lebar.

‘Ternyata…,” Owen melihat Jose.

“Tidak mungkin!” Cullen adalah orang pertama yang pulih dari shock. “itu tidak benar kan, Alina?”

“Apa yang tidak benar!?” mereka melihat guru berdiri di pintu dengan kesal, “Bel sudah berbunyi. Kembali ke kelas kalian masing-masing!!” serunya.

Mata Alina bertemu mata Darrell.

“Bodoh,” katanya dingin lalu ia mengambil buku pelajarannya dengan tenang.

Darrell shock.

Kabar itu dengan cepat menyebar. Begitu cepatnya berita itu menyebar hingga sebelum jam istirahat pertama, seisi sekolah sudah mengetahuinya. Tak heran begitu bel berbunyi, murid-murid langsung membicarakannya.

“Darrell, jelaskan apa maksudnya ini,” para gadis mengerumuni Darrell, “Itu tidak benar, bukan? Itu hanya lelucon.”

Darrell tidak memberikan satu tanggapan pun. Saat ini pikirannya hanya terpusat pada mata dingin Alina.

Di lantai pertama, Alina duduk mematung di tempat duduknya. Wajahnya sama sekali tidak bereaksi mendengar serbuan pertanyaan para gadis yang ingin tahu.

Liz memperhatikan Alina dengan cemas. Ia tahu Alina adalah gadis yang pendiiam tapi ia bukan seorang gadis dingin tak berekspresi seperti ini. Liz merasa Alina seperti bom waktu yang tengah menanti waktunya untuk meledak.

Sementara itu di lantai teratas, para murid-murid kelas tiga juga sibuk membicarakan gosip itu dengan gencar.

“Aku sama sekali tidak menyangka,” komentar Stevie, “Ternyata Alina dan Darrell sudah lama bertunangan. Pagi ini aku sudah merasa janggal mendengar mereka berkencan. Sekarang… benar-benar tidak terduga!”

Cullen memasang wajah cemberutnya.

“Tapi mengapa mereka merahasiakannya?” Stevie bertanya-tanya.

“Darrell Clifford” Cullen berdiri tiba-tiba. “Pasti ia yang memaksa Alina!”

“Cullen, mau ke mana kau?” Stevie kaget.

“Membuat perhitungan dengan Darrell!!” Cullen melangkahkan kaki.

“Jam istirahat sudah hampir…”

Bel berbunyi pertanda pelajaran akan dimulai.

“Dengar itu,” kata Stevie.

“Sial!” umpat Cullen kesal dan ia kembali ke kursinya.

Murid-murid yang mengelilingi Alina maupun Darrell lansung bubar.

Darrell melihat jam dinding di atas papan tulis. Ia berharap hari ini segera berakhir.

Di kelas lain, Liz memperhatikan Alina yang dengan tenang mengambil buku pelajarannya.



Stevie melihat langit merah di barat. “Akhirnya Alina tidak muncul,” katanya.

Latihan renang sudah hampir berakhiir dan Alina masih tidak menampakkan diinya. Alina sangat menyukai renang. Ia selalu datang sebelum yang lain dan memulai latihannya sebelum seorang pun memasuki air.

“Ia pasti tidak ingin kita menginterogasinya,” komentar seorang gadis.

“Sayang sekali. Padahal aku ingin mengetahui kebenaran pertunangannya dengan Darrell,” seorang gadis kecewa.

“Aku sungguh tidak menyangka Alina diam-diam bertunangan dengan Darrell,” komentar gadis yang lain.

“Ya,” kata Gary pula, “Pantas saja ia menolakku. Tunangannya memang patut dibanggakan.”

“Gary, jangan seperti itu!”

“Benar. Kau adalah idola kami.”

“Kami bisa menggantikan Alina!”

Stevie memperhatikan para gadis itu mengelilingi Gary. ia teringat kejadian yang sama sesaat setelah Alina menolak Gary. Saat itu Gary yang patah hati juga terlihat sangat lesu sedangkan Alina tetap terlihat tenang. Tidak seorang pun di klub renang yang tidak tahu Gary terpikat pada Alina. Karena itulah mereka langsung mengetahui apa yang terjadi dan para gadis langsung memanfaatkan kesempatan untuk mendekati Gary, sang idola klub renang. Karena peristiwa itu pula hubungan Alina dengan para gadis klub renang yang lain sempat merenggang. Para gadis menilai Alina sangat sombong hingga menolak cinta sang idola mereka.

“Alina,” gumam Stevie, “Semoga kau baik-baik saja.”



Liz melangkah masuk kelas. Ia heran melihat Alina yang masih duduk di kursinya.

“Mengapa kau di sini?” Liz mendekat, “Bukannya hari ini kau ada kegiatan klub?”

Alina tidak menjawab.

Liz bersandar di jendela depan Alina. ia memperhatikan ekspresi Alina yang tidak berubah sejak siang.

“Ah… sungguh tak disangka dalam sehari kau menjadi selebriti. Sejak kapan kau bertunangan dengan Darrell? Mengapa kau tidak pernah memberitahuku?”

“HENTIKAN!” Alina menggebrak meja..

Liz terkejut. Alina tidak pernah berbicara sekeras itu padanya. Ia terperangah melihat air mata Alina.



“Sejak kapan kau bertunangan, Darrell?” tanya teman-teman klub basket Darrell, “Mengapa kau tidak pernah memberitahu kami?”

“DIAM!” bentak Cullen, “Sekarang waktunya latihan.”

“Sebaiknya kau hati-hati pada Cullen. Ia kian membencimu,” Jose memperingati, “Lihat saja. Hari ini ia sama sekali tidak mengijinkanmu memasuki lapangan basket.”

“Ditambah lagi kenyataan hari ini ia tidak bisa berbicara dengan Alina,” Owen menambahi, “Sejak pagi Alina sudah menjadi selebriti dadakan. Aku lihat Alina selalu dikelilingi penggemar-penggemarmu.”

Darrell tidak menanggapi. Hari ini ia terus dikelilingi mereka yang ingin tahu. Baik perempuan maupun laki-laki terus menyerbunya dengan pertanyaan-pertanyaan mereka yang tiada habisnya. Mereka bukan saja sangat menganggu tapi juga sangat menyebalkan.

Darrell termenung. Alina, si gadis dingin itu pasti lebih kesal darinya. Darrell memutuskan untuk menemui Alina. Ia harus menjelaskan semua ini pada Alina dan meminta maaf padanya.

“Darrell, mau ke mana kau!?” Jose kaget.

“Mencari Alina.”

“Selangkah saja kau meninggalkan tempat ini, aku akan mengeluarkanmu!” ancam Darrell.

“Aku tidak peduli,” Darrell meninggalkan teman-temannya yang melongo heran.

“Kali ini Darrell benar-benar serius,” Owen memberitahu Jose.

Darrell langsung berlari ke klub renang. Namun ketika ia berada di sana, ia tidak melihat Alina.

“Alina tidak ada di sini,” Stevie memberitahu, “Hari ini ia tidak datang.”

Darrell termenung. Mungkinkah Alina sudah pulang? Darrell tidak berani memastikan. Mengingat jumlah teleponnya yang ditutup Alina, bisa dijamin Alina akan langsung menutup teleponnya begitu ia mendengar suaranya.

“Darrell, apakah kau benar-benar bertunangan dengan Alina?”

“Sudah berapa lama kalian bertunangan?”

“Apakah kalian akan menikah?”

Stevie melihat gadis-gadis klub renang itu dengan tidak senang. “Aku perlu bicara denganmu,” ia menarik Darrell ke tempat di mana tidak ada orang lain yang menganggu mereka.

“Apa kau serius?” Stevie bertanya tajam.

Darrell tidak menjawab.

“Alina bukan mainan,” Stevie memperingati, “Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padanya. Ia tidak pernah membicarakan dirinya sendiri. Tapi aku tahu ia tidak tertarik pada pria. Sikapnya menunjukkan jelas ketidakpercayaannya pada pria.”

Darrell tahu mengapa.

Kemarin semuanya berjalan lancar hingga mereka bertemu ayah Alina. Senyum gembira Alina langsung hilang melihat ayahnya bersama seorang wanita. Sikapnya juga langsung mendingin. Awalnya Darrell tidak mengerti mengapa Alina bersikap begitu dingin pada ayahnya. Melihat sikap manja wanita itu dan reaksi ayah Alina, mengertilah Darrell mengapa Alina begitu membencinya.

“Jangan menyakiti Alina.”

“Jangan khawatir. Aku tidak pernah berniat menyakitinya,” Darrell meyakinkan, “Sejak awal niatku hanya satu. Menaklukannya.”

Stevie lega mendengarnya. “Kurasa Alina masih ada di dalam kelasnya.”

“Terima kasih,” Darrell langsung melesat.

“Stevie, apa yang kaubicarakan dengan Darrell?” para anggota klub renang yang mengikuti mereka bertanya.

“Rahasia,” Stevie tersenyum melihat Darrell yang berlari sekencang mungkin ke gedung utama.

Darrell memperlambat langkahnya ketika ia melihat kelas Darrell.

“HENTIKAN!!!”

Darrell kaget mendengar seruan nyaring Alina itu. Ia berlari ke kelas Alina dengan cemas.

“Siapa yang sudi bertunangan dengan pria macam itu?”

Langkah kaki Darrell terhenti di pintu kelas.

“Semua ini karena dia. Dia sudah menghancurkan hidup Mama. Sekarang dia mau menghancurkanku pula.”

Darrell tertegun mendengar isak tangis Alina.

“Aku benci dia! Aku benci dia! Aku benci!”

Liz kaget mendengar pengakuan Alina. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak pernah melihat Alina lepas kendali.

“Semua pria sama saja! Mereka semua penipu!”

Darrell tidak mau mendengar lebih banyak lagi. Pengetahuan akan asal muasal sikap dingin Alina pada pria hanya akan menguliti kesalahan-kesalahannya pada Alina.

Alina berhak marah padanya. Alina berhak membencinya. Ia juga memperlakukannya seperti sikap ayahnya pada ibunya. Ia mengajaknya kencan tapi kemudian mengabaikannya. Ia ingin menaklukannya tapi ia masih bermain mata dengan gadis lain.

Darrell bingung. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Setelah mendengarnya sendiri dari Alina, apakah ia akan berhasil menaklukan Alina?

Tidak! Ini tidak benar!

Mengapa ia bisa sepusing ini karena seorang Alina? Mengapa ia begitu ingin menaklukan kedinginan Alina?

Darrell tidak tahu lagi!

“Aku pulang.”

Mandy segera menyambut kedatangan putranya. “Kudengar kau bertengkar lagi denan Alina.”

Darrell terus melangkah ke kamarnya.

“Engkau harus bisa memahami Alina. Ia mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan.”

Langkah kaki Darrell terhenti.

“Sewaktu ia masih kecil, ayahnya meninggalkan mereka untuk tinggal berdua bersama kekasihnya. Sejak itu ia tidak pernah pulang.”

“Mama…,” Darrell tidak percaya akan pendengarannya sendiri, “Tahu?”

“Bernard cukup terkenal di dunia bisnis sebagai seorang playboy,” dan ia menekankan, “Sama sepertimu.”

“Mengapa Mama memaksaku bertunangan dengan Alina!?” Darrell marah, “Lihatlah sekarang apa yang terjadi. Alina terluka. Ia membenciku!”

Demi kegeraman Darrell, ibunya tersenyum.

“Mengapa Mama mempermainkan Alina!?”

“Siapa yang mempermainkan Alina?” Mandy balas bertanya, “Siapa yang meninggalkan Alina untuk pergi bersama gadis lain di kota? Siapa yang berulang kali dilihat Alina bermesraan dengan gadis lain?”

Darrell terpukul baik.

Senyuman Mandy kian lebar melihat wajah shock Darrell. “Kau sudah berubah,” katanya senang, “Kau jatuh cinta pada Alina.”

“Itu tidak mungkin! Aku…”

“Siapa yang menyimpan surat Alina baik-baik bahkan mempigurainya?” potong Mandy, “Siapa yang tiap hari mengomel karena dianggap angin lalu oleh Alina? Siapa yang tiap Jum’at pusing memikirkan rencana kencan? Siapa yang tiap malam marah-marah karena teleponnya ditutup Alina?”

Darrell benar-benar kehabisan kata-kata.

“Jangan kau anggap remeh ibumu ini. Aku tahu semuanya tentang kau dan Alina.”

“Aku tidak tahu, Mama. Aku tidak tahu lagi.”

“Kau tahu, Darrell. Kau jatuh cinta pada Alina.”

“Itu tidak mungkin, Mama. Ia bukan tipe gadis yang kusukai. Ia terlalu dingin dan pendiam.”

“Tanyalah dirimu sendiri. Sudah berapa lama kau tidak menelepon gadis-gadis lain? Sudah berapa lama kau tidak berkencan dengan gadis lain? Mengapa engkau begitu ingin, seperti katamu, menaklukan Alina?”

Darrell termenung. Ibunya benar. Semenjak Alina menyiramnya, ia tidak memikirkan gadis lain selain menaklukan Alina. Ia tidak memikirkan rencananya menaklukan Alina ketika ia mengajari Alina mendayung. Pikiran itu sama sekali tidak terlintas dalam pikirannya ketika setelahnya ia berusaha membuat Alina tersenyum. Hari ini ia juga tidak mencemaskan Alina karena ingin menaklukannya!

“Ya, Mama,” Darrell mengakui, “Aku jatuh cinta padanya.”

Mandy tersenyum penuh kemenangan. “Aku sudah tahu Alina memang cocok untukmu.”

“Apa yang bisa kulakukan?” Darrell putus asa, “Alina membenciku.”

“Apa kau yakin?” tanya Mandy.

“Aku mendengarnya mengatakan hal itu.”

“Kau tahu mengapa ia membencimu.”

“Bagaimana mungkin aku…,” Darrell termenung.

“Kau lebih tahu apa yang harus kaulakukan.”



Keesokan paginya, mata Alina terpaku pada sederet huruf besar di papan pengumuman. “PERTUNANGAN ANTARA ALINA DAN DARRELL DIBATALKAN! TIDAK ADA HUBUNGAN APA-APA DI ANTARA MEREKA!!”

“Siapa yang usil?” tanya Liz, “Alina dan Darrell masih bertunangan. Bukankah begitu, Alina?”

Alina sudah menjauh.

Liz langsung teringat topik ini adalah topik pembicaraan yang paling sensitif untuk Alina. Kemarin dengan tidak mudahnya Alina tenang. Kemarin pula ia untuk pertama kalinya mendengar cerita tentang keluarga Alina. Ia tahu Alina sangat mencintai ibunya namun ia tidak menduga cintanya kepada ibunya sangat besar. Alina rela bertunangan dengan kaum pria yang sangat dibencinya hanya untuk membuat ibunya terus tersenyum. Kemarin pula ia tahu mengapa Alina selama ini tidak pernah tertarik pada pria malah terkesan menjauhi pria. Dan pagi ini Alina muncul seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Liz kian tidak memahami Alina.

“Alina,” kata Darrell ketika Alina melewatinya, “Aku sudah meminta Papa untuk membatalkan pertunangan kita.”

Alina membelalak. Ia melihat Darrell dengan mata nanarnya.

“Mulai hari ini kita sudah bukan tunangan lagi.”

Untuk alasan yang tidak diketahuinya, hati Alina terasa lebih pedih dari terbongkarnya rahasia mereka.

“Baguslah,” Alina membalikkan badan dan melangkah ke kursinya.

Darrell juga berbalik meninggalkan kelas Alina. Apa yang bisa diharapkannya dari Alina?

Seisi kelas Alina melihat keduanya. Mata mereka mengikuti Alina yang duduk tenang. Mulut mereka sibuk membicarakan peristiwa singkat yang baru saja mereka saksikan. Seperti berita pertunangan mereka, kabar ini merebak dengan cepat di sekolah. Berbagai macam spekulasi turut berkembang seiring merebaknya kabar itu. Namun kali ini tidak ada yang mencari Alina maupun Darrell.

Ekspresi tenang Alina ketika ia muncul di klub renang, membuat setiap gadis menahan diri untuk tidak menanyai gadis itu. Stevie, walaupun sangat mengkhawatirkan Alina, memilh untuk pura-pura tidak pernah mendengar kabar apapun tentang hubungan gadis itu dengan Darrell.

Hanya saja ketika tidak seorang pun memperhatikan, Stevie pergi mencari Darrell di ruang klub basket. Di sana, ia mendapati Cullen sedang mengkonfrontasi Darrell.

“Apa maksudmu mempermainkan Alina!?” Cullen mencengkeram kerah baju Darrell, “Sebentar kau mengatakan Alina adalah tunanganmu. Sebentar kau membatalkannya. Alina bukan mainanmu!”

“Kau sudah berjanji padaku kau tidak akan menyakitinya,” Stevie turut menuntut jawaban Darrell.

“Ini yang terbaik untuk Alina.”

“Apanya yang terbaik!?” Stevie marah.

“Alina bukan mainanmu!” Cullen juga marah.

“Apa tidak kau lihat keadaan Alina sekarang!?” Stevie membentak lagi.

“Aku tahu!” seru Darrell. “Aku tahu apa yang kulakukan.”

Mereka kaget oleh reaksi Darrell.

“Ini semua untuk Alina. ini yang terbaik untuknya,” Darrell berkata lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Baik Cullen maupun Stevie terdiam melihat ekspresi pedih dan putus asa Darrell.



Alina termenung di dalam kamarnya memperhatikan jam dinding yang menunjukkan pukul 9:50. Seminggu yang lalu Darrell mengajaknya kenan lagi pada hari ini pukul 10 pagi. Setelah semua yang terjadi, apakah janji itu masih berlaku?

Di hari Darrell mengumumkan pembatalan pertunangan mereka, ibunya menyambut kepulangannya dengan cemas.

“Papa mencarimu,” katanya.

Alina tidak memberi komentar apa pun. Ia menjawab telepon pertama yang berbunyi setelah ia melangkahkan kaki ke dalam rumah.

“Apa yang sudah kaulakukan!? Mengapa Darrell meminta pertunangan kalian dibatalkan!?” bentak ayahnya dengan marah.

Ibunya memperhatikannya dengan cemas.

“Aku tidak pernah meminta ditunangkan,” jawab Alina dengan dingin kemudian dengan suara meninggi, ia berkata “Kau tidak pernah pulang rumah. Kau tidak pernah peduli pada kami. Apa hakmu mengatur hidupku!? Kau, ayah yang tidak bertanggung jawab, tidak berhak mengatur hidupku!” Dan ia membanting telepon dengan marah.

Saat itu ibunya hanya terperangah melihat emosi yang tidak pernah dipertunjukannya itu. Sejak itu, ibunya tidak pernah lagi mengungkit masalah Darrell. Ayahnya juga tidak pernah lagi menelepon rumah. Mereka kembali pada kehidupan mereka yang dulu.

Keadaan sekolah pun juga kembali ke saat-saat sebelum ia bertunangan dengan Darrell. Gadis-gadis mengekor Darrell. Liz berteriak-teriak seperti orang gila tiap pagi.

Hanya satu yang berubah. Alina!

Darrell tidak pernah mencarinya lagi. Seharusnya ia bersuka cita karenanya. Tapi kenyataannya, ia sering mencari-cari sosok Darrell di halaman sekolah melalui jendela di samping tempat duduknya. Matanya sering mengikuti Darrell hingga ia menghilang dari pandangan. Tiap kali mendengar langkah-langkah kaki mendekat dengan terburu-buru, ia selalu berharap itu adalah Darrell.

Kepergian Darrell dari hidupnya tidak membuatnya senang sedikit pun! Malahan, ia sering merindukan saat Darrell terus mengekorinya.

“Alina,” terdengar panggilan ibunya disertai ketukan di pintu, “Kau sudah bangun?”

Alina tidak menjawab.

“Alina, Mama tahu ini hari Minggu tapi bukan begini caranya melewatkan hari libur. Ini tidak seperti kau saja.”

“Hari ini aku tidak ada janji,” Alina memberitahu. Alina duduk di atas tempat tidurnya – memeluk boneka beruang pemberian Darrell.

Ia teringat saat ia menerima pemberian itu. Saat itu ia tengah bersembunyi dari teman-teman sekolah mereka. Darrell sibuk sedang meladeni para gadis itu dan ia duduk termenung di tepi kolam air mancur. Tengah ia melamun, sesuatu yang lembut beradu menutupi pandangannya.

Alina terperanjat.

“Untukmu,” Darrell memberitahu.

Alina tertegun melihat boneka beruang besar itu lalu melihat Darrell.

“Tidak bisakah kau berterima kasih padaku?” Darrell kesal, “Setidaknya tersenyum. Jangan buat aku sia-sia menghaburkan uang hanya untuk membuatmu berhenti melamun dengan wajah sedih.”

Alina terperangah. ‘Apakah ia tahu?’

Darrell membuang muka dengan malu-malu.

Alina memeluk boneka itu dan dengan senyum manisnya berkata, “Terima kasih.”

“Walaupun tidak punya janji, kau tidak bisa terus mengurung diri dalam kamar,” Evi menasehati Alina lagi.

Bel pintu berbunyi.

“Tunggu,” Evi langsung berlari membuka pintu.



Alina mendengar pintu kamarnya terbuka.

“Mama, aku tidak ingin ke mana-mana,” ia berkata tanpa memalingkan badan.

“Sudah kuduga kau belum bersiap-siap.”

Alina terperanjat. Ia memalingkan kepala.

Darrell melangkah masuk.

“Me-mengapa kau…,” Alina kehabisan kata-kata.

“Kita punya janji siang ini. Apa kau lupa?”

“I-tu…,” Alina butuh waktu untuk mencerna kejutan Darrell, “Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa. Kau tidak punya kewajiban menemuiku.”

“Apakah itu berarti aku tidak boleh menemuimu?”

“Apa sekarang kau punya keinginan baru?” Alina bertanya dingin, “Membuatku keluar denganmu? Membuatku mengirim coklat untukmu?”

“Kau benar. Aku ingin membuat kau berkata, ‘Aku mencintaimu.’,” Darrell berkata sungguh-sungguh.

“Itu mudah,” ujar Alina, “Aku…,” tiba-tiba lidah Alina kelu.

“Jangan terburu-buru,” Darrell tersenyum, “Kau harus mempersiapkan diri karena aku tidak akan berhenti di situ.”

Alina melihat Darrell.

“Aku akan membuatmu menerimaku menjadi tunanganmu. Kemudian aku akan membuatmu menerima lamaranku. Aku akan membuatmu mau hidup bersamaku untuk seterusnya dan membentuk keluarga denganku. Karena itu bersiap-siaplah.”

Alina tertegun. Wajahnya memerah. “Besok atau lusa kau pasti berubah pikiran,” ia membaut wajah. Ia merangkul erat-erat boneka beruangnya, “Kau hanya main-main.”

“Benar,” Darrell mengakui, “Pada awalnya aku memang main-main. Aku ingin membuatmu tunduk pada pesonaku tetapi entah sejak kapan aku ingin lebih dari itu. Aku tidak ingin menjadi tunanganmu hanya karena keinginan orang tua.”

Alina tidak dapat memberi komentar.

“Karena itu,” Darrell mendekati Alina.



“Alina, apa kali ini kau benar-benar serius?” Liz bertanya serius.

“Tidak mengapa,” Alina memasukkan buku dalam tas, “Aku bukan Mama.”

Sesaat kemudian mereka sudah berada di halaman sekolah.

Liz melihat Darrell yang dikelilingi penggemar-penggemarnya. “Lihatlah dia.”

“Tidak mengapa,” Alina berkata santai.

Liz tidak mengerti jalan pikiran sahabatnya ini.

“Alina!” Cullen mendekat.

Panggilan itu langsung menyadarkan Darrell.

“Kau sudah mau pulang?”

“Ya,” jawab Alina.

“Mari kubawakan tasmu.”

“Terima kasih.”

Liz kebingungan melihat Alina pergi bersama ketua klub bola basket itu.

“Apa kau akan pergi berbelanja?”

“Ya,” jawab Alina, “Mama menyuruhku membeli beberapa bahan makan malam.”
Keduanya terus berjalan meninggalkan halaman sekolah. Sementara itu, Darrell berusaha keras menerobos kepungan penggemarnya, “Cullen, mau kaubawa ke mana tunanganku!?”

“Tunangan?”

“Apa hubunganmu dengan gadis itu?”

“Bukannya kau sudah memutuskan hubungan dengannya?”

Gadis-gadis itu menjadi kian brutal hingga Darrell kewalahan.

Liz melongo melihat pasangan itu. Ia benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Alina.

Darrell berlari keluar pintu pagar. Ia melihat jalan sudah kosong. “Sialan, Cullen,” ia terengah-engah.

“Sepuluh menit dua delapan detik.”

Darrell terkejut.

Alina berdiri di balik dinding – membawa stopwatch di telapak tangannya. “Tidak buruk,” komentarnya.

“Kukira kau,” Darrell mendekat, “Pergi dengan Cullen.”

“Kau membuatku menunggu 10’28’’,” Alina berkata dingin.

“Maafkan hamba, Tuan Puteri,” Darrell berlutut, “Bila Anda berkenan, biarlah saya menebus kesalahan hamba,” ia mengulurkan tangan.

Alina meletakkan tasnya di tangan yang terulur itu.

Darrell terkejut.

“Aku tidak punya waktu untuk menuggumu lagi,” ia langsung pergi.

“Tunggu!” Darrell cepat-cepat mengekor.

Alina membalikkan badan dan merangkul lengan Darrell dengan senyum lebar di wajah manisnya.

“Kali ini Darrell benar-benar tunduk pada Alina,” komentar Liz yang mengawasi keduanya sejak awal.

“Ah… aku patah hati,” Cullen sependapat.

5 comments:

  1. hai, salam kenal. saya penggemar tulisan2nya, terutama yg ratu pilihan, anugerah bidadari dan topeng sang putri. suka banget dg tema dan gaya tulisannya. ditunggu karya2 lain yg nggak kalah keren. semangat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi,

      Salam kenal juga. Terima kasih telah menggemari karya-karya saya. Terima kasih pula atas dukungannya. =)

      Cheers,
      Sherls

      Delete
  2. aku suka ceritanya. terus nulis ya thor...:)

    ReplyDelete
  3. http://detik206.blogspot.com/2017/05/domino206.html

    http://marimenujudomino206.blogspot.com/2017/05/website-tepercaya-domino206-mari-join.html

    http://beritadomino2o6.blogspot.com/2017/05/pengakuan-ra-reni-anggreini-sering.html

    http://jutawandomino206.blogspot.com/2017/05/pria-ini-buat-grup-lendir-siap-sediakan.html

    ReplyDelete